Part 10. Makan malam bersamanya
Febbi mendorong gerbang terbuka. Vino yang melihat itu dengan cepat membantu gadis itu menggeser gerbang. Febbi melewati pagar dan berdiri di depan Vino yang tersenyum hangat ke arahnya.
Febbi meremas kardigan yang dia kenakan saat rasa gugup bertemu orang baru dia rasakan. Gadis itu tersenyum canggung.
"Hai..." Sepertinya Vino juga merasakan hal yang sama melihat dari gerak-gerik pria itu yang juga tersenyum sambil mengusap bagian belakang lehernya. "Mau jalan sekarang?"
Febbi mengangguk.
Vino tertawa canggung. "Kita jalan nggak apa-apa, kan? Aku nggak bawa kendaraan karena ini cuma depan kompleks. Dekat."
"Ah.. Nggak apa-apa kok. Aku suka jalan malam seperti ini."
Vino tersenyum. Dia mempersilahkan Febbi jalan terlebih dahulu sebelum mensejajarkan langkah mereka. Lima menit terlewat hanya dengan suara langkah kaki yang menapak jalanan beraspal. Vino sekali-kali melirik Febbi sambil memikirkan obrolan yang cocok mereka untuk bahas.
"Eum... Feb? Kamu asli sini?" Tanya Vino dengan suara pelan.
Suara jangkrik yang menemani perjalanan mereka membuat suasana sepi itu terasa nyaman. Febbi menatap sebentar Vino sebelum menggeleng. "Bukan. Aku aslinya orang Makassar, Vin. Cuma kebetulan aja bisa lulus di sini."
Alvin mengangguk. "Suku bugis berarti?"
Febbi mengangguk membenarkan.
"Wuih.. Uang panainya pasti mahal."
Febbi tersedak ludah nya mendengar penuturan Vino. Gadis itu menatap pria itu yang juga balik menatapnya dengan raut geli. "Nggak semuanya kok uang panainya mahal. Emang kamu mengerti apa itu uang panai?"
"Mahar, kan?"
Febbi mengangguk. "Kamu tahu dari mana?"
"Dari Film Uang Panai Mahal." Cengir Vino.
Febbi menggeleng sambil tertawa. Suasana diantara mereka mulai mencair. "Kalau kamu asli mana?"
"Aku asli bandung."
Febbi hanya mengangguk mendengar Vino. Obrolan mereka berhenti saat mereka tiba di pintu masuk kompleks. Warung bakso itu berada tepat di seberang jalan besar yang ramai dilewati oleh kendaraan-kendaraan.
Tanpa pikir panjang, Vino meraih tangan Febbi untuk mengajaknya menyeberang jalan. Mereka melewati jalanan besar itu hingga mereka sampai di depan warung bakso yang cukup ramai.
Vino mengajak Febbi masuk. Pria itu kemudian berbalik menghadap Febbi. "Aku mau pesan. Kamu mau tunggu atau cari meja untuk kita?"
Febbi mengedarkan pandangannya. Melihat ada beberapa meja yang masih kosong gadis itu memilih menunggu Vino memesan untuk mereka. Gadis itu memperhatikan interaksi tukang bakso yang terlihat akrab dengan Vino.
Tidak lama pesanan mereka sudah jadi. Vino mengajaknya untuk duduk di salah satu meja yang masih kosong. Febbi menarik kursi plastik untuk dia duduki.
"Makasih." Ujar gadis itu saat Vino meletakkan semangkok bakso di depannya yang kuahnya mengeluarkan asap.
"Sama-sama." Balas Vino kemudian menarik kursi untuk dia duduki.
Sembari memcampuri bumbu untuk membuat bakso mereka lebih enak. Obrolan yang sempat terhenti kembali mengalir. "Jadi kamu di sini sendiri? Atau ada keluarga?"
Febbi menuangkan kecap manis pada baksonya. "Sama keluarga." Senior Yang Terhormat. Sambungnya dalam hati.
Vino menyesap kuah baksonya. Mereka memakan bakso sembari terus mengobrol mulai dari keluarga hingga pembahasan tentang perkuliahan.
"Eh... Kamu besok bukannya kuliah Pengantar Ilmu Kehutanan, kan?" Tanya Vino saat Bakso mereka hampir habis. "Di Ruangan A.3, nggak?"
Febbi menelan potongan baksonya. "Iya. Jam 10. Kok kamu tahu, sih?"
Vino mengambil gelas air mineral kemudian meminum nya. "Kelas kita gabung."
Febbi mengangguk. Dia baru ingat sekarang. "Ada tugas, nggak?" Tanya Febbi.
"Ada. Makalah tentang jenis-jenis hutan. Kamu sudah selesai?"
Febbi langsung mendongak menatap Vino. "Hah? Ada tugas? Mampus... Aku belum kerja." Gadis itu mengerucutkan bibirnya.
Vino tertawa. "Mau lihat punya aku?"
Febbi menatap Vino berbinar. "Boleh?"
Vino mengangguk. "Boleh. Tapi kamu jangan menyalin semuanya."
Febbi mengangguk antusias. "Tidak. Aku hanya melihat punyamu."
"Nanti aku antarkan ke rumah. Udah setengah sembilan, mau pulang sekarang?" Tanya Vino.
"Hah? Beneran? Cepat banget.. Tau-tau udah setengah sembilan aja. Ayo pulang." Sebelum beranjak dari kursi, Febbi menarik tisu untuk membersihkan mulut beserta tangannya kemudian menyusul Vino yang sedang membayar.
"Ayo."
Mereka berjalan keluar warung. Saat menyeberang jalan, sekali lagi Vino menggenggam tangan Febbi. "Eh, Vin. Tunggu sebentar. Aku mau beli martabak dulu." Sahut Febbi saat mereka tiba di depan pintu masuk gerbang kompleks rumahnya dimana di samping pintu ada penjuan martabak.
Mereka berjalan menghampiri penjual martabak. "Bang, martabaknya dua, ya!"
"Siap, Neng!"
Febbi menatap Vino yang memperhatikan penjual martabak itu membuat pesanan. Gadis itu tanpa sadar memperhatikan wajah Vino. Rahang pria itu tampak kokoh dengan kedua alis tebal. Febbi menyentuh alisnya, merasa iri.
"Ini, Neng."
"Berapa, Bang?" Tanya Febbi sambil merogoh saku celana jinsnya.
"Dua puluh ribu, Neng."
"Biar aku yang bayar."
"Eh.. Nggak usah. Ini biar aku aja. Aku ada uang kok, Vin." Dengan cepat Febbi mengeluarkan uang berwarna hijau dan mengambil pesanannya.
"Ayo, Vin."
Lima belas menit, mereka tiba di depan gerbang rumah Febbi. "Aku masuk, Vin."
Vino mengangguk. "Aku bawain makalah nya, nggak?"
"Filenya ada? Kirim ke wa aku aja kalau ada. Udah malam banget kalau kamu mau ke sini lagi."
"Ada. Nanti aku kirim. Udah sana kamu masuk."
Febbi mengangguk dan tersenyum. "Makasih, Vin. Untuk malam ini."
"It's Okey. Kapan-kapan lagi mau, nggak?"
"Boleh."
Vino membantu membuka gerbang dan menutupnya kembali saat Febbi sudah berada di dalam. "Dah!!"
Febbi mengangguk sambil melambaikan tangannya, menatap Vino yang berbalik dan melangkah pergi.
Gadis itu kemudian berbalik masuk ke rumah dengan perasaan yang sulit dia mengerti. Vino pria yang sangat baik dan juga sopan kepala perempuan.
Febbi membuka pintu rumah, lampu ruang tamu dimatikan pertanda orang di rumah sudah tidur. Gadis itu melepas sandalnya dan melangkah langsung naik ke atas kamar Juan.
Membuka pintu dengan pelan, Febbi melihat Juan yang bersandar di kepala ranjang dengan ponsel di tangannya. Febbi masuk, meletakkan kotak martabak di meja belajarnya.
"Udah kencannya?" Juan menurunkan ponselnya dan menatap Febbi yang sudah melepas bandananya dan mengikat rambut panjangnya.
"Siapa yang kencan. Aku cuma pergi makan."
Juan mengangguk. Pria itu melihat kotak martabak, dia kemudian beranjak dari tempat tidur untuk ke meja belajar. Membuka dan mengambil sepotong martabak untuk dia makan.
"Mau ngapain?" Tanyanya saat melihat Febbi membuka laptop dan menyalakannya.
Gadis itu juga mengambil martabak. "Mau ngerjain tugas. Lupa kalau ada tugas untuk besok."
Juan mendengus. "Makanya jangan kencan aja terus yang kamu pikirkan."
"Dibilang aku bukan kencan! Sana deh... Jauh-jauh.. Jangan ganggu aku dulu. Ini waktunya mepet banget."
Juan mendengus tapi memilih mengikuti perkataan Febbi. Pria itu mengambil sekotak martabak dan membawanya ke tempat tidur. Memilih memainkan ponselnya.
Kotak martabak sudah kosong. Febbi menguap dan meregangkan tubuhnya yang pegal. Berkat file yang dikirimkan Vino, tugasnya bisa selesai dalam satu jam. Gadis itu membalikkan kepalanya untuk melihat Juan yang masih saja sibuk dengan game onlinenya.
Membereskan Laptop, Febbi berjalan ke lemari untuk mengambil pakaian tidur kemudian masuk ke dalam kamar mandi membersihkan tubuhnya.
Saat keluar, Juan juga selesai dengan game nya, pria itu sudah berbaring dengan nyaman di tempat tidur dengan tangan sebagai penyangga kepalanya. Febbi mematikan lampu kamar dan menggantikannya dengan lampu tidur yang berada di atas nakan. Gadis itu kemudian menyingkap selimut dan membaringkan tubuhnya tepat di samping Juan yang memandang ke langit-langit kamar.
Febbi memeluk guling yang berada di tengah-tengah mereka, mata gadis itu yang tampak mengantuk menatap Juan dengan penasaran. "Kamu lagi mikir apa?" Tanyanya.
Juan hanya meliriknya sebentar. "Bukan urusan mu."
Febbi mendengus, memilih membalikkan tubuhnya membelakangi Juan dan menutup matanya. Entah pemikiran dari mana, Febbi ingin mengobrol malam ini dengan Juan. Tapu melihat reaksi Juan, gadis itu mengurungkan niat.
Saat dia baru saja jatuh tertidur, Febbi samar-samar merasakan tempat tidur bergerak dan sebuah tangan yang memeluknya. Tapi Febbi tidak ambil pusing, karena dirinya sudah sangat mengantuk.
