Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Dia Bukan Kekasihku

Ingin dia memaki sahabatnya itu, dia sudah kesal dengan tetangganya yang kurang ajar, sekarang sahabatnya yang tak ada akhlak itu, yang katanya sibuk malah meneleponnya terus-terusan.

“Apa!”

“Galak amat, Nyonya, lagi PMS?”

“Kamu tahu, aku sudah sampai di sini, dan aku sama sekali lupa kalau belum membeli tiket masuk, kesel. Kamu tahu, dari pagi aku sial banget. Nanti deh, aku cerita ke kamu. Sumpah, aku ketemu orang yang lebih nggak punya akhlak, ketimbang kamu, Nin.”

“Sialan kamu, nggak usah ke menara Eiffel, deh, lagian ini sudah mendekati jam makan siang, tunggu aku saja di sana, nanti setelah makan siang, kita ke sana berdua, biar aku saja yang membeli tiketnya, sementara kamu nge mall dulu sambil nungguin aku, atau mau nongkrong dulu di cafe terdekat. Pokoknya terserah kamu mau ke mana, intinya tunggu aku, aku akan menyusulmu. Jangan ke sana sekarang, ingat!”

“Iya bawel, kenapa nggak ngomong sejak tadi, kamu ngeselin, yakin! Kamu menambah daftar kesialanku hari ini, Nin.”

Di seberang sana Nindy tertawa, entah apa yang sudah terjadi dengan Anjel, tapi dia sudah bisa menebak, jika memang terjadi sesuatu dengan Anjel, yang membuat mood anak itu, sedang tidak baik-baik saja.

Anjel memasukkan kembali ponselnya, mendekati maps di stasiun kereta, mencari tempat yang asyik untuk menunggu Nindy yang sudah ada janji dengannya.

Anjel keluar dari stasiun kereta, niatnya sekarang adalah mencari cafe terdekat yang bisa dia gunakan untuk menunggu Nindy dan bisa melihat pemandangan luar. Pilihannya jatuh pada Aux Cerises. Kafe dengan tema outdoor itu bisa membuatnya menikmati angin, kopi, serta bisa menikmati pemandangan di luar, sesekali dia pasti bisa menemukan objek foto yang menarik.

Anjel duduk, memesan secangkir expresso dingin, mengarahkan kamera ke sekitar tempat tersebut, tak sengaja bidikannya mengenai lelaki yang sudah beberapa kali membuatnya kesal pagi ini. Entah apa yang dia lakukan di sana. Tapi Anjel melihat mereka begitu dekat dan intim, mungkin tetangganya itu sedang bersama kekasihnya. Rasa penasaran dan sifat jahilnya membuat dia membidik tetangganya beberapa kali. Sayangnya, saat bidikan yang terakhir kali, Sean malah menatap dirinya.

“Ah, sial. Lelaki itu pasti akan membalasku lagi kali ini. Lagi pula kenapa dia bisa ada dimana-mana, apa dia punya kloningan, atau punya pintu ke mana saja,” lirihnya. Pura-pura sibuk melihat foto-foto di dalam kamera yang dia pegang.

Tak menunggu lama, Sean menghampirinya. Anjel acuh tak acuh. Sean duduk di depan Anjel, mengetuk-ngetuk meja Anjel mencari perhatian agar Anjel fokus padanya.

Anjel berusaha tenang, sebisa mungkin dia menahan emosinya. Jika Sean, si setan itu macam-macam dengannya. Dia tak segan-segan akan menghajarnya.

“Hei, kamu mengikutiku, dan apa itu tadi, kamu mengambil fotoku secara diam-diam, apa kamu begitu mengagumiku?”

Anjel masih diam saja, tak menyahut.

“Kalau kamu mau, kita bisa berfoto berdua, seperti aku dan wanita itu, apa perlu kita lakukan itu sekarang?”

“Pertama, aku tidak sedang dalam keadaan menganggur sehingga membuang waktuku dengan mengikuti Anda! Kedua, aku tak ingin seperti wanita murahan itu, yang berpose begitu intim di ruang terbuka, meski ini di luar negeri, aku bukanlah bagian dari pemuja kebiasaan yang ada di sini. Kenapa tak kau bawa pulang saja hasil buruan kamu dan menikmatinya di rumah, lagi pula aku tidak tertarik denganmu, Tuan. Jadi jangan terlalu percaya diri,” ucap Anjel mengejek Sean.

Mereka berdua benar-benar menarik garis batas yang tak bisa di lewati satu sama lain. Anjel yang galak, sementara Sean yang panas dan dingin, seperti dispenser. Kadang baik dan hangat, kadang dingin menyebalkan. Bahkan menurut Anjel, Sean sama seperti lelaki-lelaki pada umumnya yang suka melempar umpan untuk mendapatkan mangsanya. Anjel sudah bisa menebak bahwa Sean selalu menggunakan power of moneynya untuk menyenangkan dan menguntungkan dirinya sendiri.

“Kalau kamu memang tidak menginginkannya, kenapa kamu memotretku, No-na A-njel.”

“Apa ada larangan memotret tempat di sekitar sini? Kalau ternyata kamu masuk bidikan kameraku, itu bukanlah salahku, tapi salahmu. Kenapa harus berada di jalanan. Andai kamu tidak ada di sini, kupastikan kamu tidak masuk dalam objek fotoku. Apa Anda puas dengan jawaban saya? Kalau sudah puas, sebaiknya tinggalkan aku sendiri, dan kembalilah ke tempatmu. Lihatlah wanitamu di sana sedang menunggumu, dia tampak tak suka kamu menghampiri wanita lain, jadi silakan pergi, Tuan,” ucap Anjel halus pada kalimat terakhir.

“Hei, dia bukan kekasihku, dia hanya partner kerjaku.”

“I don’t care. Tak perlu menjelaskan apapun padaku, jangan lupa, kita bukan siapa-siapa!”

Sean tersenyum menggoda, membuat Anjel muak di buatnya, “Dasar buaya darat enggak ada akhlak.”

Anjel mengucapkannya dengan lirih, nyaris tak terdengar, tapi masih bisa ditangkap oleh pendengaran Sean. Sean terbahak-bahak. Dia malah semakin gemas dengan Anjel, namun sebisa mungkin dia tetap bersikap dingin dan akuh, memasang mode tarik ulur di hadapan Anjel.

Baru kali ini ada perempuan yang begitu berani dengannya selain sekretarisnya, sekaligus sahabatnya, Nindy. Anjel tetangga barunya ini seperti petasan yang kapan saja siap meledak.

“Kalau boleh tahu, kamu lahir dimana? Bukan ditengah-tengah perang dunia, kan? Melihatmu yang sering meledak-ledak, aku tak yakin kamu lahir di negara ini. Atau di negara mana pun yang menjunjung tinggi perdamaian.”

Anjel mengepalkan tangannya di kedua sisi tubuhnya, dia sudah amat kesal dengan lelaki yang saat ini sedang menatapnya intens, padahal jelas-jelas di seberang sana , seorang wanita sedang mengawasinya. Entah apa yang Sean mau darinya, mereka bagaikan dua kutub berbeda. Saling membalas satu dengan yang lain.

“Apa perlu aku menjawabnya? Aku memang lahir ketika bom Hirisima meledak. Bagaimana? Apa kamu sudah puas? Aku kira sudah, tidak ada lagi yang perlu Anda bicarakan di sini, sebaiknya Anda pergi sekarang juga!”

“Baiklah, aku akan pergi, aku juga sudah tak tahan meninggalkan wanitaku terlalu lama sendirian di sana. Jangan cemburu padanha jika aku menghampirinya, Nona. Satu lagi, kamu dilarang memotret kegiatan kami.”

Anjel benar-benar kesal dengan kata-kata yang terucap dari bibir sexy itu. Anjel memukul kening pelan. Bisa-bisanya dia memuji lelaki menyebalkan itu.

“Don’t get so worked up, Baby.” (Jangan kesal, Sayang)

Mata Anjel melotot, ingin rasanya dia mencabik-cabik Sean saat ini juga, kenapa tetangganya itu membuat darahnya mendidih.

“Kamu tahu, kamu makin menggemaskan jika sedang kesal seperti sekarang, ingin rasanya aku membungkusmu dan memberi dua karet warna-warni,” ucapnya, sembari melemparkan senyum manisnya pada Anjel.

Wajah Anjel memerah menahan amarah, dia pikir Anjel gado-gado dengan dua cabe di dalamnya, sehingga harus menggunakan dua karet warna-warni untuk membedakannya.

“Cukup! Sebaiknya Anda segera pergi dari sini sebelum kesabaran saya habis!”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel