Hempaskan
“Nggak segampang itu Maemunah, coba kamu tanyakan pada dirimu, gampang enggak? Kalau segampang itu, mana mungkin kamu sampai di sini, sekarang ini, Bestie.”
“Stop, please, sudah, jangan di bahas lagi, aku nggak mau dengerin, aku muak. Kamu mau pesan apa? Makan dulu sebelum kita mengunjungi menara Eiffel. Kamu nggak lupa tiketnya, kan?”
Nindy mengeluarkan dua tiket dari dalam tasnya yang bermerek kremes itu. Mengibaskannya, seakan dia sedang kepanasan.
“Sombong amat!” seru Anjel. Nindy tertawa puas, membuat sahabatnya yang sedang dongkol itu tersenyum lagi. Sambil menunggu waiters datang mengantarkan makan mereka. Nindy yang sudah penasaran sejak tadi tentang sosok yang akan Anjel ceritakan padanya, pun bertanya.
“Njel, kamu bilang padaku mau cerita. Apa sih, dari kemarin kamu sepertinya kesal sekali. Padahal, kan, ini tempat yang paling kamu sukai. Paris, negara penuh cinta. Gitu katamu, heleh.. pemikiran dari mana to, Njel.”
“Kan, aku bilang begitu, hanya mengkopi perkataan orang-orang tentang negara ini. Tapi aku berharap banyak di negara ini, Nin.”
Seketika Nindy teringat penawarannya pada sahabatnya itu. “Bagaimana tentang tawaranku yang kemarin? Bukannya menarik, apa kamu sudah memikirkannya, masalahnya perusahaan tempatku bekerja butuh cepat, posisi team marketing. Ayolah, jangan berpikir terlalu lama dan bergerak selambat siput. Kamu juga butuh move on, kalau kamu tidak punya kesibukan sama sekali, terus gimana caranya kamu bisa melupakan lelaki sampah itu, gimana?”
“Ok, aku terima tawaran itu, apa yang harus aku lakukan, agar membuatmu bahagia, apa sekarang juga aku menyerahkan surat lamaranku padamu, atau besok aku sudah bisa melakukan wawancara dengan bosmu yang ganteng itu.”
“Sok tahu, memang kamu pernah ketemu dia?”
Anjel mengendikan bahu, dasar teman gilanya itu, tak ingat jika dia sudah mendeskripsikan visual pemilik perusahaan yang saat ini menaungi dirinya. Anjel hanya menggeleng dan menghela nafas dalam.
“Aku beri waktu kamu dua hari saja untuk berpikir, mengerti? Aku yakin atasanku langsung menerima kamu, karena aku yang merekomendasikan kamu padanya.”
“Halah, sombong lagi!”
“Bukankah sombong itu sebagian dari hidup kita,” ujar Nindy, yang hanya diangguki Anjel. Sahabatnya ini memang tingkat ke absurdannya melebihi dirinya.
Seorang waitres datang dan menata makanan mereka di meja. Nindy memesan dua piring Foie gras, dua escargots de bourgogne.
Anjel menghela nafas,”Hal yang paling tak aku sukai di sini adalah ini, kenapa makanan yang tidak mengenyangkan ini begitu mahal di sini. Kalau aku disuruh memilih, aku pasti akan memilih, sego pecel, nasi gandul, atau makanan yang lainnya.
“Kamu tahu, Nin, lama di sini bisa membuatku kurus, jarang ada nasi di sini, dan aku nggak suka.”
“Masak sendiri, Neng. Kamu kan sudah pernah ke sini, jadi sudah tahu, setidaknya kebiasaan di sini seperti apa, apalagi soal makanan. No ngeluh-ngeluh club, deh. Kamu enggak kenyang cuma makan ginian? Kan bagus, bisa bikin kita langsing dan hidup sehat, tiap hari makan dedaunan biar kayak kambing,” ujar Nindy memakan makanannya.
Anjel memutar bola matanya malas, mereka sibuk memakan hidangan kali ini, Anjel yang terbiasa makan banyak memang masih lapar, meski tadi dia sudah sarapan dua kali. Seperti rencana semula, selesai makan siang, Anjel dan Nindy pun meluncur menuju menara Eiffel. Mata Anjel berbinar, pasalnya beberapa kali ke sini, dia tak sempat mengunjungi ikon global itu.
“Nin, tolong kamu foto aku di sini,” pinta sahabatnya itu, menyerahkan kameranya pada Nindy. Namun saat hendak membidik Anjel. Tiba -tiba Sean berada di belakang Anjel, dia mengatupkan bibir dan meletakan telunjuknya di depan bibirnya. Nindy yang sempat menautkan alisnya mulai paham, rasanya tak perlu banyak bertanya kali ini, sepertinya dia mengerti siapa orang, yang katanya membuat Anjel murka, itu pasti ulah sahabatnya yang jahilnya nggak ketulangan.
Panggilan Anjel mengagetkan Nindy, “Nin, kamu ngapain, ayo buruan foto aku. Nanti keburu sore.”
“Iya, iya.” Alhasil Nindy berhasil memotret dua sahabatnya yang gagal move on itu. Dia mengambil foto mereka berdua dalam berbagai pose, dan itu membuat Nindy tersenyum. Melihat hasil foto-foto yang dia ambil, membuatnya cengengesan sendiri.
‘Sepertinya mereka pasangan yang serasi.’
Anjel yang mendekati Nindy pun ingin melihat hasil jepretan Nindy, namun Nindy menolak, dia beralasan, kalau semua fotonya bagus-bagus, dan Anjel bisa melihatnya ketika dia sampai di apartemen.
Nindy celingukan, mencari sosok Sean yang cepat sekali menghilang dari peredaran mereka.
Ponsel Nindy bergetar, dia mengambilnya dan melihat siapa yang mengirimkan pesan untuknya, ternyata teman sekaligus bosnya.
[Jangan banyak bertanya, nanti aku akan menceritakan padamu tentang apa yang aku lakukan, saat ini berpura-berpuralah tak mengenaliku]
Nindy mengerutkan keningnya, dia tampak berpikir tentang tebakannya, tapi melihat reaksi Sean, sepertinya tebakan Nindy memang benar, pasti terjadi sesuatu dengan mereka berdua.
“Nin, kamu kenapa, dari tadi melamun, apa ada hal penting yang harus kamu lakukan?”
Nindy menggeleng, menunjukkan ponselnya, menyatakan bahwa dia sedang membalas pesan.
Anjel menatap menara Eiffel yang menjulang di hadapannya. Dulu dia dan Wayan berkeinginan datang ke sini, keinginan itu belum terwujud hingga akhirnya, dia lebih memilih mengakhiri kisah cintanya yang bodoh. Anjel menghela nafas, mengelus lengannya , mengingat kenyataan pahit yang baru saja dia lalui.
‘Andai cintanya padaku itu benar-benar cinta, cinta yang tulus, mungkin aku tak akan sehancur ini. Apakah nanti akan ada seseorang yang hadir melepaskan belenggu rasa yang menyakitkan ini.’
Mata Anjel berkaca-kaca, Nindy yang tahu sahabatnya itu sedang teringat dengan Wayan, mengelus pelan punggungnya.
Membisikan kata-kata di telinga Anjel, “Hempaskan dia dari hatimu, lepaskan pelan-pelan, akan tiba saatnya nanti, seseorang akan datang untukmu, membantumu lepas dari kepahitan dan kesendirian kamu, trust me.”
“Kamu, kenapa malah bikin aku pengen ketawa, tau, nggak, seorang Nindy sejak kapan bisa sebijak ini,” kelakar Anjel.
“Jangan sok kuat, kalau nyatanya kamu lemah, Njel. Jangan sok tegar, kalau nyatanya kamu rapuh.”
Anjel tersenyum, dia memang tak bisa membohongi sahabatnya itu, Nindy bahkan hafal betul, sifat dan karakter Anjel. Berteman dengan Anjel sejak sekolah menengah pertama hingga kini, cukup untuk mengetahui isi luar dalam hati Anjel.
“Nin, Mercy.”
“Sudah, ah. Jangan sedih-sedih, ayo kita berkeliling,” ajak Nindy merangkul sahabatnya. Menggunakan setelan kerja dan heel setinggi dua belas senti, tak menghalangi gerak Nindy, dia masih begitu lincah berjalan ke sana ke mari.
“Nin, naik yuk, kamu kuat nggak, naik memakai heelsmu itu, tangganya banyak lho, Nin. Sayangkan, kalau tiketnya tidak digunakan, mahal-mahal kamu membelinya.”
“Sejak kapan kamu jadi perhitungan, Nona Anjel Ayer. Aku tahu, ada 1665 tangga yang harus aku naiki, cuma masalahnya adalah, aku takut kalau kamu mengajakku menikmati sensasi berjalan di lantai kaca dengan heel ini, kalau aku pingsan dulu, boleh nggak, Njel?”
