Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 1 Awal Cerita

Part 1. Awal Cerita.

Tarik nafas.

Hembuskan perlahan.

Tarik nafas.

Hembuskan perlahan.

Tarik nafas.

Seorang gadis dengan seragam hitam putih menatap cemas gedung tua yang terlihat suram itu. Gedung berwarna putih pudar dengan jendela kaca berdebu hingga menghalangi pandangan ke dalam ruangan. Pintu ganda terbuka lebar dengan sinar matahari yang masuk tetapi tidak dapat menerangi dalam gedung tersebut secara keseluruhan hingga menambah kesan menakutkan.

Gadis itu tersentak kaget dengan jantung yang berdetak kencang saat mendengar bentakan dan teriakan nyaring yang berasal dari dalam gedung. Gedung olahraga lama yang beralih fungsi menjadi tempat semua sekretariat-sekretariat organisasi yang ada dalam lingkup fakultas kehutanan ataupun yang diluar lingkup. Gedung yang menjadi Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) tersebut.

"Bagaimana ini? Kita terlambat! Gue nggak mau dihukum lagi." kata seorang wanita dengan suara berbisik.

Gadis itu, Febbi menggigit bibir untuk menghilangkan kegugupan dan kecemasan yang sudah merayap menjadi ketakutan hingga membuat tubuhnya semakin gusar. "Tenang, Da! Kita punya alasan." ujar Febbi kepada gadis lain yang berdiri di sampingnya sambil menatapnya yakin bahwa semua nya akan baik-baik saja, berbanding terbalik dengan tangan kanannya yang menggenggam erat tangan Wilda, gadis bertubuh tinggi tapi agak kurus itu.

"Kita pulang aja gimana?" kata Wilda. "Daripada di hukum mending kita pulang aja sekarang ke kos gue."

Febbi tampak berpikir. "Bener juga! Ayo ke kos lo aja."

Wilda mengangguk-ngangguk takut. "Ayo!"

Baru saja mereka akan beranjak, tapi seseorang menghentikan langkah mereka. Febbi menelan ludah gugup saat melihat seorang pria berdiri berkacak pinggang di depannya.

"Ngapain kalian di sini?" katanya

Dengan menggigit bibir, mereka berdua saling mematap dengan wajah pias. Mereka terkejut melihat salah satu senior berdiri menatap tajam kearah mereka berdua.

Mereka memilih diam. Takut mengeluarkan suara yang pasti akan membuat mereka bernasib buruk. Tapi Febbi yakin sekarang saja nasib mereka tidak akan baik-baik saja.

"Kenapa diam? Masuk atau turun dua set!" ujar senior itu tajam yang membuat mereka dengan terburu-buru memasuki gedung diikuti senior tadi yang mereka kenal bernama Ari, ketua HMJ Kehutanan.

Mata Febbi melirik mahasiswa baru yang  sedang berdiri di tengah-tengah gedung sambil menundukkan kepala dalam. Wajah-wajah ketakutan menambah kecemasan gadis itu. Ia yakin hari ini akan menjadi hari yang sangat buruk.

"Yang baru datang kedepan!"

Febbi menghembuskan nafas, menenangkan dirinya terlebih dahulu untuk menghilangkan sedikit ketegangannya. Dengan kaki bergetar mereka melangkah ke depan berusaha mengabaikan tatapan senior yang terarah ke arah mereka.

"Simpan tas kalian dulu." Kak Ari berkata dibelakang mereka.

Dengan cepat mereka berbalik,  berjalan menyimpan tas mereka diantara tumpukan-tumpukan tas yang ada di atas meja samping pintu masuk.

Febbi berjalan di belakang Wilda melewati barisan-barisan mahasiswa untuk sampai di depan mereka. Ia bisa melihat beberapa teman sekelasnya sedang memandang iba  dan memberikan semangat yang menurut mereka berdua sia-sia.

Senior yang sedari tadi berdiri di depan para mahasiswa baru itu menatap mereka dengan tatapan tajam dan dingin yang membuat Febbi menundukkan kepala dan merutuk dalam hati saat menatap sepasang sepatu hitam familiar yang berada persis di depannya.

"Kalian kenapa terlambat?" Tanya senior dengan suara tenang.

Mulut mereka terasa kelu. Semua kata-kata alasan yang tadi penuh di otak mereka tiba-tiba hilang begitu saja digantikan dengan kegugupan serta ketakutan saat sekilas melihat senior yang mengelilingi mereka menatap tajam ke arahnya.

"Hah?"

Febbi memberanikan diri mengintip ke arah senior tersebut, menatap kedua matanya yang balik menatap tajam Febbi. Gadis itu menahan nafas. Wajah tampan itu tertutup dengan ekspresi sangar nya.

"KALAU DITANYA ITU JAWAB!" Bentakan itu sukses membuat Febbi menutup mata lantaran terkejut mendengar teriakan nyaring yang berasal dari arah samping. "KALIAN TIDAK PUNYA MULUTKAH?"

"A.... A.. . Anu, kak. Tadi ban motor saya kempis, kak." Wilda menjawab tapi dengan suara pelan nya hingga mereka kembali mendapatkan bentakan.

"JAWAB JANGAN GAGU! SUARA LO KASIH KERAS LAGI!"

Astaga.

"Ban motor saya kempis, kak!" kembali Wilda menjawab dengan suara yang lebih keras dari yang pertama.

Febbi hanya menjalin kedua tangannya di depan tubuh, berusaha menghilangkan rasa gugup dan takut yang mulai merayapi tubuhnya. Febbi berharap seseorang yang berdiri di depan nya itu dapat menolongnya untuk kali ini saja yang gadis itu tahu akan mustahil.

"Kelas A, Kan?" Febbi kembali mengintip ke arah senior itu yang saat ini memasang wajah datar. Tatapan tajamnya tidak mengendur sama sekali.

"I.. Iya, Kak." Jawabnya pelan. Febbi tidak memungkiri, walaupun dia dalam keadaan takut dengan di kelilingi senior-senior tapi wajah pria yang berdiri persis di depan nya itu sedikit mengalihkan ketakutan nya.

Hanya sebentar.

Sebelum bentakan kembali terdengar menggema di gedung ini.

"TUNDUK! KALIAN MAU MELAWANKAH!"

Dengan cepat Febbi menundukkan kepala nya.

"Teman-teman kalian sudah berdiri selama satu setengah jam kurang lebih disini dan kalian baru datang?" Sahut Juan. Sosok yang sedang berdiri dengan angkuh di depan mereka itu. "Inikah yang dibilang jiwa kebersamaan?"

Mereka juga tidak mau terlambat! Kalau bukan karena ban motor Wanda kempes, mereka akan tiba tepat waktu! Sial sekali hari ini. Febbi menggerutu kesal yang pastinya hanya ada dalam kepalanya. Tidak, dia tidak punya nyali sebesar itu untuk menyuarakan apa yang ada di kepalanya.

Febbi menggigit bibir bawah. Jika senior sudah menyinggung tentang jiwa kebersamaan tandanya hal yang tidak mereka inginkan akan segera terjadi.

Sebuah hukuman.

"TURUN!"

Nah kan.

Febbi menelan saliva dengan susah payah, saling melirik dengan Wilda yang tampak goyah dan linglung.

"Turun!"

"TURUN!"

Dengan gerakan tubuh pasrah mereka mengambil posisi Push Up.

Sekali lagi...

PUSH UP!

Astaga....

"Saya yang hitung atau kalian yang hitung?"

"Kakak saja." Wilda menjawab cepat.

"Oke kalau begitu. Saya yang hitung!"

Dalam posisi push Up saja Febbi mati-matian menahan beban tubuhnya. Ia menarik nafas panjang saat Juan mulai berhitung.

"SATU!"

Dengan susah payah Febbi melakukan gerakan Push Up dengan para senior dan mahasiswa baru yang memperhatikan.

"A!"  Juan kembali berteriak tapi kami tidak mengerti apa yang dia maksud jadi kami hanya diam.

"A!" Dia kembali berteriak. Febbi mengangkat kepala untuk melihatnya yang langsung mendapatkan tatapan tajam. "Kalian tidak mau turun! Gue bilang A!"

Astagaaaa.. Cara menghitung para senior maha benar!

Febbi dan Wilda kembali mengambil gerakan Push Up.

"B! C! D! F!"

Nafas mereka mulai memburu. Ini penyiksaan.

"Dua!"

Febbi berusaha mengatur nafas nya yang mulai terasa sulit. Tangannya bahkan bergetar menahan beban tubuhnya.

"A! B! C! F! G! E! H! M!"

Terdengar teriakan dari arah lain. "Inikah yang dibilang jiwa kebersamaan? Teman kalian dihukum lalu kalian hanya melihat saja, HAH?"

"JIWA KEBERSAMAAN KALIAN DIMANA?"

Setelah sahutan itu, serentak semua angkatan 2019 ambil posisi seperti yang mereka lakukan. Inilah yang dikatakan jiwa kebersamaan, satu kena semua kena, satu buat kesalahan konsekuensi akan berdampak pada keseluruhan, besar sama-sama membesarkan, satu rasa.

"TIGA!"

"A! B! C! G! I! E! F!"

Febbi mendengus keras. Berusaha untuk tetap melakukan gerakan walaupun rasanya sudah sangat sulit.

"EMPAT! F! G! H! I! J!"

"Dankes! Dankes!" Terdengar teriakan senior memanggil para senior lain saat salah satu dari mereka merintih kesakitan dan dibatas kemampuan. Dengan cepat seorang gadis diamankan dari barisan.

"YANG SAKIT BILANG! JANGAN SOK KUAT!"

Terdengar suara yang lebih berat. "Sakit, kah? Pulang saja! Jangan datang kalau hanya menyusahkan!" sepedas itu.

"L! M! C! E! F! G! A! B!"

Juan masih saja berteriak memberi instruksi untuk tetap mengambil gerakan.

"LIMA!"

Astaga.... Kapan ini berakhir?

"BERDIRI!"

Febbi menghela nafas lega... Dia kemudian berdiri dengan sedikit goyah. Lengan dan lutut gadis itu sakit.

"Kalian berdua menyesuaikan barisan." Ujar Juan, sosok itu sempat melirik Febbi sebentar sebelum membalikkan badan kembali menghadap ke arah mahasiswa baru.

Dengan cepat mereka berdua menyesuaikan barisan. Karena mereka berdiri di barisan paling belakang, mereka tidak mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Juan di depan sana.

Tapi yang bisa mereka tangkap dari bisik-bisik di sekitar mereka adalah kegiatan pengkaderan jurusan yang akan diadakan beberapa bulan lagi.

Febbi masih mengatur nafas saat terdengar teriakan lain lagi. Sungguh berada di dalam gedung ini adalah neraka bagi mahasiswa baru. Sahutan-sahutan menghakimi terdengar jelas.

"Siapa disini yang kemarin tidak ikut sosialisasi Pra pengkaderan? Angkat tangannya!"

Satu masalah lagi! Febbi menatap Wilda yang terlihat sangat terpaksa mengangkat tangannya. Febbi melongos keras kemudian mengangkat tangannya dengan ogah-ogahan.

Sepertinya hukuman mereka ini masih sangat jauh dari kata berakhir....

"Pisahkan barisan nya!"

"Tunduk! Kalian mau melawankah?"

Astaga..

"TURUN!"

Oke. Hari ini akan Febbi masukkan ke dalam list hari tersial nya.

***

Aku sudah bilang kan kalau aku adalah anti Juan!

Aku anti fans Juan.

Aku akan berada di barisan paling depan para pembenci cowok sok berkuasa itu.

Mungkin bagi sebagian cewek, Juan adalah sosok idaman hanya karena penampilan sempurna nya, pembawaannya yang cool parah dan jangan lupakan sikap cuek nya yang sejalan dengan wajah tampannya hingga semua cewek tertantang untuk meluluhkan cowok itu.

Tapi bagi aku, Juan adalah sosok yang paling buruk. Aku benci Juan! Sosok paling menyebalkan sejagat raya!

Apalagi mengingat kejadian sore tadi. kebencian ku telah sampai ke level maksimal. Siap meledak. Aku tau, aku bukan satu-satu nya orang yang berdiri di lapangan indoor lama. Aku bukan satu-satunya orang yang dikelilingi senior-senior dengan mata menantang dan sorot tajam itu. Juga bukan aku sendiri yang diteriaki.

Semua maba Kehutanan. 100 lebih maba berdiri dengan kepala menunduk menatap lantai beton di bawah kakinya saat senior mulai menunjukkan taringnya. Lagi. Saat itu.

Tapi sepertinya takdir sedang ingin bermain dengan ku. Dengan kehadiran sosok cowok itu yang berbaring di ranjang ku dengan kaki kanannya yang dia letakkan di atas kaki kirinya yang tertekuk. Aku mengerang kesal, mendorong pintu kamar tertutup dengan keras.

Juan hanya melirik sekilas sebelum kembali dengan benda persegi panjang yang sedari tadi menjadi fokusnya. Aku masa bodoh dengan kehadiran cowok itu dan langsung berjalan ke arah gantungan pakaian di dinding kamar untuk menggantung jaket kulit dan Tas yang sedari tadi dalam genggamanku dan dengan sengaja menghentak-hentakkan kaki ku.

Setelah menghela nafas berat karena bagian tubuhku rasakan pegal semua. Aku berbalik dan menghadapnya. "Kamu mengapa di kamar aku?"

"Aku tidur disini." Jawabnya singkat dengan ekspresi wajah datarnya.

Aku memutar mata jengah. "Kamu punya kamar, kan? Sana! Kembali ke kamar kamu. "

Juan mengangkat kepalanya untuk menghadapku sekilas, tatapan dingin dan menusuknya langsung membuat mulut ku bungkam. Tanpa dia berkata, aku tau kalau dia tidak suka dengan perkataan aku tadi. "Aku mau tidur di sini. Emang salah? Aku suami kamu, yah! Jangan jadi istri durhaka."

Astaga.. Rasanya aku ingin mencakar wajah tampan nya itu.

"Bunda dalam perjalanan ke sini. Dia mau nginep dan aku nggak tau sampai kapan." lanjutnya lagi.

Masih dalam perjalanan, kan? Kenapa dia sudah ada di sini coba? Dikamar ku dengan pakaian yang sama dengan di kampus tadi. Terlihat jelas kalau cowok itu langsung ke kamar aku setelah pulang dari kampus. Tidak biasanya. Juan selalu duduk di sofa ruang tamu saat pulang dari kampus atau dia akan langsung ke kamar nya untuk membersihkan diri. Ada yang aneh pada Juan sore hari ini.

Aku hanyaa bisa menghela nafas sekali lagi dan memilih mengabaikannya dengan beranjak masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh yang terasa lengket karena keringat yang sudah mengering.

Sebelum pintu kamar mandi tertutup sempurna aku masih bisa mendengar suara Juan yang meminta ku untuk turun ke ruang makan setelah aku mandi.

Bersambung...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel