Part 9. Rencana Makan Malam
Febbi sedang duduk di sofa kamar saat bunyi notifikasi terdengar dari ponselnya yang tergeletak di nakas. Gadis itu meletakkan mangkok berisi sereal di meja belajar lalu meraih ponselnya. Sebelah alis Febbi melihat Vino mengiriminya sebuah pesan.
Devino Syafikar.
Febbi? Sibuk, nggak? Aku nggak ganggukan?
Febbi mengerutkan dahi membaca pesan tersebut. Meski kebingungan gadis itu menggerakkan jarinya untuk membalas mengatakan bahwa dia tidak menganggu sama sekali.
Pesan balasan kembali datang dengan cepat
'Mau ngobrol. Boleh, nggak?'
Febbi membalas lagi. Lebih dari lima belas menit berikutnya gadis itu berkutat dengan ponselnya, membalas pesan Vino yang kebayakan basah basih menayakan sesuatu yang umum. Febbi terkekeh saat membaca pesan Vina yang mengatakan bahwa dia ingin pdkt dengan gadis itu. Dasar lelaki. Akhirnya obrolan mereka berakhir dengan Vino yang mengajak Febbi makan bakso di warung depan kompleks mereka. Ternyata pria itu tinggal sekompleks dengan Febbi, hanya beda blok saja.
Febbi mematikan ponselnya saat pintu kamar terbuka. Dia yang duduk di kursi memajukan tubuhnya untuk melihat Juan yang baru saja masuk.
"Kak, udah makan?" Tanya Febbi. Juan baru saja pualng dari kampus.
"Belum." Juan menjawab cuek.
Febbi memperhatikan Juan yang membuka jaket kulit hitam kesayangannya dan menggantungnya di dinding.
"Mau dimasakin apa?" tanyanya lagi.
Gadis itu menatap tangan Juan yang membuka satu per satu kancing bajunya hingga sampai pada kancing terakhir. Jantungnya berdetak kencang saat Juan bergerak untuk melepas kemejanya. Dengan cepat, Febbi membalikkan tubuhnya.
Juan menyergit melihat tingkah Febbi. Dia menaikkan sebelah alisnya kemudian tersenyum miring. "Terserah." ujarnya kemudian berjalan tanpa suara langkah kaki mendekat ke Febbi yang membelakangi nya.
Dibukanya kemejanya hingga tubuh atas pria itu terlihat dengan otot-otot tubuh yang sempurna.
"Na.. Nasi goreng mau?" ujar Febbi terbata.
Juan menyentak tangan Febbi hingga tubuh gadis itu berbalik. Ia membulatkan mata melihat Juan yang shirtless. Febbi menelan ludah melihat pahatan otot-otot sempurna tubuh Juan. Mata Febbi melebar melihat bulu-bulu halus di dada Juan. Otot lengan dan perut pria itu tercetak sempurna.
"Menikmati apa yang kamu liat?" bisik Juan di telinga Febbi.
Pertanyaan Juan sukses membuat gadis itu gelagapan dan mendorong keras Juan hingga mundur beberapa langkah ke belakang. "A...aku akan buat nasi goreng kalau begitu."
Febbi bergerak cepat melintas kamar untuk menggapai pintu. Tapi gerakannya tidak begitu cepat bagi Juan yang sudah mencengkram tangannya dan menarik tubuh mungil gadis itu untuk dipeluknya. "Masakin aku tumis kangkung dan perkedel udang jagung."
Febbi mengangguk-angguk, wajahnya tepat didada pria itu. Febbi menelan salivanya gugup saat menyadari tubuh Juan pas di depannya. "O... O.. Oke... Aku akan masakkan tapi lepas aku dulu." cicitnya sambil menggerak-gerakkan tangannya yang masih di pegang oleh Juan.
Juan mundur selangkah dan melepaskan tangan Febbi. Pria itu memperhatikan Febbi yang bergerak cepat untuk keluar kamar. Suara pintu yang tertutup dan langkah kaki yang menggema di luar membuat tubuh pria itu terguncang oleh tawa.
Semakin hari Juan melihat satu per satu sikap Febbi yang menurutnya lucu. Seperti tadi yang seperti malu tapi mau, kemarin tingkah absurd gadis itu yang konser mendadak dan terjatuh koyol dari kursi. Besok apa lagi?
Juan menghentikan tawanya, gurat geli masih terlihat jelas di wajahnya. Dia kemudian menggeleng untuk mengenyahkan pikiran tentang Febbi dan memilih untuk membersihkan tubuhnya yang lengket karena keringat.
Juan mengambil handuk di lemari kemudian masuk ke kamar mandi.
Sedang Febbi yang baru saja tiba di dapur menepuk-nepuk pipinya yang terasa sangat panas. Bayang-bayang tubuh sempurna Juan masih memenuhi pikirannya dan membuat jantungnya berdetak tidak normal.
Febbi kemudian memperhatikan kedua tangannya. Kedua bola matanya terlihat memancarkan ketertarikan.
"Dada Kak Juan keras banget." Ujarnya sambil menepuk sekali tangannya. Kedua tangan Febbi tadi menyentuh dada Juan dengan pas.
Febbi menggelengkan kepalanya kemudian meremas rambutnya dengan kedua tangannya. "Huaaa... Febbi kamu tidak boleh memikirkannya. Dosa tahu nggak. "
Gadis itu menarik-narik rambutnya. Merasa greget sendiri.
"Tapi... Kok rasanya aku mau menyentuh dada keras Juan lagi?" celetuknya, kedua tangannya menangkup wajahnya malu.
"Apa yang dada keras, sayang?" tiba-tiba saja Bunda menyeletuk dari arah pintu ruang makan membuat gadis itu terkejut.
"BUNDAAAA..." Febbi memekik keras sambil mengelus dadanya melihat Bunda menatapnya dengan kedua alis terangkat. Jantung Febbi rasanya hampir copot.
Bunda berdiri di depan Febbi dengan raut menyesalnya lagi. "Bunda kagetin Febbi lagi, ya?"
Febbi mengangguk. "Jantung Febbi kayaknya udah copot, Bun." Katanya ngawur.
Bunda menepuk bahunya. "Huss. Nggak boleh ngomong kayak gitu. Emang Febbi punya penyakit jantung juga?"
Febbi mengerucutkan bibirnya. "Nggak, Bunda."
Bunda tertawa . "Ngapain di dapur, sayang? Febbi mau sentuh dada keras siapa?"
Febbi tersedak ludahnya sendiri mendengar penuturan Bunda. "Dada ayam, Bunda. Keras banget. Febbi tadi lihat di kulkas ada dada ayam yang keras." Kata gadis itu ngawur.
"Ha? Perasaan Bunda baru beli ayam tadi deh. Nggak mungkin kan ayamnya langsung keras," Bunda berjalan ke arah kulkas. "Kamu mau masak?"
Febbi mengangguk. Mencoba menormalkan degup jantungnya.
"Mau masak apa? Ayam goreng?"
Astaga...
"Febbi mau masak tumis kangkung sama perkedel udang jagung, Bunda. Juan katanya mau makan itu."
Bunda manggut-manggut sambil membuka kulkas kemudian mengeluarkan kangkung, udang dan jagung yang masih terlihat segar. Febbi berdiri di samping Bunda yang meletakkan bahan-bahan tersebut di meja dapur.
" Dada ayam, nggak?"
Febbi mengelus dadanya dengan pertanyaan tiba-tiba bunda. "Nggak, Bunda." rengeknya.
Bunda tertawa. "Bunda bantuin ya buatnya?"
Febbi mengangguk. Mereka menghabiskan waktu tiga puluh menit lebih untuk membuat tumis kangkung dan perkedel udang bawang.
Juan masuk saat Febbi meletakkan masakannya di atas meja makan. Gadis itu berdehem saat menyadari Juan duduk di sampingnya. Pria itu sudah memakai kaos polos berwarna merah tua dengan celana sebatas lutut. Febbi yang berada satu kaki dari Juan dapat menghirup aroma sabun mandi dari tubuh pria itu.
Mata Febbi dengan kurang ajarnya menatap dada Juan selama beberapa detik.
Dada ayam.
Febbi menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan pikiran tidak senonohnya. Dengan cepat dia meraih piring kosong.
"Mau aku ambilkan, kak?" Tanya Febbi dengan canggung. Sedang di seberang meja, Bunda tersenyum melihat interaksi mereka berdua.
"Nggak usah. Aku bisa ambil sendiri. Mending kamu duduk dan ikut makan." ujar Juan sambil meraih piring yang dipegang Febbi.
Febbi duduk di samping Juan. "Aku nggak makan. Udah ada janji makan sama teman di warung bakso depan kompleks." katanya.
Juan mengangguk dan memulai makanannya."Sejak kapan kamu punya teman di sini?" tanya Juan.
"Sejak tadi." balas Febbi. "Dia seangkatan sama aku. Satu jurusan dan satu kelompok kader juga."
Juan mengangguk. Setelag itu tidak ada lagi obrolan di antara mereka hingga Febbi pamit untuk kamarnya.
"Aku pamit ke kamar, Bun. Mau mandi."
"Iya, sayang."
Febbi langsung berlari ke kamar setelah itu.
.
.
.
Devino Syafikar
Aku ke sana setengah tujuh.
Febbi yang membaca pesan tersebut heboh sendiri. Lima belas menit lagi waktu yang dijanjikan Vino. Dia dengan cepat membuka lemari dan menarik pakaian yang cocok dia gunakan. Gadis itu bahkan menyempatkan diri berdandan hingga wajahnya tampak cantik malam ini.
Juan masuk setelah Febbi bersiap-siap. Dengan sebelah alis terangkat dan kedua tangan di dalam saku dia memperhatikan Febbi yang sedang memilah memilih koleksi bandananya. Gadis itu belum menyadari Juan yang bersandar pada pintu.
Pilihan gadis itu jatuh ke bandana berwarna biru dengan gambar bunga-bunga. Febbi berdiri di depan cermin sambil menggunakan bandananya. Ia menggerai rambut panjangnya malam ini.
Setelah merapikan poninya, gadis itu kemudian tersenyum bangga melihat dirinya sendiri sebelum berbalik untuk keluar.
"Astaga..." Pekiknya saat melihat Juan berdiri dengan kedua alis terangkat. "Kamu ngagetin aja terus."
Juan menatap tampilan Febbi dari atas ke bawah. Dia mendengus saat melihat penampilan gadis itu agak berlebihan hanya untuk makan bakso di depan kompleks. "Lepas jaketmu. Ganti dengan blazer. Kamu cuma mau ke depan aja kan?"
Febbi menyergit kemudian melihat tampilannya. Celana jins panjang dipasangkan dengan kaos pink dusty berlengan pendek yang dibalut dengan jaket jins berwarna merah maroon. Febbi rasa tidak ada yang salah dengan tampilannya.
Seperti menyadari pikiran Febbi, Juan kembali bersuara. "Dandanan mu sekarang seperti mau ke mall aja. Padahal cuma ke depan doang. "
Setelah mengatakan itu, Juan melangkah melewati Febbi untuk duduk di balkon.
Febbi berdecak. Mengikuti saran Juan. Kepercayaan dirinya jatuh di hadapan pria itu. Dia kembali membuka lemari dan mengambil blazer berwarna hijau tua dan memakainya.
" Aku pergi." Kata Febbi sebelum keluar kamar.
Juan memperhatikan seorang pria yang berdiri di depan pagar rumahnya. Juan menyipit kan matanya saat merasa familiar dengan pria itu. Matanya kemudian mengikuti langkah Febbi yang baru saja keluar dari pintu rumah dan membuka gerbang.
Juan mendengus melihat dua sejoli itu berjalan di antara kegelapan malam. Pria itu kemudian mengambil ponselnya di saku celana dan memilih menghabiskan waktu dengan bermain games online.
