Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

01.06 Story A6

Perempuan itu duduk di singgasananya dengan ekspresi datar yang biasa. Meski tumpukan dokumen pada meja dihadapannya seperti tak pernah berkurang, namun geliat lelah tak sedikitpun berkelebat dimatanya. Padahal malam sudah semakin tinggi, dan rasa pegal sudah mulai menggigiti lehernya. Namun sejak akhir acara makan malamnya tadi dengan kedua putranya wanita itu telah menghabiskan banyak waktunya diruang angkuh ini dalam kesunyian yang biasa.

Saat satu berkas dokumen diselesaikannya, matanya beralih pada selembar undangan berwarna Biru berkilauan yang terlihat saat perempuan itu akan mencari dokumen lain yang harus dikerjakannya, dimana, nama sekolah putra bungsunya dengan anggun tercetak dihalaman mukanya. Kartu undangan itu diperolehnya beberapa jam lalu saat dirinya berpamitan pada Revaro (setelah terlebih dahulu menemui Matheo) untuk kembali ke kantornya yang terletak beberapa langkah saja dari rumah mereka.

Seolah dengan berat diraihnya undangan yang tadi sempat dilihatnya bersama Revaro, perasaan dalam hatinya masih sama beratnya seperti beberapa jam lalu. Fathers Day. Tertulis paling besar dihalaman kedua undangannya.

Pada sistem pendidikan yang ditempuh anak itu saat ini, parenting ikut ambil bagian didalamnya. Sehingga memungkinkan perayaan hari ayah dan hari ibu dilakukan dengan melibatkan personalnya secara langsung dalam kegiatan belajar mengajar. Meski lebih dikhususkan pada siswa di tingkat primary, namun kondisi keseluruh tingkatan yang berada dalam satu lingkungan membuat program itu benar benar dilaksanakan secara universal di semua tingkatan yang ada.

Saat wanita itu masih larut dengan pikirannya terkait undangan ditangannya, seorang pria mengetuk daun pintu ruangannya dan masuk begitu saja tanpa menunggu sahutan karena tahu tak akan ada yang menjawab. Setelah bertahun tahun bekerja sama dengan wanita yang seolah tanpa urat jengah itu, dirinya tahu saat sudah mulai bekerja, konsentrasi ibu dua anak itu tak akan mudah disela.

Begitulah Aya yang dikenalnya. Lahir dengan nama Cahaya Tunggal Semesta, nama yang sedikit tak biasa, yang memiliki sifat mutlak didalamnya, seolah kehebatan adalah karakter utama didalamnya. Dan begitu pula memang dirinya.

Berusia hampir tiga puluh tujuh tahun, menjadi cahaya tunggal bagi kedua putra tampannya juga menjadi pusat semesta pada perusahaan yang dipimpinnya. Begitupun kedua putranya dan perusahaan yang digenggamnya, ibarat semesta bagi dirinya dan dia adalah cahaya tertingginya, satu satunya.

“Gua pikir lagi garap apa?” pria itu kini duduk di hadapan sang pemilik meja yang benar benar terperanjat karena kehadirannya, “Lagi bengong ternyata.” Lanjutnya.

Cahaya menghela nafasnya, reda dari keterkejutannya. “Kapan dateng?” Tanyanya, sementara tangannya meletakan undangan yang tadi ditatapnya seolah tak acuh terhadapnya.

“Apaan nih?” Pria itu meraih dengan cepat undangan itu tanpa sempat dicegah Cahaya, menatapnya sebentar saja sebelum mengembalikannya ke atas meja.

Sesaat keduanya saling pandang, dengan kecamuk pikiran masing masing.

Gaga Muhammad Badiyah. Pria itu adalah teman Cahaya sejak bertahun tahun lalu. Komisaris pada perusahaan dimana Cahaya menduduki kursi direktur utama. Juga salah satu pendiri perusahaan yang mereka – Cahaya dan Gaga – dirikan bersama satu orang lagi teman seperjuangan mereka yaitu Deriyan Destan (panggilan Dede). Sudah seperti kakak bagi Cahaya dan lebih daripada sekedar mengenal seperti apa dirinya.

Bukan hanya masalah kehebatan Cahaya yang membuatnya tak ragu menyerahkan nasib perusahaan mereka ke tangan ibu dua anak itu saja yang Gaga tahu. Juga bukan sekedar seberapa gemilang isi kepala kecilnya saja yang Gaga yakini dari Cahaya. Lebih dari itu kebersamaan bertahun tahun mereka bahkan sejak sebelum perusahaan mereka berdiri tujuh tahun yang lalu sedikit banyak telah mengajarkan Gaga kekuatan sekaligus kelemahan wanita dihadapannya.

Tentunya, tak ada manusia sempurna didunia ini, juga tak ada kehidupan yang benar benar mulus sepenuhnya. Sebagai contoh, sebut saja Gaga, meski terlahir dalam keluarga sederhana namun ayahnya cukup berpengaruh, memberi pria itu warisan yang tak terduga saat sang ayah tiada, yaitu kepercayaan beberapa orang besar terhadap ayahnya, yang menjelma menjadi satu kesempatan dan tambahan satu keberuntungan sehingga dirinya bisa mendirikan perusahaan mereka hingga seperti sekarang.

Perusahaan apa yang dimaksud? Katakanlah penyedia konstruksi Grade Tinggi, dengan anaknya yang masih bergerak dibidang terkait meski dengan cara kerja berbeda. Dapur suaminya adalah penyedia fisik, sementara dapur istrinya menyediakan desain. Tapi kedua hal itu hanya payung utama. Karena suami istri itu dengan cara alami melahap banyak potensi dan melahirkan beberapa bidang komersil sebagai anakan mereka.

Beberapa artinya tidak hanya satu. Karena kata beberapa seharusnya mewakili nilai yang tak bisa diisyaratkan dengan jumlah jemari pada sebelah tangan. Dan memang anak dari suami istri matrealistis itu adalah lima sektor komersil di tingkat menengah. Kuliner, media informasi, pendidikan keahlian khusus, penyediaan hunian dan fashion. Bagaimana bisa seperti itu, akan dijelaskan lain waktu secara lebih terperinci, yang pasti sejak terlahirnya tujuh tahun yang lalu hingga saat ini, semesta ketiga orang yang memiliki tujuh pintu itu memiliki nama Cbet (dibaca Svet) Corp. Yang dengan pasti terus dan semakin bersinar karena kegemilangan tunggal sang Cahaya.

Jika Cbet Corp terus benderang, lalu apa ketidak mulusan dan ketidak sempurnaan hidup Cahaya, Gaga dan Dede? Hal itu adalah, ketidak beruntungan yang dengan baik disembunyikan oleh ketiganya dibalik kesuksesan perusahaannya. Bagi Gaga itu adalah kekuatan mutlak seorang suami, pria itu apapun alasannya selalu kalah galak oleh istrinya, bagi Deriya adalah ketidak mampuan menjadi seorang ayah, limabelas tahun lebih rumah tangganya tanpa ada mulut kecil untuk diberi makan dan bagi Cahaya justru hal itu adalah tak adanya kepemilikan waktu menjadi seorang istri.

“Apa kata Varo?” tanya Gaga menyikapi undangan yang membuat wajah adik adikannya tampak sepuluh tahun lebih tua.

“Dia minta surat sakit untuk tanggal itu. Dan permohonan ujian pengganti.” Jelas Cahaya.

“Dan lu setuju?”

Cahaya mengangguk, tak ada pilihan. “Varo masih sentimen sama hal itu, dan segala sesuatu yang melibatkan kehadirannya. Jadi dari awal dia kasih liat undangan gua udah tahu apa yang dia mau. Makanya, keputusannya udah jelas.”

Gaga menghela nafas, "Lu tahu apa yang sekarang justru gua pikirin, Ay?" Tanya Gaga, Cahaya menggeleng pelan, "Lu perlu satu kepala lagi buat ikut mikir bareng lu, dan satu hati lagi buat nimbang keputusan."

"Maksudnya?"

"Gua tahu lu figth banget jadi orang, tapi ketika semua masalah yang lu hadepin berkaitan dengan anak anak segimana pun lu struggle tetep aja gua bisa lihat lu oleng."

Cahaya menggeleng, menyangkal.

"Ini yang gua liat loh ya. Lu bisa narik tapi lu masih butuh yang dorong, lu bisa lembut tapi lu butuh juga keras, dan mungkin lu bisa berkuasa tapi lu tetep butuh ngayom. Dan sendirian kayak gini terlalu berat buat lu."

"Jangan mulai lagi deh, a."

"Dengerin dulu. Lu harus bisa terima, biarpun banyak yang berhasil jadi ibu single parent di luar sana, tapi lu ngga akan bisa nyangkal ada yang kurang di anak anak mereka."

"Matheo udah cukup dewasa, dan dia juga bisa selalu support adiknya."

"Tapi anak itu ngga akan bisa ngeforce dan ngepush adiknya sekuat bapaknya."

"Gimana pun mereka emang ngga punya bapak."

"Tapi lu bisa aja kasih mereka figur yang serupa."

"Lu sendiri tahu, nyari sosok begitu tuh ngga mudah."

"Ya entah, lu mah pacaran aja ngga pernah." Kata Gaga, mengingatkan Cahaya yang langsung terdiam. "Lu ngga harus langsung menikah kan Ay. Lu bisa mulai aja satu hubungan, bikin koneksi antara lu, cowok yang lu rasa cocok dan anak anak lu atau mungkin sama anak anak cowok itu juga. Karena buat usia lu dan kalo gua inget Teo, pasti kecil kemungkinan lu dapet yang single."

"Terus?" Tanya Cahaya skeptis.

"Ya kalo lu sama dia bisa jadi paket komplit yang bisa diterima semua pihak, baru lah lu bersuami lagi."

"Repot lah. Lagian Matheo atau Revaro baik baik aja kok selama ini."

"Didepan lu." Kata Gaga, "Saat di belakang emang lu tahu?"

"Lu sendiri tahu emang, a?" Tantang Cahaya.

"Lebih tahu dari lu."

"Maksud lu?"

"Bahkan Varo pun berharap lu ngga se-strong lu yang sekarang. Dan Teo pernah bilang umumnya blended tuh repot karena anak anak yang ngga mau, bukan orang tuanya kayak kasus lu sementara anak anaknya justru berharap banget."

"Ngarang." Cibir Cahaya

"Whatever." Gaga bergidik tak acuh, "Gua udah coba kasih tahu sama lu, kalo keberadaan lu sendiri pada akhirnya ngga cukup buat jagoan jagoan lu." Jelasnya.

“Oke, skip!” pinta Cahaya. Dan Gaga tahu mereka tak akan membahasnya lagi hingga waktu yang tak bisa ditentukan.

“Oke, sorry!” pinta Gaga, mengalah untuk kesekian kalinya. Karena pria itu tahu, Cahaya tak menjadi seorang istri bukan karena tak mampu. “By the way lu udah makan?” tanya Gaga langsung mengalihkan mereka dari topik sebelumnya.

Cahaya mengagguk, “As you know, gua selalu makan bareng anak anak.”

“Sure is. Lalu gimana kabar Teo, beberapa hari ini gua ngga liat anak itu?”

“Belakangan dia berangkat bahkan tanpa sarapan, selama ujian kemarin dia lebih milih makan dikampus dari pada kejebak macet dijalan.” Jelas Cahaya, “Dan kebetulan lu nanya, dia pengen pinjem mobil buat sementara?”

“Kenapa emang sama mobilnya?”

“Ngga kenapa kenapa, cuma dia butuh mobil buat kerja sambilan.” Jelas Cahaya sesuai dengan apa putranya jelaskan.

"Anak itu kerja?"

Cahaya mengangguk, "Guru private. besok dia mulai, dan orang tua anak itu minta anaknya jangan dibonceng. Tapi Matheo malu bawa mobilnya, ngga be aja katanya. Jadi sampe gua beliin dia mobil baru, dia pinjem mobil dari sini."

Gaga mengangguk enteng, “Pake lah kalo gitu, ntar gua akan bilang Dede soal anak itu, jadi ngga usah lu yang beliin dia mobil.”

Cahaya mendelik, menatap cukup lama pada pria dihadapannya dengan mata penuh selidik. “Kali ini apa lagi mau kalian?” tanyanya.

Gaga tertawa, tanpa ada jawaban beranjak dari tempat duduknya dan melangkah menuju pintu, “Nanti lu juga tahu sendiri.” Katanya, “Selamat lembur, jangan terlalu maksain diri. Gua akan disebelah sama Dede kalo nanti lu butuh kita.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel