01.02 Story A2
“Varo.” Shakila berlari kecil menghampiri pria yang sudah menjadi teman sekelasnya selama tahun pertama dan bersama kembali di tahun ketiga itu.
Varo adalah panggilan untuk Revaro dari teman teman yang cukup dekat dengannya juga dari keluarganya (seperti Matheo yang sering dipanggil kak Teo yang jadi satu satunya keluarga Revaro yang dikenal Shakila). Pemuda tampan (pada fase usia ini seorang gadis sudah bisa menentukan nilai ketampanan begitupun pemuda telah mengenal kecantikan, kan?) bermata tipis itu, dengan ketenangan sikapnya yang biasa berdiri sendiri di lobby depan tanpa terlihat punya niat untuk duduk santai di jajaran bangku permanen di dekatnya.
Hari ini, teman pria yang pada banyak hari hari sebelumnya di kebersamaan mereka selalu terlihat lebih unggul dari teman teman prianya yang lain karena entah kenapa pembawaannya lebih dewasa itu, tampil lebih keren (Shakila belum bisa lebih jelas mengatakan elegan pada saat ini) dengan tanpa seragam birunya.
Karena baik dirinya juga Revaro dan teman teman lainnya, pada hari ini dianjurkan oleh sekolah untuk hadir dengan pakaian formal non seragam. Dan pemuda itu justru tak tanggung tanggung memilih setelan hitam dengan aksen bordir merah darah pada rompi bergaya eropa tradisional yang mengganti fungsi jas umumnya. Hasilnya dia berada pada barisan pendek pemuda paling enak dilihat dibanding mereka yang memilih batik dan jas resmi asli, dan merasa tak nyaman sendiri dengan pilihannya itu.
Namun, beberapa menit yang lalu, Shakila melihat Revaro menyelinap menjauhi ruang kelasnya setelah mereka meninggalkan aula yang penuh euphoria bahagia seremonial kelulusan. Bagaimana pun, anak itu tahu dirinya tak akan bisa terlibat dalam acara serah terima dokumen yang menjadi bukti prestasi akhir masa studinya di jenjang ini, karena tak ada wali yang mendapinginya seperti teman temannya yang lain di dalam ruangan yang dilewatkannya.
“Selamat ya buat kelulusannya, dan gelar lulusan terbaiknya.” Ucap Shakila saat kini keduanya telah punya jarak yang cukup dekat. Pada upacara resmi tadi telah diberitahu jumlah lulusan yang mencapai 100% pada tahun ini dan 10 terbaik diantara para lulusan dimana pemuda itu justru jadi yang terbaik diantara yang terbaik diangkatannya.
Gadis itu memilih duduk tak jauh dari Revaro.
Tangan tangan dengan jemari putih lentiknya dengan cekatan merapikan lipatan lipatan rok hitam selutut yang dikenakannya, yang dengan ringannya melambung kecil tertiup hembusan pelan angin saat dirinya mengambil sikap menyilangkan kaki.
Revaro justru menolehkan wajahnya saat lipatan rok terakhir diletakkan pada tempatnya dan menampilkan sedikit pemandangan kulit putih mulus diatas paha Shakila yang membuatnya tersipu sendiri.
“Iya, kamu juga.” Kata Revaro, sesaat sebelum rona merah pucat dipipinya memaksanya kembali memalingkan tatapan dari gadis disampingnya. Tentunya Shakila sama sekali tak menyadari hal itu. “Makasih juga, karena udah jadi temen Varo sepenuh hati.” Lanjutnya saat panas dipipinya telah berangsur pulih.
Kali ini, wajah Shakila yang justru dibuat terbakar. Namun kalimat Revaro itu diketahui keduanya sebagai hal yang bukan berupa metafora atau pun hiperbola bahkan tanpa retorika.
Kalimat itu adalah senyata nyatanya ungkapan terima kasih Revaro untuk Shakila yang diantara semua teman yang dikenalnya, mungkin hanya gadis itu satu satunya yang tak pernah menambah nambahi senyum di depan mata Revaro sementara merubah sudut senyuman itu ketika sudah dibelakang punggungnya.
Shakila mengangguk pelan “Kamu lagi nunggu kak Teo?” tanya Shakila. Gadis itu sudah benar benar tahu, bahwa kakak tampan Revaro itu selalu jadi orang nomor satu yang menangani segala urusan adiknya. Sungguh, kakak yang baik hati itu benar benar tampan dan menyenangkan.
“Iya.” Revaro mengintip jam di pergelangan tangannya. “Kak Teo bilang bakal datang jam sepuluhan. Tapi ini udah lewat hampir satu jam.” Keluhnya, dengan lesu pria itu menyandarkan punggungnya pada tiang yang tak jauh darinya.
Gestur alaminya itu membuatnya terlihat sangat menawan, seolah dari banyak sudut, blitz kamera akan menubuatkan penampilan penuh pesonanya dalam pilihan setelan terakhirnya disekolah ini.
Disela oleh bunyi tak asing dari dalam tas kecil bertali panjang yang menggantung nyaman dipundaknya, Shakila mengeluarkan ponselnya yang berbunyi. “Papa.” Bisiknya, lalu melirik pada Revaro yang mengangguk saat mata gadis itu meminta izin untuk menerima panggilan.
Shakila juga sendiri. Pikir Revaro.
Meski keduanya tak mengaku soulmate atau sahabat. Tapi anehnya masing masing diantara mereka cukup sering berbagi cerita seputar diri mereka yang bersifat cerita non publik meski tak mencapai tahap intens dan mendalam. Namun pada akhirnya Revaro tahu, gadis bernama Shakila Geino ini tumbuh bersama ayahnya yang berprofesi Advokat, dan seorang adik perempuan berusia enam tahun dibawahnya, sementara ibunya meninggal saat Shakila masih duduk di bangku SD.
“Papa kamu juga belum dateng ya?” tanya Revaro saat Shakila mengakhiri percakapan teleponnya dan kembali fokus padanya.
Shakila mengangguk, “Papa baru berangkat dari sekolah Shani.” Katanya, setahu Revaro begitulah cara Shakila memanggil adiknya, “Anak itu lagi lagi dapat masalah disekolahnya.”
Revaro dapat melihat kesedihan dimata Shakila. Selalu begitu bila sudah membicarakan kejadian tak mengenakan yang di alami adiknya.
Apa yang pernah dialami Revaro rupanya dialami adik Shakila. Bukan karena wajah yang tak mirip ibu, tapi gadis kecil itu justru didiskriminasi karena dirinya tak punya ibu.
Sangat jahat, kan? Bagaimana mungkin wajah wajah polos nan lugu itu tahu tata cara mendiskriminasi bahkan membully sesamanya. Terutama dengan menjadikan sesuatu hal yang tak dimiliki objek bully dan diskriminasi sebagai alasan dibelakang tindakannya. Memang siapa yang mau pagi hari kehidupannya tanpa dihadiri seorang ibu seperti adiknya Shakila, atau seperti dirinya yang tak pernah mengenal ayahnya?
Tapi sungguh, jangan pernah meremehkan kekejian dihati murni anak anak. Cukup hanya disulut dengan sepotong saja kalimat gunjingan licik, atau beberapa kata dasar makian kotor dikuping mereka, sifat itu akan lahir, tumbuh dan siapa yang tahu akhirnya seperti apa.
Sayangnya, terkadang para ibu lupa caranya menjaga lidah basah mereka didepan anak anaknya terutama bila telah bertemu sesama ibu ibu lainnya.
“Dia akan pindah sekolah lagi?” tanya Revaro, saat Shakila mengangguk dia ingat ini adalah cerita pindah ketiganya.
Pemuda itu memang tak tahu separah apa yang dirasakan adik temannya, tapi tentunya dia bisa mengingat seberapa sesak dadanya saat teman teman disekolah pertamanya mengatakan dirinya bukan bagian keluarga yang dikenalnya.
Hal itu membuatnya benar benar membenci sekolahnya dan elemen elemen yang berkaitan dengan sekolanya itu dengan kebencian yang tak bisa dia artikan. Bahkan hingga bunda meyakinkan dirinya adalah seasli asli bagian dari mereka, dengan cara mengungkap fakta yang sama menyakitkannya. Saat fakta menyakitkan itu akhirnya bisa diterima olehnya, Revaro tetap saja ingin membuang semua yang berkaitan dengan sekolah lamanya.
Hal serupa yang dialami adik Shakila pun terjadi di sekolah barunya. Kali kedua itu Revaro ditindas karena tak punya ayah seperti anak anak umumnya. Dan hal itu setengah kondisinya terjadi lagi di tiga tahun terakhirnya disekolah yang sama dengan Shakila.
Lantas apa dan siapa yang salah? Jika kacamata disematkan dengan benar pada kasus dirinya dan adik Shakila itu.
“Papa kali ini akan pindahin Shani ke private school.” Katanya, “Padahal dia baru mau kelas lima, tapi ini sudah pindah yang ketiga kalinya. Karena itu papa pikir private mungkin bisa jadi yang terakhir.”
“I hope so.” Kata Revaro, “Disana pastinya jauh lebih kondusif. Varo pikir ragam kultur, bahasa dan background dari jumlah siswa yang terbatas, akan dengan sendirinya bikin apa yang dialami Shani hilang.”
“Kamu yakin?” tanya Shakila, Revaro mengangguk anggukan kepalanya membuat gadis itu tersenyum lega.
“Varo sih mikir kayak gitu, makanya kali ini Varo juga pilih sekolah gitu.”
“Kamu akan masuk private school?” Shakila merasa ragu pada makna dari apa yang didengarnya.
Baginya Revaro menjalani tiga tahun waktu didekatnya dengan sangat baik. Sungguh tak terlihat alasan bagi pria itu memilih sekolah dengan jumlah dan kualifikasi siswa terbatas semacam itu. Tak peduli dirinya tahu akan apa yang dialami Revaro sebelum bertemu dengannya.
Revaro mengangguk, “Varo kayaknya udah bosen nutup kuping dari pedesnya bisik bisik di belakang punggung.” Katanya separuh berbisik, senyum datarnya tetap saja tak mengurangi nilai tampannya.
Shakila termenung sesaat. Teringat beberapa kali dia memang pernah mendengar celotehan tentang perbedaan kontras Revaro dan sang kakak dengan ibunya, atau tentang dirinya yang tak punya ayah, juga tentang wajahnya yang sangat tidak pasundan, hampir tak Insulinde. Bahkan saat diingat lagi, beberapa hal itu juga pernah saling disangkut pautkan dengan beberapa hal lain dan membuat terdengar semakin mengerikan (karena pada tingkat usia pendidikan ini mereka sudah mengenal istilah wanita simpanan dan anak haram).
Padahal didepan Revaro senyum mereka itu justru begitu manis, bahkan tak jarang gadis gadis yang berbicara buruk itu adalah mereka yang mengaku fans Revaro, dan anak laki lakinya yang juga tak lain adalah mereka mereka yang sering berusaha merapat kesisinya.
Bagaimanapun Shakila dapat dengan terang melihat wajah yang terkadang keterlaluan tampannya itu mudah saja membakar pipi pipi tak tahu malu teman teman gadisnya hanya dengan lengkung tipis senyum terdatarnya. Belum lagi kepintarannya yang diketahui hingga kesetiap sudut tersempit sekolah mereka itu tak pernah bersifat pelit tapi juga tak ingin merendah.
Tanpa sadar Shakila bergidik mengetahui seberapa mengerikannya cuap cuap ringan teman temannya yang diiringi tawa canda dan perasaan lucu rupanya bisa sangat menyakiti Revaro yang saat ini. Hingga terlihat jelas dimatanya kegetiran saat kalimat ungkapan hatinya dia katakan barusan. Dan terasa menyakitkan, saat dirinya menyadari adiknya dan Revaro muda justru mengalami hal ini di usia yang jauh lebih belia.
“Bunda?” suara Revaro yang biasanya rendah tiba tiba saja melengking begitu tinggi, mengagetkan Shakila dan menariknya dari renungan sesaat barusan.
Sebuah Convertible berwarna hitam mengkilat dengan emblem B angkuh bersayap menarik perhatian Shakila dan beberapa orang disekeliling mereka. Seorang wanita dengan gaya yang begitu ‘match’ dengan Revaro hari ini keluar dari kursi depan penumpang dengan anggunnya dan disambut girang oleh Revaro, sementara kakaknya, Matheo, yang memegang kemudi segera meluncur menuju tempat parkir saat pintu yang tadi meloloskan wanita di sampingnya tertutup.
“Apa bunda telat?” tanya wanita itu pada Revaro yang berhambur kepelukannya.
“Banget.” Keluh Revaro manja. “But don’t mind, Varo malah ngga nyangka bunda akan dateng. Ayo kita ambil berkasnya dan segera pulang.” Anak itu sedikit menarik tangan ibunya.”
“Wait, Ro.” Protes ibunya, “Tunggu kakak sebentar.”
“Hmmh.” Desahnya mewakili keluhan Revaro saat matanya menangkap sosok Shakila yang mematung ditempatnya dan sedikit terlupakan, “Ops, Varo lupa bun.” Sekali lagi anak itu menarik lengan ibunya, menghampiri Shakila, “Ini loh Shakila.”
“Halo cantik, apa kabar?” sapa wanita itu seraya melepas kacamata lebar dari wajahnya, “Varo sering ceritain kamu, akhirnya kita bisa ketemu.”
“Halo tante, apa kabar?” balas Shakila gugup.
“Baik sayang, sesuai ceritanya, seperti namanya, cantik ya.” Kata wanita itu lagi pada putranya yang tak menyangkal.
Setelah tiga tahun berteman dengan Revaro sungguh dirinya baru tahu sisi manja dari pria itu. Syock sedikit melandanya. Bukan hanya karena kesan cool Revaro yang tiba tiba sirna, atau karena mobil asing yang terlihat mewah yang mereka bawa yang tak pernah diduga selama ini karena baik Matheo atau Revaro begitu simple, tapi juga karena penampilan sang bunda yang terlalu muda, juga wajah bahkan gaya dan pembawaan dirinya, untuk menjadi ibu dari Matheo yang kata adiknya sekitar tujuh tahun lebih tua dari dirinya.
Tentu saja, meski namanya sering dia dengar dari Revaro atau pun para Guru (tak sengaja mendengar para guru bergossip beberapa kali) tapi sungguh baru kali ini, Shakila bertemu wanita yang dipanggil bunda oleh dua kakak beradik tampan yang cukup akrab dengannya itu. Dan wanita itu memang sungguh diluar dugaan.
Lihat saja celana setengah pahanya yang memamerkan jenjang kaki panjang eksotiknya dibalik boots tinggi itu, atau blazer ketat berlengan dua pertiga panjang normalnya diatas blouse turtle neck putihnya yang seolah transparan itu, bahkan fedora dikepalanya yang hanya punya rambut lurus dan halus berwarna kontras itu.
Ayolah, meski kota ini selalu dikatakan sebagai Paris – nya Javanesse, tapi tak semua permukaan tanah dan jalan merupakan catwalk. Bagaimana bisa seorang wanita dua anak (khususnya jika satu anaknya sudah berada ditingkat kuliah) bisa tampil sebaik ini? Apalagi wajahnya yang dihiasi tatapan yang menusuk tajam langsung ke dalam perasaan. Senyum hangatnya pasti tak semua orang bisa merasakannya.
“Halo, Kila.” Sapa Matheo yang baru saja bergabung dengan ibu dan adiknya, pandangannya sedikit berkeliling ke belakang Shakila yang makin terpana dengan penampilan keluarga dihadapannya, mereka benar benar cocok satu sama lain, bahkan baju yang mereka kenakan jelas satu kesatuan meski masing masing berbeda, dan itu pasti bukan kebetulan.
“Kakak nunggu disini aja, ya Bun?” pinta Matheo pada bundanya. Pria itu menduga, seperti adiknya yang pastinya sempat gelisah karena yang ditunggu tak kunjung datang, begitu juga perasaan dibalik wajah cantik yang sedikit mendung dihadapannya ini.
“Well, oke kalo gitu.” Kata wanita itu, sangat cuek. “Come on, Ro. Kita selesaikan urusanmu dan pamit yang bener sama seragam biru.” Lanjutnya lalu berlalu dengan tangan ramping yang menggandeng mesra lengan putranya.
“Kamu belum pulang?” tanya Matheo, menarik perhatian Shakila yang sepenuhnya pada ibunya.
Shakila menoleh kikuk, lalu menggeleng gugup, “Papa belum datang.” Katanya pelan.
“Kakak pikir cuma Varo yang sendirian di upacara kelulusan.” Kata Matheo iba, sedikit banyak dia tahu bahwa Shakila memiliki nasib yang serupa dengan adiknya, dengan dirinya. “Mau kakak temani untuk pengambilan berkas?” tawarnya.
“Makasih, kak. Papa udah di jalan kok.”
“Syukurlah.” Pria itu membelai singkat kepala Shakila yang merasa jantungnya akan segera meledak.
