Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 2

Langit akhirnya pecah saat Gea melangkah keluar dari gedung tinggi yang menjulang angkuh itu. Rintik hujan turun perlahan, seolah turut menangisi apa yang baru saja dialaminya. Ia memeluk tubuhnya sendiri sambil berjalan cepat menuju halte terdekat. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban tak kasatmata yang menggantung di pundaknya.

Pikirannya kacau. Setiap kata yang diucapkan Andito terulang kembali, menggaung dalam kepalanya seperti mantra kutukan. Serahkan tubuhmu padaku... atau kulenyapkan keluargamu." Ancaman itu bukan hanya teror verbal. Dari caranya berbicara, dari sorot matanya, Gea tahu... pria itu serius.

Hidupnya yang selama ini ia jaga dengan susah payah, yang dibangun di atas prinsip dan kerja keras, kini terasa rapuh, rentan untuk dihancurkan hanya dalam satu kalimat.

Di dalam bus yang ia tumpangi, Gea duduk di sudut belakang. Jari-jarinya menggenggam tas kerja di pangkuannya, dan matanya menatap kosong ke luar jendela. Hujan semakin deras, mengaburkan pemandangan ibukota. Tapi tak ada yang bisa mengaburkan rasa takut yang kini menguasainya.

Ia memikirkan ibunya di rumah, yang selalu menunggunya pulang dengan makanan hangat dan senyuman lembut. Juga adik kecilnya yang masih duduk di bangku SMP, lugu dan penuh mimpi. Mereka tak tahu apa yang terjadi. Mereka percaya Gea aman di kantor, sedang meniti karier untuk mengubah nasib keluarga. Bagaimana jika mereka tahu bahwa seseorang mengancam hidup mereka?

Gea memejamkan mata. Dada sesak. Napas pendek. Ia merasa seperti tenggelam, seperti dikejar waktu dan bayangan kelam yang makin mendekat.

“Gea... kamu harus kuat. Kamu harus cari cara. Kamu nggak boleh kalah.” batinnya bergetar, namun tegas. Ia tahu, menyerah berarti menghancurkan bukan hanya dirinya sendiri, tapi semua orang yang ia cintai.

Bus berhenti. Gea turun dan berjalan pulang melewati gang sempit menuju rumah kontrakan kecil mereka. Saat pintu dibuka, aroma masakan ibu langsung menyambutnya. Hangat. Akrab. Tapi juga menusuk hati.

“Gea? Kamu basah kuyup, kenapa nggak bawa payung?” tegur ibunya cemas, menghampiri dengan handuk.

Gea hanya menggeleng, bibirnya bergetar menahan tangis. Ia tak sanggup menjawab. Tak sanggup berkata jujur.

Di kamar kecilnya, Gea duduk di ujung ranjang, tubuh masih gemetar. Ia membuka ponselnya dan menatap jam. Esok malam. Waktu yang diberikan Andito semakin dekat.

Dan di detik itu juga, Gea tahu satu hal: Ia butuh bantuan.

Tapi pada siapa? Siapa yang bisa dipercaya? Siapa yang cukup berani menghadapi sosok seperti Andito Pramana?

Dengan tangan yang masih menggigil, ia mulai membuka aplikasi kontak, matanya menelusuri satu per satu nama. Lalu ia berhenti di satu nama lama. Nama yang dulu hanya menyimpan luka, tapi kini mungkin satu-satunya harapan.

"Raka."

Mantan kekasihnya, yang kini bekerja sebagai jurnalis investigasi. Seseorang yang dulu ia tinggalkan demi menjaga keluarga dari risiko yang lebih besar.

Tangan Gea terdiam di atas layar. Ia ragu. Menghubungi Raka berarti membuka kembali luka lama, tapi... apa pilihan lain yang ia punya?

Tangannya akhirnya bergerak. Satu pesan ia ketik, pelan-pelan.

"Rak... aku butuh bantuanmu. Ini tentang sesuatu yang sangat berbahaya. Tolong, kalau kamu masih peduli... kita harus bicara. Segera."

Pesan terkirim.

Dan dengan itu, Gea memulai langkah pertamanya melawan sang iblis.

Gea menatap layar ponselnya. Sudah dua jam sejak pesan itu dikirim. Dua jam yang terasa seperti dua tahun. Tidak ada centang biru. Tidak ada balasan. Tidak ada tanda bahwa Raka membacanya.

Ia mencoba meyakinkan diri sendiri. Mungkin dia sedang sibuk. Mungkin ponselnya mati. Mungkin dia sedang di luar jangkauan. Tapi semua kemungkinan itu tak bisa menenangkan gejolak dalam dadanya.

Gea berdiri dan mulai mondar-mandir di kamar kecilnya. Lantai kayu berderit setiap kali ia berpindah langkah. Hujan di luar belum juga reda. Petir menyambar sesekali, memantulkan bayangan dirinya di cermin yang mulai berembun. Wajahnya pucat, rambutnya masih basah, dan matanya sembab oleh tangis yang tak lagi bisa ia tahan.

Ia menggigit bibirnya sendiri. Apa yang harus aku lakukan kalau Raka tidak menjawab? Apa aku harus lari? Tapi ke mana? pikirannya terus memutar, seperti kaset rusak yang tak tahu kapan harus berhenti.

Ponsel itu kembali ia ambil. Ditatapnya lagi nama itu: Raka Mahendra.

Dengan tangan gemetar, ia mencoba menelepon.

Satu dering.

Dua dering.

Tiga...

Empat...

“Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat menerima panggilan.”

Gea menurunkan ponselnya perlahan. Dunia terasa lebih sunyi. Lebih dingin. Dinding kamar seakan mendekat, menyempit, menghimpit tubuhnya hingga sulit bernapas. Ia terduduk di atas lantai, memeluk lututnya erat-erat.

Satu-satunya orang yang ia harapkan, tak menjawab.

Rasa takut mulai berubah menjadi panik. Paranoia. Bayangan akan kemungkinan terburuk membayangi kepalanya.

Bagaimana jika Andito sudah tahu ia mencoba meminta bantuan? Bagaimana jika pesan itu disadap? Bagaimana jika... sesuatu sudah terjadi pada Raka?

Gea menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menenangkan diri, tapi pikirannya menolak diam. Ia ingin berteriak, ingin menangis, tapi tak bisa. Yang keluar dari bibirnya hanya bisikan-bisikan doa yang lirih, penuh kepasrahan.

"Tuhan... tolong aku. Aku tidak tahu harus bagaimana..."

Ia kembali ke ranjang, menarik selimut hingga ke dada meski udara di dalam kamar pengap dan lembab. Ponsel tetap ia genggam, seolah menanti sebuah mukjizat kecil di layar itu. Tapi malam terus berjalan. Jarum jam terus berputar, tak peduli pada perasaan manusia.

Dan saat pukul menunjukkan 02.43, Gea tahu satu hal:

Besok malam semakin dekat. Dan ia masih sendirian.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel