BAB 3
Gea memandangi langit-langit kamarnya yang gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lampu jalan yang menembus celah tirai. Matanya terbuka lebar, tak mampu terpejam walau tubuhnya terasa remuk. Waktu terus melaju—03.07, 03.34, 04.15—namun malam seolah menolak berakhir.
Jantungnya berdetak kencang tak beraturan. Kadang cepat, kadang lambat, tapi tak pernah benar-benar tenang. Keringat dingin membasahi pelipisnya meski udara malam terasa menggigit. Gea berbaring menyamping, membalikkan tubuh, lalu berbalik lagi. Tapi tak ada posisi yang bisa membuatnya nyaman.
Ketakutan adalah penjara yang paling sunyi, dan malam itu, Gea terkurung sepenuhnya.
Bayangan Andito terus menghantui pikirannya—tatapannya yang dingin, senyuman sinisnya, suaranya yang merayap seperti ular. Ancaman yang diucapkan pria itu berulang-ulang di benaknya, seolah direkam dan diputar ulang oleh pikirannya sendiri.
"Serahkan tubuhmu padaku... atau kulenyapkan keluargamu."
Ia menutup telinga dengan kedua tangan, seolah bisa menepis suara itu. Tapi sia-sia. Ancaman itu sudah menancap dalam jiwanya.
Sesekali, ia melirik ke arah ponsel di atas meja. Tak ada notifikasi. Tak ada balasan. Tidak dari Raka, tidak dari siapa pun. Dunia di luar seolah tak peduli pada terornya.
Gea duduk tegak di ranjang, menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya pelan. Ia berjalan ke kamar mandi kecil di sudut kamarnya, menyalakan keran, membasuh wajahnya berkali-kali. Matanya menatap bayangannya sendiri di cermin—wajah yang tak ia kenali. Mata sembab, kulit pucat, dan ekspresi seperti orang yang akan runtuh.
"Aku harus bertahan..." bisiknya pada bayangan itu. "Aku nggak boleh lemah. Nggak boleh."
Tapi kalimat itu terasa kosong. Sebab dalam lubuk hatinya, ia merasa lemah. Sangat lemah. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa... tak berdaya.
Ia kembali ke tempat tidur, kali ini duduk bersandar di dinding dengan selimut menutupi kaki. Ia memeluk lutut, matanya menerawang kosong. Pikiran-pikiran buruk terus mengerubungi: Apa yang akan Andito lakukan jika ia tak datang? Apakah pria itu benar-benar akan menyentuh keluarganya? Membuat kecelakaan? Menculik? Membunuh?
Gea menggigit bibirnya sampai terasa asin—darah. Tapi rasa sakit itu tak sebanding dengan ketakutan yang merayap naik dari perut ke dadanya.
Di luar, hujan akhirnya reda. Tapi di dalam dirinya, badai baru saja dimulai.
Fajar mulai menjingga di ufuk timur, tapi tak membawa kelegaan. Malam telah berakhir, tapi Gea tahu: hari ini akan jauh lebih gelap dari malam mana pun.
Hari yang ditentukan telah datang.
Jam di dinding menunjukkan pukul 06.12 ketika Gea akhirnya bangkit dari tempat tidur. Bukan karena ia siap menghadapi hari itu, tapi karena diam di tempat justru membuatnya lebih tersiksa. Tubuhnya terasa ringan, seolah ruhnya belum sepenuhnya kembali. Ia seperti berjalan dalam mimpi buruk yang belum selesai.
Ia masuk kamar mandi tanpa suara, mencuci muka lagi dan lagi, berharap bisa menghapus rasa takut yang menempel di kulit. Tapi air dingin tak bisa menghapus ancaman. Wajahnya tampak letih, matanya sembab, namun ia memaksakan diri merias sedikit wajahnya—menyembunyikan kerapuhan di balik fondasi tipis dan lipstik pucat.
Ibu mengetuk pintu perlahan.
“Gea... sarapan sudah siap, Nak.”
Suara itu lembut, hangat, seperti biasa—tapi hari ini terasa jauh.
Gea menelan ludah. “Iya, Bu... sebentar lagi.”
Ia mengenakan blouse putih sederhana dan rok hitam. Seragam yang biasa. Tapi kali ini terasa seperti pakaian perang. Ia menatap dirinya sekali lagi di cermin. Dalam hatinya ada dua suara—satu berkata: lari.mSatu lagi berkata: hadapi. Dan keduanya tak membawa kedamaian.
Di meja makan, ibu menyajikan nasi goreng dan teh manis.
“Capek ya semalam? Matamu bengkak. Lembur lagi?”
Gea memaksa tersenyum. “Iya, lembur. Banyak kerjaan.”
Ia tak berani menatap wajah ibunya terlalu lama. Sebab dalam sorot mata wanita itu, ada kepercayaan. Dan kepercayaan itu terasa seperti pisau bagi Gea—karena ia tahu, ia sedang menyembunyikan bahaya besar.
Setelah sarapan seadanya, ia pamit dan mencium tangan ibunya. Tangannya gemetar. Langkahnya berat. Tapi ia melangkah juga.
Di dalam KRL menuju kantor, keramaian justru membuat Gea merasa lebih terasing. Di sekelilingnya orang-orang bicara, tertawa, membaca berita, mendengarkan musik. Dunia berjalan seperti biasa. Tak ada yang tahu bahwa di antara mereka, ada seorang perempuan yang sedang dihantui ketakutan paling purba: ketakutan kehilangan segalanya.
Pikirannya terus berputar.
Malam ini. Pukul delapan. Apartemennya.
Ia mencoba mengingat detail—alamat, lantai, bahkan kode lift yang ia dengar dari gosip kantor. Semua terasa seperti naskah hukuman mati.
Ia memejamkan mata sejenak. Menarik napas. Tapi napas itu pendek dan putus. Tenggorokannya kering. Ia tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi jika ia benar-benar datang.
Atau lebih parah—jika ia tidak datang.
Sesampainya di kantor, suasana tampak seperti biasa. Resepsionis menyapa, rekan kerja lalu-lalang, bunyi printer dan telepon bersahutan. Tapi bagi Gea, semua terdengar seperti gema jauh. Ia masuk ruangannya dan langsung duduk. Tangannya dingin, dan jantungnya berdetak kencang lagi.
Baru beberapa menit duduk, layar ponselnya menyala.
Notifikasi baru.
Satu pesan.
Dari nomor tak dikenal.
“Jangan lupa malam ini. Aku tidak suka diabaikan.”
Gea menutup mulutnya agar tak berteriak. Tangannya langsung gemetar, menggenggam ponsel erat-erat.
Itu dari Andito. Tidak ada nama. Hanya pesan singkat. Tapi cukup untuk membuat tubuhnya seolah tak punya tulang.
Ia ingin lari. Menjerit. Menghilang. Tapi ia tak tahu ke mana. Dan waktu terus berjalan, menyeretnya semakin dekat ke jurang yang menganga lebar di hadapannya.
Hari itu, Gea tidak bekerja. Ia hanya duduk, menatap layar laptop kosong, menahan air mata yang terus menggenang tapi tak boleh jatuh.
Sebab jika ia menangis, maka semua akan tahu bahwa hatinya... sedang runtuh.
