Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

01.01 Story A1

Anak itu berjalan pelan menyusuri jalan yang terasa jadi teramat pajang saat kakinya melewati gerbang masuk. Hari pertama di sekolah baru ternyata memang mengerikan sehingga otot tipis sekitar tulang rusuknya bergetar hebat dihantam ratusan kali permenitnya oleh getaran ruang yang meliputi jantungnya. Terutama karena dia tahu akan banyak orang asing yang ditemuinya yang kedepannya akan menjadi temannya atau malah musuhnya atau mungkin yang akan dianggap bukan siapa siapa oleh dirinya.

Bocah tampan yang tengah merasa gugup disetiap ayunan langkahnya itu, sebelas setengah tahun yang lalu terlahir dengan nama Revaro Abram Semesta. Dan seperti bocah lain seusianya, dirinya tak pernah menduga akan mengalami kegugupan semacam ini, karena masa kecilnya terasa damai dalam usia kanak kanak meski pada fase setelah kehidupan balitanya, kulitnya mulai ditempeli banyak bekas luka yang dia dapat karena imajinasi tak terkendalinya, yang membuatnya memerankan perananan pahlawan atau pun penjahat dalam film kesukaannya bersama teman temannya dengan keseruan khas bocah lugu.

Revaro kecil mengenal sepasang orang tua yang dia panggil dengan sebutan ibu dan baba, serta dua orang kakak yang dia panggil yunda kepada perempuan tertua diantaranya dan kakang pada pria termuda kedua setelahnya. Dengan mengetahui dirinya adalah yang termuda ditengah keempat keluarga yang dikenalnya, Revaro yang saat itu belum mengenal kata terbekahi dapat merasakan sifat itu dengan jelas. Tanpa merasa ragu sedikit pun pada ikatan kekeluargaan diantara mereka meski dirinya terkadang bingung mengapa yunda dan kakang bisa begitu berbeda dengan dirinya sekaligus begitu mirip di waktu yang bersamaan.

Membingungkan. Apa yang berbeda dan apa yang sama? Pertanyaan itu pada akhirnya dia mengerti saat dirinya menjalani tahun ketiga dengan seragam merahnya. Yang sama adalah yunda dan kakang memiliki wajah yang tak mirip, namun mata mereka adalah hasil cetakan yang sama (jika kompisisi wajah itu eksis dengan cara dicetak), sementara dirinya kadang merasa mirip yunda tapi foto masa kecil kakang hampir serupa dengan foto dirinya, yang pasti matanya jelas kreasi dari ciptaan yang berbeda.

Dan sepasang mata Phoenix yang dia miliki juga bukan jiplakan ibu bahkan baba. Pada saat itu, dirinya belum mengetahui di luar sana banyak bocah seusianya yang memiliki mata atau pun wajah dengan pola yang sama, dan masyarakat umum menyebutnya ‘Cina’ atau ragam sebutan lain seputar mereka. Khusus untuk dirinya suatu hari nanti dia akan mengetahui bahwa sebutan yang pas untuk aliran darah pada tubuhnya yang menciptakan wajah tampan penuh ke-khas-an miliknya adalah ‘Peranakan’.

Hari ditahun ketiga sekolahnya itu terus berlalu, perlahan tapi pasti mematangkan dengan halus bentuk wajah polos tampannya. Yang sayangnya semakin hari semakin dengan jelas menjauhkan dirinya dengan sifat mirip dari ibu dan baba, bahkan kakang. Dan mulai menegaskan bahwa dirinya pelan pelan menjadi duplikasi yunda dalam sosok bocah pria berkulit kuning pucat (warna kulit yunda lebih gelap, lebih eksotik) berumur seperbeberapa usianya.

Ya, pertanyaan besar lain yang menganggangu saat kesadaran pertama dia peroleh justru adalah rentang usia puluhan antara dirinya dan yunda sementara hanya terpaut satu digit kecil saja antara yunda dan kakangnya. Sedikit aneh mengingat beberapa kali dia berusaha menghitung bahwa usia ibu dan baba tak lebih dari tiga kali usia yunda dan kakang tapi tak kurang dari enam kali usianya.

Lalu, diawal tahun keempatnya ada kesedihan yang diam diam ditanggungnya. Teman temannya menyadari dua kesadarannya pada tahun sebelumnya, kerap mengguyonnya dengan hal hal itu saat ibu dan baba serta kedua kakakknya tak ada, dan dengan dalam melukai hatinya meski tak pernah sama sekali ditunjukannya. Baginya mereka yang sudah jadi keluarganya adalah mereka dengan posisi mereka seperti pada mulanya dia mengenal mereka, tak bisa jadi berbeda.

Sementara itu di tahun yang sama, yunda membawa kakak itu. Kakak tampan berusia setengah usia kakang yang dengan lucu memanggil yundanya dengan sebutan bunda. Bagaimana bisa seorang dengan dua kali usianya memanggil yundanya dengan sebutan bunda (dan sejujurnya jauh dalam hatinya ada perasaan iri yang tak bisa diutarakan, entah kenapa)? Sebocah apapun dia, Revaro tahu pasti bahwa dua kata yang hanya memiliki satu perbedaan huruf itu sejelas jelasnya memiliki penyebutan dan pengertian yang berbeda. Kata bunda lebih membawanya membayangkan ibu dibanding yunda.

Meski tak terlalu menunjukan perasaan terganggunya, tapi bocah itu tak pernah tak bertanya tanya dalam hatinya mengapa semua itu membingungkannya, terutama karena yunda sendiri memperkenalkan kakak tampan bernama Matheo yang memanggil kakang dengan dengan sebutan amang itu sebagai kak Teo. Dengan kata lain bukan keponakannya melainkan kakak. Lagi pula, entah bagaimana caranya kak Teo itu lebih mirip dengannya dibanding dengan yang lainnya.

Ditengah segala kebingungan itu, pertengahan tahun menjadi saat terburuk bagi Revaro dan teman teman serta sekolah berseragam merah putih pertamanya. Mulut usil yang membisikkan kesadaran kesadaran lamanya rupanya bukan hanya dimiliki bocah bocah berseragam disekolahnya, tapi bahkan hingga para dewasa berseragam cokelat dan tak berseragam diluar lingkaran sekolah semakin sering mengguyonnya. Revaro yang saat itu dengan alaminya telah begitu akrab dengan kak Teo karena mungkin rentang usia yang tak terlalu jauh, pada akhirnya melepaskan semua beban dihatinya yang dia tanggung selama lebih dari satu tahun kebelakang. Dan hal itulah yang memicu diluncurkannya sebuah misil bermuatan fakta ke hadapannya.

Pernahkah terpikirkan fakta apa yang paling menyakitkan jika itu disembunyikan?

Ya, itu adalah fakta tentang jati diri kita sebenarnya.

Tapi disini, kondisi sakit itu tak akan terlalu dijabarkan. Yang pasti, pada tahun dan bulan yang sama setelah curahan hatinya yang menyakitkan didengar kak Teo – nya tersayang, Revaro mendapati dirinya telah menerima (setelah berhari hari menyangkal dan menolak berbicara pada seluruh keluarganya kecuali pada kak Teo tercinta) bahwa yundanya pada kenyataannya adalah bundanya. Dan langkah pertama setelah penerimaan itu adalah dirinya membiarkan ibu dan baba melepaskan dirinya untuk dibawa oleh bunda dan kak Teo kerumah bunda yang bukan rumah ibu dan baba.

Lalu hari ini, setelah dirinya sempat meninggalkan sekolah berseragam merah pertamanya kesekolah berseragam merah keduanya yang dia jalani selama dua setengah tahun dengan kondisi yang hampir serupa meski tak ada orang dewasa yang turut mendesiskan lidah beracun mereka, Revaro telah bertekad untuk menguatkan hati untuk selama tiga tahun penuh dalam balutan seragam biru berlabel sekolah yang sama. Apapun yang dia alami selama rentang waktu itu.

Bukan tanpa alasan dirinya memilih sekolah menengah yang kini tengah dijelajahi dengan langkah gontainya, tapi lebih karena tak banyak teman semasa sekolah lalunya yang memilih sekolah ini, mungkin malah sama sekali tak ada. Kakaknya, yang membantunya memilih sekolah ini, dan bersama dengannya juga dirinya meyakinkan bunda untuk mengijinkannya masuk ke sekolah ini meski jaraknya dari rumah cukup jauh.

Beruntung sekolah yang dimasuki kakaknya sangat dekat dari sekolah pilihannya sehingga bunda bersedia mengupayakan agar dirinya bisa masuk sekolah tersebut dan menabrak cukup banyak aturan persekolahan dengan jaminan dari sang kakak, bahwa dirinya akan sebisa mungkin tetap menjaga dan mengawasi adiknya semampunya selama keduanya tak dalam pengawasan bunda, paling tidak di tahun pertamanya ini.

Anak itu terus mengayunkan langkahnya di lorong yang masih cukup sepi, mencari papan nama ruangan yang tertulis di buku panduan pesertanya. Kakaknya adalah panitia orientasi siswa baru disekolahnya sehingga dirinya harus berangkat sepagi kakaknya jika ingin berangkat bersamanya.

Dan jika tidak, artinya bunda akan membuatnya dikawal ketat pak supir dengan salah satu mobil bunda yang tak nyaman dikendarai kesekolah, khususnya di hari pertama masuk sekolah, karena sangat mudah menarik banyak perhatian.

Keuntungan baginya, dengan berangkat sepagi tadi dari rumah dirinya bisa jadi siswa yang datang awal dan bisa mencari kelas serta tempat duduk dikelas nanti dengan tenang.

"Tujuh ef." Gumamnya didepan kelas bertuliskan 'VII - F' pada papan nama yang tergantung dipojok kanan atas kusen depan pintu. "Bismiillah Hirrahmaan Nirrahiiiiiim." Bisiknya. "Jaga hamba ya Rabb." Penuh harap dalam bisikkan doanya.

"Eh." Revaro terkejut mendapati seorang gadis berkucir ekor kuda telah berada di dalam kelas. Seragam merah putih yang dipakainya, serta atribut konyol yang sama dengan yang dikenakannya sesuai dengan arahan dalam buku panduan peserta meyakinkannya bahwa gadis itu juga siswa baru seperti dirinya.

"Hai." Gadis itu berdiri tiba tiba, tampak kaget. Sesaat didetik awal tadi terlihat dirinya tampak melamun cukup dalam.

Dua hingga tiga detik saja bocah dipintu itu menyelidik. Si gadis yang berdiri kikuk menopang sebagian kecil berat tubuhnya pada kedua tangan yang bertumpu tegang di atas meja. Wajah bulatnya merona lugu, sementara ujung kunciran rambutnya melompat lompat dengan halus.

Ada sedikit getar di singkat suara sapanya, ada tipis kilat gentar disetengah kosong tatapan yang lurus mengarah padanya. Dan dia tahu, gadis itu memiliki perasaan yang kurang lebih sama dengan yang dia rasakan.

"Hallo. Anak kelas ini juga?" kata bocah pria itu.

Gadis itu tersenyum kikuk, "Tujuh ef?" Katanya, tak jelas antara bertanya atau menjawab.

Senyum yang sama kikuknya dia lemparkan pada gadis yang masih mematung penuh keraguan di baris kedua jajaran bangku siswa bagian tengah itu. "Iya, sama." Katanya, lalu mulai melangkah mendekati gadis itu hingga cukup dekat untuk sekedar menjulurkan tangannya kehadapan gadis itu. "Revaro." Katanya dengan maksud memperkenalkan diri.

Pipi merona, hentakan kencang irama jantung, keringat tipis ditelapak tangan dan suara yang bergetar mengiringi upaya satu nama singkat yang diucapkannya. "Shakila." Ucap gadis itu.

Formalitas terbatas, basa basi setengah hati atau lebih tepatnya dorongan pengakraban diri karena perasaan rindu dibebaskan dari tekanan perasaan sepi di tempat asing memotivasi keduanya untuk saling mendekatkan diri tanpa ada sedikit pun kecurigaan bahwa dengan tujuan lain dan cara yang penuh misteri, kedepannya, mereka akan diceritakan untuk lebih lama menapaki usia bersama.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel