01.03 Story A3
Pemuda itu menatap pria dihadapannya. Dalam fikiran dia menebak berapa usianya, mungkin sebaya bunda atau sedikit diatasnya. Dalam posisi duduk santainya dia sungguh penuh pesona pria dewasa juga wibawa para dewa dalam mitologi dan cerita. Wajah tampannya sedikit kelewatan, tapi tak sama sekali berhiaskan jejak kecantikan yang umum ditemui di wajah yang sudah melebihi tingkat tampan.
Fashion yang dikenakannya sempurna, nyaris all high class, tentunya menilik situasi rumah ini, sejak pintu masuk tadi hingga ruang kerja ini, tingkat kemapanannya sudah bisa diperkirakan selevel dengan ketampanannya.
Hanya senyumnya yang sedikit hambar dan terukur, seolah dalam hidupnya dirinya tak pernah tertawa dengan hati. Dan rupanya dibalik tegas sorot mata dan tatapannya tersembunyi ratapan sepi dan kesenduan yang terus mengalir, enggan berlabuh atau menghilang terbawa air mata.
Verdicta Geino. Adalah seorang advokat. Yang secara ekslusive diupah perjam oleh perusahaan asing yang kebetulan berdomisili lokal. Lulusan dari universitas swasta elit setempat yang saat ini jadi tempat pemuda itu menempuh pendidikannya juga. Cukup terkenal dikalangan para alumnus yang dikenalnya melalui lingkaran ikatan alumni, juga bagi beberapa profesor kenalannya. Salah satu contoh manusia yang lahir dan tumbuh dalam keluarga berada, dikaruniai fisik sempurna bernilai di atas rata rata dan kecerdasan yang tak sekedar biasa.
Kehadiran dua orang putri dalam kehidupannya menambah nilai kenikmatan penuh berkah dari sang kuasa disamping kegemilangan karirnya yang luar biasa. Satu saja bagian yang hilang dari hidupnya yang memberinya lubang menganga tak kasat mata jauh dalam hatinya, yang membuatnya tak mampu lagi memaknai arti tertawa dari hati. Dan hal itu adalah sebuah status yang disandangnya. Ya, Verdicta Genio yang tampan adalah seorang Duda.
“Matheo kan?” tanya sang Dewa, lalu pemuda itu mengangguk, “Santai aja, bukan wawancara resmi kok.” Lanjutnya, Matheo mengiyakan dengan lugas. “Kamu boleh panggil saya om kalo itu terasa lebih nyaman, dan saya mungkin panggil kamu...?”
“Teo, om.”
“Sesuai dugaan.” Tebak Verdicta dengan suara dan senyum yang ringan, riak wajahnya tetap sama datar nyaris tanpa keramahan, lebih tepat dikatakan acuh tak acuh.
“Bagi kamu mungkin ini sesi wawancara, tapi sebenarnya untuk om ini hanya ritual kenalan biasa.” Sang advokat kembali bersuara tetap dengan ketenangan yang sedikit tak wajar. “Lupakan soal profesionalitas, akhir sesion ini tak lebih dari pendekatan emosional. Apa itu diperbolehkan?”
Matheo tersenyum sopan, hangat tapi penuh etika. “Tentu om, silakan, saya rasa om sudah lihat resume saya sebelumnya. Jadi sesi perkenalan langsung saya rasa tak masalah.”
Verdicta tersenyum lagi, dengan cara datarnya lagi. Sekilas ditatapnya pemuda tampan dihadapannya. Muda, cerdas dan beretika. Pengalaman puluhan ribu jamnya sebagai seorang advokat yang tentunya membuat dirinya telah terlibat dengan begitu banyak jenis manusia mematangkan penilaiannya terhadap kesan pertama seseorang. Dan dalam dua detik pengamatannya pria itu tahu, pemuda dihadapannya bukan sekedar mahasiswa pekerja sambilan.
Penampilannya yang rapih dan didukung dengan dengan beberapa brand berkelas. Wajah yang tak hanya tampan tapi juga terawat dengan baik bahkan terlihat dari kulit ditubuhnya serta kuku dijarinya. Dan jangan lewatkan binar pintar pada sorot mata hangatnya yang sejatinya didukung oleh eksistensi pendidikan dari almamater yang dipegangnya. Ketiga hal itu tak bisa semua orang memilikinya.
“Pertama, om ingin tahu motivasi kamu. Untuk anak psikologi sepertimu sedikit aneh kamu memilih kegiatan ini sebagai pekerjaan sambilan.” Pria itu kembali melepaskan husky voicenya yang penuh wibawa, “Sebagai catatan, om lihat diresume kamu tentang seberapa konsistennya kamu dengan perolehan beasiswamu, apa alasan utama kamu dipekerjaan ini adalah uang?”
Matheo tersenyum lagi, berbicara dengan advokat khususnya yang menyandang status duda seperti pria yang ada dihadapannya, tentunya memang tak bisa basa basi. Pertanyaan barusan tepat ke intinya. Dengan kata lain, ‘apa kamu bersedia mengajar putriku hanya karena uang?’ dan dengan demikian pertanyaan lanjutannya adalah ‘apa kamu akan melakukan apapun hanya untuk uang?’. Uang telah menjadi dasar bagi banyak hal, seperti contohnya adalah sifat picik dan kejahatan.
Matheo menggeleng pelan, "Saya mengerti maksud pertanyaan om, sejujurnya jawabannya ngga. Kebutuhan hidup saya Alhamdulillah sudah sangat terpenuhi, bunda bahkan terlalu royal bagi saya.” Kenangnya penuh kebanggaan, “Dan untuk beasiswa, ada motivasi lain dibelakang upaya saya mendapatkannya setiap tahunnya, tentunya buka besaran yang saya peroleh karena bahkan tanpa itu pun saya ngga akan terbebani biaya kuliah." Jelasnya, lancar, lugas dan penuh keyakinan. "Untuk motivasi, hampir ngga ada hal khusus sebetulnya, saya seneng ngajar. Itu saja."
"Kalo senang, kenapa ngga kuliah di keguruan?"
"Banyak pertimbangan memang, tapi pada akhirnya untuk profesi, saya sudah menentukan pilihan." Tutur Matheo penuh percaya diri, "Untuk memuaskan rasa ingin tahu om tentang motivasi saya, katakanlah ini hobi dan sarana pembelajaran saya kedepannya."
"Bukankah ini pengalaman pertama kamu sebagai mentor?”
“Secara resmi, memang om. Tapi sejak saya sekolah saya sudah sering mengajar dalam kegiatan dan aksi sosial. Dan hingga sekarang saya masih merasa hal itu menyenangkan.”
“Berarti kamu sudah sangat terbiasa dengan anak anak. Apa kamu punya saudara?”
“Satu orang adik, om. Laki laki, usianya sekitar tujuh tahun di bawah saya.”
“Cukup jauh juga ya rentang usia kalian. Seperti anak anak om, karena itu adiknya ngga selalu bisa mengejar kakakknya, padahal kakaknya selalu berusaha untuk meraihnya.”
Matheo sedikit termenung mendengarnya, “Apa mereka tidak akrab?”
Pria itu menggeleng pelan, “Sangat akur, hanya saja adiknya terlalu introvert. Sejujurnya jurusan kuliahmu adalah alasan pertama om memilihmu dari beberapa rekomendasi mentor yang om terima, almamatermu adalah alasan setelahnya.” Jelasnya, “Om harap kamu bersedia mendengar sedikit cerita, karena om fikir ini akan jadi bekalmu jika kamu lanjut jadi mentor nanti.”
“Silakan, om. Dengan senang hati.”
“Shanea yang akan kamu mentori, seperti kamu tahu dia setara kelas lima saat ini, sementara kakaknya baru saja masuk esema.” Tutur Verdicta, “Shanea mungkin akan sedikit merepotkan, meski dia baru saja kelas lima, sekolah ini adalah sekolah keempatnya.”
Sesaat Matheo terkejut, namun dengan cepat kembali mengendalikan perasaannya, “Maaf, apa ada masalah yang dialami?”
“Emosinya sedikit kurang bagus, cenderung moody dan seperti tadi om bilang agak tertutup dan agak mudah tersinggung. Dia juga kurang bisa akrab dengan teman seusianya, mungkin karena usia kakaknya jauh diatasnya.”
“Terdengar seperti adik saya, hingga kini teman terbaiknya mungkin hanya saya dan bunda.”
Pria itu mengangguk pelan, “Seandainya om boleh minta satu hal?”
“Silakan om.”
“Om harap kamu jangan terlalu bercerita tentang bunda saat bersama Shanea, hal itu sangat sensitif baginya.” Katanya pilu, “Kedua putri om sudah tak bisa lagi bertemu ibunya, Shanea bahkan belum sempat mengenalnya dengan jelas, mungkin karena hal itu dia memiliki sifatnya saat ini.”
Saat cerita singkat tanpa prolog itu usai, Matheo menemukan alasan atas kekakuan tak berujung pada gerak gerik pria dihadapannya. Dia telah cukup lama dibuat sendirian oleh kematian.
Sementara itu didetik yang sama, narator sesaat itu sekejap terbawa pada dunianya sebelum hari ini, yang dimulai entah kapan tepatnya, saat dirinya menemukan gadis yang dimatanya terlihat tawa bocah lugu menggemaskan yang akan tumbuh dalam asuhan mereka. Padahal saat itu keduanya masih sama sama sangat muda, tapi sengatan kecil elektron diantara keduanya menjelma menjadi medan magnet yang selalu saling tarik menarik mengabaikan segala media yang menghalangi pertemuan dua kutub mereka. Apa itu pola pikir, etnis budaya, keyakinan dan agama, bahkan kondisi fisik yang sejak lama telah diramalkan.
Absurd, namun eksis, katakanlah itu cinta.
Dimana, cinta itu yang telah meniadakan segalanya mencapai lap yang disebut dengan pernikahan bahagia. Penuh romansa dan kasih sayang, bertabur pengertian dan kesabaran, bahkan menekan peluang keretakan awal usia, dari seratus menjadi mendekati nol.
Tentu saja bahagia dan indah, hingga mencapai titik kelahiran Shanea. Ramalan kondisi fisik itu mulai terlihat akhirnya. Kecemasan mulai memakan kebahagian, kesabaran meningkat pesat berkali kali lipat dan ketabahan mulai berdiri dibaris terdepan pertahanan, yang sayangnya pada tahun ketiga senyum lugu Shanea, senandung bahagia pernikahan yang selalu menghangatkan udara dirumah mereka itu hilang bersama alunan requiem.
“Saya turut berduka, om.” Sesal Matheo
“Terima kasih, tapi ngga masalah, kejadiannya sudah sangat lama, bagi om dan si sulung hal itu sudah tak jadi apa apa, tapi bagi si bungsu sangat berbeda, berkali kali dia meminta meninggalkan sekolah karena merasa tersinggung dengan teman temannya yang sering menyinggung hal itu.”
Matheo terdiam sesaat, pikirannya kembali pada adiknya yang juga pernah mengalami hal yang sama. Satu kali dia meminta pindah sekolah karena teman temannya yang menggunjing dan mengoloknya, dan kedua kalinya dia memilih sekolah yang tak mungkin jadi pilihan teman temannya karena gunjingan yang kembali terjadi, lalu kini anak itu memilih sekolah yang lebih private karena merasa tak mau lagi berurusan dengan pandangan umum yang lumrah terjadi di sekolah biasa yang berisi siswa pada umunya.
“Dengan alasan itu om memasukan si bungsu ke sekolah yang sekarang, meski itu artinya dia terlambat setengah tahun dan mungkin harus kembali beberapa tingkat. Jumlah siswa yang terbatas, ragam latar belakang yang lebih luas dan bahkan bahasa dan tradisi yang lebih berwarna om fikir bisa mengurangi resiko cara pandang umum yang selalu membuatnya merasa ter-bully secara mental. Dan om rasa hal itu cukup berhasil.” Jelas Pria penuh wibawa itu lagi.
“Kendalanya adalah, bahasa pengantar yang digunakan umumnya adalah bahasa Internasional dan itu baru diperolehnya ketika dia mulai sekolah. Semester kemarin, saat tiba waktunya ujian, kami cukup kewalahan membantunya belajar. Waktu om yang terbatas, dan kemampuan kakaknya yang belum cukup membuat om memerlukan bantuan kamu sebagai rekannya berlatih, tapi bagaimana pun om ingin kamu bisa memahami seperti apa Shanea selama kamu menjadi mentornya, sebagai anak psikologi, om rasa kamu mengerti apa maksudnya.”
“Insyaallah, saya faham om. Dan kalo boleh saya bilang saya jauh lebih bisa mengerti dari yang om harapkan. Bukan mengada ngada, tapi apa yang Shanea rasakan, saya yakin seperti apa yang pernah adik saya rasakan. Meski sampai lulus esempe dia masih bisa bertahan di public School, tapi karena perasaan dibully yang sama akhirnya untuk esema dia memilih sekolah yang lebih private. Alasannya justru karena dia tak ingin lagi ada yang berbisik dibelakangnya tentang papa yang tak pernah kami kenal.”
Pria itu sedikit tertegun, “Bunda yang superior.” Katanya hampir seperti bisikkan, “Om tahu seberat apa rasanya, apalagi dia wanita.”
Matheo mengangguk, sekali lagi senyumnya penuh kebanggaan. “Jadi kalo saya boleh merekomendasikan diri, saya akan katakan, saya bisa jadi mentor yang tepat sebagai pilihan.”
Pria itu mengagguk setuju, “Om harap begitu.” Katanya, “Tapi, satu hal lagi, sebagai jaminan, om ingin meminta akta kelahiran kamu untuk om simpan selama bulan bulan awal hingga om merasa evaluasi terhadap kamu cukup. Bisakah?”
“Kenapa harus akta kelahiran, om?” tanya Matheo, gugup, “Ngga cukupkah dengan kartu identitas biasa atau mungkin pasport?”
“Bukan mencurigai, om yakin kamu anak baik, tapi katakanlah antisipasi. Om punya dua orang putri di rumah ini, yang satu remaja, dan satu lagi bahkan masih bocah. Sementara kamu laki laki, dan sudah dewasa. Sebagai laki laki dan orang tua tentunya om tetap harus berhati hati, minimal om tahu siapa yang bertanggung jawab atas kamu.”
Pemuda itu sekali lagi mengangguk pasrah, mengakui kebenaran ucapan pria dihadapannya, pada akta kelahiran tentunya tertulis nama asli orang tua. “Maaf om, saya ngga akan bisa memberikan akta kelahiran saya, tapi jika memang om berkenan menerima saya menjadi mentor, sebagai jaminan yang om inginkan saat nanti saya datang lagi saya akan bawakan om surat adopsi saya.”
