01.08 Story A8
Cahaya merebahkan tubuhnya yang benar benar terasa pegal. Diliriknya jam di atas meja kurang dari lima belas menit menuju jam enam. Sisa cahaya senja sudah hampir benar benar hilang. Biasanya, dirinya akan menghabiskan waktu sejak satu jam yang lalu di meja makan bersama kedua putranya. Tapi malam ini, keduanya meminta izin untuk makan malam diluar tanpa dirinya.
Dia menutup kedua matanya, dengan punggung tangan kirinya agar dengan rapi tersembunyi dari sedikit cahaya yang menyelinap masuk ke kamarnya yang masih gelap dari beranda didepan kamarnya. Dalam kepalanya kembali berdengung permintaan Revaro untuk menghindari peringatan hari ayah sedunia. Dimana seharusnya di hari itu Revaro dan teman teman seangkatannya melakukan presentasi untuk special mission berupa daddy’s project. Yaitu project jangka pendek bertema sesuai pilihan siswa dan ayahnya sebagai pendamping, tentu saja presentasi itu juga akan melibatkan sang ayah jika dimungkinkan. Bagi Revaro, project itu seharusnya lingkup pelajaran Kepribadian dan Kemasyarakatan yang jadi konsentrasi utamanya pada tahun ini. Sungguh bidang yang berada diluar kemampuan otak matematis seperti Cahaya, maka meski dirinya dimungkinkan untuk menggantikan peran ayah itu, project ini akan sedikit menyulitkan, lagi pula Revaro sudah benar benar menolak untuk ikut terlibat. Maka tak ada cara lain baginya, selain bernegosiasi dengan sekolah untuk memohon project pengganti.
Perempuan itu bangkit tiba tiba. Meraih ponselnya yang tadi dia lempar ke sisi atas tempat tidurnya bersama ransel kecilnya. Dengan mantap jemarinya menyentuh layar pada rangkaian angka yang sudah sangat jelas dihapalnya meski tak pernah sekalipun mengisi memori kontak teleponnya.
Saat nada sambung terdengar, dengan gugup tangan bebasnya meraih bungkusan rokok terdekat dan dengan rusuh menyalakan satu batang dari dalam bungkusan. Lalu wanita itu memaksakan tubuhnya untuk bangkit dan keluar menuju beranda bersama semua rokok yang bisa dibawanya, karena hal itu yang bisa membantu menjernihkan pikirannya.
“Ya, Ay!” jawab pria diseberang saluran teleponnya. “Tumben banget lu telepon gua.” Katanya.
Cahaya terdiam sejenak, benar faktanya bahwa meski rangkaian nomor telepon pria itu selalu berderet jelas dikepalanya, Cahaya sendiri tak lantas sering mencoba menghubunginya. Bahkan hal itu selalu jadi hal terakhir dalam ingatannya.
“Cahaya?” panggil pria itu lagi, saat yang meneleponnya tak kunjung bersuara.
Menghembuskan seluruh asap dimulutnya bersama semua udara diparu parunya Cahaya membuka mulutnya “Sibuk, James?” tanya Cahaya, ragu.
“No, sweetheart. Gua baru aja selesai dinner.”
“Lagi sama keluarga?”
“Ada Lili dan Theresa, so yes, tapi mereka di dalam ruangan.” Kata pria itu, menjelaskan perihal keberadaan putri dan istrinya. “Ada yang bisa gua bantu, Ay?”
“Sorry, kayaknya gua ganggu.”
“No! Sama sekali ngga.” Bantah James, “Bahkan mungkin gua lagi nunggu nunggu telepon lu. Atau selalu.”
Cahaya mendengus dengan tawa mengejek, “Andai gua bisa percaya hal itu.” Katanya.
“Well, who knows.” James tertawa pelan, “Dan, ada apa gerangan baginda ratu tiba tiba ingat orang ngga penting macam gua.”
“Shut up, James! Gua bener bener perlu ngomong serius sama lu.”
“By Phone.”
“Ya, just by phone. Gua masih ngga bisa ketemu lu.”
“Dan apa yang mau lu omongin?” tanya James, masih terdengar santai meski saat ini dibalik percakapan keduanya masing masing memiliki ketegangan yang sama.
Cahaya lagi lagi terdiam sesaat. Pria yang tengah menerima teleponnya saat ini masih saja mengusik ketenangan hatinya. Bukan karena rasa cinta, bukan juga rindu bahkan bukan pula kemarahan dan kebencian, karena hubungan mereka bagi Cahaya tak mencapai taraf melibatkan perasaan itu. Tapi ingatan akan dirinya, dari senyuman bisu hingga gemerincing suaranya selalu saja cukup memberinya rasa bimbang.
Kebaikan pria itu mempesona. Keramahannya sungguh memabukan, dan ketampanannya tak perlu lagi dipertanyakan. Cahaya pernah berfikir untuk mencoba jatuh cinta padanya. Namun rupanya urusan yang satu itu benar benar tak bisa direncakan bahkan tak bisa diusahakan. Hingga pada akhirnya, kini hanya ada denotasi ambigu diantara komunikasi keduanya yang masing masing jabarkan dengan cara tersendiri, dan pihak lainnya belajar tak terlalu peduli pada arti yang diyakini oleh yang lainnya hanya agar tak terlalu saling menyakiti.
“Gua pengen tanya lagi sama lu, James.” Kata Cahaya, “Lu yakin ngga mau Varo?” tanyanya pedih.
James menutup kelopak matanya, hati hati menarik nafasnya yang terasa sesak saat satu nama itu didengarnya. “Sure, if that what you want, baby.” Katanya.
“Lu selalu jawab kayak gitu. Dan gua selalu cukup puas karenanya, tapi saat ini gua harus nanya lebih jelas, bukan karena apa yang gua mau, tapi apa yang lu mau.”
Hembusan nafasnya pun terasa menyakitkan, dan kini desah berat itu tak lagi disembunyikannya. “Saat pertama kali lu kasih tau gua tentang Varo, lu tahu pasti gua mau kalian.” Kenang James, “Sebelum pernikahan gua saat gua temuin lu, lu juga tahu gua masih mau kalian. Tapi bukankah kita sama sama tahu, lu yang ngga mau maafin gua.”
“Bukan ngga mau James, tapi buat gua memang ngga ada yang harus dimaafin dari lu.”
“Dan sampai hari ini lu masih nolak gua.” James tertawa geli, sangat hati hati.
“Sampai hari ini gua masih ngga tahu apa yang harus gua lakuin James. Biar pun keberedaan Varo adalah kehendak gua sendiri, tapi kadang banyak hal terjadi diluar kendali gua. Saat ini pun sebagian dari gua masih berfikir gua bisa atasi segalanya sendiri, tapi ada sebagian kecil lainnya yang juga berandai andai lu bagian dari kita disini. Apa lu pernah khawatir kalo ternyata Varo ngga butuh sekedar gua dalam hidupnya?” Kata Cahaya lalu keduanya terdiam, saling medengarkan dengan seksama tarikan nafas penuh kebisuan diantara keduanya.
Secara biologis, James adalah ayah Revaro. Tapi seperti yang telah dikatakan sebelumnya diantara Cahaya dan pria itu sejak awal tak pernah ada cinta yang berbicara, tidak juga hubungan berbau asmara. Murni hubungan sejawat, kedekatan pekerjaan dan ikatan simbiosis mutualisme. Meski pernah ada bentuk ketertarikan sepihak pada James atas Cahaya, yang membawa mereka pada malam malam kebersamaan diluar bentuk profesi, pada akhirnya Cahaya hanya menganggap pria itu alat pencapaian cita citanya. Termasuk cita cita bodohnya untuk menjadi seorang ibu yang menolak ikatan pernikahan dan hubungan asmara yang tak ada orang lain yang tahu. Dan bagi James Cahaya juga hanya teman tidur yang menyenangkan pada saat itu, murni kebutuhan biologis.
Sekali lagi, James adalah seorang pria yang tampan, selain itu dia juga sosok rekan kerja yang fair dan loyal bahkan dia juga seorang senior engineer yang pintar dan menyenangkan. Manusia sempurna dengan gen berkualitas tinggi yang akan menghasilkan turunan gen serupa. Darinya mudah dipastikan kelahiran bayi berparas rupawan, dengan kepribadian hebat dan kecerdasan memadai. Tepat seperti Revaro.
“Sweety.” James memecahkan sunyi mereka, “Lu selalu tahu apa yang mau lu lakuin. Karena itu gua ngga ragu sedikit pun saat lu bilang Varo milik lu.”
“Are you?”
“Ya, honey. I really know you. You were amazing woman, amazing mom, I really sure it. Lu pernah bilang, Varo adalah apa yang lu mau, dan Teo ngelengkapin keluarga kalian. So I surrender, tanpa beban.”
“Apa gua nyakitin lu?”
“Dikit.” Keluh James, riang. “Gila kalo gua sebagai ayah ngerasa ngga sakit saat dijauhin dari anaknya.” Jelasnya, “Tapi lu harus inget, babe, sejak awal kita ngga pernah ngerencanain Varo, tapi dibelakang gua, lu yang dengan penuh perhitungan ngerencanain itu semua diam diam.”
“Gua egois ya?”
“Iya. Itu udah pasti. But thats ok, baby, and i’ll wish you all the best, all of you.”
“Thank you, James.”
“Oh, sweety, andai lu tahu gua masih suka kangen sama cewek manja yang berbulan bulan pernah ngekorin gua dan manggil gua kakak dengan genitnya.”
Cahaya tersenyum mendengar kenangan yang dituturkan James. “Dan beberapa tahun kemudian cewek itu dateng dengan sombongnya, udah ngga manggil lagi lu kakak, dan bilang dia punya anak dari lu, tapi ngga butuh lu jadi bapak dari anaknya.”
“Yes she was, she’s so mean, isn’t she?” James tertawa riang, begitu pun Cahaya. “Tapi sejak awal gua tahu, lu ya kayak gitu. So, kali ini pun gua ngga akan khawatir sama kalian, walaupun sekali lagi gua akan bilang, call me whenever you need me, if you really need me, then i’ll came for you, ok baby.”
“Thank you, James, sorry for make this harder.” Sesal Cahaya. “I’ll sent him to you, as soon as I could.”
“And you know I’ll be waiting. Would be better if you came with them too.” Kata James, selalu dengan himpitan sesak.
“Night, James.”
“Night, Sunshine.” Kata James. Dan hubungan telepon itu berakhir selalu dengan Cahaya yang lebih dulu mengakhiri.
