Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 6. Latihan Fisik

"Lari!"

Mampus! Bodoh! Febbi lelet! Gila!

Febbi merutuki dirinya sendiri karena datang terlambat. Kalau saja dia mendengarkan sahutan Juan yang menyuruhnya berangkat saja tanpa menunggu Wilda, dia pasti tidak akan terlambat. Gadis itu menambah laju larinya saat di lapangan Fakultas semua calon peserta pengkaderan terlihat berbaris melakukan pemanasan.

"Jongkok di situ! Jalan bebek!"

Mampus!

Otomatis mereka berdua langsung menurunkan tubuhnya untuk berjongkok dengan tangan berada di belakang leher saat mendengar sahutan dari panitia yang berjaga di belakang barisan. Febbi menarik nafas panjang, berusaha mengatur nafas nya terlebih dahulu sebelum mengambil langkah untuk berjalan. Sepuluh meter rasanya seperti berjalan dua kali lipat karena bentakan-bentakan panitia yang menyuruh mereka mempercepat langkah.

Febbi dan Wilda langsung berdiri dan mengambil posisi di barisan paling belakang untuk mengikuti pemanasan. Febbi kira, dia dan Wilda adalah yang paling terakhir datang, masih ada beberapa maba yang datang setelah mereka yang juga mendapatkan perlakuan sebelas dua belas.

Setelah melakukan pemanasan, Kak Panni-Panitia bidang olahraga yang memegang bagian pemanasan berganti posisi dengan sosok pria dengan aura dinginnya yang membuat Febbi susah payah menahan kedua bola matanya untuk tidak berputar saat Juan sekilas melempar tatapan geli pada gadis itu.

Wilda di samping Febbu celangak-celenguk menatap ke depan saat sosok Juan dengan wajah datarnya berdiri di depan dengan aura dinginnya. "Perkenalkan, Gue Juan Putra Sanggara sebagai ketua bidang olahraga. Gue akan bertanggung jawab penuh selama latihan fisik ini dengan teman-teman panitia bidang olahraga lainnya. Gue harap tata tertib yang telah dibacakan seminggu yang lalu tetap dipatuhi. Jika ada yang ketahuan melanggar, siap-siap saja dengan hadiah dari kakak panitia."

Febbi menatap Juan yang menatap dengan tatapan datarnya.

"Setelah melakukan pemanasan. Selanjutnya lari mengelilingi fakultas. Dua putaran untuk perempuan dan tiga putaran untuk laki-laki. Peraturan lari! Lagu Mars Rimbawan dinyanyikan dengan lantang non stop sampai putaran terakhir, barisan tidak boleh terputus, lari dengan barisan selang seling antara laki-laki dan perempuan!

"Barisan paling belakang harus laki-laki. Jika dari aturan tersebut ada salah satu yang tidak dipatuhi! Satu set satu pelanggaran! Kekompakkan harus kalian perlihatkan!" Juan berkata dengan kedua tangan dibelakang tubuhnya. "Kalian mengerti?"

"Siap, Mengerti, Kak!" serentak mereka menjawab.

"SEKARANG MULAI!"

Barisan laki-laki depan pinggir kanan berlari diikuti barisan depan perempuan. Seperti itu seterusnya hingga  hanya membentuk satu barisan. Febbi berlari berusaha untuk tidak tertinggal barisan karena dibelakangnya tersisa dua orang laki-laki yang dia tidak kenal dan Wilda yang berada di antara mereka.

"HEI PERWIRA RIMBA RAYA MARI KITA BERNYANYI...." Lagu Mars Rimbawan terdengar lantang mengiringi barisan. Febbi hanya bernyanyi pelan karena rasanya sulit bernyanyi sambil berlari.

Nafas gadis itu mulai memburu padahal baru setengah berlari. Suara lantang dibelakang nya membuat gadis itu melirik sekilas menatap pada laki-laki jangkung yang juga balik menatapnya. "Perhatikan larimu."

Febbi mengerjap dan kembali menatap ke depan.

"RIMBA RAYA RIMBA RAYA INDAH PERMAI DAN MULIA. MAHA TAMAN TEMPAT KITA BEKERJA.."

Febbi hanya menggerakkan mulutnya tanpa mengeluarkan suara karena dia yakin percuma saja bernyanyi karena suaranya akan tertutupi oleh suara lantang dari belakang. Terlihat kakak-kakak panitia yang berada di luar barisan yang sekali-kali berteriak menyuruh mereka lari dan menyanyi.

"Kalau kamu nggak kuat jangan paksakan." Febbi tersentak saat tiba-tiba saja Juan juga berlari di sampingnya sambil berbisik. "Disini nggak butuh perempuan yang fisiknya lemah."

Setelah mengatakan itu, Juan berlari sambil berkoar-koar dengan aturan gilanya. Febbi mengatupkan bibir rapat. Berusaha untuk tidak memaki. Dia tahu fisik nya lemah. Tapi lari seperti ini dia yakin dia masih bisa. Apalagi ini cuma lari santai.

Febbi melototi punggung Juan yang berhenti di depan barisan. "Suaranya lebih lantang lagi!"

Satu putaran selesai. Satu putaran lagi. Nafas gadis itu sudah terengah-engah dengan keringat yang bercucuran di tubuhnya. Nyanyian yang awalnya terdengar lantang sekarang hanya berupa bisikan dengan helaan nafas yang mengiringi. Hanya suara dari pria yang terdengar.

Febbi menyeka keringat di dahinya menggunakan lengan baju. Meneguk ludah saat tenggorakan nya terasa kering.

Sebentar lagi, hanya beberapa langkah lagi untuk kembali ke lapangan. Febbi memaksakan tubuhnya untuk bertahan, mengabaikan Juan yang sekali-kali melewatinya.

Febbi menghembuskan nafas lega saat dua putaran sudah terlewat. Mereka kembali masuk ke lapangan dengan barisan laki-laki yang masih terus berlari.

"Jangan duduk!"

Febbi yang baru saja akan duduk tersentak dengan bentakan itu. Dia menatap pada senior perempuan yang berdiri di depan mereka. "Gerakkan kaki kalian selama lima menit setelah itu kalian boleh duduk."

Febbi mengangguk kemudian menghempas-hempaskan kakinya dan memutar-mutar pergelangan kakinya. Hawa panas disebabkan lari masih dia rasakan. Dia mengibas-ngibaskan kera bajunya untuk mengurangi gerah yang dia rasakan.

Setelah lima menit, mereka diizinkan duduk duduk semua menunggu barisan laki-laki selesai dengan larinya.

"Kaki kamu jangan dilipat. Luruskan."

"Siap, kak!"

Febbi meluruskan kakinya dan melemaskannya. Lagu Mars yang dinyanyikan lantang terdengar semakin dekat. Di ujung jalan, terlihat barisan dari laki-laki yang berlari kecil.

Dari sisi kanan juga, seorang kakak panitia berjalan membawa satu galon air dan meletakkannya di depan barisan. "Yang mau minum silahkan minum." kata kakak panitia itu.

Febbi masih belum bisa menggerakkan tubuhnya. Gadis itu memperhatikan teman seangkatannya yang berdiri akan mengambil air minum dengan gelas bekas air mineral sebagai gelasnya. Febbi masih mencoba mengatur nafasnya sebelum beranjak untuk minum juga.

"Dimana jiwa kebersamaan kalian? Teman kalian masih lari dan kalian ingin minum?"

Febbi yang tadinya baru saja akan berdiri urung saat tahu-tahu Juan melewatinya sambil berteriak lantang. "Jangan ada yang minum sebelum yang lainnya tiba."

Febbi meneguk ludah karena rasa haus yang ia rasakan. Gadis itu  menarik nafas dan menghembuskan pelan, merasa kesal sendiri. Satu panitia menyuruh mereka minum sedangkan beberapa panitia melarang.

Bingung.

Terdengar hembusan nafas lega saat barisan laki-laki masuk ke dalam lapangan. Mata gadis itu langsung tertuju pada seorang pria yang berlari di bagian belakang barisan.

Ganteng.

Febbi mengedipkan mata beberapa kali. Terdasar dengan pikirannya sendiri. Gadis itu kemudian menggeleng.

Jaga mata, Feb! Kamu sudah menikah!

"Sekarang kalian boleh minum!" sahut Juan di depan sana.

Febbi menatap Juan yang sedang mengerutkan dahi tampak berpikir melihat ke barisan perempuan yang berjalan ke depan. "Yang teratur! Kalian duduk kembali! Itu saja mau diatur lagi! Mulai dari barisan depan!"

Dua orang perwakilan perempuan dan laki-laki naik untuk mengambil minum. Semua teratur. Tidak ada yang berani melanggar titah Panitia.

Hingga tiba giliran Febbi untuk maju. Gadis itu berjongkok di dekat galon yang masih terisi setengah.

" Biar gue yang tuangkan. Nih." Febbi mendongak menatap pada laki-laki yang menyodorkannya gelas kosong.

Laki-laki barisan belakang.

Dengan kikuk, gadis itu mengambil gelas tersebut. Dengan kedua tangannya, diletakkannya gelas tersebut di mulut galon dan pria itu menuangkan air minum untuknya.

"Terimakasih." Febbi tersenyum kepadanya.

Pria itu mengangguk. "Sama-sama." Setelah mengatakan itu dia juga menuangkan air pada gelasnya. Febbi minum dengan pandangan tidak lepas dari wajah pria itu yang dipenuhi oleh peluh.

Mereka menaruh kembali gelas bersamaan. Mata mereka saling pandang dan melemparkan senyum kemudian mereka berbalik.

"Astagaa.. Merah."

"Wajahnya memerah."

Febbi sontak menyentuh wajahnya yang terasa hangat. Gadis itu mengerutkan dahi dan dengan tergesa-gesa kembali ke tempat dia duduk. Wilda di sebelahnya menatap Febbi penasaran, "Wajah lo merah banget."

"Jangan khawatir. Wajah gue memang selalu merah selesai beroralah raga." Ujar Febbi.

Dia tidak bohong. Wajahnya memerah bukan karena perhatian laki-laki tadi. Hanya memang selalu seperti itu saat dia selesai berolahraga.

.

.

.

Bby ❤️

Aku di depan.

Juan menaruh ponselnya di dasbor mobil menunggu Kirana untuk keluar rumah. Malam ini mereka akan keluar seperti malam minggu kemarin-kemarin. Juan memperhatikan Kirana yang baru saja keluar dari rumahnya dengan dres berwarna cream dengan motif garis-garis hitam  yang melekat pas di tubuh indahnya. Pria itu keluar dari mobil dan membukakannya pintu.

"Good Night. My Sweetheart." Ucap Juan dengan senyuman manis saat Kirana memasuki mobilnya.

Jaun dengan cepat masuk ke mobil. Setelah menutup pintu mobil dia berbalik menghadap Kirana. "Cantik seperti biasanya."

Tangan pria itu bergerak untuk menyelus puncak kepala Kirana dengan sayang sebelum memajukan tubuhnya untuk mengecup pipi gadisnya yang malam ini tampak merona malu. "Mau kemana, sayang?"

"Mekdi dulu deh. Aku belum makan malam."

Juam mengangguk dan bergerak untuk memasangkan sabuk pengaman untuk Kirana. Pria itu menahan tubuhnya tepat di depan wajah Kirana. Tangannya menarik sabuk pengaman sedangkan wajahnya mendekat untuk mencium dan menyesap bibir manis gadisnya yang malam ini terasa seperti vanila.

Setelah itu, Juan menjauhkan tubuhnya dan memakai sabuk pengamannya juga. Kemudian menjalankan mobil ke pusat kota.

Selama perjalanan tangan Juan tidak bisa lepas dari tangan Kirana yang malam ini sangat halus dan kecil digenggamannya. Juan meminggirkan mobilnya di McDonald yang berada di pusat kota.

"Ayo turun."

Juan membawa Kirana masuk melewati Pintu. Langkahnya terhenti saat di salah satu meja berisikan enam kursi yang penuh dengan wajah-wajah familiar.

"Kenapa?" Tanya Kirana.

Juan menggelengkan kepala dan kembali melanjutkan langkah. Mencoba mengabaikan Junior-Junior tersebut yang tampak sibuk dengan kegiatan mereka.

Juan sampai di meja pemesanan. Mencoba tidak terusik dengan sahutan-sahutan yang mulai memasuki pendengarannya.

"Itu kak Juan?"

"Mana?"

"Itu yang lagi mesan! Kak Juan, kan? Sama cewek?"

"Lah iya. Kak Juan!"

"Kak Juan punya pacar?"

"Uwaaa. So sweetnya. Ceweknya bening amat!"

"Cantik banget ceweknya."

Juan mengeratkan genggaman tangannya sebelum menatap ke arah mereka yang membuat mereka seketika terdiam.

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel