Pustaka
Bahasa Indonesia

My Lovely Uncle

99.0K · Tamat
Ainiileni
71
Bab
9.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Demi menarik perhatian sang paman, Salvia rela melakukan apa pun. Bahkan tak segan menggodanya terang-terangan. Membuat perlahan Devan meliriknya. Salvia sadar tubuhnya yang membuat sang paman tertarik, tapi Salvia tidak peduli, dia yakin lambat laun hati sang paman akan berhasil dia luluhkan. Hingga nanti, sosok itu akan benar-benar Salvia miliki seutuhnya. Namun, kenyataan lebih dulu membuat Salvia terjatuh. Devan yang Salvia anggap pria lajang ternyata memiliki seseorang yang di cintainya. Dan kabar mengenai sang paman yang akan bertunangan membuat Salvia ingin sekali berteriak marah. Tapi kemudian Salvia sadar bahwa Devan tidak memiliki salah. Semua yang terjadi akibat ulahnya sendiri. Hingga untuk mengatai sang paman berengsek tidak mampu Salvia lakukan, sebab bukan Devan yang bajingan, melainkan dirinya yang murahan.

Cinta Pada Pandangan PertamaMenantuRomansaAnak KecilKeluargaMenyedihkanDewasaPerselingkuhanMemanjakanBaper

Bab 1

Happy Reading!!!

****

"Uncle, temani aku ke minimarket dong," pinta Salvia sembari membuka pintu kamar Devan -sang paman yang satu bulan ini tinggal bersamanya, menemaninya selama kedua orang tuanya berada di luar negeri untuk urusan pekerjaan.

"Aku sibuk," tolaknya dengan delikan tajam sarat akan ketidaksukaan dengan tingkah keponakannya yang tak sopan. Namun Salvia tidak menghiraukan, justru membawa langkahnya masuk, menghampiri sang paman yang tengah berkutat dengan laptopnya. Mungkin mengurus pekerjaan. Sayangnya Salvia enggan peduli, karena yang Salvia inginkan adalah ditemani pria dewasa itu membeli camilan.

Hari memang belum terlalu malam, dan Salvia tentu saja berani untuk pergi sendiri ke minimarket yang ada di depan kompleks perumahannya. Hanya saja Salvia tidak ingin melakukan itu. Ia ingin pergi dengan Devan yang selama satu bulan ini begitu sulit dirinya dekati. Entah karena pria itu benar-benar sibuk atau hanya alasan sebab tidak ingin direpotkan, yang jelas Salvia tidak akan membiarkannya kali ini. Bagaimanapun caranya Salvia harus bisa membawa pria dewasa itu keluar dan menemaninya.

"Ck, sok sibuk!" cibir Salvia memutar bola mata, lalu mengambil duduk di sisi ranjang Devan dengan menampilkan wajah cemberut. Terlebih karena Devan tidak sama sekali mengalihkan tatapannya dari layar datar di depannya. Membuat Salvia berpikir mungkinkah benda itu lebih menarik dibandingkan paras cantiknya?

Selera Devan benar-benar buruk. Dan tentu saja itu menyebalkan bagi Salvia yang jelas-jelas tertarik pada sosok sang paman yang begitu tampan dan memesona.

Sejak pertama kali melihat Devan datang ke rumahnya, Salvia sudah terpesona. Ia berharap bisa dekat dengan pria dewasa adik dari ibunya itu. Tapi sialannya Devan malah justru tidak sedikit pun meliriknya, membuat Salvia tersinggung, namun juga penasaran akan sosok sang paman yang baru dirinya kenal, mengingat ketika ayahnya menikah dengan ibu tirinya tiga tahun lalu Devan tidak datang.

Pria itu tinggal di luar negeri sejak kuliah dan baru kembali satu bulan ini. Sebuah kebetulan untuk kedua orang tua Salvia yang harus pergi mengurusi pekerjaan, sementara Salvia tidak memungkinkan untuk ikut dengan mereka mengingat kini dirinya sudah kelas tiga SMA dan akan segera melangsungkan ujian. Jadilah Devan diminta untuk tinggal di rumah besar ini menemani Salvia. Dan itu benar-benar berkah untuk Salvia. Sayangnya hingga saat ini Salvia belum juga bisa akrab dengan pamannya itu. Devan terlalu tertutup, dingin, dan tak tersentuh. Tapi Salvia janji bahwa ia akan membuat Devan menjadi miliknya.

"Uncle," panggil Salvia sedikit merengek. Namun Devan tidak juga menghiraukannya, tetap fokus pada layar laptop yang menampilkan laman pekerjaannya. Membuat Salvia semakin cemberut sekaligus juga kesal, hingga akhirnya sebuah tindakan Salvia lakukan untuk menarik perhatian pamannya. Dan itu berhasil.

"Salvia! Ka-"

Sebuah kecupan Salvia beri untuk menghentikan protesan Devan. Membuat laki-laki itu semakin membolakan mata, menatap Salvia amat tajam. Tapi sayangnya Salvia tidak sama sekali merasa takut karena yang ada justru senyumlah yang Salvia tampilkan di kedua sudut bibirnya.

"Pekerjaan Uncle sudah selesai," ucapnya menunjuk pada laptop yang tertutup akibat ulahnya. "Sekarang ayo, temani aku ke minimarket. Camilanku sudah habis. Menonton tanpa mengunyah rasanya kurang seru. Atau ..." Salvia menjeda kalimatnya, memajukan kembali tubuhnya ke arah Devan hingga menyisakan jarak beberapa centi saja. "... Uncle mau nemanin aku?" tanyanya serupa bisikan dengan nada sarat godaan. Jangan lupakan kedipan genitnya yang sukses membuat wajah Devan memerah. Entah itu karena marah atau malu. Yang jelas Devan terlihat menggemaskan dengan ekspresinya yang seperti itu dan Salvia tak bisa menahan diri untuk tidak mencium pamannya yang tampan itu. Hingga keinginannya tersebut benar-benar Salvia penuhi.

Berbeda dengan sebelumnya, kini Salvia tidak hanya memberi kecupan singkat, tapi juga sedikit lumatan pada bibir tipis Devan yang lembut dan hangat. Mengejutkan Devan tentu saja. Namun Salvia hanya memberinya senyum lalu bangkit dari ranjang Devan.

"Ayo, temani aku ke minimarket sebelum semakin malam," ajaknya lagi tanpa sama sekali menampilkan raut bersalah akan tindakannya yang bisa dikatakan lancang.

Devan yang masih berada dalam keterkejutan segera berdeham, lalu tanpa kata bangkit dari duduknya dan menuruti apa yang keponakannya itu inginkan, meski dengan perasaan yang tak karuan.

Ini benar-benar mengejutkan. Devan tidak menyangka bahwa anak tiri dari kakaknya itu akan seberani ini. Namun perlu Devan akui bahwa Salvia yang agresif seperti ini terlihat menarik. Dan harus Devan akui pula bahwa rasa bibir keponakannya itu begitu lembut dan manis. Membuat Devan ingin kembali merasakannya lagi.

Shit! umpat hati Devan saat pikirannya benar-benar tak terkendali.

"Uncle bisa naik motor 'kan?" Salvia menoleh, menatap sang paman yang berjalan dua langkah di belakangnya. Senyumnya seketika terukir saat menyadari bahwa pria dewasa itu terlihat tak fokus. Terbukti dari tingkahnya yang seakan gugup ketika tiba-tiba Salvia menoleh dan menghentikan langkahnya.

"Bisa." Hanya itu jawaban yang Devan berikan, lalu melangkah menuju motor yang berada di garasi. Melewati Salvia begitu saja.

Salvia tidak mengikuti. Ia memilih diam di tempat asal sambil menunggu Devan mengambil kendaraan yang akan mereka gunakan.

Sebenarnya letak minimarket tidak terlalu jauh, berjalan kaki pun hanya butuh waktu sekitar lima belas menit, tapi Salvia sedang malas. Lagi pula apa yang bisa dirinya lakukan dengan Devan saat berjalan kaki? Gandengan tangan?

Ck, itu tidak menyenangkan. Lagi pula memangnya Devan mau menggandengnya? Melihat dari sikap pamannya selama ini Salvia tidak yakin. Maka dari itu Salvia memilih untuk menggunakan motornya yang selalu ia gunakan ke sekolah, karena setidaknya ia bisa memeluk pamannya selama perjalanan.

Modus.

Ya, begitulah. Namanya juga Salvia sedang usaha. Siapa tahu mendapatkan hasil sesuai dengan yang diinginkan.

"Naik." Titah Devan, yang Salvia turuti dengan senang hati, dan seperti niat di awal, Salvia langsung melingkarkan tangannya di pinggang Devan.

"Salvia!" protes Devan dengan geraman pelan tanda dirinya keberatan, tapi lagi dan lagi Salvia tak menghiraukan, tangannya malah justru semakin erat melingkari perut Devan, membuat laki-laki itu menghembuskan napasnya pasrah dan memilih segera melajukan kendaraannya ke tempat yang ingin keponakannya itu tuju.

Lebih cepat lebih baik. Itu menurut Devan.

Beda hal dengan Salvia yang justru tak menginginkan ini cepat berakhir. Karena ternyata tidak hanya bibir Devan yang membuatnya ketagihan sebab punggung pamannya itu pun terasa nyaman, membuat Salvia tidak ingin melepaskan kepalanya yang bersandar di sana.

Rasanya sekarang Salvia menyesal kenapa mengajak Devan hanya ke minimarket depan. Padahal jika ke supermarket yang ada di mall ia pasti akan lebih puas menikmati punggung tegap sang paman. Tapi ya sudahlah. Mungkin lain kali Salvia akan melakukannya.

"Ada yang mau Uncle beli gak?" Salvia menoleh, melirik Devan yang mengekor di belakangnya tanpa mengambil apa pun dari rak-rak yang telah terlewati. Sementara Salvia sudah hampir membuat keranjang belanjaannya penuh dengan makanan ringan kesukaannya.

Devan tidak memberi jawaban atas tanya yang Salvia lontarkan, namun beberapa kaleng bir turut mengisi keranjang di tangan Salvia, dan setelahnya Devan mengambil alih benda berisi banyak camilan itu, membawanya menuju kasir untuk segera di hitung, sedangkan Salvia tertegun di tempatnya sebelum kemudian menarik kedua sudut bibirnya dan menyusul Devan ke meja kasir.

"Tambah ini, Mbak," ucap Salvia sembari memberikan dua batang cokelat pada kasir yang tengah menghitung belanjaannya.

"Ada tambahan lagi? Pulsanya mungkin, Kak, Mas?" tawar si kasir yang segera Salvia jawab lewat gelengan kepala, pun dengan Devan yang melakukan hal serupa.

Sang kasir kemudian mengangguk paham dan segera menyebutkan nominal belanjaan yang harus di bayar.

"Uncle gak niat bayarin?" lirik Salvia pada sosok menjulang di sisinya.

"Yang ngajak ke sini siapa?" balas Devan dengan lirikan santai, yang malah justru membuat Salvia memajukan bibirnya.

"Ya 'kan siapa tahu Uncle mau jadi cowok gentle yang bayarin belanjaan perempuan."

"Uncle bahkan gak bawa dompet sama sekali." Saking linglungnya akibat terkejut dengan tindakan Salvia, Devan tidak sama sekali ingat apa pun. Bahkan ia tidak memikirkan untuk berganti sandal dan celana pendeknya. Beruntung tempat yang di kunjungi tidak jauh dan minimarket tidak ramai. Jadi Devan tidak malu-malu amat. Selamat juga karena hari telah beranjak malam yang membuat jalanan sekitaran perumahan begitu sepi.

Salvia tidak lagi menanggapi, memilih untuk mengeluarkan uangnya dari dalam saku, membayar semua belanjaannya. Setelah itu keluar dari minimarket, dan Devan langsung melajukan motornya kembali ke rumah dengan Salvia yang kembali melingkarkan tangan di perutnya.

Kali ini Devan memilih membiarkannya saja karena rasanya percuma melarang di saat tahu gadis itu begitu keras kepala, peringatannya pun tidak pernah gadis itu hiraukan. Dan itu bukan untuk pertama kalinya. Satu bulan tinggal dengan gadis remaja itu Devan sudah hapal dengan kekeraskepalaan keponakannya. Bahkan tingkah agresifnya bukan hal yang baru.

Hanya saja soal ciuman tadi, itu baru pertama kali, karena sebelum-sebelumnya Salvia tidak pernah bertindak sejauh itu meski kerap melayangkan godaan. Namun tidak pernah Devan menghiraukannya, beda hal dengan yang tadi. Sedikit banyak Devan terganggu dan hingga sekarang benaknya terus memikirkan hal itu.

Kiranya a a maksud gadis remaja itu menciumnya?

****

see you next part!!!