Chapter XIV
“Veddira. Bisa bicara sebentar" Sahut Zale yang sepertinya berdiri tepat di belakangku. Aku membalikkan tubuhku dan dia berdiri tepat di depanku dan baru ku sadari Zale lebih tinggi dari jarak yang dekat dengan bahunya yang lebar membuat ia terkesan sangat gagah. Aku menjaga jarak ku dengan Zale dengan melangkah mundur dan dibarengi wajah Zale yang sedikit berubah menjadi dingin. Aku menganggukkan kepalaku sedikit tanda agar ia boleh berbicara padaku.
“Pulang kerja , mau minum kopi bersama?" Tanyanya, walaupun sangat kaku saat ia menanyakan nya tampaknya ia sangat berusaha mengatakan nya. Aku hanya menatap tanpa berbicara raut wajah Zale tampak sangat kebingungan menunggu jawabanku.
“Ak- aku akan menunggumu sampai selesai" Tambahnya lagi, tampaknya ia tahu jam pulang murid dan karyawan daycare. Aku hanya mengangguk pelan tanpa satu katapun yang keluar dari mulutku. Aku menunduk pelan tanda bahwa aku harus melanjutkan pekerjaan ku. Saat meninggalkan nya ia masih berdiri melihatku berjalan menjauh darinya.
16:45
Kelas diakhiri dengan teriakan dan tepukan murid murid yang masih penuh dengan energi, aku dan Emma saling memandang dan tertawa legah. Hari ini anak-anak sangat susah diatur dan sangat bersemangat, membuat aku dan Emma sangat kewalahan. Bel kelas mulai berdering saat orang tua anak-anak mulai menjemput mereka, bel berbunyi dan layar di dekat pintu menampilkan wajah yang menekan bel sehingga anak-anak bisa mengenali siapa yang menjemput mereka.
“Siapa dia?“ Tanya Emma yang tangan nya masih sibuk membereskan puzzle yang anak anak mainkan. Aku melihatnya kaget dan bingung, siapa yang ia tanya hingga Zale lewat di pikiran ku.
“Hanya kebetulan, ia tetangga apartemen ku“ Jawabku santai menjelaskan bahwa aku tidak ada hubungan apa apa dengan Zale. Bagaimana jika ia mempunyai istri dan status pernikahan yang sangat jelas.
“Raut wajahmu tidak sesuai dengan ucapanmu Dirra" Tatap Emma menghentikan pekerjaan nya dan melihat ke arahku.
“Ayolah, bagaimana jika memang pernikahan nya sudah goyah atau memang sudah hancur"
“Sangat jarang seorang pria mendaftarkan anaknya di daycare mengantarkan nya dan menjemputnya sendiri" Tambah Emma menjelaskan sedikit fakta dan sedikit menyemangatiku. Aku hanya tersenyum kecil dan bilang bahwa aku tidak ingin berharap lebih, kami hanya tetangga apartemen tidak lebih. Emma hanya tertawa mendengar perkataan ku, mengejekku dan berjalan keluar untuk membereskan beberapa pekerjaan di kelas sebelah.
Setelah berpamitan dengan Ms. Megan aku berjalan menuju mobilku. Dan terkejut melihat Zale berdiri sedikit menyandar di depan mobilnya yang berada tepat di samping mobilku, ia berdiri dengan tangan di kap mobil menahan badan nya dengan wajah menghadap ke luas nya langit sore. Wajahnya yang simetris dan bentuk badan nya yang sangat ideal membuat ia terlihat seperti model model majalah. Aku menikmati pemandangan tersebut dan merekam nya baik-baik di pikiran ku hingga Zale tersadar akan diriku yang sedang mengamatinya.
“Kau sudah selesai?“ Tanya Zale memecah sedikit keheningan yang mulai menusuk kami berdua. Aku mengangguk iya sambil menghindari tatapan nya, tatapan nya benar-benar mengintimidasi ku.
“Mari kita ke cafe“ Ujarnya mengajakku. Sayangnya, aku dan Zale pergi dengan mobil sendiri. Aku mengikutinya dari belakang hingga ia berhenti di sebuah cafe yang cukup besar dan dipenuhi anak-anak muda yang nongkrong.
“Yang benar saja" Gumamku sambil tergesa-gesa membuka pintu mobil dan berlari ke mobil Zale.
"Tempat ini?" Tanyaku sedikit keras, karna kaca mobil nya masih tertutup. Ia hanya mengangguk sambil membuka pintu kaca mobil nya.
“Ini tidak cocok untuk membawa anak-anak, lihatlah mereka!?" Lirih ku tegas padanya sambil melihat Jacen yang duduk di kursi belakang dengan imut. Zale mencuri pandang dengan cafe tersebut, terdapat anak anak muda dengan bir botol dan beberapa anak yang merokok. Zale melihatku dengan tatapan yang bingung, lebih tepatnya ia sangat kebingungan sekarang.
“Ikuti aku, aku tau tempat yang cocok" Ujarku padanya menawarkan pendapatku.
Memang berjarak cukup jauh dari cafe tersebut dan memakan waktu 20 menit tapi kafe tersebut cocok untuk orang tua yang ingin membawa anak anak nya, karna mereka mempunyai playground untuk anak anak bermain dan orang tua yang duduk santai menghabiskan waktu di cafe tersebut. Raut wajah Zale pun sangat terlihat setuju bahwa tempat ini cocok dengan apa yang kupikirkan. Terlihat Jacen bermain di playground dengan ceria, sambil meninggalkan Jacen bermain tampaknya Zale sudah menemukan tempat duduk yang menurutnya nyaman sambil mengawasi pangeran kecil.
“Apa kau mau kopi atau teh?"
“Disini banyak berbagai varian kopi dan teh“ Tambahku lagi padanya.
“Americano panas" Jawab nya dengan singkat, lagi-lagi ia memperlihatkan ekspresi nya saat di balkon kemarin. Terlihat lelah meskipun kali ini tampangnya tidak berantakan. Tampaknya ia selalu dihantui kelelahan. Aku meninggalkan nya dengan pergi memesan apa yang Zale inginkan.
“Apakah ada yang ingin kau bicarakan" Tanya ku pada Zale yang masih memutar-mutar sendok kecil di minuman nya. Mata nya tajam berwarna kuning keemasan menatapku selama beberapa detik.
“Ku rasa satu-satunya pertanyaan yang ku punya adalah, kemana saja kau pergi selama seminggu ini“ Tanyanya padaku dengan tatapan yang begitu serius. Baru kusadari seminggu ini aku disibukkan dengan kuliah dan pekerjaan di daycare, walaupun ada waktu untuk ritual minum teh di balkon aku memilih untuk tetap didalam apartemenku.
“Menghindar darimu“ Jawabku tegas, aku bisa saja mengarang-arang alasan. Aku bisa saja berbohong, namun aku lebih memilih berkata jujur.
“Kenapa“ Tanya nya lagi sangat dingin, kali ini aku melihat sosok Zale yang dingin sama seperti saat pertama kali aku bertemu dengan nya. Mungkin ia merasakan bahwa aku selalu menghindar atau berbalik arah jika berpapasan dengan nya walaupun dalam jarak yang cukup jauh.
“Aku memang mungkin tetangga yang paling baik di dunia, tetapi aku tidak melakukan apapun yang salah sehingga kau bisa seenaknya bersikap dingin kepadaku"
“Dan aku tidak berminat berteman dengan orang yang hanya bersikap baik sekali-kali“ Ucapku panjang lebar pada Zale, tampak ekspresi Zale sangat terkejut saat mendengar ucapan ku.
“Teman ??“ Ucap Zale pelan bahkan bisa dibilang ia bergumam. Zale mengulangi kata-kata tersebut dengan nada yang aneh, seolah kata itu adalah bahasa asing yang pernah ia dengar namun ia tak mengerti.
“Kau pikir kita ini apa?!" Tanyaku memecah suasana keheningan dan kebingungan nya Zale, ia berhenti memutar minuman nya dan tertawa bingung.
“Aku tidak tahu, maafkan aku" Ujarnya lagi padaku, pandangan nya ke bawah ia menunduk. Ku amati wajahnya, ia benar-benar terlihat merasa bersalah. Sikap dingin-panasnya terhadapku yang berubah-ubah memang membingungkan ku, namun ku rasa ia tidak melakukannya dengan sengaja.
“Jelaskan kejadian seminggu yang lalu, seolah kau tidak mengenalku. Lalu aku akan mengerti semua ini" Tegas ku berbicara pada Zale. Zale hening sejenak seolah mengumpulkan kata-kata dan berjuang untuk mengatakan nya, hingga Jacen datang ke meja kami dengan penuh keringat.
“Wow, apa kau berolahraga?“ Tanyaku dengan lembut sambil menyeka keringatnya, ia tertawa dan mengangguk dengan imut. Aku dudukkan ia di kursi khusus dan ia melahap es krim yang barusan saja datang khusus untuk nya. Seolah kehadiran Jacen menghipnotis ku, aku lupa akan Zale yang duduk sambil memperhatikan aku dan pangeran kecil ini.
“Bersenang-senanglah" Teriakku kecil saat melihat kaki Jacen berlari menjauh menuju playground yang disambut anak-anak yang sepertinya mengenal dirinya.
“Aku.. itu semua reflek"
“Jacen belum pernah nyaman dengan orang pertama yang ia jumpai , ia anak yang tidak sembarangan mempercayai orang. Badai typhoon yang menerjang, ia bersamamu dan ia menunjukkan senyum nya padamu"
“Selama seminggu dirumah neneknya ia mengomel tentang dirimu, dan sebelumnya di mobil. Ia terus membicarakan dirimu dan selalu ingin menemui"
“- jelas itu membuatku sangat kaget" Ucap pelan Zale. Melihat otot-otot bahunya yang tegang, tampak situasinya lebih rumit daripada yang ia katakan tapi aku tidak memaksa nya untuk menjelaskan nya lebih jauh lagi. Walaupun sangat penasaran dengan status pernikahan nya, aku lebih baik tau cukup sampai disini.
“Jadi kurasa Zale mengatakan sesungguhnya? Jika tidak, mengapa ia harus bersikap seolah-olah kami tidak saling mengenal? Yah, setidaknya aku tau alasan nya“ Batinku.
“Jacen sangat menggemaskan“ Kataku, menyirat kan kepada Zale bahwa aku mengerti alasan nya dan memaafkan nya.
“Menurutku juga begitu“ Senyum Zale menjadi lima puluh persen lebih alami. Ia menghabiskan setengah kopi dengan cepat, sekali teguk. Seolah-olah kopi adalah penopang hidupnya, zat yang membuat ia bertahan hidup.
“Kau pasti sangat muda saat ia lahir" Ucapku spontan tanpa sadar saat melihat Zale menatap Jacen dengan tatapan hangat seorang ayah kepada anaknya.
Bersambung...
