BAB 6
Langit malam membeku. Hujan deras membasuh jendela penthouse seperti rintihan kota yang tak mampu menolong. Gea duduk diam di sudut ruangan, tubuhnya membeku, seperti patung yang kehilangan nyawanya.
Di hadapannya, Andito duduk dengan segelas wine di tangan, santai seperti pemburu yang tahu mangsanya tak punya jalan keluar.
Diam. Hening. Waktu seakan berhenti.
Gea menggenggam ujung bajunya erat-erat. Hatinya sudah remuk, tapi pikirannya masih bekerja. Ia bukan lagi gadis yang takut, tapi perempuan yang tahu kapan harus menyerah... dan kapan harus membalas.
“Sudah malam,” kata Andito pelan. “Kau belum juga bicara, Gea.”
Ia menatap pria itu. Tatapannya kosong, tapi dalam.
“Kau sudah menang, kan?” suaranya nyaris seperti bisikan.
Andito mengangkat alis. “Menang?”
“Kau sudah menakut-nakuti aku, menghancurkan hidupku, menyeretku ke sini… Apa lagi yang kau inginkan?”
Andito meletakkan gelasnya. “Kejujuran.”
“Kejujuran?” Gea tertawa kecil, getir. “Kau bicara soal kejujuran padaku?”
Pria itu berdiri, mendekatinya dengan langkah perlahan.
“Aku tidak akan paksa kau bicara. Tapi aku ingin kau mengerti. Aku menginginkanmu, bukan karena aku tak bisa mendapatkan wanita lain. Tapi karena aku ingin seseorang yang berbeda.”
Gea menatap matanya. Dalam hati, ia ingin meneriakkan semua yang terpendam—bahwa pria ini iblis, perusak jiwa, dan tak pantas dicintai siapa pun. Tapi ia tidak boleh gegabah. Tidak malam ini.
Ia berdiri. Tubuhnya masih gemetar, tapi kepalanya tegak.
“Baik,” katanya lirih.
Andito menyipitkan mata. “Baik?”
Gea berjalan mendekat, hanya beberapa langkah dari pria itu. Jarak yang cukup dekat untuk menyentuh. Tapi ia tidak menyentuh. Ia hanya berdiri di sana, matanya memancarkan sesuatu yang tak bisa ditebak.
“Kau bilang ingin aku, kan? Aku tidak bisa melawanmu. Aku tidak bisa melindungi siapa pun jika aku mati.”
Suasana menjadi sunyi kembali. Detak jam dinding terdengar begitu nyaring.
“Aku... akan jadi milikmu malam ini,” bisik Gea, dengan suara yang nyaris patah. “Tapi jangan pikir kau sudah menaklukkan aku.”
Andito memandangnya lama. Sangat lama. Lalu ia mengangkat tangannya dan menyentuh dagu Gea dengan ujung jarinya.
“Sudah lama aku tidak melihat mata seperti itu,” katanya. “Penuh api.”
Gea memejamkan mata. Dalam hatinya, ia ingin menjerit. Tapi tubuhnya tetap berdiri, seolah telah pasrah. Padahal tidak. Ia sedang menyusun ulang kekuatannya.
Karena Gea tahu satu hal: jika ia ingin mengalahkan iblis, ia harus lebih dingin dari neraka.
Malam itu berlalu dalam diam, dalam luka yang tak terlihat. Tak ada jeritan. Tak ada pengakuan. Hanya kehancuran sunyi yang merayap dalam jiwa seorang wanita yang tak punya pilihan selain tunduk… untuk sementara.
**
Saat matahari pertama menyinari jendela penthouse yang masih berkabut, Gea terbangun lebih dulu. Ia duduk di ujung tempat tidur, memeluk lututnya sendiri, dengan pandangan kosong menatap keluar.
Andito masih tertidur di belakangnya.
Gea menunduk. Air matanya jatuh diam-diam.
Tapi bukan karena lemah.
Karena hari itu, ia berjanji pada dirinya sendiri: ini bukan akhir. Ini awal.
Awal dari pembalasan.
Awal dari kehancuran bagi pria bernama Andito Pramana.
Cahaya matahari menembus celah tirai, hangat dan menyilaukan. Gea bangkit perlahan dari sisi ranjang, mengenakan kembali kemeja panjang yang entah milik siapa. Tangannya sedikit gemetar, tapi gerakannya penuh kehati-hatian.
Langkahnya nyaris tanpa suara.
Tapi baru beberapa detik ia beranjak dari ranjang, terdengar suara serak berat dari balik selimut:
“Kau mau pergi ke mana?”
Gea terdiam. Tubuhnya menegang. Ia tidak menoleh.
Suara Andito, masih lelap tapi penuh kesadaran. Itu bukan suara orang yang masih mengantuk. Itu suara milik pria yang tahu persis situasi yang sedang ia kuasai.
“Aku cuma... mau ke kamar mandi,” kata Gea pelan, berusaha menjaga agar suaranya tidak pecah.
Andito bangkit perlahan, duduk di ranjang, mengusap wajahnya dengan tangan kasar. Rambutnya berantakan, tapi auranya tetap mengintimidasi.
“Gea,” katanya pelan, tapi tajam. “Jangan buat aku merasa kau sedang mencoba kabur.”
Gea menoleh, memaksakan senyum kecil, senyum yang tidak sampai ke matanya. “Aku di sini, kan?”
Pria itu berdiri dan melangkah mendekatinya. Jarak mereka hanya sejengkal. Tatapan matanya menyisir wajah Gea, seakan membaca pikiran terdalamnya.
“Semalam... kau akhirnya menyerah,” ucap Andito, nada suaranya nyaris seperti bisikan kemenangan. “Dan jujur saja, itu lebih indah dari yang kubayangkan.”
Gea ingin muntah. Tapi ia menelan semuanya bulat-bulat—rasa jijik, marah, takut, dan hina yang membakar seluruh isi jiwanya.
“Kalau itu membuatmu senang,” jawabnya datar.
Andito menyentuh dagunya lagi, seperti malam sebelumnya. Tapi kali ini Gea tidak menghindar. Ia menatap balik, tajam.
“Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanya pria itu.
“Karena aku ingin menghafal wajahmu,” jawab Gea lirih.
Andito terkekeh. “Untuk apa? Takut lupa pada pemilikmu?”
Gea tersenyum kecil. "Tidak. Karena suatu hari nanti, aku ingin tahu ekspresi wajahmu saat kehilangan segalanya."
Sejenak, suasana membeku. Tatapan mereka terkunci.
Andito tak menjawab. Tapi ada perubahan kecil di matanya—keraguan sesaat, sebelum ia kembali tertawa pelan.
“Kau mulai belajar bermain, ya?” katanya. “Bagus. Itu membuatmu semakin menarik.”
Ia meraih tangan Gea, membawanya kembali ke ranjang.
“Tidak perlu buru-buru ke kamar mandi. Aku belum selesai denganmu.”
Dan seperti itu, pagi pun berubah menjadi kelanjutan malam yang tak pernah benar-benar berakhir bagi Gea.
Tapi yang tak diketahui Andito adalah: semakin ia menekan Gea, semakin kuat nyala api dalam dada wanita itu.
Dan api yang menyala dalam diam... adalah api yang paling berbahaya.
