Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3

Bab 3

 

“Salvia sudah siap belum?” Devan berdiri di depan kamar Salvia sembari mengetuk pintu bercat putih itu beberapa kali.

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit, dan Devan ingat bahwa semalam gadis itu memintanya untuk mengantarkan ke sekolah. Tapi sejak tadi sama sekali Devan belum melihat gadis itu keluar dari kamar. Membuat Devan yang semula sudah menunggu di meja makan kembali naik demi memanggil sang ponakan.

Namun sudah tiga kali Devan memanggil tidak juga ia mendapatkan sahutan dari si pemilik kamar, membuat Devan mengerutkan kening heran, dan akhirnya memutuskan untuk membuka pintu kamar Salvia yang beruntungnya tidak terkunci. Devan bukan bermaksud lancang, tapi ia takut Salvia belum bangun dari tidurnya. Tapi melihat keadaan kamar yang rapi, Devan tahu bahwa gadis itu sudah bangun apalagi dengan tidak adanya orang yang menghuni ranjang. Hanya saja keberadaan Salvia pun tidak bisa Devan temukan di segala penjuru kamar. Membuat langkah Devan bergerak ke arah pintu lain di kamar ini yang tidak sepenuhnya tertutup, berpikir bahwa mungkin gadis remaja itu ada di sana.

“Salvia?” panggil Devan dengan suara yang cukup pelan. Tapi bisa Devan pastikan Salvia dapat mendengar jika memang gadis itu berada di sana. “Sal, kamu jadi berangkat sama uncle ‘kan?” lanjutnya memastikan. Sebab jika batal Devan akan segera pergi menuju tempat kerjanya. Tapi sahutan dari arah pintu yang kini ada di depannya mengurungkan niat Devan berangkat duluan.

“Sebentar lagi, Uncle!” teriakan itu cukup kencang. Mungkin Salvia berpikir takut Devan tidak dapat mendengar. Padahal jelas saja Devan mendengar, karena posisinya yang tak jauh dari perempuan itu. Bahkan Devan dapat melihat apa yang sedang gadis remaja itu lakukan di depan wastafel kamar mandinya. Sebuah kegiatan yang berhasil membuat Devan meneguk ludahnya susah payah, dengan tubuh terpaku di sana.

Dari cermin besar yang ada di dalam kamar mandi, Devan melihat jelas sebuah pemandangan menakjubkan yang membuat aliran darahnya berhenti sejenak. Sesuatu menonjol yang semalam Devan kagumi dari balik kain yang Salvia kenakan, kini terpampang jelas di sana. Bulat dan putih dengan tambahan warna kemerahan di puncaknya.

Tangan Salvia ada di sana, tengah membersihkan bukit kembar itu dengan sebuah handuk kecil yang ada di tangannya. Devan tidak paham apa yang sedang gadis itu lakukan. Tapi melihat bagaimana tangan mungil itu bergerak, membuat Devan lagi-lagi menelan ludahnya. Benaknya menyuarakan untuk ia menggantikan kegiatan Salvia, sementara mulutnya malah justru terkunci rapat dengan mata tak lepas menatapnya. Hingga tak lama kemudian tubuh mungil dalam balutan kimono mandi itu berbalik dan terhenyak mendapati keberadaan Devan di sana.

“Uncle, ngapain di sini?” tanya Salvia dengan sedikit gelagapan. Namun Devan tidak sama sekali memberi jawaban, sebab pria dewasa itu tidak juga ingkah dari keindahan di depannya yang kini tidak lagi tampak di cermin, melainkan langsung di depan mata, meskipun kini sedikit terhalang oleh kimono yang Salvia kenakan. Tapi tetap saja keindahannya tidak berkurang. Devan malah justru semakin ingin menyentuhnya, menyingkirkan penghalang itu dengan tangannya sendiri.

Sialnya kewarasan lebih dulu Devan dapatkan dan malu selanjutnya Devan rasakan. Padahal seharusnya Salvia lah yang mengalami itu. Tapi justru malah Devan yang salah tingkah, seolah dirinya yang ketahuan sedang berbuat mesum.

“Uncle—”

“Cepat bersiap. Kalau dalam waktu lima menit kamu tidak selesai, Uncle tinggal!” ucapnya memotong seraya berbalik dan melangkah meninggalkan kamar Salvia tanpa menoleh lagi. Membuat Salvia mengerutkan kening heran, namun di detik selanjutnya Salvia tersadar dengan keadaannya. Dan Salvia kini dapat menyimpulkan keanehan sang paman yang beberapa menit lalu terlihat wajahnya yang memerah. Berengseknya Salvia bukannya merasa malu, gadis itu malah justru tersenyum, merasa bangga pada buah dadanya yang bulat dan kencang.

Ukurannya memang tidak begitu besar, tapi sudah lebih berisi dari sebelumnya. Itu karena Salvia yang sungguh-sungguh merawatnya. Setiap pagi dan malam hari Salvia memberi masker juga serum pada dadanya agar miliknya itu terlihat semakin indah dan kencang. Pasangannya nanti pasti akan suka, karena nyatanya Salvia sendiri selalu merasa gemas pada bukit kembarnya itu.

Melupakan sejenak payudara indahnya, Salvia bergegas mengenakan seragam sekolahnya, karena tidak ingin benar-benar di tinggalkan oleh Devan mengingat ini adalah kesempatan bagus yang tak boleh Salvia sia-siakan. Karena tidak setiap hari Salvia memiliki kesempatan bareng uncle-nya.

Mengabaikan sarapannya, Salvia memilih untuk langsung berlari ke depan, memastikan kendaraan Devan masih berada di tempat yang seharusnya.

Salvia kemudian menghela napas lega sebab ternyata Devan benar-benar tidak meninggalkannya, hanya saja Devan sudah lebih dulu duduk di dalam kendaraannya, membuat Salvia harus cepat karena bisa kapan saja pria dewasa itu meninggalkannya. Beruntung sepatu yang akan digunakannya tidak menyulitkan, jadi tak sampai tiga menit Salvia telah siap naik ke mobil Devan. Duduk di kursi penumpang yang ada di depan tanpa sama sekali meminta izin si pemilik. Lagi pula memangnya ia akan duduk di mana? Di jok belakang? No! Salvial lebih suka duduk di depan, apalagi jika itu bersisian dengan Devan.

“Terima kasih sudah menunggu,” ucap Salvia dengan senyum manis yang sukses membuat Devan terpesona hingga membuatnya salah tingkah, dan memilih segera memalingkan wajah dari sosok iblis penggoda berwajah bidadari itu.

Tanpa kata Devan melajukan kendaraannya, meninggalkan pelataran rumah untuk mengantarkan Salvia ke sekolahnya sebelum dirinya berangkat ke kantor. Fokus pada jalanan adalah hal yang Devan putuskan sebab melirik sosok di samping jelas bukan hal yang baik untuk sekarang, terlebih setelah apa yang terjadi di depan kamar mandi tadi. Benak Devan belum bisa lupa, dan Devan tidak ingin semakin meracuni kepalanya. Jadi lebih baik Devan tetap fokus ke depan dengan harap jalanan kali ini tidak begitu menyulitkannya, sebab berlama-lama dengan Salvia merupakan hal yang buruk untuk sekarang.

Namun sepertinya semesta sedang tidak berpihak padanya, karena di saat dirinya ingin menghindar dan melupakan, Salvia malah justru mengingatkan. Menanyakan maksud keberadaannya di dalam kamar gadis itu.

“Jangan bilang kalau Uncle sengaja ngintip!”

Dan tuduhan itu berhasil mengalihkan tatapan Devan yang semula tertuju pada jalanan. “Jangan sembarangan menuduh!” ujarnya tajam. Tapi Salvia malah justru memicingkan matanya, menatap Devan semakin intens.

“Terus ngapain Uncle di depan kamar mandi aku?”

“Itu—Uncle cuma niat memastikan kamu sudah bangun. Kamu sendiri yang bilang mau berangkat bareng. Tapi setelah Uncle ketuk dan panggil-panggil kamu malah justru gak nyahut. Jadi, ya – ya udah Uncle masuk. Gak tahu ka—kalau kamu lagi ….” Devan tidak mampu melanjutkan kalimatnya. Kepalanya yang sejak tadi ia paksa menghentikan bayangan dada Salvia malah semakin memutarkan kejadian di kamar mandi. Membuat wajahnya kembali memanas dan Devan yakin bahwa semburat merah telah menghiasinya kali ini.

Sialan! Ini benar-benar memalukan.

Lagi pula kenapa harus dirinya yang malu? Bukankah seharusnya Salvia yang malu karena bagian tubuh perempuan itu yang Devan lihat? Kenapa malah terbalik?

Ah, berengsek!

Sialan!

“Terus berapa lama Uncle diam di sana dan lihat aku?”

Devan tak menjawab, memilih kembali fokus pada jalanan di depan. Karena nyatanya Devan sendiri tidak tahu berapa lama ia menikmati pemandangan indah itu. Waktu seakan berhenti saat itu. Dan sesungguhnya Devan ingin benar-benar menghentikannya lebih lama. Sayangnya ia tidak memiliki kekuatan itu.

“Menurut Uncle gimana, payudara aku bagus gak?”

Mendengar pertanyaan itu Devan refleks menginjak remnya, hingga menimbulkan suara decitan yang cukup kuat, di susul klakson dari beberapa kendaraan di belakangnya. Beruntung saja tindakannya itu tidak menimbulkan kekacauan, karena jika sampai itu terjadi tidak akan segan Devan menelan gadis di sampingnya mentah-mentah.

“Ck, Uncle hati-hati bawa mobilnya!” protes Salvia dengan delikan kesal. Lebih tepatnya Salvia terkejut sekaligus takut.

Namun perlu di ingat bahwa Devan yang sesungguhnya lebih terkejut hingga tak sadar menginjak rem dan menimbulkan sedikit kekacauan. Salahkan saja pertanyaan Salvia yang bikin jantungan itu. Meskipun pertanyaannya biasa dan sederhana, tetap saja itu bukan sesuatu yang bisa di bahas oleh laki-laki dan perempuan yang bukan merupakan pasangan.

***

see you next part!!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel