Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 4

Langit sore itu redup, seakan ikut menunduk menyaksikan penderitaan seorang wanita yang terjebak dalam dilema paling kejam dalam hidupnya.

Gea duduk membatu di ruang kerjanya. Jari-jarinya kaku di atas keyboard, padahal layar di hadapannya masih menampilkan halaman kosong sejak pagi. Ia bahkan tak tahu harus menulis apa. Pikiran tak bisa difokuskan. Tubuhnya ada di ruangan itu, tapi jiwanya... terseret dalam badai ketakutan yang tak mampu ia hentikan.

Wajahnya pucat seperti kertas. Bahkan foundation yang ia pulaskan dengan hati-hati tadi pagi tak mampu menyamarkan kebiruan di bawah matanya. Seorang rekan kerja sempat mampir, menyapanya.

"Gea, kamu oke? Kamu pucat banget..."

Gea menoleh cepat, terlalu cepat. Napasnya tersengal. "Aku... aku cuma kurang tidur."

"Yakin kamu nggak kenapa-napa? Kayak... kamu baru aja lihat hantu."

Gea memaksakan senyum. "Hantu nggak seburuk kenyataan."

Rekan kerjanya tertawa kecil, tak menyadari kalimat itu bukan lelucon. Setelah itu, ia kembali sendiri. Ruangan itu sunyi. Bunyi jam dinding terdengar sangat jelas, seperti hitungan mundur.

Setiap detik terdengar seperti cambuk, memukul ketahanan mentalnya habis-habisan.

Pukul 16.12.

Empat jam lagi.

Gea tak tahu harus berbuat apa. Pergi ke polisi? Tidak mungkin. Siapa yang akan percaya padanya? Melawan seorang CEO besar, pria yang punya koneksi ke mana-mana? Polisi saja mungkin sudah digenggamnya.

Lari? Ke mana?

Ia tinggal bersama ibunya. Jika ia kabur, siapa yang akan menjaga keluarganya? Dan jika Andito benar-benar melakukan apa yang ia ancamkan... Gea tak sanggup membayangkannya.

Dito bukan sekadar pria gila kekuasaan. Dia monster. Monster cerdas yang tahu cara menaklukkan mangsanya perlahan-lahan, tanpa darah, tapi mematikan.

Gea menarik napas dalam-dalam. Matanya basah lagi. Ia tak tahan. Ia butuh bicara dengan seseorang. Ia membuka ponsel. Chat Raka masih tak dibalas. Entah sudah berapa kali ia mengirim pesan baru, tapi tetap tak ada tanggapan.

Dengan suara gemetar, ia akhirnya menelepon.

Satu dering. Dua dering.

"Ayo Raka... tolong..."

Tiga dering... Empat...

*“Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat menerima panggilan.”*

Tangannya menjatuhkan ponsel ke meja. Badannya bergetar.

Tangis yang tadi ditahan, kini meledak tanpa suara. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha tak terdengar.

Kalau ada yang melihat, mungkin mereka akan berpikir ia hanya stres karena pekerjaan. Tapi Gea tahu—ini bukan stres. Ini teror.

Pukul 17.21.

Waktu bergerak lebih cepat sekarang. Kantor mulai sepi. Orang-orang pulang satu per satu. Beberapa menyapa Gea singkat. Ia mengangguk saja, terlalu lelah untuk berpura-pura. Satu jam lagi, mungkin ruangan ini akan kosong.

Dan ia akan sendiri. Lagi. Seperti malam-malam sebelumnya. Tapi kali ini lebih buruk.

Ponselnya kembali menyala.

Nomor Tak Dikenal. Lagi.

Dengan jari bergetar, ia buka pesannya.

“Jangan coba-coba menghindar. Aku sudah tahu semua tentang keluargamu. Bahkan nama sekolah keponakanmu di Bandung.”

Dunia Gea hancur dalam sekejap.

Tangan gemetar itu melepaskan ponsel, menjatuhkannya ke lantai. Napasnya pendek. Dada terasa sempit, seakan paru-parunya ditusuk dari dalam. Ia berdiri sambil memegangi perut, menahan mual yang tiba-tiba datang.

Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.

Kepalanya berdenyut. Ruangan terasa berputar.

Lalu seseorang membuka pintu.

Suara itu menyentak Gea dari keterpurukan.

"Gea?"

Ternyata Pak Hendra, staf senior HR. Pria paruh baya itu melihatnya dengan kening mengerut.

"Gea, kamu kenapa? Mukamu pucat banget. Kamu sakit?"

Gea buru-buru menyeka air mata, berdiri kaku. "Nggak, Pak. Saya cuma... migrain. Saya nggak apa-apa."

Pak Hendra tak yakin. "Mau saya antar ke klinik?"

Gea menggeleng. "Nggak perlu. Saya bisa pulang sendiri nanti."

Pak Hendra menatapnya beberapa detik, lalu mengangguk pelan. "Kalau butuh bantuan, Gea, jangan diam aja. Kamu anak baik, semua orang suka kamu. Jangan pikul beban sendiri."

Gea hanya menunduk. "Terima kasih, Pak."

Setelah pria itu keluar, Gea kembali terduduk.

Kata-kata Pak Hendra menghantam hatinya seperti palu. *Jangan pikul beban sendiri...*

Tapi kepada siapa ia bisa mengadu?

Andito bukan hanya atasan. Ia adalah ancaman nyata. Dan sekarang pria itu tahu tentang keluarganya. Bahkan keponakannya. Itu bukan ancaman kosong.

Gea menatap langit di luar jendela. Matahari telah tenggelam. Langit menjingga perlahan berubah biru tua.

Pukul 18.44.

Tinggal satu jam lebih sedikit.

Ia tahu apa yang harus dilakukan.

Ia harus pergi. Tapi bukan ke apartemen itu.

Ia harus menyusun rencana. Cari tempat aman. Sembunyikan ibunya. Dan... cari bantuan. Siapa saja. Entah itu wartawan, pengacara, atau bahkan LSM. Asal bukan polisi.

Tapi pertama-tama, ia harus keluar dari kantor ini.

Dengan tubuh yang masih lemas, Gea berdiri dan membereskan barang-barangnya. Tangannya gemetar saat mengambil tas. Napasnya berat. Tapi matanya kini punya sedikit cahaya—cahaya tekad yang, walau kecil, mulai muncul dari puing-puing ketakutannya.

“Kamu pikir aku akan datang, Dito? Tidak. Aku mungkin lemah, tapi aku bukan boneka yang bisa kau mainkan. Kau boleh punya kuasa, tapi aku punya sesuatu yang tak bisa kau kendalikan: kehendak untuk melawan.”

Dan malam itu, Gea melangkah keluar dari kantor. Bukan sebagai korban. Tapi sebagai perempuan yang mulai memilih untuk berjuang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel