Target Selanjutnya
Paris, banyak orang menyebut kota ini penuh cinta, tapi sebaliknya untuk Anjel, dia melarikan diri ke sini hanya untuk mengobati luka hatinya. Bukan untuk mencari cinta. Fokusnya hanya ingin menikmati dunianya saat ini, baginya cinta terlalu rumit, karena dia merasa tak pernah beruntung untuk urusan percintaannya.
Anjel bangun dari tempat tidurnya, kebiasaan yang dilakukannya selama di Paris tak berubah. Dengan wajah bantalnya dia langsung melangkah ke balkon apartemen, menggerakkan tangannya, menariknya ke atas dan menghirup udara pagi dalam-dalam. Tidurnya cukup nyenyak semalam, jadi pagi ini dia merasakan tubuhnya benar-benar VIT.
Anjel menguap dengan elegan, memang beda kelas beda cara menguapnya. Beda sama author yang hanya kaum mendang mending asal mangap.
Anjel masih tak sadar jika di balkon sebelahnya seseorang sedang menatapnya tak berkedip. Menikmati pemandangan yang Anjel berikan pagi ini. Anjel juga tak sadar jika dia hanya mengenakan baju tidur satin yang membalut pas, sesuai lekukan tubuhnya yang begitu menggoda.
Dia masih saja menatap sekeliling, hingga akhirnya pandangannya jatuh pada sosok yang sejak kemarin mengganggunya. Anjel berdecak sebal, dia tidak mau mood paginya terganggu. Semenjak dia sampai di Paris mendadak dia terkena serangan jantung dan darah tinggi.
Siapa lagi penyebabnya kalau bukan tetangga apartemennya yang sialan itu.
"Bonjour, Anjel Ayer," sapa tetangga sebelahnya. Anjel tak menjawabnya, dia melengos. Masuk kembali ke dalam apartemennya. Malas meladeni lelaki yang sebenarnya tampan dan gagah itu, bahkan jari-jarinya terlihat panjang dan menggoda.
Anjel memukul kepalanya, menyadarkan dirinya untuk tak memikirkan hal yang bisa membuatnya gila. Anjel masuk ke kamar mandi, betapa kagetnya dia melihat penampakannya di cermin besar di dalam sana. Dengan pakaian tidurnya yang menampilkan bongkahan belakang tubuhnya dan juga, dia yang belum mengenakan penyangga membuatnya mengumpat dirinya sendiri.
"Stupid me. Damn it! Pantas saja dia tersenyum semanis itu, bodohnya aku, pagi-pagi sudah menyuguhinya pemandangan gratis," umpatnya pada dirinya sendiri.
Kebiasaannya yang satu ini memang harus diubahnya, memakai pakaian tidur tanpa dalaman dan berkeliaran di balkon apartemen. Selesai mengomeli dirinya sendiri, dia pun membersihkan tubuhnya dan berganti pakaian. Rencananya, pagi ini dia akan berjalan-jalan ke Menara Eiffel setelah sarapan. Anjel membuat sereal untuk sarapannya. Terbiasa hidup sendiri tak membuatnya kesepian sama sekali.
Ponselnya bergetar, satu pesan masuk dari sahabatnya, layar yang tadinya hitam, kini menampilkan pesan dengan nama pengirimnya, Nindy. Anjel segera menelepon sahabatnya itu.
"Halo," sapa Nindy dari seberang sana.
"Maksud kamu apa, mengirimiku pesan sesingkat itu, kamu kurang kerjaan atau memang sedang mengerjaiku, hah?"
Nindy terbahak-bahak mendengar sahabatnya itu, dia memang sengaja mengirimkan pesan pada sahabatnya itu dengan mengirimkan satu tanda titik. Anggap saja dia kurang kerjaan.
"Hei, aku sibuk, kali. Pekerjaanku sudah menumpuk pagi ini, kamu di mana? Makan siang bareng, yuk. Mau makan di apartemen atau mau di luar? Aku sudah ijin dengan atasanku, mengatakan bahwa aku ada janji denganmu, akan menemani kamu hari ini."
Anjel sedikit kaget dengan perkataan Nindy, "Are you serious? Jangan-jangan kamu jadi cem-ceman bos kamu, kenapa bisa seenak jidatmu meminta ijin begitu," ujar Anjel terkekeh. Dia asal bicara dan yakin, sahabatnya itu sebentar lagi akan mengumpatnya habis-habisan.
"Itu mulut habis sarapan apa sih, kenapa pedes banget, perasaan di sini nggak ada lombok setan!"
Anjel tertawa menggelegar, bahkan Nindy di seberang sana pun menjauhkan ponselnya dari telinganya.
"Heh, kira-kira dong, cantik-cantik ketawanya mirip Mak Lampir."
"Kamu ini ngajakin makan siang, apa ngajakin ngelawak, sih?"
Dua perempuan yang sama absurd dan gila itu sekarang benar-benar menjadi kesatuan yang saling melengkapi satu sama lain. Nindy yang biasanya bergaul dengan Sean dan kekasihnya saja, sekarang bahagia bertemu dengan teman absurdnya.
"Dua-duanya, Beibe. Sudahlah, Bye nanti makan siang kita ketemu, nanti aku share alamat pastinya."
"Ok, Maemunih."
Anjel kembali melanjutkan makan serealnya, mendadak dia teringat dengan Wayan. Biasanya sepagi ini mereka akan bercengkrama dan berakhir dengan acara makan pagi bersama.
Melempar sendoknya, selera makannya sudah hilang, "Argh, aku bisa gila kalau terus-terusan memikirkan dia. Sepertinya aku butuh sesuatu yang mengalihkan pikiranku dari lelaki itu, apa aku terima saja pekerjaan yang ditawarkan Nindy padaku," gumamnya pada diri sendiri.
Mengambil tas dan juga ponselnya, tak lupa membawa kamera yang akan dia gunakan untuk mengabadikan momen dan hal yang menyenangkan tentunya, dia akan menikmati pagi ini, membuang segala pikiran tentang mantan kekasihnya itu. Keluar dari apartemennya, tak sengaja bertemu dengan lelaki di sebelah rumahnya.
Dengan acuh tak acuh Anjel melangkah masuk ke dalam lift terlebih dahulu. Mengabaikan sosok lelaki dengan ketampanan Dewa Yunani itu, dia menyibukkan diri dengan kameranya. Enggan dia berinteraksi dengan makhluk menyebalkan itu.
Suasana dalam lift hening, hingga lift yang tadinya sepi sekarang menjadi semakin penuh, Sean sengaja bergeser mendekat ke arah Anjel. Anjel meliriknya dengan kesal.
"Kenapa harus mepet ke sini, jangan modus," ucap Anjel pelan, hampir tak terdengar, namun Sean jelas-jelas mendengar perkataan Anjel yang ditujukan padanya.
Agak membungkuk Sean berbisik di telinganya. "Jangan ge-er, kamu nggak buta, kan? Kamu bisa melihat sendiri lift ini penuh, ngapain juga aku modusin kamu, nggak ada yang menarik darimu, bahkan itu saja, tipis seperti papan cucian."
Setelah berbicara seperti itu Sean menegakkan tubuhnya lagi, berpura-pura melihat jam yang melingkar di tangannya. Dia tahu wanita di hadapannya saat ini pasti kesal sekali. Sean menyunggingkan senyum di sudut bibirnya, merasa berhasil membakar emosi tetangga apartemennya itu.
Anjel mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya, setelah kembali menggantung kamera di lehernya. Anjel ingin mengumpat lelaki itu habis-habisan, dia bilang dirinya tak menarik, tapi kenapa, tadi pagi lelaki itu menikmati pemandangan yang dia suguhkan. Mengingat kebodohannya tadi pagi, dia semakin kesal dengan dirinya sendiri dan juga semakin benci dengan tetangganya yang bermulut pedas dan manis itu, macam emping melinjo yang dijual di toko-toko kelontong.
Anjel tak berniat menjawab omongan Sean, dia tak mau hatinya semakin gondok. Tepat saat lift membuka, hatinya agak lega, dia tidak perlu berdekatan dengan tetangga rasa musuhnya itu. Dengan tak sabaran dia merangsek dan keluar lebih dulu, mungkin terkesan tidak sopan, tapi dia tak peduli, yang ada dipikirannya saat ini adalah segera menjauh dari lelaki itu. Tapi sepertinya, itu hanyalah angan Anjel semata, bukannya Sean pergi ke kantor, tapi dia malah mengekori Anjel yang berjalan dengan cepat keluar dari lobi apartemen. Anjel yang merasa sedang diikuti menghentikan langkahnya. Menoleh ke arah lelaki tak tahu diri itu.
"Kenapa mengikuti saya? Apa Anda kriminal? Apa saya masuk target Anda selanjutnya?"
-bersambung-
