Part 8. Kepedulian
Febbi berbaring terlelungkup dengan bantal sebagai penyangga di dadanya. Gadis itu seperti biasa larut dalam dunia maya. Padahal dia baru saja pulang dari kampus. Kedua telinga gadis itu tersumbat headshet warna hitam. Headset Juan yang pria itu simpan di laci nakas.
"Hi there, insahae hodeulgap eopshi
shijakaeyo seoron eopshi
seukinshibeun sayanghalkkeyo Back off back off," Fabbi mengangguk-anggukkan kepalanya kemudian menggerakkan tangannya seperti mengusir dengan wajah dibuat-buat songong sesuai lagu yang dia nyanyikan, bibir gadis itu bergerak mengikuti lirik lagu yang dia nonton di aplikasi video. "idaero joayo Balance balance."
Lagu IU BBIBBI mengalun dari kedua headset itu. Febbi sekali-kali mengguman dan mengikuti lagu itu. Ketika lagu tersebut akan sampai di reffnya yang sedari tadi momen yang di tunggu Febbi. Dengan gerakan cepat, Febbi berdiri dan mempersiapkan tubuhnya. "Yellow C a r d." dia kemudian menghempaskan tangannya, berusaha mengikuti gerakan dance dari lagu tersebut.
Pintu terbuka memperlihatkan Juan yang baru saja pulang, dengan wajah cengonya menatap Febbi yang juga terkejut melihatnya. Febbi langsung menjatuhkan tubuhnya dan berpura-pura menyibukkan diri dengan memaninkan ponselnya. "Pelanggaran.. Heee.... Itu pelanggaran. Kartu kuning! Huu... Wasit nya curang."
Febbi mengintip ke arah Juan yang masih saja diam di ambang pintu. Juan kemudian menggelengkan kepalanya tidak habis pikir dengan tingkah Febbi. Sekali lagi, dia melihat Febbi yang lain. Febbi yang jauh dari kata jaim.
" Oh Juan? Baru pulang?" Febbi berdehem. Melepaskan headset di kedua telinganya kemudian duduk bersila di atas tempat tidur. "Mau aku ambilkan makanan?"
Juan memdengus kemudian berjalan masuk. "Jangan pedulikan aku. Lanjutkan aja konser dadakan mu."
Febbi mengerucutkan bibirnya, matanya mengikuti Juan yang menaruh Tas ransel hitamnya di atas meja belajar. Pria itu kemudian melepas jaket kulitnya. "Turun gih. Dipanggil Bunda. Martabak yang aku belikan kemarin malam kenapa tidak dimakan? Mubazir lagi, kan."
Febbi mengerutkan dahinya. "Hah? Emang kamu belikan? Mana? Kok aku nggak liat?"
Juan membalikkan tubuhnya dan menatap Febbi. "Aku belikan. Tapi sekarang sudah basih. Sepertinya sudah dibuang deh sama Bunda."
Febbi kemudian turun dari tempat tidur. "Salah kamu siapa suru nggak kasih tahu aku." Setelah mengatakan itu Febbi berjalan keluar kamar. Meninggalkan Juan yang sekali lagi hanya bisa memandang Febbi.
"Lah.. Aku lagi yang salah?" Guman Juan kepada dirinya.
.
.
.
Grup calon peserta kader.
Kak Arul hut 017 mengirim File.
Kak Arul hut 017
Silahkan kalian lihat kelompoknya dan panitia penanggung jawab kelompok masing-masing kemudian buatkan grup tersendiri untuk kelompok masing-masing. Besok kita ketemu di lapangan.
Siap,kak
Siap,kak
Siap,kak.
Febbi membuka file itu. Mencari namanya diantara deretan-deretan nama lainnya. Mata gadis itu menyipit. Meneliti satu persatu dari kelompok satu ke kelompok berikutnya hingga dia menemukan namanya di kelompok 5 (Silvika). Gadis itu menyergit heran melihat nama-nama asing di kelompoknya. Sepuluh anggota. Dengan 7 pria dan 3 perempuan.
"Nggak apa-apa deh. Kan Ada Bimo juga." Bimo si pria narsis. Teman sekelas Febbi yang lumayan dekat dengan gadis itu.
Sekali lagi Febbi membaca nama-nama di kelompoknya.
Kelompok V (Silvika)
1. Bimo Mahendra
2. Hani
3. Devino Syafikar
4. Feni Arsah
5. Febbi Nursyam
6. Esra Magito
7. M. Zikrullah
8. Faiz Jumadil
9. Irfan Maulana
10. Pangeran Drawindra.
Panitia Penanggung Jawab :
1. Juan Putra Sanggara
2. Dwi Mita.
Febbi mengerjap. Sekali lagi membaca nama yang terpampang jelas sebagai panitia penanggung jawabnya. "Juan Putra Sanggara." ujar gadis itu.
"Kok dia lagi. Ini kenapa sih harus dia! Kan bikin kesel aja." Pekik Febbi.
Roti bakar yang dia baru buat diabaikan gadis itu. Kedua kakinya menghentak-hentak di bawah meja makan. "Aiss.. Kenapa harus Juan lagi! Kenapa bukan Kak Januar aja? Kan apes kalau panitia penanggung jawabnya Juan."
"Kenapa, sayang?"
"Astaga." Febbi memekik terkejut. Kursinya sampai tergoyang ke belakang hingga gadis itu terjungkang ke lantai. "Bundaaaa....."
"FEBBI!"
Gudubrak.
"Kamu tidak apa-apa sayang?" Dengan cepat Bunda menghampiri Febbi dan membantu gadis itu untuk berdiri.
Febbi meringis memegang kepalanya. "Nggak apa-apa kok, bun." Febbi tersenyum terpaksa. Menahan denyutan sakit di belakang kepalanya juga di sikunya. Febbi yakin sikunya pasti lecet.
"Ada apa, Bun?" Tau-tau Juan muncul di pintu ruang makan. Dahinya mengerut melihat Febbi yang dipapah oleh Bunda dan mendudukkannya kembali di kursi.
"Febbi jatuh." Bunda menatap khawatir Febbi. "Maaf, sayang. Bunda kagetin, ya?"
Febbi menggeleng. "Enggak kok, Bun. Febbi aja yang nggak hati-hati tadi."
"Sakit?" Bunda menggantikan tangan Febbi yang sedari tadi memijit kepalanya.
"Sedikit." Jujur Febbi. Gadis itu menyegir lebar.
"Tangannya berdarah." Guman Juan sambil meraih lengan kanan Febbi dan memperlihatkan siku gadis itu yang lebam dengan sedikit darah.
Febbi dengan cepat menarik tangannya. "Ah.. Nggak sakit kok. Cuma lecet begini."
Juan menatap lama Febbi sebelum mendengus dan berjalan keluar ruang makan. Febbi tersenyum kearah Bunda yang masih menatap gadis itu dengan khawatir.
Febbi memegang tangan Bunda. "Febbi baik-baik saja, Bun."
Bunda menghela nafas. "Bunda mengkhawatirkan mu, sayang." Bunda memeluk kepala Febbi. "Maafkan Bunda yang mengagetkanmu."
Febbi mengangguk. Juan kembali masuk dengan kotak P3K di tangannya. Pria itu duduk di samping Febbi. "Balik sini. Biar aku obati lukanya."
Febbi menurut, memposisikan tubuhnya menghadap Juan yang sudah membuka kotak P3K. Ia mengeluarkan kapas, alkohol, salep dan plester kemudian menaruhnya di meja makan. "Mana sini tangannya."
Juan menatap Febbi. Febbi mengulurkan tangannya, membuang pandangannya ke sembarang arah asal tidak menatap wajah Juan yang serius. Tangan Juan meraih lengan Febbi, meneliti lukanya terlebih dahulu sebelum membasahi kapas dengan alkohol.
" Bunda ke dapur dulu." setelah mengatakan itu, Bunda langsung ke dapur dan meninggalkan dua anak muda itu dalam keadaan hening.
"Tahan. Ini sedikit perih." kata Juan sebelum mulai membersihkan luka Febbi menggunakan alkohol.
Febbi meringis dan menarik lengannya tapi Juan menahannya. Pria itu dalam diam dengan cekatannya membersihkan luka di siku Febbi. Setelah membersihkan lukanya, Juan mengambil salep dan mengoleskannya pada luka Febbi.
Febbi menoleh saat merasakan hawa dingin dari salep itu yang mulai menyerap pada lukanya. Terakhir Juan menempelkan plester. "Selesai."
Febbi langsung menarik tangannya. "Terimakasih."
Juan mengangguk. Setelahnya langsung membersihkan dan mengembalikan obat-obatan ke dalam kotak. Febbi memperhatikan bagaimana pria itu mengerjakan tugasnya. Febbi merasakan sesuatu yang beda melihat bagaimana Juan mengurusnya. Perlakuan Juan berhasil menimbulkan kehangatan di lubuk hati Febbi.
Juan mengangkat kepalanya untuk menatap Febbi. Febbi gelagapan sendiri karena tertangkap sedang memperhatikan Juan.
"Makanya lain kali hati-hati." pesan pria itu.
Febbi mengangguk. Gadis itu masih tidak bisa menemukan suaranya. Apalagi saat Juan mengacak rambutnya sebelum beranjak dan meninggalkan dirinya terdiam memikirkan tingkah Juan.
Bagaimana pun, Febbi adalah seorang gadis. Mendapatkan perlakuan semanis itu mampu membuat wajahnya memerah.
Ting.
Ting.
Febbi menggelengkan kepalanya. Tidak. Dia tidak seharusnya merasa seperti ini.
Febbi mencari ponselnya yang berbunyi. Dia mendapatkan ponselnya berada di bawa meja makan.
Febbi langsung membuka whatsapp dan mengerutkan dahi.
Grup Kelompok Silvika.
6282xxxx menambahkan anda.
Febbi kemudian keluar dari kolom pesan grubnya. Dan membuka kolom pesan baru dari nomor asing.
6282xxxx
Febbi, kan?
Save nah.
Vino ?
Vino siapa?
Devino Syafikar.
Satu kelompok Silvika.
Seperti gadis lainnya jika ada nomor baru yang masuk ke ponselnya, Febbi membuka profil seseorang yang mengaku sekelompok dengannya. Febbi membulatkan mata saat melihat foto seorang pria dengan senyum manis di sana.
Dia masih ingat siapa pria itu.
Laki-laki barisan belakang.
