01.09 Story A9
"Bun?" Revaro perlahan membuka lebih lebar pintu kamar ibunya setelah beberapa kali panggilannya tak ditanggapi. Meski pintu kamar itu terbuka, tapi lampunya sama sekali mati sedangkan jendela masih telanjang membagikan sedikit cahaya lampu otomatis luar ruangan. Lalu saat matanya beralih pada sisi kiri ruangan yang angkuh itu, terlihat ibunya yang meringkuk ditempat tidur dengan kedua kaki yang terjuntai ke arah lantai.
"Bunda!" Panggil anak itu lagi saat telah mencapai ibunya. Wajah tampannya seketika mendung saat rasa cemas terlihat menggantung. Pada celah sempit di sudut dalam mata ibunya yang terpejam tergenang sisa air mata.
Cahaya membuka matanya perlahan. Turut merasa cemas melihat kekhawatiran putra bungsunya. Lembut jemarinya meraih jemari lain dihadapannya meremas pelan penuh kasih sayang. "Udah pada pulang?" Tanyanya. Parau disuaranya meyakinkan Revaro bahwa air mata ibunya memanglah sisa tangis sebelumnya.
Revaro mengangguk. "Bunda sakit?" Tanyanya.
Wanita dihadapannya beranjak bangun dan duduk ditempatnya semula untuk merasakan air mata di mata kanannya terjatuh kejemari mereka yang masih bertautan. "Eh." Cahaya kaget sendiri merasakannya, lalu spontan tangannya yang lain menyeka wajahnya. "Bunda ketiduran begitu nyampe, kayaknya kecapean, tapi ngga apa apa." Katanya, mencoba menghapus cemas putranya. "Kakak mana?" Tanyanya kini.
"Masih di bawah, tadi pas dateng ketemu om Dede dan manggil kakak ngobrol." Jelas Varo.
"Om Dede mau urusin mobil kakak. Tadi dia bilang biar dia yang beliin." Jelas Cahaya, riang.
"Om Dede lagi ngerayu bunda lagi?"
Wanita itu mengangguk, tersenyum dengan gelinya "Om dede ingin ikut tender untuk apartemen lain lagi, kabarnya mau dikerjakan bulan depan."
"Padahal soal hotel dan cafe yang kemarin belum selesai, tapi bunda udah setuju."
"Siapa bilang bunda setuju?"
"Itu, om Dede udah mau beliin kakak mobil. Berarti dia udah sukses rayu bunda."
Cahaya tertawa pelan, "Iya sih, mudah disimpulin ya?"
Varo ikut tertawa, "Habis mereka pasti gitu, saat ada maunya dan bunda menolak, pasti mereka akan cari Varo atau kakak." Katanya, "Bunda jangan paksain diri ya." Lanjutnya lebih murung.
Cahaya mengelus lembut wajah putranya, "Iya. Bunda tahu. Ngga usah dipikirin, oke?"
Revaro mengangguk pelan, "Bunda juga, ngga usah terlalu mikirin Varo, maaf ya bun Varo kadang suka minta hal hal egois yang nyusahin bunda."
"Loh? Kenapa tiba tiba?"
"Soal sekolah dan lainnya, maaf, Varo kadang lupa bunda udah cukup lelah tanpa harus Varo ngeluh yang aneh aneh lagi." Sesalnya. "Tapi bunda boleh lupain kok, untuk special mission dan world fathers days nanti, Varo akan coba jalanin, soal projectnya toh Varo ada kakak yang bisa bantuin apa aja."
Cahaya tertegun sejenak, lalu hati hati meraih putranya kedalam pelukan. "Kamu yakin?" Tanyanya, Revaro mengangguk pelan, “Bunda ngga keberatan kok kalo seandainya harus minta ujian pengganti special mission kamu.”
“Ngga usah, bun, Varo yakin. Kali ini Varo ngga mau lagi lari atau sembunyi, lagian Varo masih punya banyak waktu untuk ngerjainnya.” Anak itu membalas erat dekapan ibunya.
"Bun, kok gelap sih?" Matheo menyela saat senyum lega dan sebuah pelukan Cahaya berikan untuk putra bungsunya. "Eh, kakak ganggu ya?" Lanjut Matheo.
"Ngga kok kak, sini masuk dan tolong nyalain lampunya." Kata ibunya.
Matheo menghampiri ibu dan adiknya setelah menyambar sebuah remote yang digantung di samping pintu. "Kamu kenapa lagi?" Tanyanya sambil mencubit gemas pipi adiknya setelah melihat wajah manjanya dibawah terangnya lampu kamar ibunya.
"Ngga kenapa kenapa kok." Bantah anak itu, "Emang ngga boleh meluk bunda!" Katanya, "Varo mau mandi dan tidur, ya." Lanjutnya saat melepas bundanya. "Bunda udah makan kan?"
"Iya, gih, nice dream ya." Kata Cahaya, "Bunda nanti akan minta kakak nemenin bunda makan sebentar, ya kak?" Lanjutnya. Matheo dan Revaro mengangguk sebelum anak itu meninggalkan ibu dan kakaknya.
"Bunda mau makan apa? Teo masakin ya." Tawar pemuda itu setelah adiknya berlalu.
Cahaya menggeleng, "Bunda nanti bisa makan pudding atau buah aja, tapi kakak temenin bunda, ya. Bunda ganti baju dulu."
"Kalo gitu kakak ke bawah duluan buat bikinin bunda salad, gimana?"
"Sound great. Makasih sayang."
Matheo berlalu meninggalkan kamar ibunya. Sesuai janjinya membuat semangkuk salad buah untuk ibunya dan dua gelas matcha hangat. Saat tadi dirinya melihat Varo dalam pelukan sendu ibunya, sekali lagi kekhawatiran menggema di hatinya. Adik kecilnya itu telah menanggung banyak kecewa dalam kehidupan sosialnya dan itu mengkhawatirkan bahkan hingga kini, sementara ibunya harus menanggung semua beban di pundaknya sendirian, tak ada yang bisa diandalkan untuk mengurangi sebagian dari hal itu bahkan dirinya sendiri yang malah masih menjadi salah satu beban ibunya.
"Thats look so delicious, kak." Kata Cahaya saat duduk dihadapan Matheo dan semangkuk salad buah. "Habis ngapain aja sore tadi?"
"Tadi Varo nemenin kakak ngajar Shani, lebih mirip main sebenernya, nongkrong di cake shop dan ngobrol santai." Jelas Matheo, "Maaf ya bun, kita ngga bisa nemenin bunda dinner, ternyata Shani tuh adenya Kila temen lama Varo. Makanya, pas tadi papanya jemput dan ketemu Kila, kita malah jadi diajak makan malam bareng."
"Oh ya! Bagus dong, Shani bisa lebih nyaman dengan kondisi itu."
Matheo mengangguk, "Kakak juga sempet cemas bun, apalagi saat dengar dan lihat sendiri seberapa introvertnya Shani di awal. Dan kakak juga seneng tadi ngajak Varo, anak itu malah lebih nyaman setelah Varo nengahin kita. Kalo boleh, kedepannya kakak akan sering sering ajak Varo ketemu Shani, bun?"
"Boleh. Kenapa ngga?" Kata ibunya, "Mereka toh satu sekolah dan mereka bisa temenan, it sound good, isn't it?"
Matheo tersenyum senang “Makasih ya, bun.” Katanya, “By the way.” Lanjutnya seraya menunjuk matanya sendiri, “Apa yang bikin mata bunda layu?”
Ibu dua anak itu menggeleng, “Bunda agak kurang tidur, sebenernya kemarin bunda dapet undangan dari Varo, special mission, world father day.”
“Iya bun, Shani juga sempet cerita soal itu tadi, katanya untuk pengganti utees ya. Varo mendung banget saat bahas itu.”
“Anak itu sempet minta di skip.” Cahaya tersenyum pada putranya, "Tapi kakak tahu, tadi Varo bilang sama bunda dia berubah pikiran?"
"Beneran, bun?" Tanya Matheo dengan gemilang pancaran senang di matanya, ibunya mengangguk riang, "Alhamdulillah, biarpun kakak bingung tapi kakak seneng banget dengernya."
"Yah, pada akhirnya anak itu punya pikiran pikiran yang bunda sendiri masih sering ngerasa bingung." Kata Cahaya, seraya menjauhkan sepertiga sisa salad yang tadi di nikmatinya. Sebelum menikmati matchanya, perempuan itu mendapatkan sebatang rokok dari samping gelas putranya dan menyalakannya di bantu Matheo. "Bunda masih bisa titip kakak untuk jaga dia? Bunda ngga selalu bisa ada buat Varo."
"Tanpa bunda harus minta, kakak akan selalu awasin Varo." Kata Matheo, asap putih yang keluar dari mulut dan cupang hidungnya meluncur seringan kata katanya, "Kakak janji, segera Varo akan jadi lebih baik diluar sana, bunda ngga perlu khawatir, dia saat ini selalu berusaha yang terbaik bahkan dari dulu."
Cahaya mengangguk pelan, "Jangan biarin dia berusaha terlalu keras juga kak, kakak juga. Menangislah sesekali sama bunda saat kalian terluka."
"Bukannya hal itu lebih baik buat bunda katakan untuk bunda sendiri." Senyum Matheo begitu hangat saat pria itu membelai punggung tangan ibunya, "Kakak dan Varo baik baik aja bun, bunda juga kan?"
Sesaat keduanya tersenyum dalam keheningan. Keduanya tahu, bahwa masing masing diantara mereka telah sama sama berusaha untuk satu sama lain dengan caranya masing masing.
"By the way." Cahaya melepaskan mereka dari sendu yang merangkul keduanya sesaat lalu, "Varo bilang kamu udah ketemu om Dede."
"Iya bun, tadi. Om Dede bilang akan urusin mobilnya besok."
"Apa jadinya?"
"Kakak sih cuma minta kapasitas empat yang ngga terlalu mencolok." Godanya. "Tapi, kalo boleh kakak tahu, om Dede minta apa kali ini sama bunda?"
"Kalian ini, kenapa pikiran kalian bisa selalu sama soal om Dede?" Cahaya tertawa geli sementara Matheo sedikit mengernyit, "Varo juga tadi nanya gitu, sama persis."
Matheo menyeringai kali ini, "Habisnya, om Dede dan om Gaga terlalu mudah di tebak, saat mereka lagi merasa bersalah atau ngga bisa dapet kesepakatan sama bunda, mereka selalu ngerayu kakak dan Varo, bahkan om Dion pun seringnya begitu."
Cahaya mengangguk santai, "Terima aja, om Dede akan dapetin berkali kali lipat saat bunda mulai garap tender baru bulan depan."
"Bunda yakin? Kerjaan bunda udah sangat banyak saat ini."
Cahaya tersenyum, "Ngga usah khawatir, ngga ada istilah banyak dalam kerjaan bunda, kamu fokuslah sama studimu dan Shani, dan bunda rasa kamu harus minta izin resmi sama ayahnya untuk melibatkan Varo dibanyak waktu mentoring Shani."
"Iya bun, malah tadi papanya Shani sendiri yang ngajak Varo langsung, katanya kalo Varo ada waktu, Kila juga akan nemenin kalo dia ngga ada kesibukan lain."
“Jadi ngga kayak tutor privat kalo kaya gitu, ya?”
“Iya sih bun, tapi ngga apa apa, kakak malah akan banyak kebantu kalo jadinya kayak gitu.” Matheo menyeringai lebar.
