Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 2. The Acting

Febbi berjalan menghampiri Bunda Dewi, wanita dewasa yang cantik walaupun sudah berusia empat puluh tahun yang baru saja turun dari Taxi. Ia adalah Bunda Juan sekaligus Ibu mertuanya. Febbi mencium tangan Bunda sebelum mengambil alih kotak Pizza yang dibawanya.

"Malam, Bunda. Bagaimana kabarnya, Bun?" Ujar Febbi sambil meraih sebelah lengan Bunda. Mereka berjalan menaiki tangga teras untuk masuk ke dalam rumah.

"Baik, sayang. Kalau kamu gimana? Juan tidak merepotkanmu, kan?"

Febbi melepas pegangannya pada lengan Bunda saat Juan mendekat dan menyalim tangan bundanya. "Mana ada Juan ngerepotin. Yang ada itu Febbi yang ngerepotin Juan, Bun." celetuk pria itu, tersenyum miring kepada Febbi.

Febbi mendelik kepadanya. "Aku nggak ngerepotin."

Juan memutar kedua matanya. "Iyya, nggak ngerepotin. Siapa yang setiap malam sok-sok an mau tidur sendiri tapi ujung-ujungnya tengah malam nyelinap masuk kamar aku minta dipeluk?"

Jelas apa yang dikatakan Juan adalah kebohongan belaka.

Febbi langsung menghampirinya dan membekap mulut pria itu. "Heh sembarangan kalau ngomong. Aku nggak kayak gitu tahu!" decak gadis itu tidak terima.

Juan melepas tangan Febbi dari mulutnya kemudian menggenggam tangan tersebut. "Iya. Iya."

Bunda tertawa mendengar percakapan mereka. "Sudah sudah. Ayo masuk. Bunda bawain kalian Pizza. Melihat interaksi kalian, sepertinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Febbi mengangguk. Mereka masuk ke dalam rumah dengan Febbi yang berjalan ogah-ogahan melihat tangan mungilnya yang digenggam oleh tangan besar Juan. Bunda dan Juan menuju ruang keluarga dan duduk di sofa. Sedangkan Febbi langsung ke dapur untuk membuat minuman. Gadis itu membuka kulkas dan mengeluarkan Jus melon kemasan kemudian meraih tiga gelas di lemari atas.

Febbi kemudian membuka kemasan jus itu dan menuangkannya. Saat ia akan menuangkan ke kelas ke tiga, Juan masuk ke dapur menghampirinya.

"Bunda ingin tinggal agak lama. Mungkin sekitar 3 bulan." Ujar Juan santai.

"Apa?" Febbi menatapnya horor.

Juan mengangkat bahu. "Tapi bagus juga. Aku jadi punya banyak waktu berduan sama kamu."

Febbi meletakkan kedua tangannya di pinggang. Bersidekap menatap tajam Juan. "Tuan Juan yang terhormat. Jangan ngada-ngada deh. Aku nggak sudi ya satu kamar sama kamu."

"Kalau begitu, kamu mau tidur di mana? Bunda mau nempatin kamar kamu. Otomatis kamu tidur di kamar aku lah."

Febbi mendengus kesal. "Tidur sama bunda lah."

Juan tertawa. Pria itu kemudian mengacak puncak kepala Febbi. "Dasar anak mami. Bunda pasti nggak setuju. Dia pasti maksa kamu tidur sama aku."

Febbi terdiam. Rumah yang dibeli Om Yuan, Ayah Juan khusus hadiah pernikahan mereka memang hanya memiliki dua kamar, satu ruang keluarga, ruang tamu dan ruang makan yang terhubung dengan dapur. Rumah minimalis yang berada cukup dekat dengan kampus.

Fabbi menatapnya tajam memilih mendengus dan mengambil nampan dengan gelas jus di atasnya kemudian membawanya keluar. Gadis itu berjalan ke sofa dengan Juan yang berjalan di belakangnya.

Setelah meletakkan nampan di meja, Febbi memilih duduk di samping bunda. Gadis itu merasa sangat beruntung memiliki ibu mertua seperti Bunda, yang sangat menyayanginya dan mampu menghadirkan rasa nyaman di diri Febbi.

Febbi menatap tajam Juan yang memilih duduk di sampingnya. Jadi sekarang dia duduk di tengah-tengah Bunda dan Juan. "Ih... Kenapa duduk di sini, sih?"  protesnya.

Juan mengambil sepotong Pizza di atas meja tanpa mempedulikan protesan Febbi. Gadis itu mengerucutkan bibir, memilih mengambil sepotong Pizza juga dan menggigitnya dengan gigitan besar.

Kemudian berbalik menghadap Bunda yang memperhatikan mereka sedari tadi. "Kenapa, Bun?"

Bunda menggeleng menahan tawa. "Kalian bagaimana di kampus? Masih sembunyiin hubungan kalian?" Tanya bunda.

Bunda tahu kalau di kampus, mereka bersikap tidak kenal satu sama lain. Sebelum menikah, Febbi membuat perjanjian dengan Juan pada saat di kampus mereka akan bersikap tidak saling mengenal satu sama lain mengingat bagaimana tenarnya Juan di kampus.

Mereka memilih backstreet saja, toh, mereka berdua tidak keberatan juga. Itu juga untuk memudahkan mereka. Lebih mudah untuk bersikap tidak saling kenal di kampus.

"Iya, Bun."

Bunda kemudian menatap Juan. "Bunda percaya sama kamu, Juan. Kamu harus menjaga Febbi di kampus. Kamu tahu kan Febbi memiliki penyakit yang bisa kambuh kapan saja."

Febbi terdiam dan menghentikan kunyahannya. Rasa Pizza yang enak mendadak hambar mendengar perkataan Bunda. Kembali, Ia mengingat hal yang paling dia tidak suka.

Febbi mengidap penyakit Asma dari kecil juga Mag akut . Gadis itu menghembuskan nafas. "Bun, Febbi bisa jaga diri sendiri, kok. Juan juga pasti sibuk di kampus apalagi dalam waktu dekat ini ada pengkaderan jurusan. Juan kan panitia. Pasti sibuknya bukan main."

Bunda memegang kedua tangan Febbi. "Tidak, Febbi. Ayah kamu telah mempercayai Juan untuk menjaga kamu. Kami tidak mungkin mengecewakan Ayah dan Ibu kamu."

Mata Febbi terlihat berkaca-kaca, dengan cepat ia menghambur ke pelukan Bunda. "Terimakasih, Bun. Sudah sangat baik sama Febbi."

Bunda mengusap punggung Febbi dengan sayang. "Ya, sayang."

***

Febbi terbangun pagi ini dengan Juan yang masih tertidur lelap di sampingnya. Wajah pria itu terlihat sangat polos, entah kenapa Febbi jadi ingin berlama-lama menatap wajah tanpa dosa Juan. Untuk pertama kalinya dia terbangun dengan Juan di sebelahnya, menghadap ke arahnya. Rasanya? Febbi tidak bisa mendeskripsikannya.

Gadis itu tersadar, untuk apa dia memperhatikan Juan? Febbi mendengus. Memilih bangun dari tidurnya untuk ke kamar mandi.

Setelah mandi dan bersiap-siap ke kampus, gadis itu turun ke ruang makan di mana Bunda sudah mempersiapkan sarapan pagi.

"Pagi, Bun." Sapa nya sambil mengecup pipi Bunda. "Masak apa?"

Bunda memberikan Febbi piring kosong, "Makanlah sebelum ke kampus, sayang. Bunda masakkan nasi goreng untuk kamu. Juan mana?"

Febbi menarik kursi dan duduk di sana. "Masih tidur, Bun. Juan tidak ada kuliah pagi."

Bunda menggeleng. "Kebiasan, dari kecil Juan selalu telat bangun. Febbi harus selalu sabar ngadepin anak bunda."

"Siap, Bunda."

Mereka makan dengan obrolan-obrolan kecil di antara mereka. Bunda selalu seperti itu, menceritakan masa kecil Juan atau paling tidak menceritakan kisah asmaranya dengan Om Yuan. Dan Febbi selalu antuasias dengan cerita Bunda. Apalagi saat itu berkaitan dengan Juan.

"Bun, Juan emang gitu ya dari kecil? Dingin banget."

Bunda tertawa. Sebelum menjawab pertanyaan Febbi, bunda meraih gelas di sampingnya dan meminumnya. "Iya. Juan memang seperti itu dari kecil. Dia ngikut kepribadian ayahnya. Juan kecil bahkan lebih dingin daripada saat ini. Mungkin Febbi udah ngubah Juan sedikit lebih hangat."

Febbi tertawa canggung. "Bunda bisa aja. Hubungan Febbi sama Juan belum sedekat itu, bunda. Febbi masih sedikit canggung sama Juan."

Bunda tersenyum maklum. "Nggak apa-apa. Febbi kan baru dekat Juan sebulan ini. Bunda yakin setelah sekian lama Febbi akan dekat sama anak bunda."

Febbi hanya bisa mengangguk. Tidak yakin mereka akan dekat seperti keinginan Bunda. Kepribadian pria itu beda saat Bunda ada di sini. Juan berusaha keras memperlihatkan bahwa mereka baik-baik saja. Beda saat bunda tidak di sini, Juan cenderung dingin dan menutup diri.

Febbi menyelesaikan makanannya, "Bun, Febbi berangkat ke kampus."  gadis itu mencium tangan bunda dan pamit untuk keluar rumah.

Juan bangun saat jam menunjukkan pukul 10 pagi. Dengan rambut acak-acakan, dia menuruni tangga untuk ke lantai bawah di ruang keluarga.

"Anak bunda baru bangun jam segini?"

Juan menghempaskan tubuhnya di sofa kemudian menguap. Dia menatap Bunda nya yang sedang menonton sinetron.

"Nggak ke kampus kamu?" Tanya Bunda.

"Nanti jam 1." balas Juan cuek.

Bunda mengangguk, "Temani Bunda belanja, ya? Persediaan bahan makanan sudah mau habis."

Juan mengangguk saja.

"Kamu sarapan dulu. Bunda sudah buatkan nasi goreng tadi pagi. Bunda siap-siap dulu." Setelah mengatakan itu, Bunda beranjak dari ruang keluarga ke kamar.

Juan juga beranjak ke dapur, membuka kulkas, mengambil botol air dingin dan meneguknya. Juan kemudian berjalan ke meja makan dan memakan sarapannya. Dia tidak berlama-lama di meja makan. Juan kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap juga.

Bunyi notifikasi pesan membuat Juan berhenti dari kegiatan mengeringkan rambutnya dengan handuk. Pria itu mengambil ponselnya di atas nakas dan tersenyum melihat pesan singkat dari seseorang yang berhasil mengubah kepribadiannya sedikit lebih hangat.

Bby❤️

Jangan lupa jemput aku, Jun. Awas kalau lupa. Aku cium nanti.

Juan terkekeh. Kemudian mengetik pesan balasan.

Mau lupa deh. Kapan lagi dapat ciuman gratis dari kamu.

Terdengar bunyi notifikasi lagi.

Ishh..

Kamu ih.

Iya, sayang. Nanti jemput.

Juan menggeleng dengan sikap menggemaskan pacarnya itu. Mood nya selalu bagus jika itu berkaitan dengan Kirana, pacarnya yang sudah menjalin hubungan dengannya dua tahun ini. Mereka satu kampus hanya saja beda fakultas. Kirana berada di Fakultas kedokteran yang berjarak lumayan jauh dari lokasi Fakultasnya.

Bersambung...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel