bab 4
Happy Reading!!!
***
“Uncle mau coba pegang gak? Tadi aku baru selesai pakai masker payudara. Itu manfaatnya bisa bikin dada aku kencang dan berisi. Menurut aku pribadi sih cukup efektif. Tapi gak tahu deh. Aku juga belum lama pakainya,” cerocos Salvia tanpa sedikit pun rasa malu, seolah apa yang dikatakannya bukan sesuatu yang aneh. Sayangnya itu berhasil membuat Devan panas dingin. Tubuh bagian bawahnya pun bereaksi cepat, membuat celananya terasa sesak.
Tatapan tajam Devan berikan, namun Salvia malah membalasnya dengan tatapan polos yang terlihat begitu menggemaskan, membuat Devan menggeram. Dan ingin sekali menendang gadis itu keluar dari mobilnya. Sayangnya Devan tidak setega itu untuk melakukannya. Karena selain Salvia perempuan, gadis itu pun merupakan anak tiri dari kakaknya. Mungkin jika sang kakak tidak mencintai anak yang di bawa suaminya Devan tidak akan berpikir panjang untuk membantu kakaknya menyingkirkan iblis penggoda itu, tapi sayangnya sang kakak justru lebih mencintai anak tirinya itu dibandingkan dirinya yang merupakan adik kandungnya.
Ini benar-benar menyebalkan.
Iblis cantik itu sungguh sialan. Menggodanya dengan begitu berani hingga membuatnya kepanasan. Andai ini bukan di dalam mobil dan di tengah jalanan padat, tidak akan segan-segan Devan mendorong gadis itu ke ranjang dan memberinya pelajaran.
Arghh berengsek!
“Unc—”
“Berisik Salvia!” teriak Devan, bukan maksud membentak, hanya saja Devan sudah benar-benar kesal. Devan tidak paham untuk apa gadis remaja itu menawarkannya memegang. Tidak paham pula apa maksud penjelasannya barusan, yang Devan tahu Salvia telah berhasil membuatnya tergoda. Namun Devan masih memiliki kewarasan untuk tidak benar-benar melakukannya. Devan tidak ingin merusak keponakannya. Meskipun ia sadar tidak ada ikatan darah antara dirinya dan Salvia.
“Ck, berisik apa sih, Uncle? Aku dari tadi mana ada teriak-teriak. Uncle tuh yang berisik!” tidak sama sekali Salvia merasa takut. Karena menurutnya ia memang tidak salah. Sejak tadi ia bicara dengan nada yang biasa, tidak juga begitu cerewet. Salvia hanya bertanya, itu pun tidak bertubi-tubi.
“Oke, maaf. Tapi Uncle mohon kamu jangan bicara lagi, terlebih aneh-aneh seperti barusan. Lebih baik kamu baca buku, atau main hp aja.” Karena rasanya itu akan lebih baik di bandingkan dengan kalimat-kalimatnya yang berhasil membuat Devan serangan jantung.
“Mana nyaman baca buku di perjalanan,” delik Salvia tak setuju.
“Ya udah main hp aja,” opsi kedua Devan yakin tidak akan di tolak sebab siapa pun tahu bahwa ponsel adalah benda yang begitu digilai manusia-manusia jaman sekarang, terlebih telah banyaknya sosial media yang menghadirkan begitu banyak hiburan. Tidak jarang benda itu membuat seseorang lupa waktu dan daratan. Siapa tahu ‘kan Salvia pun termasuk salah satu diantaranya.
“Gak deh, Uncle. Aku kayaknya lebih pilih main ini aja,” ucapnya sembari meraih satu tangan Devan dari kemudi, membawanya menuju buah dadanya yang membusung di balik seragam putihnya. Dan itu tentu saja mengejutkan Devan, tapi Salvia malah justru tersenyum, seraya membimbing tangan besar itu untuk meremasnya.
“Berisi kan, Uncle?” tanya Salvia sembari menahan tangan Devan untuk tetap berada di sana. Tidak akan Salvia biarkan Devan menariknya sebelum keinginannya tercapai.
“Salvia,”
Salvia tak menghiraukan, karena gadis itu malah justru fokus pada tangan Devan yang berada di dadanya. Tertahan tangannya yang berusaha membantu memberi remasan sebab Devan tidak melakukannya sendiri. Tubuh laki-laki itu kaku di tempatnya. Beruntung saja mereka sedang berada di lampu merah, jadi aman.
“Setiap pagi sama malam aku rutin pakai masker sama serum. Dan hasilnya bikin aku gemas sendiri. Menurut Uncle ukurannya udah pas belum?” lirik Salvia pada pria dewasa di sampingnya, dan Salvia sukses dibuat tersenyum saat mendapati tatapan Devan yang lurus pada dadanya. Wajahnya yang memiliki kulit putih kini dihiasi rona merah, dan jakunnya yang menonjol terlihat turun naik, membuat Salvia tahu bahwa pria itu tergoda.
Tak ingin hanya setengah-setengah dalam menggoda sang paman, Salvia menarik tangan Devan agar sedikit memberi jarak, lalu dengan segera Salvia lepas beberapa kancing seragamnya sebelum Devan tersadar dan menarik tanganya menjauh.
Begitu merasa cukup dengan kancing yang di lepas, tangan Salvia perlahan membimbing tangan besar Devan untuk menyentuh permukaan kulit payudaranya yang menyembul dari balik bra yang Salvia kenakan. Senyumnya terukir saat rasa hangat sekaligus geli menyapu kulitnya.
“Lembut ‘kan, Uncle?” dan ketika sebuah anggukan pria itu beri sebagai jawaban, senyum Salvia tercetak semakin lebar. “Mau coba remas gak?” pasalnya sudah sejak lama Salvia mendambakan itu.
Akibat gemas akan buah dadanya sendiri, Salvia selalu ingin seseorang merasakan keindahan payudaranya. Namun tentu saja Salvia bukan perempuan murahan seperti anggapan kalian, karena nyatanya sampai saat ini buah dadanya itu belum tersentuh siapa pun selain dirinya sendiri.
Ah, mungkin sekarang bertambah Devan karena kini tangan besar laki-laki itu sedang ada di permukaan dadanya yang masih terbungkus bra. Dan Salvia kini sudah memutuskan bahwa pria itu yang akan menikmati bagian tubuhnya yang indah ini. Sebab ternyata Salvia memang seingin itu di sentuh adik dari ibu tirinya.
Gila.
Ya, Salvia akui bahwa dirinya gila. Tapi apa boleh buat, Salvia memang menginginkannya. Dan Salvia tidak akan pernah menyesal telah bertindak murahan di depan sang paman.
“Mau aku bantu apa Uncle remas sendiri?”
Namun Devan tidak memberi jawaban, sebab tanpa di minta dua kali tangan yang semula kaku itu telah bergerak di tempatnya, memberi remasan kecil di bukit kembar Salvia yang berhasil menghantarkan hangat dan gelenyar aneh yang menyenangkan. Hingga remasan yang sebelumnya terasa ragu-ragu berubah ringan dan bebas. Devan telah berhasil menikmatinya, dan sekarang tidak ada lagi rasa sungkan. Salvia yang mengizinkan, dan gadis itu pula yang memintanya sebuah remasan. Jadi, lebih baik Devan gunakan kesempatan ini. Toh Salvia yang menginginkan.
“Lebih kuat, Uncle,” pinta Salvia di tengah kenikmatan menerima sentuhan sang paman.
Biasanya Salvia melakukan ini sendiri, memberi pijatan untuk membantu mempercepat pertumbuhan payudaranya. Tapi ternyata tangan Devan lebih nikmat, dan Salvia tidak bisa menahan desahannya. Ia benar-benar terbuai, hingga rasanya Salvia tak ingin ini cepat usai. Bahkan ketika Devan melepaskan tangannya sejenak untuk menarik tuas, Salvia merasa kehilangan. Padahal hal itu dilakukan Devan tidak sampai lima menit, karena setelah mobilnya kembali melaju dengan stabil tangan Devan kembali pada dada Salvia tanpa di minta. Sepertinya laki-laki itu benar-benar sudah tidak merasa sungkan. Biarlah, toh Salvia pun senang.
“Aku gak sekolah hari ini bisa gak sih, Uncle?” tanya Salvia terlihat frustrasi. Membuat Devan menarik sudut bibirnya sembari satu tangan memberikan remasan semakin kuat dan dalam, menghadirkan erangan Salvia yang cukup kencang, dan Devan tahu bahwa itu bukan karena sakit, melainkan nikmat, terlihat jelas dari matanya yang terpejam beberapa saat.
“Kenapa? Kamu belum puas?”
Dan tanpa di duga Salvia justru menganggukkan kepala, membuat diam-diam Devan mendengus seraya menggelengkan kepala, menebak-nebak gadis seperti apa kiranya anak tiri kakaknya ini. Sebab jika di pikir-pikir kembali Salvia benar-benar berani dan begitu pandai menggoda. Bahkan Gadis itu tak segan meminta Devan menyentuh dadanya yang tak seharusnya di sentuh orang lain. Terlebih seorang laki-laki.
“Aku gak nyangka kalau ternyata di remas Uncle terasa lebih menyenangkan. Tahu gitu kan dari kemarin-kemarin aku mintanya,”
“Memangnya siapa aja yang udah remas dada kamu?” bukan berniat merendahkan, Devan hanya ingin memastikan pikirannya tak benar.
“Cuma aku sama Uncle aja. Aku emang suka remas dada sendiri, selain untuk bantu pertumbuhannya, aku ngerasa senang aja nyentuhnya, apalagi belakangan ini dada aku lebih berisi. Ahhh, Uncle …” Salvia benar-benar mendesah karena Devan dengan sengaja kembali memberikan remasan kuatnya.
“Apa kamu akan membiarkan pria lain juga menyentuhnya?”
“Tergantung,” Salvia mengedikkan bahunya singkat, sembari membenahi seragamnya, mengingat kini mobil yang dirinya tumpangi telah berhenti di depan sekolahnya. “Kalau Uncle gak mau melakukannya, mungkin aku minta pria lain. Karena kayaknya setelah tahu bahwa sentuhan tangan Uncle lebih enak dari pada sentuhan aku sendiri, aku gak bisa untuk gak minta bantuan orang lain untuk mendapatkan kenikmatan kayak barusan.” Tambahnya berusaha terlihat cuek. Karena tentu saja Salvia tidak serius dengan kalimatnya. Ia tidak semurahan itu. Salvia hanya ingin tahu respons Devan. Dan sepertinya rencananya berhasil, karena kini wajah pria dewasa itu terlihat mengeras dengan sorot kemarahan membayang jelas. Apalagi tindakan Devan selanjutnya.
“Jangan pernah berpikir untuk membiarkan pria lain menyentuhnya,” ujarnya serupa bisikan sedetik setelah Devan melepaskan bibirnya. “Mulai sekarang ini punya aku,” tambahnya seraya memberi remasan pada dada Salvia yang telah kembali terbungkus seragam sekolah. “Cuma aku yang boleh menyentuhnya,” lanjutnya terdengar posesif.
Dan dalam hati Salvia resmi bersorak. Bahagia karena akhirnya sang paman dapat dirinya taklukkan, meskipun dadanya yang menjadi alasan. Tak apa, lambat laun Salvia yakin hati pria itu pun bisa dirinya lumpuhka
***
see you next part!!!
