Part 7. Dia pacar Juan
Febbi menatap serius ponselnya. Entah apa yang dilakukan gadis itu lagi sampai keningnya berkerut dalam. Hembusan nafas terdengar sesaat dia melempar ponselnya sembarang arah. Gadis itu kemudian memekik! "Hua... Aku nggak kebagian PO!"
Febbi mengerucutkan bibirnya kesal. Percuma dia duduk anteng tiga jam di balkon kamar menunggu. Ini bahkan belum sepuluh menit novel yang dia incar open po tapi sekarang sudah sold out. Betapa gercepnya pembaca jaman now.
Dengan perasaan kesal Febbi kembali masuk ke kamar dan melihat Juan yang sedang duduk bersandar pada kepala ranjang membuat moodnya tambah buruk. Pria itu sedang bersantai dengan kedua telinga tersumbat headset dan kedua tangannya memegang ponsel.
Melihat Juan yang seperti itu saja membuat Febbi menggerutu dalam hati. Gadis itu menghempaskan tubuhnya di samping Juan yang tersentak kaget oleh kelakuan gadis itu.
Juan mengelus dadanya sambil menggeleng kan kepala. "Kenapa lagi tuh muka?" Tanya Juan ogah-ogahan.
Febbi membuka matanya kemudian menggerakkan tubuhnya agar menghadap Juan. "Aku kesal lihat kamu!" Semprot gadis itu. "Jauh-jauh gih."
Juan menyergap beberapa kali sebelum mendelik tersadar. "Lah... Emang aku kenapa?"
Febbi menunjuk wajah Juan dengan telunjuk lentiknya. "Nah ini yang bikin aku kesel. Wajah kamu yang sok ganteng plus nyeselin." Febbi memencet hidung Juan yang langsung ditepis pria itu. "Pergi gih.. Belikan aku martabak atau apa kek yang bisa naikin mood."
Juan kembali mendelik. "Lah siapa kamu suruh-suruh aku?"
"Istri kamu." Jawab Febbi enteng kemudian menggerakkan tubuhnya untuk telentang menatap langit-langit kamar
Juan menggeram kemudian berdecak. "Aku tidak mau."
Febbi mendengus dan terdiam. Dia hanya menatap lama pada satu titik di langit-langit kamar. Dia tahu Juan tidak akan menuruti keinginannya. Jadi dia tidak ambil pusing. Hanya saja Novel itu tergiang-giang di kepalanya hingga dia membayangkan melihat novel itu di langit-langit kamarnya seakan meminta Febbi untuk menjemputnya.
Febbi kembali mengerucutkan bibirnya. "Aku mau.. Tapi nggak kebagian."
Juan di sampingnya hanya memandang gadis itu dengan tatapan ngeri. Ia baru saja melihat Febbi yang lain dari biasanya. Febbi yang sekarang dia lihat adalah gadis manja yang keinginannya harus dipenuhi.
"Aku mau. Aku mau. Aku mau."
"Oke. Oke. Aku akan membelikanmu tapi berhentilah bersikap seperti itu." Juan langsung turun dari tempat tidur, menjauh dari Febbi. Bergidik melihat gadis itu yang masih saja meracau. "Kenapa kau berubah dalam semalam?"
Dengan cepat Juan meraih jaket kulitnya dan kunci mobilnya sebelum keluar dari kamar meninggalkan Febbi yang masih kesal karena tidak bisa mengikuti PO novel kesukaannya.
Bunyi notifikasi membuat gadis itu tersadar dan dengan cepat mencari ponselnya. Febbi mengerutkan dahi karena tidak mendapatkan keberadaan Juan di kamarnya. Gadis itu hanya mengedipkan bahu tidak peduli dan kembali mencari Ponselnya.
Febbi turun dari tempat tidur ke pintu balkon. Gadis itu mendapatkan ponselnya di dekat pintu balkon. Febbi membulatkan mata saat pemberitahuan dari Instagram Penerbit Novel itu kembali membuka Po.
Tanpa berpikir dua kali, Febbi langsung membuka aplikasi belanja online dan memesan novel tersebut. Dia bersorak riang saat belanjanya itu sudah masuk tahap kemas.
Febbi menghena nafas. Rasanya lega sekali. Dia tidak sabar untuk menunggu novel tersebut. Febbi tersenyum lebar. "Akhirnyaaa..... Tinggal tunggu aja deh novelnya."
Febbi kembali masuk ke kamar. Sekarang jam sebelas malam. Rasanya dia baru saja mengikuti perang saja. Gadis itu kemudian berbaring di ranjang, rasa kantuk langsung dirasanya. Dalam sekejap Febbi masuk ke alam mimpi.
Pintu kamar terbuka, dengkuran halus membuat Juan yang baru saja memasuki kamar itu terdiam. Mata tajamnya menatap pada seorang gadis yang tidur dengan nyenyaknya di tempat tidurnya, memeluk bantal gulingnya. Juan berdecak, ia kemudian mengangkat kresek yang berisi kotak martabak depan komplek perumahan yang dia belikan untuk Febbi.
Pria itu mendesah.
"Dasar gadis menyusahkan." Decak Juan kembali keluar kamar.
.
.
.
Kampus pagi ini, tepatnya di fakultas kehutanan digegerkan dengan gosip dikalangan mahasiswa terutama maba bahwa idolanya telah mempunyai pacar.
Jika saja suara hati yang retak bisa terdengar, pasti hari ini dipenuhi dengan suara retakan.
Febbi yang baru saja datang seperti biasa berjalan masuk ke dalam kelas dengan Wilda di belakangnya. Gadis itu memilih kursi barisan kedua dari belakang untuk dia duduki.
"Bening amat. Yang kentang mondorrr..."
Febbi menatap pada teman perempuan sekelasnya yang berkerumunan di depan.
Wilda yang memang mempunyai jiwa kepo langsung beranjak ke sana. "Ada apa. Ada apaan?" Celetuk gadis itu langsung menyeruduk masuk ke tengah.
"Ini Kak Juan punya pacar! Cantik lagi."
Fia, salah satu teman sekelas Febbi berdecak. "Bening amat lagi. Kak Juan emang nggak cocok sama kentang seperti kita-kita. Dianya cari gitar spayol."
Dengan penasaran Febbi beranjak juga. Mendengar kata pacar dan Juan membuat jiwa kepo Febbi keluar. Dia menatap penasaran pada layar ponsel Anni yang memperlihatkan seorang pria dan wanita yang sedang makan. Febbi mengangguk juga saat melihat si wanita.
Cantik. Batin gadis itu. Cocok dengan Juan.
Jika kalian pikir Febbi akan cemburu kalian salah besar. Sudah diawal pernikahan, mereka berdua sudah setuju satu sama lain bahwa tidak akan mengganggu dan ikut campur dengan urusan pribadi mereka. Jadi Febbi fine-fine aja mengetahui Juan mempunyai pacar.
Gadis itu bahkan berdecak kagum melihat pacar Juan yang cantiknya seperti artis-astis luar negeri.
"Gue tau nama nih cewek. Dia fakultas sebelah. Kirana! Salah satu primadona kampus!" Celetuk Intan. "Anak orang kaya."
Febbi kembali berdecak. Bukan cuma cantik aja, kaya juga ternyata. Juan memang cocok dengan gadis yang seperti itu.
.
.
.
Sebelum masuk kelas, Juan menyempatkan dirinya untuk pergi ke gedung PKM. Pria itu masuk dengan semua tatapan tertuju kepadanya.
"Nah ini si Juan datang juga." sahut Fino, salah satu teman seorganisasi Juan.
"Apaan?" Juan melempar Tasnya di meja kayu yang berada di tengah-tengah perkumpulan itu.
"Lo tenar lagi."
Juan berdecak. "Omong kosong apa lagi?"
"Si pangeran Fakultas ternyata sudah memiliki pawang." kata Fino dramatis. "Wa... Lo nggak bilang-bilang lo punya cewek bening amat dan body nya uuusss... Gitar Spanyol."
"Siapa yang bilang?" Juan duduk di kursi kayu dalam ruangan itu. Bergabung bersama teman-teman panitia olahraga karena hari ini mereka ada rapat.
"Banyak. Ramai tuh dikalangan maba. Lo bener pacaran?"
Juan mengangguk.
Fino melebarkan kedua bola matanya. "Beneran? Lo pacaran?"
Panni yang duduk di kursi depan Juan berdecak. "Lo ribut banget, Fin. Juan mau pacaran kek juga bukan urusan lo. Kita di sini mau rapat. Bukan gosipin Juan sama ceweknya."
Fino menggeleng. "Tunggu dulu. Ini tuh nggak bisa diabaikan begitu saja. Juan punya pacar tuh suatu keajaiban. Dari zaman sekolah nih cowok tidak pernah pacaran."
Juan menatap Fino. "Panni benar, Fin. Kita di sini untuk rapat."
Fino merapatkan bibir. Kalau Juan yang berkata-kata pria itu tidak bisa berkutit lagi. Dengan rasa penasarannya, Fino bergabung bersama mereka.
Juan menghembuskan nafas. Dia sudah mewanti-wanti bahwa kabar ini akan tersebar setelah dia bertemu Junior di McDonals malam itu. Sungguh, Juan benar-benar tidak suka urusan pribadinya diketahui orang lain.
Bersambung
