Part 4. Dia adalah suamiku
Sinar matahari menyelinap masuk ke dalam sebuah kamar bernuansa abu-abu menyilaukan sebuah mata yang tertutup nyenyak dalam tidurnya. Terlihat kerutan di dahi Juan, pria itu mengeratkan pelukannya saat merasakan kehangatan dan kenyamanan pagi ini. Rasanya tidak ingin bergerak sedikitpun. Jadi pria itu mengeratkan pelukannya ke bantal guling kemudian menghirup aroma stroberri yang menyeruak memenuhi penciumannya.
Nyamannya.
Juan menyerukkan wajahnya ke bantal tersebut. Mulai hari ini bantal ini akan menjadi bantal favorit nya karena kenyamanan baru yang dia rasakan. Sekali lagi dihirupnya aroma stroberi itu dalam-dalam. Pria itu tersenyum. Aroma nya familiar untuk Juan. Seperti aroma yang samar-samar selalu dia rasakan di rumah ini. Dan lebih dominan di kamar gadis itu.
Tunggu...
Jangan bilang...
Shit.
"Uhmm.." Terdengar suara serak yang mengeluh. "Kamu membuatku sulit bernafas Juan."
Juan langsung lepaskan pelukannya dan tersentak bangun terduduk. "Apa yang kamu lakukan?" tuduhnya pada Febbi yang baru saja mengucak matanya.
Gadis itu membuka mata kemudian menatap Juan. "Apa yang aku lakukan?" Febbi mengerjap beberapa kali, berusaha mengumpulkan kesadarannya sebelum perhatiannya terpusat ke Juan, gadis itu mengangkat tangan menunjuk Juan. "Seharusnya itu yang aku tanyakan kepadamu! Apa yang kamu lakukan padaku senior yang terhormat?"
Juan berusaha menahan tatapannya tetap menajam kemudian mendengus. "Salahmu sendiri kenapa kamu tidur di ranjangku dan dekat-dekat denganku?"
"Kau yang memelukku kenapa aku yang kau salahkan? Kau sendiri yang menarik ku semalam dan memelukku dengan erat!"
Juan berdecak dan mengibas tangannya, "Sudah lupakan. Apa kau tidak kuliah?" katanya mengalihkan pembicaraan.
Febbi memutar kedua bola matanya malas. "Ini sabtu, kak."
Juan menggaruk belakang kepala mya yang tidak gatal sama sekali. "Oh iya. Ya udah. Sana kamu bangun. Jangan jadi istri pemalas kamu!" Juan menunjuk hidung Febbi dengan jari telunjuknya yang panjang. "Aku tidak suka istri pemalas."
Febbi menyingkap selimut kemudian turun dari ranjang dan berdiri di samping ranjang dengan kedua tangan terlipat di dada. Seakan menantang pria itu. "Kayak aku mau jadi istri kamu saja." dengusnya. Gadis itu menjulurkan lidahnya pada Juan sebelum beranjak ke kamar mandi.
"Lah kamu kan istri aku. Yaa... Walaupun kepaksa." Guman Juan pelan. Ia menatap lama pintu kamar mandi yang tertutup. Samar-samar dia bisa mendengar suara percikan air dari shower.
Juan terdiam sejenak. Bisa-bisanya dia berpikir bahwa Febbi menggemaskan saat gadis itu mengeluarkan lidahnya?
Hell..
No. No. No.
Sepertinya otaknya butuh didinginkan sekarang.
Juan menggelengkan kepalanya lalu meraih ponselnya yang ada di atas nakas. Dia kemudian membalas pesan Kirana yang belum sempat dia balas semalam.
Bby ❤️
Mama manggil kamu datang ke rumah besok. Katanya dia kangen calon mantunya.
Juan membalaa dengan cepat.
Mama mertua aja nih yang kangen? Anaknya tidak?
Juan tertawa pelan saat membaca pesan balasan Kirana yang masuk dengan cepat pula.
Jangan mulai deh. Basi tahu, nggak.
Hehe.. Sayang deh sama kamu. Okey aku akan bertemu mama mertua sekalian mau culik anaknya buat malam mingguan.
??
???
Pintu kamar mandi terbuka menampilkan Febbi yang berjalan keluar menggunakan jubah mandinya. Kedua tangan mungilnya menggosok-gosok rambutnya menggunakan handuk. Jubah mandi yang sebatas pahanya membuat Juan bisa melihat betis gadis itu yang mulus tanpa bulu. Juan adalah pria normal dan melihat itu membuat pikiran nya kemana-mana.
"Liat apa kau?" Juan mengangkat kepalanya untuk menatap Febbi. Pria itu tersentak dan dengan refleks menghindar dari handuk yang melayang ke arahnya yang tepat mengenai wajahnya. "Mata tuh dijaga."
Juan menyingkirkan handuk itu dan melihat Febbi yang berkacak pinggang.
"Makanya punya tubuh tuh jangan diumbar. Jangan salahin mata aku lah, mata aku kan juga butuh pencerahan."
Febbi mendengus keras, memilih berbalik ke lemari pakaian dan mengambil pakaiannya. "Pencerahan nenek kamu." setelah mengatakan itu dia kembali masuk ke dalam kamar mandi.
Juan tertawa pelan melihat sikap gadis itu. Menggeleng kan kepala tidak menyangkah Febbi seberani itu dengannya mengingat dia adalah senior di kampus gadis itu.
Juan tersenyum miring. Tunggu apa yang akan dia lakukan di pengkaderan nanti. Juan akan merencanakan sesuatu khusus untuk gadis itu.
.
.
.
Saat Febbi keluar dari kamar mandi, Juan sudah tidak ada di tempat tidur. Gadis itu berdecak melihat tempat tidur yang berantakan dengan selimut di lantai dan bantal-bantal yang berserakan. Tanpa berpikir panjang, gadis itu bergerak untuk membersihkan kamar.
Juan masuk kembali sesaat gadis itu selesai membersihkan kamar. Sedangkan Febbi sedang memeluk keranjang cucian kotor yang berisikan pakaian mereka. "Aku akan mencuci. Kamu nggak ada lagi pakaian kotor selain ini?"
"Nggak ada." kata pria itu cuek.
Febbi mendengus. Tangan gadis itu gatal ingin menarik rambut cokelat pria itu sampai botak dan mencakar wajah gantengnya agar ekspresinya terganti. Mengenyahkan pikiran yang dia yakini tidak akan terjadi, gadis itu berjalan keluar kamar merasa malas berurusan dengan Senior yang terhormat itu lama-lama.
Febbi melangkah menuruni tangga ke lantai bawah. Gadis itu menuju bagian belakang rumah di mana ruang khusus untuk mencuci pakaian. Ruang 4x5 yang hanya berisi mesin cuci dan gumbang besar berisi air penuh.
Febbi memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci kemudian mengisinya dengan air dan deterjen. Saat gadis itu baru saja akan memutar tombol mesin, tau-tau Juan muncul dengan cengiran khas nya.
Febbi yang melihat itu berdecak dan memutar matanya. "Apa lagi?"
Juan berjalan masuk sambil melirik ke mesin cuci sebelum mengulurkan tangannya yang tersembunyi di balik punggungnya. "Hehehe..."
Febbi mendengus dan mengambil pakaian dalam Juan, sebuah boxer dan baju dalam. Jangan heran, selama mereka bersama, Febbi bertugas untuk mencuci pakaian pria itu, mau itu pakaian santai ataupun pakaian dalam. Mereka tidak keberatan sekalipun.
" Ululu.. Rajinnya istriku." Tanpa Febbi duga, Juan mengusap puncak kepala gadis itu yang membuatnya sukses terdiam. "Aku keluar dan mungkin pulang larut malam. Aku tidak melihat Bunda jadi aku izinnya di kamu."
Febbi menepis tangannya kemudian berdehem, berusaha mengontrol dirinya sendiri yang sedikit salah tingkah oleh perlakuan Juan yang tiba-tiba. "Pergi aja sana. Nggak usah pake izin segala. Biasanya juga begitu."
"Kan aku izinnya sama Bunda. Tapi bundanya nggak ada. Kalau bunda mencariku kamu bilanglah aku keluar. Mau kumpul sama teman dan sekalian malam mingguan." ujar Juan panjang.
Febbi mengangguk seperti anak anjing. Juan menyunggingkan senyum lebar sebelum keluar. Gadis itu terdiam. Dengan perlahan tangan kanan nya bergerak menyentuh dadanya, tepat di jantungnya yang berdetak kencang.
.
.
.
Juan menepikan mobilnya di depan rumah mewah berlantai tiga dengan dua tiang raksasa yang menyangga balkon. Pria itu keluar dari mobil nya dan melangkah menaiki tangga teras untuk ke pintu ganda berwarna putih bercampur emas. Juan menekan bel beberapa kali hingga seorang wanita dengan tubuh gembulnya membuka kan pintu.
"Eh Mas Juan. Nyonya sudah menunggu Mas sedari tadi. Nyonya bilang kalau Mas datang langsung naik aja ke kamarnya." Ujar Bi Salsa, pengurus rumah mewah itu.
Juan mengangguk dan melangkah masuk ke dalam. Interior bernuansa eropa yang tidak asing lagi di matanya menyapa penglihatan pria itu. Ia berjalan menuju tangga yang menghubungkan lantai dasar dan lantai atas yang berada di tengah-tengah ruangan yang melengkung ke atas. Dia berjalan melewati tangga yang melengkung mewah ke atas dengan ukiran yang cukup rumit di pembatas tangga.
Sesampainya di atas, Juan membawa langkah nya ke arah kanan melewati lorong dengan potret-potret keluarga yang tergantung di dinding sepanjang jalan hingga dia tiba di pintu ganda lainnya yang berwarna pink halus.
Tanpa mengetuk, Juan mendorong pintu terbuka menampilkan kamar yang di dominasi oleh warna pink. Tempat tidur yang sangat luas dengan kelambu halus yang menggumpal di kepala ranjang. Karpet berbulu di samping ranjang yang kontras dengan lantai yang berwarna putih bersih. Mata pria itu tertujuh ke seorang gadis yang berdiri membelakanginya sedang menatap keluar jendela raksasa yang memperlihatkan taman belakang rumah yang luas.
Dengan senyum lebar yang tercetak di wajah tampannya, Juan mengambil langkah mendekati ke arah gadis tersebut kemudian melingkarkan kedua tanganmya di tubuh mungil gadis itu.
"Hai.... Sweetheart." Sapa nya sambil mengecup pipi gembul gadis itu.
Kirana, gadis itu berbalik menghadapnya sehingga mereka saling berhadapan dengan jarak yang sangat tipis diantara mereka. Kirana hanya setinggi dada Juan membuat pria itu leluasa memeluknya.
Dengan lembut, disingkirkannya beberapa helai rambut yang menutupi wajah indah gadisnya itu yang sekarang ini sedang cemberut dengan bibir yang mengerucut sebal.
"Lama.." Rengek Kirana membuat Juan mencubit pipi gadis itu gemas.
"Macet, sayang."
"Alasan."
Senyum tidak hilang dari wajah Juan. "Nggak. Beneran macet."
"Mama sudah menunggu lama."
Juan berpura-pura memasang wajah cemberut. "Mama mertua aja yang nungguin? Anaknya, nggak?"
"Juan ih..."
Juan tertawa dan dengan gemas mengacak rambut Kirana. Gadis itu mendongakkan wajahnya dan berjinjit lalu menutup kedua mata kecilnya. Juan sontak menghentikan tawanya dengan wajah yang dia turunkan. Bibir mereka menempel. Rasa manis dari bibir ranum Kirana membuat Juan memcecap rasa tersebut.
Juan melepas ciumannya. "Kirana..."
"Hm?"
"Aku mencintaimu."
Bersambung
