01.05 Story A5
Revaro duduk menghadapi makanannya yang berbaris rapi di atas meja makan. Sementara 120o dihadapannya, bunda yang baru saja turun dari kamarnya juga menemaninya. Waktu makan malam mereka memang sudah tiba, tapi tak ada seorang pun yang sudah mulai makan. Keduanya masih menunggu sang kakak, yang saat bunda tiba beberapa menit lalu dan langsung bergegas kekamarnya untuk membersihkan diri, memberi tahu Revaro dia akan segera tiba dan meminta mereka untuk menunggu.
Ruang makan mereka mungkin terbilang luas, bersebelahan dengan dapur kotor yang dipisahkan oleh sebuah dinding tebal setinggi sepertiga tinggi langit langit yang difungsikan sebagai meja penyimpanan.
Namun ruangan itu hanya terisi oleh satu meja makan berbentuk bulat, yang meski diameternya cukup lebar namun hanya memiliki tiga kursi. Ruang makan paling egois yang disengajakan untuk hanya mereka bertiga menikmati makan nikmat penuh keakraban, yang sebisa mungkin harus dihadiri mereka terutama pada saat sarapan dan makan malam.
"Assalamualaikum." Kata Matheo, terengah.
"Kok lari lari gitu?" Tanya ibunya kini.
"Kirain udah ditinggal." Matheo berjalan pelan menghampiri meja makan, seperti biasa mengusap acak rambut adiknya lalu memeluk dan mengecup singkat pipi ibunya sebelum duduk di tempatnya.
Tak buang buang waktu, seperti malam malam biasa dan umumnya, Matheo memimpin ritual meja makan, doa singkat ungkapan syukur sebelum ketiganya mulai menikmati makanan yang bi Aci siapkan untuk mereka.
"Gimana hari kalian?" Tanya sang bunda, saat ayunan demi ayunan sendok mengantar makanan ke mulut mereka dan meneruskannya sampai ke lambung. “Sekolah Varo baik baik aja kan?”
“Not bad.” Jawab Revaro, “Varo bisa selalu bisa ngikutin sih, tapi kadang baca literasi masih agak susah ketimbang penjelasan langsung.” Jelasnya.
Memang sejak masuk Sekolah barunya, satu satunya kesulitan Revaro adalah pemahaman akan buku literatur yang terkadang memiliki bahasa rumit dibanding percakapan langsung. Dan rupanya, meski enam bulan lebih telah berlalu hal tersebut masih saja kadang menyulitkan.
Entah siapa yang bilang bahasa asing aktif lebih lebih sulit dipelajari dari pada yang pasif. Yang pasti, yang mengatakannya jelas tidak memahami bahwa berbahasa pasif bermakna memahami. Apa itu berupa ucapan kalimat, perkataan juga teks termasuk literasi.
Jelas, jika kembali pada sifat memahami dapat dikatakan berbahasa pasif memiliki tingkat kesulitan yang bahkan lebih tinggi dari sekedar berbahasa aktif yang artinya mampu berbicara atau mengungkapkan.
“Just make it flow, ngga usah buru buru.” Kata satu satunya wanita di ruangan itu lagi, “Nanti juga kamu akan makin terbiasa, semester kemarin terbukti diatas harapan bunda. Dan bunda rasa kakak juga banyak bantu kamu kan, Ro.”
Varo mengangguk, menyetujui apa yang dikatakan ibunya. Tapi kakaknya tanpa sengaja mendapatkan momen yang tepat untuk memberi tahukan satu berita yang terjadi sore sebelumnya.
“Kebetulan.” Matheo mengawali dengan riang suaranya, ibu dan adiknya menoleh menunggu kelanjutannya, “Kakak sebenernya punya satu cerita, dan kakak rasa situasinya pas banget.”
“Apa itu kak?” tanya bundanya tenang.
“Mulai besok kakak akan kerja sambilan, mentor bahasa.” Jelas Matheo, “Dan yang kakak ajar itu adik kelas Varo loh.”
“Oh iya, kok bisa?” tanya Varo penasaran.
Tapi ibu mereka sedikit mendung, “Kenapa tiba tiba kerja sambilan, kuliah kakak bukannya cukup berat?” tanyanya.
“Ngga kok bun, malah santai banget.” Jelas Matheo, tentu saja dengan sedikit rayuan disuaranya, juga pada setiap kata selanjutnya, "Kakak kerja cuma dua jam sehari bun, tiga hari dalam seminggu, jadi ngga akan ganggu kuliah, dan karena yang kakak ajar satu sekolah sama Varo, kakak juga sekalian bisa bantu Varo.” Lanjutnya, “Dan kebetulannya lagi, kasus yang dialami Varo sama anak itu juga sama, soalnya dia anak transfer seperti Varo.”
“Kelas berapa kak? Primary kah, atau middle?” tanya Revaro.
“Primary.” Jawab Matheo, “Karena dia transferan public School juga, jadi tahun pertama dia akan di evaluasi di grade keempat. Sama kayak kamu yang harus mengulang setahun di middle buat evaluasi transisi.”
Revaro ber o o ria. Anak itu sempat kecewa saat penerimaannya disyaratkan dengan memasukkannya ketingkat Middle, yang artinya satu tahun mengulang meski dari segi usia telah mencukupi untuk dia masuk grade berikutnya. Tapi setelah mendengar penjelasan kakaknya, dia merasa sedikit terhibur karena itu artinya apa yang dia tempuh adalah hal normal.
Lagipula, meski dia tak kesulitan dengan materi belajar yang dia terima saat ini, tapi separuh dari isi buku pelajaran yang dia gunakan sekarang cukup membuat rasa malasnya bangkit. Dan anak itu berfikir, memang sebaiknya satu tahun ini dia gunakan untuk membiasakan dirinya sebelum tahun depan memasuki jenjang selanjutnya.
“Jadi maksud kakak selama kakak ngajar anak ini kakak akan bawa Varo?” tanya Revaro lagi.
“Namanya Shanea” kata Matheo seraya menganggukkan kepalanya, “Kalo Varo mau, kakak udah cocokkan jadwal ngajar diselisih jam bubar kalian yang ngga terlalu jauhan.”
Revaro tersenyum senang, “Ya mau lah, kakak belakangan keliatan sibuk sendiri. Varo suka ngga enak mau ngerepotin.” Keluhnya.
“Apa sih, biasanya juga tinggal bilang kan.”
Revaro dan kakaknya masih berbagi keakraban lewat perbincangan seputar waktu mereka belakangan sementara ibu mereka sedikit berfikir keras tentang peristiwa sederhana sesaat lalu.
Kemudian, "Kamu kerja karena perlu uang tambahan, kak?" Tanya sang bunda.
Matheo menoleh pada ibunya, lalu menggeleng pelan "Ngga kok, bun. Kakak jadi mentor soalnya kakak pikir lumayan buat pengalaman dan siapa tahu bisa kepake buat kebutuhan kedepan. Boleh kan?"
Wanita itu sedikit memiringkan kepalanya, “Well...” katanya sedikit berfikir, lalu dua detik kemudian. “Tapi jangan terlalu maksain diri apalagi sampe kerepotan dan kecapean.”
Matheo tersenyum, “Aman bun, tapi...” katanya, yakin di awal kemudian ragu ragu, “Boleh kakak pinjem mobil kantor tiap jadwal ngajar?” tanyanya, “Ayahnya Shanea katanya ngga mau anaknya di bonceng. Lagian kalo sama Varo juga ngga mungkin pake motor. Praktisnya kan, kakak jemput mereka aja sekalian disekolah.”
"Mobil kamu kenapa?" tanya bundanya.
Matheo meringis, "Maaf ya bun, kakak agak malu bawanya kalo sendiri, apalagi buat dibawa kerja sambilan. Agak kurang cocok kayaknya." Katanya, dalam kepalanya terbayang continental GT-nya yang selalu mencolok, bahkan dikampusnya sekalipun.
Bunda tersenyum maklum, "Oke." Katanya ringan, "Sementara kamu pakai dulu mobil kantor, besok biar bunda bilang om Gaga. Nanti kamu tentuin mau beli mobil apa, bunda pikir kamu perlu mobil yang 'be aja', iya ngga?" Katanya dengan sebelah mata yang mengedip genit.
Matheo tersenyum malu malu sementara Revaro mengernyit bingung, "Mobil 'be aja' itu yang gimana, mobil kakak kan udah B?" Tanyanya.
Matheo tertawa dengan bundanya, tak bisa menjawab pertanyaan sibungsu mereka yang masih tak faham nilai uang diusianya sekarang. Jelas saja, ibu mereka bersikeras untuk tak terlalu mengajarkan Revaro hal itu, dan kakaknya pun tak keberatan.
