Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter V

"Tidak, tidak" Jawab ku singkat kembali memfokuskan diriku lagi pada apa yang ku kerjakan.

[]

Pukul 5 sore. Anak-anak mulai melambaikan tangan nya pada kami saat orang tua mereka menjemputnya dan kami pun bebas. Dengan lamban aku ku seret langkah kakiku menuju mobil dan berkendara pulang.

"Oh sial. Punggung ku" Lirihku sambil menutup kencang pintu mobil ku. Dengan tangan penuh belanjaan aku melangkah dengan sisa tenaga yang ku miliki. Saat ini aku benar benar ingin berendam dengan air hangat dan meminum teh jasmine andalan ku.

"Ah! Kapan lift ini berfungsi" Gerutuku dengan menendang pintu lift yang disegel. Mataku terbelalak penuh saat melihat anak tangga yang menunggu ku untuk menginjak nya. Bahkan aku bisa merasakan anak tangga ini sedang mengejek dan menertawai ku saat melangkah.

[Tap-tap-tap]

Bunyi sepatu ku memenuhi koridor tangga yang berbalut warna putih abu-abu gelap ini. Sedikit aku mengambil nafas ku dan mencoba melangkah kaki ku sampai ke lantai 8. Sengaja aku tidak ingin melihat angka lantai berapa yang sedang ku pijaki ini. Hingga..

[Trakk-brukk]

"Ah! Tidak-tidak buahku" Ucapku sembari menangkap beberapa buah yang meloncat keluar dari kantong belanjaan ku.

"Kau harus lebih berhati-hati lagi" Ucap Zale. Mata ku langsung terbelalak penuh melihat sosok Zale memakai jas kasual berwarna coklat cerah. Aku tidak mampu membalas ucapan nya karna kejadian di balkon semalam dan tingkah Zale yang seakan tidak terjadi apa apa. Kali ini aku benar-benar takut melihat mata nya secara langsung. Aku hanya fokus mengambil buah buah yang tergeletak di lantai juga beberapa snack yang ku beli di supermarket terdekat sebelum berkendara pulang.

"Kau mendengarkan ku bukan" Sahutnya dingin.

"Ah, buahku" sahutku saat tangan Zale mengambil buah Bit. Buah favorit ku.

"Ada yang sedikit ku tanyakan" Ujar nya perlahan dengan memutar mutar buah Bit sembari memikirkan sesuatu yang tidak ku pahami.

"Apa tempat mu bekerja termasuk rekomendasi yang bagus untuk pendidikan usia dini" Tanya nya. Matanya langsung tertuju padaku. Tatapan matanya yang tajam benar benar mengintimidasi ku saat ini.

"Guru-gurunya sudah terlatih, tempatnya bersih seperti yang kau lihat kurikulum pun banyak dan menyimbangkan waktu belajar dan main. Tidak pernah ada kecelakaan serius selama aku kerja disana" Ucapku lancar. Tentu, aku sudah sering membicarakan tempat kerja ku. Aku sudah terbiasa menjelaskan semua yang ada di daycare Owl Moon kepada ibu-ibu muda yang ingin mendaftarkan anak mereka ke sana. Tapi, pria setampan dan semuda ini mempertanyakan hal seperti itu sangatlah membuat aku penasaran dengan status hubungan pernikahannya.

"Ini, kartu namaku" Ucapku setelah mengaduk-aduk tas ku. Tas ku di penuhi gambar-gambar yang dibuat anak anak untukku. Tampak juga Dane melirik sekilas untuk melihat kertas warna warni hasil kerja keras anak anak daycare Owl Moon hari ini.

"Apa ini" Ujar Zale sambil membalikkan kartu namaku.

"Oh,tidak. Tidak usah dipedulikan tulisan itu, minggu lalu salah satu anak menderita radang tenggorokan. Dia selalu kambuh dan sulit mengatur nafas di setiap waktu dan tidak bisa ditebak. Orang tua nya selalu sibuk bekerja dan mereka tidak begitu ingat hal-hal kecil juga letak obat yang berada didalam tas" Ucapku dengan cepat. Terlihat Alis Zale terangkat dan raut wajah nya sedikit terlihat lebih lunak.

"Ini intruksi untuk mereka" Tanya nya lagi seperti anak remaja yang tidak mengetahui semua hal yang orang dewasa tau. Aku mengangguk cepat dan tersenyum lebar dan menjelaskan bawah anak itu baik baik saja.

"Aku akan menjaga nya dengan baik" Ucapku tegas bak memberi hormat kepada bendera yang berkibar. Dengan senyuman aku yang lebar aku melihat ekspresi Zale yang langsung melunak seolah menangani balita yang menangis keras dan berhenti tiba-tiba saat kita tersenyum pada mereka.

Rasa penasaran ku masih sedikit bergejolak dan ingin menanyai Zale mengenai wanita berpinggul buah pir tersebut yang keluar dari lantai apartemen nya kemaren. Zale hanya menatap ku dan menyimpan kartu di kantong nya dan langsung melempar buah Bit yang dia tahan sejak tadi lalu berjalan meninggalkan ku seperti tidak terjadi percakapan antara aku dan Zale.

"What the f*ck"

"Yang benar saja" Teriakku sedikit keras saat melihat Zale telah menghilang dari pandangan ku.

[]

Bayangan bulan berpendar keperakan di langit yang berwarna biru tua. Awan bercahaya seolah-olah ada peri yang tinggal disana. Lampu-lampu masing masing apartemen dihidupkan ketika gelap mulai menyelimuti. Angin malam bertiup sangat dingin.

Dengan memakai piyama berwarna kuning terang mataku masih menyebar sekitar sudut apartemen yang benar-benar mewah ini. Sangat beruntung bukan?

Ayah dan ibu yang mendengar berita ini sangat kaget dan terlebih-lebih pada ayah yang memarahi ku karena ia bisa saja membelikan sebuah apartemen jika aku meminta nya. Aku menjelaskan bahwa aku membeli lotre dengan niat yang iseng hanya untuk dan mencoba nya. Dan yang benar saja dewi keberuntungan di pihak ku saat itu. Ayah hanya mendengus perlahan dibarengi tawa ibu.

Setelah menyegarkan tubuhku dikamar mandi, aku membuat semangkuk sereal dan berselonjor di sofa dengan menonton acara kartun yang sepenuh nya tidak ku pahami. Tapi tak masalah aku hanya ingin menghabiskan waktu malam ini sampai larut dan mengantuk. Setengah jam berlalu dan teleponku berdering keras membuat ku kaget dan terjaga dari kantuk yang menyerang.

"Semua baik baik saja bu, tidak ada masalah" Sahutku setelah mengangkat panggilan sambil mengucek mata ku pelan.

"Aku tiba-tiba merindukan mu sayang" Ucap lembut ibu. Mendengar ucapan nya saja aku bisa membayangkan wajahnya yang memelas merindukan ku.

"Aku juga ibu. Bagaimana dengan ayah, dia masih kesal padaku" Tanyaku pada ibu.

"Ah, kau tau sekarang dia sibuk dengan game konsol nya. Dan kau tau dia benar benar melupakan bahwa dia sudah mempunyai istri" Ucap Ibu kesal dibarengi tertawa besar khas milik ayah sedetik kemudian.

"Bagaimana dengan hari mu sayang, dimana yang lain? Apa kau sekamar dengan Alice? Bukan dengan pria kecil pemurung yang tampan itu" Tanya ibu. Yang benar saja. Ia sedang membicarakan Ben. Ben pasti kesal kalau tau ibuku menggambar dirinya seperti itu.

"Tidak,tidak mungkin aku sekamar dengan Ben"

"Yah, tapi kalau dengan yang satu lagi pria basket berotot itu, aku tidak keberatan" Sahutnya santai

"Ibu, Jack itu sudah punya pacar"

"Hahaha, apa kau yakin sayang? Kadang beberapa orang terlihat sudah mempunyai kekasih, padahal sebenarnya mereka tidak seperti itu. Seperti para pria yang kau tonton bersama ibu di TV"

"Oh ayolah bu, aku sudah bertemu pacar nya. Dan dia cukup manis" Ucapku tegas pada ibu yang bersikeras bahwa aku bisa menjalin hubungan bersama Jack.

"Wow. Ah mungkin itu permainan dia saja untuk mengecoh mu Dirra"

"Ibu, berhenti membicarakan hal itu. Aku sudah mendengar ucapan seperti itu dari kelas 2 SMA sejak aku mengenalkan Jack padamu" Merengek ku agar ibu berhenti berbicara seperti itu selama beberapa tahun ini. Tanpa sadar aku sudah menginjakkan kaki di balkon apartemen. Angin malam yang khas membuat aku benar benar sangat nyaman dan juga Damai.

"Hahaha, yah aku hanya ingin memastikan tidak ada masalah di apartemen barumu" Ucap ibu penuh khawatir.

"Tidak. Semua nya oke. Terkendali"

"Bagaimana dengan kuliah mu ra, ini semester terakhirmu dan kamu juga akan lulus dalam 3 bulan lagi " Katanya penuh khawatir. Jelas. Aku harus bersiap dengan semester yang cukup berat untuk mahasiswa tingkat akhir sepertiku.

"Ibu tau aku seperti apa. Aku sudah cukup siap menghadapi badai yang menerjang ku nanti" Hibur ku pada ibu. Tampak ia sedikit tertawa mendengar ucapan mu sampai suara telpon sedikit berdesik keras.

"Kau sudah punya semua yang kau perlukan bukan? Apa perlu ayah mengirimu uang bulanan lagi" Sahut ayah. Suara nya yang besar dan keras membuat aku sedikit menjauhkan telpon dari telingaku.

"Hai ayah"

"Vedirra" Tegasnya

"Tidak! Tidak perlu. Ayah tidak perlu mengirim uang lagi. Ayah baru saja mengirim 4 hari yang lalu"

"Benarkah" Ucapnya yang pura-pura tidak tau akan tindakan nya. Walaupun aku bekerja ayah tetap saja bersikeras mengirimkan ku uang dengan jumlah besar dengan alasan bahwa aku harus giat belajar dan lulus tepat waktu. Dan alasan bahwa aku tidak boleh kelaparan. Alasan itu terkadang membuat aku tersenyum kecil mengingatnya. Sembari mengobrol dengan ayah aku duduk di bangku dan menghadap luas nya langit di malam hari.

"4 hari lagi paket akan sampai di tempatmu Veddira. Aku tidak sabar menulis alamat baru di labelnya" Ucap Ibu dengan nada bangga di suara nya.

"Ku pikir kau akan sedih karna bayi mungilmu ini sudah beranjak besar sekarang" Godaku.

"Kau tetap bayi mungil kami Dirra, tidak pernah membesar" Goda lagi ibu yang membuat pipi ku memerah.

"Aku sayang ibu dan ayah. Khusus ayah, aku merindukanmu yah, " Ucapku pada ibu sembari mendengar ayah yang sibuk mengatakan bahwa ia merindukan ku juga.

Akhir percakapan malam yang panjang sedikit membuat ku makin rindu pada mereka. Mataku terus menatap lebar nya langit sambil duduk di sebuah kursi kayu Applaro hadiah dari Ben saat pindah ke apartemen ini. Kursi itu menghadap ke samping dan menghabiskan separuh luas balkon. Namun ternyata sangat nyaman.

"Damai nya" Batinku.

Kali ini Zale tidak berada di balkon nya. Kelegaan mengaliri tubuhku dengan pelan. Aku tidak sedang menganggu waktu pribadi orang lain seperti malam kemarin. Kali ini aku sedang tidak melakukan sesuatu yang salah. Aku hanya duduk di balkon dengan damai. Menutup mata dengan pelan sambil menikmati angin malam yang berhembus dan sinar bulan yang masih cukup terang malam ini.

Hingga..

"Merindukan mereka?

"Huh?" Suara yang familiar.

Zale.

Bersambung....

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel