Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 5

Gea berjalan cepat di sepanjang trotoar luar gedung kantor, kepalanya tertunduk, mata terus bergerak gelisah mengamati sekitar. Tas selempangnya dipegang erat di depan dada, seolah di dalamnya terdapat seluruh nyawa yang ia pertaruhkan malam itu.

Ia tak pulang ke rumah. Ia tahu, pulang adalah pilihan paling berbahaya. Kalau benar Andito punya akses ke segala informasi tentang keluarganya, maka rumahnya adalah target pertama. Bahkan mungkin, pria itu sudah menempatkan orang-orangnya di sana.

Jadi Gea memilih arah lain. Ia menyeberang jalan, menyelinap masuk ke halte bus, dan naik kendaraan ke arah Blok M—bukan karena ia punya tujuan pasti, tapi hanya ingin menjauh, sejauh mungkin dari kantor, dari apartemen Andito, dari ancaman yang mencekiknya.

Sambil duduk di pojok kursi bus, ia membuka ponsel. Tangannya masih gemetar. Ia mencari kontak seorang teman lama, seorang yang dulu aktif di lembaga perlindungan perempuan. Namanya Sania. Mereka sudah lama tidak berbicara, tapi Gea tak punya banyak pilihan.

“San, ini Gea. Aku butuh bantuan. Darurat. Tolong, kalau kamu bisa ketemu aku sekarang juga, di tempat yang aman...”

Belum sempat ia kirim, layar ponselnya tiba-tiba berubah.

Panggilan masuk. Andito Pramana.

Gea langsung mematikan ponselnya. Napasnya memburu. Jantungnya berdetak kencang, seperti hendak meloncat keluar dari dada. Ia menggenggam ponsel itu, ingin membuangnya, tapi... ia butuh itu untuk tetap terhubung.

Bus berhenti. Gea turun tergesa-gesa, melangkah cepat menyusuri trotoar. Ia mencari kafe atau tempat umum yang terang. Tapi entah kenapa malam ini Jakarta terasa begitu asing. Jalanan ramai, tapi ia merasa sendiri. Mata-mata bisa ada di mana-mana.

Ia berhenti di sebuah mini market 24 jam, masuk dan pura-pura memilih makanan ringan. Tangannya gemetar saat memegang botol air.

Dan saat itulah ia mendengar suara itu.

“Gea.”

Ia membeku.

Suara itu berat, rendah, seperti guntur dari neraka. Perlahan, ia menoleh. Di depan rak minuman, berdiri seseorang dengan jas gelap, wajah dingin, mata setajam belati.

Andito Pramana.

“Jadi ini caramu melarikan diri?” tanyanya pelan, tapi tajam.

Gea mundur setapak. Botol air mineral nyaris jatuh dari tangannya.

“Ja... jangan dekat-dekat...” bisiknya.

Andito menyeringai. “Kau pikir aku akan membiarkanmu lepas? Kau pikir aku main-main tadi pagi?”

Gea menggeleng. “Kau... kau gila...!”

Pria itu bergerak cepat, terlalu cepat. Dalam sekejap ia sudah berdiri tepat di hadapan Gea, menekan tubuh gadis itu ke rak minuman dingin. Tangannya menahan bahu Gea, tidak keras, tapi cukup untuk menunjukkan kekuasaan.

“Aku sudah memberimu pilihan. Dan kau memilih jalan bodoh.”

“Lepaskan aku! Ini tempat umum!” Gea berusaha bersuara, tapi tenggorokannya kering.

Andito mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari Gea.

“Tidak ada yang akan percaya padamu, Gea. Di dunia ini, kau sendirian. Tapi... jika kau ikut aku malam ini, aku bisa pastikan semuanya berakhir cepat. Tanpa rasa sakit. Kau bisa tetap kerja. Keluargamu tetap aman. Kau... tetap hidup.”

Air mata Gea jatuh. Ia tak bisa bergerak. Napasnya tercekat.

“Kau iblis...” desisnya.

Andito memiringkan kepala, seolah menikmati kata itu. “Mungkin. Tapi aku iblis yang memegang kendali. Dan kau... adalah milikku.”

Tiba-tiba, suara pegawai mini market memecah suasana.

“Pak, ada yang bisa saya bantu?”

Andito menoleh cepat, lalu tersenyum sopan.

“Tidak, kami hanya bertemu teman lama.”

Gea memanfaatkan momen itu. Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, ia dorong tubuh Andito dan berlari ke arah pintu keluar. Nafasnya memburu, langkahnya seperti terbang. Ia berlari menembus keramaian trotoar, tak peduli pada orang yang tertabrak, teriak yang menyusul.

Ia hanya tahu satu hal: ia harus kabur.

Tapi bahkan saat berhasil menyelinap ke dalam gang sempit, ia tahu satu hal lain—ia tak lagi aman. Ia sudah dicium oleh sang pemangsa.

Andito Pramana tahu ia mencoba kabur. Dan pria itu... tak akan menyerah sampai menang.

***

Hujan turun perlahan. Rintiknya menampar jalanan Jakarta seperti ironi—sejuk di luar, tapi neraka sedang menunggu di dalam dada Gea.

Gea terbangun dengan kepala pening dan tubuh lemas. Pandangannya kabur. Ia merasa berat… seolah baru bangun dari mimpi buruk yang nyata. Tapi tak butuh waktu lama untuk menyadari kenyataan yang jauh lebih buruk: dia sedang berada di dalam mobil, di kursi belakang.

Kacanya gelap. Udara pengap. Tangan dan kakinya tidak terikat, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak cepat. Di depannya, duduk dua pria berbadan besar, sopir dan satu penjaga. Ia mengenali mereka. Wajah-wajah yang biasa berdiri di belakang Andito saat rapat direksi. Mata tanpa rasa, tatapan tanpa ampun.

Gea ingin berteriak. Ingin membuka pintu dan lari. Tapi jendela terkunci. Pintu dikunci dari depan.

Ia mencoba bicara. Suaranya serak.

“Ke... ke mana kalian bawa aku?”

Tak ada jawaban.

“Lepaskan aku… kumohon… kalian nggak ngerti apa yang dia mau lakukan ke aku…”

Pria di samping sopir hanya menoleh sebentar, lalu kembali menatap ke depan.

Gea menangis dalam diam. Air matanya jatuh, membasahi pipi. Ia tahu... semuanya sudah terlambat.

Mobil berhenti di pelataran sebuah gedung apartemen mewah. Langham Residences, salah satu yang paling eksklusif di pusat kota. Satpam yang berjaga hanya membungkuk sopan, membiarkan mobil masuk tanpa bertanya. Semua sudah diatur. Segalanya berjalan mulus… bagi pihak yang berkuasa.

---

Lift berhenti di lantai paling atas. Penthouse.

Gea nyaris tidak bisa berdiri. Tapi pria di sebelahnya menggenggam lengannya dan memaksanya melangkah. Pintu apartemen terbuka otomatis dengan kartu akses. Ruangan luas, dinding kaca penuh dengan pemandangan langit Jakarta yang disapu badai. Indah, tapi dingin. Terlalu sunyi untuk sebuah rumah.

Dan di sana—berdiri di depan jendela dengan satu tangan menyelip di saku celana—Andito Pramana,

Pria itu tak menoleh. Ia hanya berkata dengan tenang, “Kalian boleh keluar.”

Dua pria pengawal menunduk dan keluar tanpa suara.

Pintu menutup.

Gea dan Andito kini hanya berdua.

Gea mundur dua langkah. Seluruh tubuhnya gemetar. Rasa takut itu membeku di setiap ruas tulangnya.

Andito berbalik. Tatapan matanya dingin seperti es.

“Kau pikir bisa lari dariku, Gea?”

Gea menggigit bibir, menahan tangis dan marah yang bersatu jadi satu. “Kau keparat... Kau tidak manusia...!”

Andito tersenyum tipis. “Aku tidak pernah bilang aku manusia yang baik.”

“Kenapa aku? Kenapa kau harus menghancurkan hidupku seperti ini?”

Suara Gea pecah. “Aku cuma pegawai biasa. Aku cuma... aku cuma ingin hidup tenang!”

Andito melangkah perlahan ke arahnya. Gea mundur, punggungnya menempel ke dinding. Matanya liar mencari celah, jalan keluar, apapun—tapi tak ada.

“Kau berbeda, Gea. Kau bukan seperti wanita lain yang mudah kutundukkan dengan uang dan janji. Kau keras kepala... dan keras kepala itu menarik bagiku.”

“Kalau kau pikir bisa memperkosaku...!” teriak Gea, suaranya bergetar, tapi matanya menatap penuh benci.

Andito mendekatkan wajahnya. Napas hangat pria itu terasa di pipinya.

“Aku tidak butuh memaksa... kalau pada akhirnya semua wanita menyerah.”

Gea menamparnya.

*Plak!*

Tamparan itu keras. Telapak tangannya terbakar. Tapi tatapan Andito tidak berubah. Ia diam beberapa detik, lalu... tertawa. Pelan, tapi tajam seperti pisau yang mengiris jiwa.

“Ah... akhirnya kau menunjukkan nyalimu.”

Ia menyentuh pipinya perlahan. “Itu menyakitkan. Tapi menyenangkan.”

Gea mengumpulkan seluruh keberaniannya. “Aku tidak akan biarkan kau menyentuhku. Sekalipun aku harus mati!”

Andito menatapnya, kali ini lebih serius. Sekilas, wajahnya berubah. Tak lagi menertawakan. Ada amarah kecil yang terbit di dasar matanya.

“Kau salah satu wanita paling keras kepala yang pernah aku temui,” katanya perlahan. “Tapi ingat ini, Gea: keras kepala bisa membuatmu kehilangan segalanya. Ibumu. Pekerjaanmu. Hidupmu.”

Gea tak menjawab. Tapi air matanya terus mengalir.

Andito menghela napas dan berjalan ke meja, mengambil gelas dan menuang anggur merah.

“Kau punya dua pilihan. Menjadi milikku malam ini... dan ku jaga hidupmu tetap utuh. Atau melawan, dan ku pastikan kau akan kehilangan lebih dari yang bisa kau bayangkan.”

Gea duduk terjatuh di lantai. Tubuhnya melemas.

Malam belum berakhir. Tapi neraka sudah dimulai.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel