Bab 5
Happy Reading!!!
***
“Uncle masih di kantor?” tanya Salvia begitu teleponnya di terima sang paman.
“Heum,””
Salvia mencebikkan bibir mendengar jawaban cuek Devan. Padahal masih hangat di ingatan bagaimana sikap pria itu pagi tadi. Devan seakan mengklaim Salvia sebagai miliknya. Tapi mendengar jawaban singkat barusan Salvia tak yakin Devan mengingatnya. Rasa-rasanya Salvia kesal, dan ingin sekali ia menenggelamkan pria itu di antara dada kembarnya.
“Uncle gak ada niatan jemput aku gitu? Uncle gak lupa ‘kan kalau pagi tadi aku berangkat sama Uncle? Motor aku masih di bengkel!” Salvia tentu saja geram. Meskipun banyak kendaraan yang bisa mengantarkannya pulang tetap saja Salvia ingin Devan yang menjemputnya. Pria itu harus tanggung jawab. Karena perbuatan Devan pagi tadi berhasil mengusik ketenangannya.
Remasan yang Devan berikan berefek besar, dan sepanjang pelajaran berlangsung Salvia tidak bisa fokus, pikirannya terus tertuju pada Devan, dan dadanya mendamba sentuhan Devan. Jadi jangan salahkan jika sekarang Salvia menuntut pria itu menjemputnya.
“Uncle kira kamu pulang bareng teman kamu. Lagi pula mana Uncle tahu kamu pulang jam berapa. Selama ini ‘kan kamu selalu pulang sesuka hati.”
Itu sebuah sindiran, Salvia tahu. Tapi Salvia tidak berniat menanggapi, hanya dengusan kecil yang Salvia beri sebelum kembali mengutarakan tujuannya menghubungi pria dewasa itu. Dan setelahnya senyum Salvia terukir begitu sang paman menyetujui untuk menjemputnya.
“Jangan lama-lama Uncle.”
“Iya. Kamu tunggu di situ aja, jangan ke mana-mana. Kurang dari dua puluh menit Uncle tiba,”
“Oke. See you Uncle. Hati-hati di jalan.”
Dan hanya sebuah deheman yang Devan beri sebagai tanggapan, setelahnya sambungan terputus. Salvia yang masih berada di halaman sekolah melangkah menuju halte yang sudah tidak begitu ramai, karena sebagian murid sudah lebih dulu pulang. Menyisakan orang-orang yang tidak kebagian tumpangan.
Sebelum sekolah bubar sebenarnya Salvia sudah di tawari teman-temannya pulang bersama, namun Salvia menolak dengan alasan sang paman akan menjemput. Dan karena tidak ingin itu hanya sekadar alasan Salvia jadikan itu kenyataan. Beruntung Devan tidak keberatan, membuat Salvia senang. Karena selain dapat semobil dengan sang pujaan, Salvia pun dapat kembali merasakan kenikmatan yang pagi tadi dirinya rasakan. Kali ini Salvia yakin Devan tidak memerlukan godaannya. Tidak akan sok jual mahal seperti sebelumnya. Sebab pria itu sudah berjanji akan meremas dadanya kapan pun Salvia mau. Dan jangan salahkan Salvia jika ia menginginkan itu di setiap kesempatan.
Seperti apa yang dikatakan Devan dalam telepon tadi. Pria itu akan tiba kurang dari dua puluh menit, dan Salvia yang sejak tadi tidak hentinya menatap jam di pergelangan tangan segera mengukir senyum melihat sang paman datang tepat waktu. Dan sebagai hadiah, Salvia beri pria dewasa itu sebuah kecupan di bibir Devan.
“Kebiasaan!” dengus Devan seraya mendelik kesal. bukan karena tak suka dengan kecupannya, hanya saja Devan kesal dengan tindakan tiba-tiba keponakannya itu. Andai Salvia melakukannya tanpa mengejutkan, mungkin Devan akan lebih menyukainya.
Salvia hanya memberikan cengiran cantiknya, lalu segera memasang seatbelt di tubuhnya agar Devan tidak lebih lama menghentikan mobilnya, dan menghalangi kendaraan lain yang melewati jalan itu.
“Setelah ini Uncle ke kantor lagi gak?”
“Kenapa memangnya?” lirik Devan bertanya balik.
“Pengen ini lagi,” dengan kedua tangannya Salvia meremas dadanya sendiri, menunjukkan pada Devan apa yang diinginkannya.
Dan permintaan Salvia yang terang-terangan itu membuat Devan melototkan matanya, tidak menyangka. Tapi di detik selanjutnya Devan menggelengkan kepala, entah harus marah atau justru takjub pada gadis remaja di sampingnya itu.
“Kamu serius pengen turus Uncle remas?” Salvia mengangguk tanpa sedikit pun rasa ragu. “Kalau nanti Uncle kebablasan gimana? Kamu tahu kan dampak dari sentuhan itu?”
“Apa? Terangsang?” dan kali ini Devan yang memberi anggukan. “Ya, gak apa-apa. Itu ‘kan wajar, Uncle.” Salvia menjawab ringan.
“Memangnya kamu gak takut Uncle apa-apain?”
“Gak apa-apa selama Uncle mau tanggung jawab nikahin aku.”
Sudah Devan duga. Namun tentu saja Devan tidak akan bisa, mengingat Salvia adalah keponakannya. Terlebih ada seseorang yang sudah Devan miliki.
Tidak lagi menanggapi, Devan memilih fokus pada jalanan, begitu pula dengan Salvia yang sibuk dengan ponselnya yang beberapa detik lalu berbunyi, menandakan ada sebuah pesan. Dan Devan dapat sedikit bernapas lega melihat sibuknya gadis itu dengan benda pipih di tangannya. Setidaknya sekarang ia aman dari godaan iblis cantik itu. Namun ternyata itu hanya sebentar, karena di menit selanjutnya Devan benar-benar di buat menahan napas. Beda hal dengan pagi tadi yang dikejutkan dengan perlahan, kini Devan malah justru langsung di todong.
Salvia yang telah meletakkan ponselnya di atas dasbor langsung melepaskan kancing-kancing seragamnya hingga menampilkan bukit kembarnya yang begitu indah meski masih berpenyangga. Tapi itu sukses membuat Devan menelan ludah susah payah. Bingung harus memberi fokus pada jalanan atau justru dada kenyal Salvia yang begitu menggoda.
Devan benar-benar tidak bisa mengabaikan dada sekal itu, terlebih pagi tadi Devan telah merasakan kekenyalan dan kehangatannya. Tapi mengabaikan jalanan pun rasanya tidak mungkin sebab kini mereka berada di jalan ramai yang mana kecelakaan bisa saja terjadi bila Devan lalai sedikit saja.
Anak tiri kakaknya itu benar-benar iblis penggoda yang berbahaya. Devan yang sudah lebih berpengalaman dan banyak bertemu dengan wanita-wanita haus belaian di luaran sana, begitu mudahnya tergoda oleh gadis remaja seperti Salvia. Tapi ya bagaimana tidak, jangankan pria hidung belang, pria alim saja pasti akan tergoda disuguhi buah dada di depan mata, selama itu pria normal.
“Uncle, Aku kayaknya harus beli bra baru deh. Ini udah sempit. Dada aku rasanya sesak,” ucapnya entah bermaksud apa. Karena yang Devan tangkap malah justru kalimat ‘Uncle, dada aku sesak. Bra-nya boleh di buka aja gak?’
Gila!
Entah itu Salvia atau justru dirinya. yang jelas kini pikirannya tak lagi bisa waras. Dan untuk kembali fokus, Devan hela napasnya panjang dengan mata memejam. Hanya sekejap, sebab Devan tidak ingin membahayakan diri sendiri di tengah aktivitasnya mengemudi.
Tanpa ada kalimat yang terucap, Devan ulurkan tangannya demi menyentuh gundukan kenyal milik Salvia. Matanya sekilas melirik lalu kembali lurus pada jalanan di depan. Devan cukup merasa lega sebab apa yang dirinya lakukan pada Salvia tidak akan dapat dilihat orang di luar sana karena kaca mobilnya yang gelap jika di lihat ari luar. Tapi rasa-rasanya justru inilah yang berbahaya, karena nyatanya merasa bebas malah akan membuat hal gila terjadi. Seperti tadi pagi. Juga sekarang.
“Uhhh, Uncle, lebih kuat, please!”
lenguhan Salvia semakin membuat Devan kegerahan, padahal AC mobil sudah di atur suhu terendah. Tapi dasarnya saja nafsu yang sialan, baru meremas payudara dalam balutan bra saja Devan sudah merasa belingsatan, apa kabar jika Salvia telanjang dan bukan hanya payudara yang boleh dirinya pegang? Ck, bisa-bisa Salvia hilang keperawanan.
“Ah, ya, di sana Uncle. Remas kuat di sana,” pinta Salvia yang tentu saja Devan turuti meski dengan tanpa melihat bagaimana ekspresi Salvia sekarang. Dari desahannya saja Devan sudah dapat menebak bahwa Salvia keenakkan. Membuat Devan tak sabar untuk segera tiba di rumah. Devan ingin lebih bebas menyentuh dada kembar gadis itu dengan kedua tangannya. Sekaligus ingin melihat wajah keenakan Salvia yang pastinya bertambah cantik.
Menambah laju kendaraannya, Devan bersyukur bahwa jalanan tidak begitu padat membuat keinginannya tiba lebih cepat terlaksana, dan sekarang Devan benar-benar melakukan keinginannya, meremas payudara Salvia dengan kedua tangannya, dengan tatap terarah pada wajah Salvia yang telah memerah dan berpeluh. Sesekali Devan arahkan matanya untuk menatap bukit kembar yang sudah mulai kemerahan akibat remasannya.
“Buka seatbelt-nya, Sal,” karena Devan tidak ingin ada penghalang. Tidak ingin pula melakukannya sendiri yang mana itu akan membuat tangannya terlepas dari mainan menggemaskannya.
Salvia yang paham pun segera menurut, dan melepaskan sabuk pengaman yang dikenakannya meski sedikit kesusahan. Tapi akhirnya Salvia dapat melepaskannya juga, dan kini tubuhnya tak lagi bersandar pada kepala kursi, sebab dalam remasannya Devan sedikit menarik payudaranya hingga membuat Salvia ikut memajukan tubuhnya. Dan kini, bukan hanya payudara yang Devan mainkan sebab bibir Salvia pun berhasil Devan masuki. Melumatnya dengan rakus dan menghisapnya cukup kuat, membuat Salvia meringis antara perih juga nikmat. Apalagi tangan Devan yang tidak juga berhenti di dadanya. Salvia benar-benar merasa nikmat berkali-kali lipat.
Untuk ciuman memang bukan yang pertama kali bagi Salvia. Ia cukup sering melakukannya dengan mantan kekasihnya dulu, tapi kali ini rasanya benar-benar berbeda, entah karena Devan begitu pandai berciuman atau karena kali ini dadanya ikut dimainkan, yang jelas Salvia merasa dirinya melayang akibat nikmat yang membuncah, sampai rasanya Salvia menginginkan lebih dari ini.
Tubuhnya begitu mendambakan sentuhan Devan, namun Salvia tidak cukup berani. Masih ada rasa takut meskipun rasanya begitu ingin. Sebab ternyata ini begitu menakjubkan. Permainan tangan dan lidah Devan begitu memabukkan. Membuatnya ketagihan, dan rasanya tidak ingin menyudahi ini.
****
see you next part!!!
