Mendadak Penyakitan
“Kenapa mengikuti saya? Apa Anda kriminal? Apa saya masuk target Anda selanjutnya?”
Sean tersenyum tipis, menaik turunkan alisnya dan mendekati Anjel. “Jangan mimpi!”
Melangkah pergi meninggalkan Anjel dan menuju basemen. Dia tak mau terlambat pagi ini, malas jika harus mendengarkan ocehan sekretarisnya yang pasti akan panjang seperti kereta api.
Anjel mulai berjalan menyusuri jalan di sekitar apartemennya, sesekali dia memotret aktivitas pejalan kaki. Menikmati keramaian pagi hari, di mana banyak orang berlalu lalang, sekesar membeli sarapan. Menghirup udara yang cukup segar pagi ini, membuat moodnya yang tadi sempat anjlok mulai membaik. Darah tingginya yang sempat naik juga sudah mulai kembali normal.
Semenjak tinggal di apartemen yang bersebelahan dengan Sean itu, selain mendadak terkena tekanan darah tinggi dan jantungan. Penyakitnya bertambah satu, yaitu gampang emosian. Sungguh, dia harus mulai memikirkan bagaimana cara mengatasi ketiga penyakitnya itu.
Entah sudah berapa lama kakinya melangkah, perutnya yang tadi sempat terisi sedikit sereal, mulai meraung-raung. Cacing-cacing di dalam sana, bahkan sudah demo meminta pemiliknya mengisi asupan mereka. Anjel berhenti di sebuah Cafe Casette. Restoran lucu dengan dekorasi banyak bunga.
Anjel mendudukkan tubuhnya di salah satu kursi yang berada di luar kafe, meletakkan tas dan juga kameranya di kursi sebelahnya.
Seorang pelayan menghampirinya, memberikan daftar menu yang ada di sana. Mengingat dia membutuhkan energi untuk berkeliling dan siang nanti bertemu sahabatnya, dia memilih makanan yang agak berat kali ini. Le Cheeseburger & ses frites maison, sepiring salad La Chèvre frit, petit lard, jambon de pays & pesto, serta secangkir cofee latte.
Menyerahkan kembali buku menu pada pelayan. Tak lupa dia mengucapkan terima kasih. Sembari menunggu makanan datang, dia menikmati pemandangan yang menggoda matanya, seorang anak kecil dengan ibunya yang bercanda riang sepanjang jalan. Gadis kecil dengan hidung agak kemerahan itu pun, melambaikan tangan padanya. Anjel tersenyum, membalas lambaian tangannya, membalas keramahan gadis kecil itu.
Suara yang agak familier dari kemarin, singgah di telinganya. “Kamu menyukai anak kecil? Aku bisa memberikannya untukmu.”
Anjel menggeram kesal, tak mau menoleh dan mengabaikan suara tetangga gilanya itu.
“Hei, kamu bisu,” ucapnya, yang sekarang duduk di hadapan Anjel.
Entah kenapa makhluk ajaib itu sekarang ada di sana, bukankah, tadi dia bilang tidak ingin membuntutinya, tapi nyatanya, sekarang Sean malah sudah berada di hadapan Anjel, duduk menyilangkan kakinya.
“Aku hanya mendengar suara tanpa tahu orangnya, jadi buat apa aku menjawabnya, Tuan Sean!”
“Apa aku yang tampan ini tidak bisa kamu lihat? Apa kamu yakin? Perasaanku mengatakan, aku bisa membuatmu nyaman.”
“S’il te plaît. Laisse-moi tranquilleu (Tolong tinggalkan saya)!”
Sean tersenyum di sudut bibirnya, tatapannya mengintimidasi Anjel. Sean salah, jika berharap gadis yang ada di hadapannya ini menyerah begitu saja dengan apa yang Sean lakukan. Anjel berdeham.
“Bukankah, Anda bilang tidak tertarik dengan saya? Lalu siapa juga, yang tadi berkata, tidak akan mengikuti saya? Sepertinya, kepala Anda memang terbentur sesuatu, makanya Anda agak sekilo kurang sedikit!”
Bukannya marah dengan Anjel, justru Sean tertawa terpingkal-pingkal. Nalurinya memang benar, gadis yang ada di depannya ini sungguh semakin menarik minatnya.
Seorang pelayan datang mengantarkan pesanan Anjel.
“Merci (Terima kasih),” ucapnya pada pelayan itu. Mengabaikan Sean yang ada di hadapannya. Mengabaikan sopan santunnya, dia mulai memakan makanan yang sudah datang dan berbaris rapi di mejanya.
Sean masih duduk mematung, menatap wanita cantik dengan tampilan yang benar-benar mirip dirinya, kecuali satu. Mata Anjel berwarna coklat, mungkin lebih mirip dengan ibunya daripada papanya.
Sejujurnya Anjel jengah, melihat Sean yang tak mengalihkan pandangannya sedetik pun darinya. Anjel meletakkan garpunya. Menatap kesal ke arah lelaki yang tak tahu diri itu.
“Bukankah kamu mengenakan outfit ini untuk ke kantor? Kenapa masih di sini, atau kamu memang sedang bermain peran?” ejek Anjel pada Sean.
“Kalau iya, kenapa? Kamu keberatan?”
“Yes, aku keberatan kamu duduk di sini, bukankah sudah ku bilang tadi, silakan pergi!”
Sean diam membisu, dia malah asyik melihat ponselnya yang baru saja bergetar, menandakan ada pesan masuk ke ponselnya. Dia berdiri dan mendekat ke arah Anjel, berbisik di telinga Anjel.
“Aku ke sini karena aku ada meeting penting dengan klien,! Bukan mengikutimu, jadi jangan berpikir terlalu jauh tentangku! Aku bisa mendapatkan banyak wanita sepertimu, dan melemparkannya ke ranjangku hanya dengan, satu jentikan jari, Nona Anjel Ayer!”
Sean melangkah meninggalkan Anjel yang masih diam terpaku, tak tahu harus mengumpati lelaki itu dengan kata-kata seperti apa.
Anjel mendesah, kapan dia akan meninggalkan kesialan-kesialan dalam hidupnya, dia sudah muak dan bosan dengan semua yang dia alami. Meski kata orang menjadi dirinya itu menyenangkan, itu hanyalah omong kosong. Mereka lupa jika manusia itu di takdirkan untuk memiliki sifat hasad satu dengan yang lain.
Perutnya merintih lagi, meminta untuk segera di isi. Segera dia menghabiskan sarapannya dan ingin cepat pergi dari sana.
Sepasang bola mata masih menatapnya lekat di kursi bar, dia masih menikmati wajah cantik yang kesal padanya.
“Hell yeah, aku harus segera pergi dari sini sebelum tetangga gila itu keluar dan menyelesaikan meetingnya. Sepertinya aku harus menceritakan semuanya pada Nindy, tentang Sean yang sangat menyebalkan itu."
Dia beranjak pergi dari sana, membawa tas dan juga kameranya kembali, dia berniat pergi ke salah satu keajaiban dunia, yang terkenal selama ini, di mana lagi kalau bukan menara Eiffel. Dia mulai kebingungan memilih transportasi yang akan dia gunakan menuju ke sana, sedetik kemudian dia teringat dengan sahabatnya.
Menekan layar ponselnya, menekan simbol hijau, menelepon Nindy.
“Apa! Aku sedang sibuk membuat laporan, Njel.”
“Aku mau ke menara Eiffel, Nin. Transportasi apa yang tercepat, Nin.”
“Mau tahu saja, atau mau tahu banget? Pasti mau tahu banget, kan?”
Anjel kesal dengan pertanyaan sahabatnya itu, dia sudah tak sabar mendengarkan jawaban Nindy, tapi bukannya cepat menjawab, dia malah sengaja menggoda Anjel dengan pertanyaannya sendiri.
“Faster, Baby!” seru Anjel, bahkan membuat orang di sekitarnya melihat ke arahnya, pasti mereka sedang berpikir yang aneh-aneh tentangnya. Anjel tak peduli, toh ini Paris bukan Indonesia.
Nindy yang mendengar ucapan Anjel malah tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya.
“Kamu pikir, kita sedang melakukan apa? Bisa-bisanya kamu ngomong begitu, kamu marah denganku, pasti, kan? Naik kereta api saja, biar kamu cepat sampai ke sana, kamu tahu stasiunnya, kan?”
Bukannya menjawab, Anjel malah mengakhiri panggilannya itu. Dia sedang dalam mode serius, tapi sahabatnya, yang katanya sibuk bekerja itu, malah melemparkan omong kosong yang membuatnya tak sanggup menunggu lama.
Dia menuju stasiun kereta api, membaca papan petunjuk yang ada di stasiun dan memilih jalur c untuk bisa sampai ke Menara Eiffel. Hampir saja dia melupakan sesuatu, Anjel lupa belum membeli tiket kunjungan.
Dia menepuk keningnya, saat yang krusial seperti ini, seseorang yang membuatnya kesal meneleponnya.
“Zut!”
-bersambung-
