Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

Happy Reading

***

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam saat Salvia tiba di rumah, dan hal itu membuat Devan menatap tajam keponakannya yang terlihat tak bersalah telah pulang amat terlambat. Gadis itu malah justru melemparkan senyum, yang sialan harus Devan akui begitu manis. Namun tentu saja Devan tidak akan lemah hanya karena itu, sebab kini Devan justru bangkit dari duduknya, masih dengan tatapan tajam tertuju pada Salvia dan tangan terlipat di dada.

"Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?" Devan berusaha mengintimidasi, berharap kali ini gadis itu takut. Namun sepertinya Devan tidak bisa melakukannya, karena dibandingkan dengan mengerut sebagaimana anak gadis kebanyakan ketika ketahuan terlambat pulang oleh ayahnya, Salvia malah justru melangkah dengan santai menghampiri Devan, dan sebuah kecupan singkat di berikan gadis itu di pipinya, membuat Devan mematung dan melotot setelahnya.

"Aku tadi main dulu sama teman-teman, jadi pulangnya terlambat. Maaf, Uncle," ucapnya dengan senyum manis yang tak sama sekali memperlihatkan rasa bersalah.

"Lain kali kasih kabar orang di rumah. Tapi akan lebih baik jika kamu tidak mengulanginya lagi." ujar Devan seraya berbalik pergi meninggalkan Salvia yang masih senyum-senyum di tempatnya. Padahal keinginan Devan tadi adalah memarahi gadis itu, tapi segera surut ketika bibir lembut Salvia menyentuh pipinya.

Devan sendiri tidak paham kenapa bisa dirinya seperti itu, seperti ABG yang baru saja mendapatkan ciuman pertama, padahal nyatanya Devan adalah seorang pria dewasa yang telah mencicipi tak hanya satu wanita.

Sialnya ciuman singkat Salvia kemarin malam masih saja terasa membekas, membuat Devan selalu di landa salah tingkah. Dan sepertinya Devan benar-benar harus segera menjauh dari gadis itu. Keponakannya berbahaya. Ah, lebih tepatnya keagresifan gadis itu.

Devan tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika seandainya ia berlama-lama di dekat bocah remaja itu. Memikirkannya saja sudah membuat Devan bergidik meski sedikit merasa penasaran.

"Segera mandi dan makan malam," lanjut Devan sebelum benar-benar meninggalkan Salvia yang belum beranjak dari tempatnya.

Kalimat Devan yang Salvia artikan sebuah perhatian itu membuat bibirnya semakin merekah dengan hati membuncah, senang akan kepedulian sang paman yang sayangnya enggan Salvia akui. Sebab bukan status saudara yang Salvia inginkan dengan laki-laki dewasa nan tampan itu, melainkan status lain yang menjurus pada romansa. Boleh 'kan? Lagi pula dirinya dan Devan tidak memiliki hubungan darah. Jadi sah-sah saja 'kan jika Salvia menginginkan pria itu?

Tapi, apa mungkin Devan mau? Satu bulan telah berlalu tapi Devan tidak sama sekali tertarik padanya. Bahkan godaannya tidak sama sekali mempan. Membuat Salvia kadang merasa kesal, namun enggan jika harus menghentikan. Dan sepertinya berusaha lebih keras adalah hal yang perlu Salvia lakukan.

"Kita lihat sampai mana Uncle tahan dengan godaanku," gumam Salvia dengan senyum penuh arti lalu melangkah riang menuju kamarnya yang berada di lantai atas, tepat berhadapan dengan kamar yang Devan tempati satu bulan ini. Tapi karena si empunya sedang tidak berada di sana Salvia memilih memutuskan untuk langsung masuk ke dalam kamarnya, menuruti apa yang Devan pesankan sebelumnya. Mandi. Setelah itu Salvia akan kembali turun dan menikmati makan malam.

Meskipun sebenarnya perutnya tak lapar, Salvia tidak akan melewatkan makan malam bersama Devan, karena salah satunya di sana Salvia dapat melancarkan godaannya pada sang paman, mengingat Devan lebih sering mengurung diri di kamarnya. Dan kadang kala pria itu selalu mengunci pintu yang membuat Salvia tidak bisa menerobos masuk seperti kemarin malam. Jadi, selagi ada kesempatan, tidak mungkin Salvia sia-siakan.

"Gak bisa banget sih kayaknya Uncle lepas dari laptop," cibir Salvia ketika menampakkan diri di dapur, dan langsung mendapati Devan yang sudah duduk di meja makan dengan laptop tak lepas dari tatapannya. Jemarinya yang jenjang dan besar pun menari lincah di keyboard, membuat rasanya Salvia iri dengan benda itu. Lagi pula sepertinya akan lebih enak jika jemari itu menari di tempat lain. Dadanya misalnya.

Ah, membayangkan itu membuat Salvia panas dingin, bahkan tubuh bagian bawahnya bereaksi cepat, membuatnya semakin tak sabar untuk meluluhkan adik dari ibu tirinya itu.

Devan tidak sama sekali menanggapi, memilih meminta Salvia untuk segera makan, sebab tak bohong bahwa perutnya telah keroncongan.

Sebenarnya sejak tadi bisa saja Devan makan lebih dulu, tapi rasanya itu tidak sopan meskipun sebenarnya tidak apa-apa mengingat si tuan rumah tidak ada, dan Salvia hanyalah gadis SMA yang tak lebih tua darinya. Namun tetap saja Devan tidak bisa melakukan itu.

Sebanyak apa pun perbedaan usianya dengan Salvia, tidak akan mengubah kenyataan bahwa dirinya hanyalah tamu di rumah yang ditinggalinya satu bulan belakangan ini.

Setidaknya Devan harus menjaga sikap, walaupun sebenarnya Salvia sudah lebih dulu tidak melakukannya. Tapi ya sudahlah, Devan tidak ingin terlalu mempermasalahkan hal itu.

"Uncle, besok antar aku sekolah, ya? Motor aku di bengkel." Salvia tidak berdusta. Ketika pulang dari rumah temannya tadi kendaraannya itu tiba-tiba saja mogok dan terpaksa Salvia larikan ke bengkel. Karena hari sudah beranjak malam, Salvia memilih pulang menggunakan taksi dan membiarkan motornya berada di sana.

Awalnya Salvia tidak berpikir untuk meminta Devan mengantarnya sekolah, ia bisa menggunakan taksi atau menghubungi temannya untuk menjemput, tapi tiba-tiba saja ide itu melintas, dan sepertinya tidak buruk juga. Siapa tahu kan ia bisa sekalian modus.

Hanya deheman singkat yang Devan beri sebagai jawaban, dan hal itu membuat Salvia kegirangan hingga refleks memeluk Devan yang duduk di sebelahnya, mengejutkan pria dewasa itu sampai membuatnya tersedak.

Kali ini Salvia benar-benar merasa menyesal dan sebuah kata maaf diucapkannya dengan tulus. Menghadirkan gelenyar aneh di dada Devan yang sebelumnya terasa sesak akibat tersedak.

"Uncle gak apa-apa 'kan?" tanya cemas Salvia sembari menepuk-nepuk pelan punggung sang paman, tak lupa memberi pria itu minum untuk melegakan tenggorokannya. Dan Devan tidak sama sekali menolaknya, sebab dirinya memang membutuhkan. "Maaf, aku gak sengaja," cicit Salvia benar-benar merasa bersalah.

"Makanya, jangan suka main peluk tiba-tiba. Untung saja tersedak gak bikin aku mati!" dengus Devan kesal, yang sebenarnya itu hanya sekadar untuk menutupi rasa gugupnya saja karena ternyata Salvia benar-benar sesialan itu. Tidak hanya dengan tingkah agresifnya, perempuan penggoda itu pun begitu senang menguji ketahanan nafsunya. Terlebih sekarang. Di saat perempuan itu berdiri di sisinya dengan niat membantu meredakan batuknya, Devan malah dihadapkan dengan sesuatu yang membuatnya harus menahan napas.

Entah Salvia menyadarinya atau tidak, yang jelas dada bulat gadis itu berhasil memecah fokus Devan yang sebenarnya tidak berniat melirik ke arah sana, tapi karena keberadaannya tepat di sisi wajahnya, mau tak mau ketika kepalanya menoleh gundukan itu yang pertama kali Devan lihat, dan sialannya Devan tidak bisa menghentikannya. Devan tidak bisa membuang pandangannya. Sesuatu yang menggantung di dada Salvia benar-benar membuatnya tergiur. Tangannya bahkan begitu gatal ingin meraihnya. Tapi sebisa mungkin Devan tahan. Ia tidak ingin melecehkan anak tiri dari kakaknya, karena tugasnya di sini bukan untuk itu, melainkan untuk menjaga putri dari si pemilik rumah yang kebetulan tengah sibuk dengan pekerjaannya.

"Lebay deh!" Salvia memutar bola mata, lalu memundurkan tubuhnya untuk kembali duduk di kursinya semula begitu tahu bahwa sang paman telah baik-baik saja. "Lagian ya, aku belum dengar tuh ada yang meninggal karena tersedak. Uncle gak usah berlebihan!" tambahnya mendengus pelan.

"Ya siapa tahu aku jadi yang pertama," mengedik singkat, Devan kembali mengalikan kepalanya ke depan, pada piring di depannya yang masih berisi seperempat nasi.

Melanjutkan kembali acara makannya dengan seolah sebelumnya tidak terjadi apa-apa, meskipun dadanya belum juga mampu Devan tenangkan dan pikirannya tidak bisa Devan hentikan. Benaknya terus berputar, memikirkan berapa kiranya ukuran dada Silva dan bagaimana teksturnya. Lembut kah itu? Hangat kah? Atau justru lebih dari itu?

Namun dengan segera Devan menggelengkan kepalanya. Membuang jauh-jauh pikiran mesumnya. Meskipun rasanya begitu sulit. Sebab sejak awal bertemu dengan gadis itu Devan sudah merasakan desiran aneh yang tak begitu dirinya pahami, dan Devan berpikir bahwa itu tidak seharusnya dirinya pikirkan. Tapi ternyata semakin hari Devan malah justru merasa semakin tersiksa.

Pikirannya tentang Salvia tidak lagi bisa Devan abaikan, terlebih setelah ciuman Salvia kemarin malam. Di tambah dengan godaan lainnya yang kali ini berupa daging segar yang menggantung di depan dada gadis itu.

Sejujurnya Devan tidak tahu isi di dalamnya seperti apa, ia hanya melihat dari balik baju yang Salvia kenakan, dan sialannya itu sudah membuatnya tak karuan. Bisa di bayangkan bagaimana jadinya jika benda bulat itu tanpa penghalang? Rasa-rasanya Devan akan benar-benar menjadi gila.

Gila karena ingin terus menyentuhnya.

Sialan! makinya dalam hati. Tertuju untuk diri sendiri.

***

see you next part!!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel