Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 8

✨Singularity✨

"Kak, Kak ... Kak." Aku membasahi bibir, mengikuti arah tarikan Azka.

Azka berdeheman sejenak, sibuk menyeretku menuju parkiran motor. Aku berdesis, sungguh tidak ingin diajak jalan oleh Azka. Aku harus mencari cara agar Azka membatalkan tujuannya. Tapi, apa ya...? Erghh.

Aku memutar otak, bola mataku bergerak kesana-kemari mencari ide. Kira-kira alasan seperti apa yang bisa membuat makhluk absurd ini mau melepaskan genggaman tangannya padaku.

Alasan yang dimasuk akal.... Tanpa sadar aku menggigit bibir bawah.

"Azka! Kita mau nongkrong bareng Kamal, inget?" Tiba-tiba Varo menghadang dari depan. Sontak langkah Azka terhenti, begitu juga langkahku yang otomatis ikut terhenti.

"Sheya kan boleh ikut."

"Mana bisa. Dia baru masuk rumah sakit, emang lo mau dihukum Kak Hesa?" Keenan menimpali sambil bersidekap dada. Dahi Azka tampak berkerut, ia melirik arloji. Aku memperhatikan, sedetik kemudian raut wajahnya berubah seperti merasa bersalah, dia menoleh padaku dengan segenap hati.

"Shey ... gue janji bakal ngajakin lo jalan, tapi lain kali." Dia menyengir bodoh.

Huh.... Ini yang kutunggu sedaritadi. Seharusnya kejadian ini terjadi lima menit yang lalu agar aku tidak perlu bersusah payah memikirkan alasan yang tepat untuk keluar dari masalah ini. Namun tak apa, utamanya aku tidak perlu pergi bersama cowok aneh di hadapanku sekarang. Aman. Fiuh~

"Gue anterin Sheya dulu, entar gue nyusul." Tanpa disangka Azka kembali melanjutkan tarikan menuju parkiran. Baru dua langkah, suara Varo kembali menghentikan langkah kami.

"Gue nggak larang lo nganterin Shey, tapi kita udah telat."

"Jadi maksud lo gimana? Kita ninggalin Sheya sendirian tanpa nganter pulang?" Azka menyipitkan mata.

Aku menggarut kepala belakang yang tak gatal. Dikira aku anak kecil apa? "Gue bisa pulang bareng Kak Gian," ujarku tiba-tiba, teringat titahan Gian siang tadi.

Keenan memicingkan mata. "Kak Gian hari ini ada latihan basket. Nggak bisa."

"Sama Riki," kataku lagi.

"Nggak! Entar lo jatoh kayak kemaren," tolak Azka mentah-mentah.

Jatuh? Tidak mungkin Riki pengemudi yang buruk? Jadi ... aku harus apa sekarang? Kulihat mereka saling terdiam. Astaga. Ini membuang waktu saja.

"Ya udah naik bus." Aku bersiap-siap pergi karena lengah, namun Azka menarik ranselku.

"Heh, nggak boleh. Lo bisa sesek napas!" Azka melotot. "Gue anter lo dulu, jangan ada yang protes."

Dia kembali menarikku menuju motor sport berwarna merah, sepertinya motornya. Dan Varo maupun Keenan tidak lagi menghentikan kami. Aku menghela napas, gagal sudah berpisah dengan makhluk ini.

"Kayaknya urusan lo, Varo, Keenan lebih penting, gue bisa naik taksi kok," negoku ketika kami sudah berada di depan motornya.

Azka melebarkan senyum, ia membuka hoodienya lalu melilitkan di pinggangku. "Mana tega gue biarin lo pulang sendirian, honey. Kalau ada gue kenapa harus orang lain yang nganterin?" Ia lebih dulu naik menumpangi motor lalu telapak tangannya terulur ingin membantuku menaiki motor super gede itu.

Walau tidak ingin ada kontak fisik antara kami, namun aku tetap menyambut uluran tersebut. Mau bagaimana lagi, bila ditimang pun aku tetap tidak bisa naik ke atas sana jika tidak dibantu. Bokongku mulai mendarat di jok belakang miliknya yang sangat tinggi.

"Rumah kita jauh loh," ucapku sekali lagi, berharap dia mengerti bahwa aku tidak ingin pulang bersamanya.. Tetapi yang ada, dia malah menjawab....

"Nggak masalah, gue bisa lebih lama berduaan sama lo."

Dih, apaan sih. Crazy. Kurasakan pundaknya bergetar, perkiraanku dia menahan tawa. Kemudian dia mengeluarkan motor dari parkiran, menyalakan mesin dan melaju keluar dari gerbang sekolah.

Aku meringis ketika setiap menit tubuhku merosot ke depan. Abis bagaimana? Motor ini modelnya menungging, kapan saja aku bisa menempel dengannya. Tapi tidak! Aku tidak ingin hal tersebut terjadi, maka dari itu dengan susah payah aku menahan tubuhku menggunakan tangan agar tidak bersentuhan dengan punggungnya.

Argh!!! Merepotkan.

"Jalannya berbatu." Ia berceletuk setelah tujuh menit berkendara dalam diam. Mulanya aku tak mendengar, kudekatkan wajah padanya.

"Ha?"

Dia menoleh sekejap. "Jalannya berbatu," bisiknya tepat di hadapan wajahku.

Refleks aku menjauhkan kepala. Panas-dingin. Suaranya—mengapa....?!

"Terus?" Aku memilih fokus.

Dia menjawab dengan gerakan, yaitu menepuk pinggangnya sendiri. Aku tidak mengerti. Keningku berkerut dalam. "Kenapa sama pinggang lo?"

Kepalanya kembali tergerak, menunjuk jalanan. Aku semakin bingung, sedetik setelahnya ia menabrakkan ban motor pada kerikil batu berukuran lumayan besar, membuat keseimbangan tubuhku oleng ke samping, aku melotot, sontak memeluk pinggangnya erat agar tak terjatuh.

"Hehe, udah gue bilang jalannya berbatu."

Mataku semakin membulat, spontan mengurai pelukan pada pinggangnya.

"Mau jatuh kayak kemaren ternyata." Ia menoleh sekilas ke belakang—ke arahku—seolah menyuruhku untuk tetap memeluknya.

Hah! Jatuh apaan? Jelas-jelas aku melihat dia sendiri yang menabrak kerikil. Iiihh! Ini sih kesempatan dalam kesempitan! Tidak akan kubiarkan! Aku semakin menjauhkan diri darinya, tidak membiarkan seinci kulitku bersentuhan dengannya.

"Shey, depan ada lampu merah, biasanya jam segini ada razia, gue nggak bawa sim. Kali ini gue serius mau ngebut." Azka melirikku dari kaca spion. Matanya memancar keseriusan, namun aku tidak yakin. Aku mendengus. Dikira aku percaya? Tak akan! Apa ini taktik? Haha, maka aku tidak mau terperdaya.

Motor terus melaju.

"Di belokan ini, siap-siap," peringatnya.

Siap-siap? Haha! Senyum miringku tercetak. Aku semakin menjauhkan diri. Motor mulai berbelok menuju lampu merah.

"Shey, pegangan." Sedetik setelah dia mengatakan itu, tanpa jeda bahkan tanpa aba-aba motornya melaju kencang sekencang jet.

Mulutku terbuka lebar, memekik akibat hampir saja berakhir mengenaskan di atas aspal. Saat tubuhku mengoleng ingin jatuh, sebelah tangan Azka langsung menggenggam lenganku, pergerakannya lebih cepat dari yang kubayangkan, dia menarikku agar menempel padanya lalu kembali fokus mengebut.

Aku tidak bisa lagi memberontak, akhirnya memutuskan memejamkan mata dan memeluknya erat. Rasanya sangat speechless. Sejenak kusaksikan para polisi berteriak menyuruh kami berhenti, tetapi Azka semakin mengemudi gila-gilaan. Aku menggeleng, tidak peduli. Jantungku rasanya mau copot. Terlebih beberapa detik lalu, hampir saja aku terjatuh dan mengalami kejadiaan naas.

"Masih ngejar nggak?" Samar-samar kudengar Azka bergumam, perlahan kubuka mata.

"Ngejar? Polisinya ngejar?" Aku bertanya, panik.

Azka terkekeh. Laju motor kami mulai kembali seperti semula. "Udah enggak. Tuh liat jalanan kosong," tunjuk Azka melalui spion.

Spontan aku membalikkan kepala—menoleh ke belakang—dan tidak menemui satupun kendaraan. Sepi.

"Jalan mana ini?" Aku kembali panik, perasaan tadi saat pergi sekolah hanya jalan raya yang kulihat.

"Jalan menuju cinta kita berdua."

"Ih!" Aku bergidik jijik, kupukul pundaknya. "Jangan sembarang ngomong."

Dia terkekeh, lagi. Aku kembali menjauhkan diri darinya, kali ini tidak seburuk tadi, intinya tidak bersentuhan dengannya saja.

Sepuluh menit melalui jalan yang belum kuketahui, atau bisa saja kulupakan, intinya dalam perjalanan hanya keheningan yang melanda di antara kami. Sebenarnya Azka selalu mengeluarkan suara, namun kuabaikan terus. Hingga tibalah kami di sini, rumah mewah dan megah yang kutinggali seminggu belakangan ini.

Motornya berhenti tepat di depan rumah, sebab jarak rumah dengan gerbang bisa dikatakan satu kilometer. Menakjubkan, bukan? Bergegas aku turun dari jok belakang, risih dengan posisi dudukku yang menungging ke depan.

Azka melirik arloji. "Mampus, telat banget." Dia berdecak. Kemudian menoleh, tersenyum manis lalu mengacak rambutku. "Gue pergi lagi ya, Shey." Usai berpamitan sekejap, Azka kembali memfokuskan pandangan ke depan, tanpa aba-aba ia langsung melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, meninggalkanku bersama asap kendaraan yang mengepul di udara. Deru motornya bahkan memekakkan telinga.

Aku menunduk, melihat hoodie cokelat tebal milik Azka yang terlingkar di pinggangku. Kupegang hoodie tersebut, melepas kaitannya dari tubuh, memperhatikannya. Harum yang sangat kuat menguar kala hoodie sudah terlepas, memasuki indra penciumanku. Kudekatkan hoodie tersebut ke hidung agar menghirup lebih detail.

Benar-benar harum.

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Aku menumpukan kepala di lipatan tangan, menghadap langit orange yang diisi puluhan burung beterbangan. Senja. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat. Dalam diam kusaksikan pemandangan di atas sana.

Seusai diantar Azka tadi, aku langsung membersihkan diri, setelahnya aku memilih termenung di sini—balkon—selagi langit belum berubah gelap.

Kakak-kakakku tidak ada di rumah. Mereka semua entah kemana, tetapi aku senang. Aku senang karena tidak harus bertemu siapa pun. Aku senang karena tidak harus kikuk. Aku senang karena tidak harus bingung hanya karena bersama mereka. Ya, aku senang. Akan tetapi, mengapa aku senang? Bukankah mereka Kakak-kakakku?

Mengapa aku tidak bisa mengingat satu pun momen menyenangkan yang kulalui bersama mereka? Mengapa? Jika begini terus maka aku akan selalu menganggap mereka orang asing.

Kurundukkan kepala, memperhatikan taman bunga di bawah sana yang disinari cahaya orange, mereka tumbuh bersama dan tidak akan pernah melupakan satu sama lain, berbeda denganku yang malah kehilangan segalanya.

Lama melamun, hingga tiba-tiba suara deru motor kencang terdengar memasuki gerbang depan. Aku menyaksikan.

Motor berwarna hijau menyapa bola mataku, dilihat dari postur tubuhnya, itu Riki. Darimana dia? Mengapa pulang jam segini?

Di belakang motor Riki, ternyata dua mobil berwarna putih menyusul masuk. Salah satunya adalah mobil Kak Hesa, aku ingat. Sepengetahuanku mobil Kak Gian berwarna hitam, itu artinya satu mobilnya lagi adalah si tanpa ekspresi, Zino.

Tiga kakakku sudah pulang, berarti empat lagi belum, Gian, Azka, Varo dan Keenan. Entah apa yang mereka lakukan sampai pulang larut, aku tidak peduli. Sekarang aku hanya perlu memikirkan nasibku sendiri. Ketiga kendaraan itu melaju menuju basement, selanjutnya aku tidak tau apa yang terjadi.

Kembali menumpukan kepala di lipatan tangan, aku melanjutkan aksi renungan, berusaha mengingat satu kejadian saja mengenai hidupku sebelumnya. Tetapi lagi-lagi tidak bisa. Aku tak menemukan apa pun di balik memoriku.

Menyebalkan. Sepuluh menit berdiam diri, sampai—

"Nona Sheya dipanggil Tuan Hesa." Celetukan dari luar ruangan mengalihkan perhatianku.

"Ah, iya," sahutku pendek. Berikutnya keheningan melanda.

Aku menghela napas. Huft~ baru beberapa menit dia pulang namun langsung ingin bertemu denganku. Sepertinya aku harus bergegas menemui jika tidak mau dimarahi.

Aku bangkit, keluar balkon, melangkah menyusuri koridor berkelas ini menuju ruang utama. Tidak butuh waktu lama aku telah tiba di ruang utama. Dari sini dapat kulihat Kak Hesa dan Zino tengah duduk di sofa seraya berbincang ringan. Aku mendekat.

Karena tenggorokanku terasa berat untuk mengeluarkan suara, alhasil aku memilih langsung duduk tanpa berbicara sepatah-kata pun. Zino menyadari keberadaanku, namun ... lihatlah! Ia tak merespons lebih, hanya menatapku tanpa menyambut atau memberitahu Kak Hesa. Ish, dia itu manusia atau manekin?

"Kak...." Akhirnya aku memutuskan berbicara.

Sontak Kak Hesa berbalik badan, menoleh ke arahku. "Loh, Shey? Udah duduk aja?"

Aku menyengir sebagai respons. Kini Kak Hesa memusatkan pandangan padaku. "Gimana keadaan kamu? Masih suka pusing?"

"Enggak kok, Kak." Bola mataku bergerak ke atas-bawah, memastikan kondisi kepala, dan tidak merasakan pusing seperti pertama kali aku membuka mata. Aku sudah membaik.

Kak Hesa tersenyum manis sambil mengusap puncak rambutku. "Kalau pusing bilang sama Kakak biar kamu dicutiin sekolah lagi."

Cuti sekolah lagi? Sepertinya menarik. Namun jika cuti terus ... aku bisa ketinggalan pelajaran.

"Kakak mohon sama kamu, jangan pernah sakit lagi, jangan bikin kita semua khawatir. Kejadian kamu jatuh kemarin dijadiin pelajaran, biar kamu lebih jaga diri dan nggak sembarangan ngebantah kata Kakak."

"I-iya, Kak." Aku tersenyum getir.

"Jangan terlalu deket sama Azka. Belajar yang bener, jangan suka gabung sama geng-geng berandalan, mending kamu luangin waktu, minta ajarin soal pelajaran sama Zino." Aku meringis tatkala Kak Hesa beralih melirik Zino. "Zino! Kamu bisa ajarin Sheya kan? Harusnya bisa, kamu itu ketua osis, pasti mudah bagi kamu. Mulai besok kamu bimbing Sheya. Dia udah terlalu bebal."

Zino mengangguk menggunakan raut datar. "Oke."

Tak kusangka Kak Hesa secerewet ini. Bahkan mengataiku bebal.

Dia kembali menatapku. "Kamu udah makan?"

"Hng? Be-belum."

Keningnya spontan berlipat. "Kenapa? Kamu bisa minta siapa aja buat masakin kamu. Pelayan? Ada banyak."

"T-tadi abis pulang aku langsung mandi, terus ketiduran," alibiku, takut dengan nada intimidasinya, belum lagi pancaran mata yang ia tujukan.

"Lain kali jangan ulangi. Jaga kesehatan kamu, Sheya."

Aku mengangguk cepat.

"Kesehatan kamu nomor satu, tolong dengerin perintah Kakak yang satu ini."

"I-iya, Kak." Tolong hentikan interogasi ini!

"Ya udah, sekarang Kakak suruh pelayan buat makanan kamu." Kak Hesa bersiap berteriak memanggil pelayan, refleks aku memotong.

"Aku mau Kakak yang masakin." Sedetik setelah itu aku mengatupkan bibir rapat.

"Apa?" Alis Kak Hesa terangkat, mengartikan bahwa aku harus mengulangi perkataan.

Sudah terlanjur, aku tidak bisa beralibi. Perlahan kubuka bibir sembari memasang wajah memelas. "Ah, i-itu ... aku pengen dimasakin Kakak hehe." Kutunjukkan cengengesan paling manis, agar tidak kena ceramah lagi.

Hal tak kusangka terjadi, Kak Hesa malah mendengus pelan sambil tersenyum kecil. "Oke, Kakak masakin, ayo." Dia bangkit lebih dulu, menarikku menuju ruang makan. Aku mengikut saja. Sesampai di sana, Kak Hesa mendudukkanku di kursi, dahiku bergelombang.

"Aku nggak mau duduk doang, aku mau ikut bantuin Kakak masak," ujarku cepat sebelum Kak Hesa pergi.

"Ikut masak?"

Kuanggukkan kepala cepat, bergegas berdiri lalu menariknya menuju pantry. "Nggak mungkin Kak Hesa kerja sementara aku duduk anteng." Kubuka pintu kulkas yang isi dalamnya terdapat segala jenis bahan makanan. "Masak apa ya kira-kira?" gumamku.

"Tuna?" usul Kak Hesa.

Aku menggeleng. "Nggak suka. Gimana kalau ayam?" Senyum cerahku terukir kala melihat potongan ayam berada di freezer. "Ini! Kita masak ini ya, Kak?" Kutolehkan kepala pada Kak Hesa, meminta pendapat, dan yang kudapati adalah raut bingung darinya.

"Ke...napa?"

"Kamu beneran mau makan ayam?"

"I-iya, aku lagi pengen banget makan ayam."

Kak Hesa seperti melamun, apa aku salah bicara?

Daripada nuansa larut-larut canggung, aku harus mencegahnya. "Ayamnya harus aku kukus biar lembut." Tanpa memikirkan Kak Hesa, aku menyiapkan segala peralatan masak, dari mulai panci, minyak goreng, hingga cabai dan bawang. Kuletakkan stainless berisi potongan ayam yang telah kucuci ke atas kompor. Kunyalakan apinya, lalu menuangkan beberapa ratus liter air ke dalam.

"Kamu ... kamu bisa masak?"

"Hng? Bisa kok, buktinya ada dalem ingatanku," jawabku enteng, tidak menyadari raut Kak Hesa berubah. Aku malah sibuk mengatur ukuran api kompor.

"Kakak nggak mau bantuin nih?" tanyaku saat menyaksikan dia tetap berdiam diri.

Dia masih saja bergeming, aku berdecak sambil berkacak pinggang. "Bukannya yang harus masak itu Kakak? Jangan bengong dong, Kak." Kutarik lengannya agar lebih dekat dengan pantry.

"Kakak ngiris bawang sama cabainya ya, biar aku yang manasin minyak." Akhirnya dia mulai menuruti titahanku, tangannya tergerak meraih pisau dan bahan-bahan yang kukatakan.

Aku sendiri sibuk dengan urusan, mengambil botol minyak goreng, membuka tutupnya dan menuangkan beberapa liter ke atas pemanggang.

"Shey, nggak perlu pake minyak goreng, ada mentega," celetuk Kak Hesa tiba-tiba.

"Ha? Serius? Yah ... udah terlanjur aku tuang." Aku menatap nanar genangan minyak hasil karyaku.

"Nggak pa-pa, buang aja."

"Apa? Mubazir." Aku menggeleng. "Nyia-nyiain uang doang."

Tanpa kusadari Kak Hesa sudah berada di puncak kebingungannya.

"Nggak masalah deh pake minyak, nanti gue tiris pake tisu," gumamku pada diri sendiri. Aku kembali melanjutkan aksi menuang minyak, sesekali bersenandung tenang, dimana tanpa sepengetahuanku Kak Hesa melayangkan tatapan herannya.

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

"Rik, gue mau tau tentang Kak Hesa," ucapku langsung saat baru membuka pintu kamar Riki tanpa permisi, untungnya tidak terkunci.

Riki yang tengah rebahan sembari memainkan ponsel seketika menoleh. Ia terkejut dan sontak bangun. "Lo—bikin kaget tau nggak?"

Aku mendengus geli. Lucunya dia dengan raut seperti itu. Langkahku tergerak mendekatinya. "Ceritain tentang Kak Hesa, tadi dia aneh banget gue liat."

Riki memperbaiki posisi duduknya. "Aneh gimana?"

"Gue—"

"SHEEEEEY!!!" teriak seseorang dari bawah. Bibirku terbuka setengah.

"Itu Kak Azka, mending lo keluar dari kamar gue." Riki bangkit, menyeretku keluar dari kamar.

"Kenapa?"

"Entar kalau dia liat gue bisa perang dingin sama dia."

Keningku berkerut, tidak mengerti.

"Intinya lo temuin dia dulu, nanti malem gue dateng ke lo buat ceritain tentang Kak Hesa." Riki kembali masuk ke dalam kamar dan bergegas mengunci pintu.

Dih. Apaan, sih? Mengapa dia begitu? Perasaan tadi pagi masih baik-baik saja. Apa aku harus menemui Azka? Tapi—untuk apa? Tadi sore kan sudah. Daripada repot memikirkannya, lebih baik aku berkurung di kamar sampai Riki mendatangiku.

"SHEEEEEY!!!" Dia berteriak lagi. Astaga. Sebenarnya dia memiliki masalah apa denganku? Aku berlari cepat menuju kamar. Saat di belokan koridor baru, tiba-tiba—

BRUK

"Awh." Aku meringis, merasakan nyeri di bagian siku. Barang-barang yang kutabrak, atau lebih tepatnya barang orang yang kutabrak jatuh berserakan di lantai. Orang itu terdiam sejenak kemudian berjongkok dan mengumpulkan barangnya.

"Sori," decitku lalu ikut berjongkok, membantu mengumpulkan barang tersebut yang merupakan kumpulan kotak besi. Aku meraih satu-persatu, berat. Untuk apa kumpulan kotak besi ini? Tanpa bertanya, aku berusaha membantu, namun entah mengapa tanganku terasa licin hingga menjatuhkannya lagi.

"Maaf, Kak." Aku memasang raut bersalah, kuraih kotak itu lagi, dan berakhir terjatuh lagi. Aku bersiap mengangkat lagi namun langsung ia cegat.

"Jangan pegang, berat." Dia mengumpulkan sendiri dan meletakkannya di pinggir dinding.

Aku hanya diam dengan kikuk. Orang itu, si tanpa ekspresi atau biasa disebut Zino, beralih menatapku kala selesai mengumpulkan barangnya. Aku turut membalas tatapannya, kami saling bertatapan. Situasi ini berbeda dari situasi siaran televisi yang pernah kutonton, di sini aku merasa ... aneh? Entahlah. Ditatap oleh tatapan datar itu ... agak bagaimana, ya?

Tiba-tiba ia menarik pergelangan tanganku yang tersimpan di balik tubuh. Aku tersentak. Dan betapa terkejutnya aku melihat darah menetes dari sana. Pada saat itu juga aku merasakan perih luar biasa.

"Se-sejak kapan gue berdarah?" Aku menahan napas.

Zino menghela napas, ia menarikku agar segera bangkit berdiri. Aku menurut sebab otakku mendadak mengosong, tidak dapat berpikir. Dia membawaku menyusuri koridor, hingga tibalah kami di ruang utama.

Dia mendudukkanku di sofa lalu pergi mengacak laci. Dua menit mengacak, akhirnya dia kembali bersama kotak p3k. Tanpa mengucapkan sepatah-kata, dia kembali meraih lenganku. Membuka kotak p3k, mengeluarkan kapas serta alkohol, dan mengusap sikuku yang terluka. Ringisan keluar dari bibirku ketika rasa sakit terasa menyengat.

"Awh, perih."

Tatkala aku meringis dan mengadu kesakitan, dia menghentikan pergerakan, ketika aku merasa lebih baik, maka dia lanjut mengusap.

"Perih. Kayaknya ini kena kotak lo tadi deh."

"...."

"Itu kotak apa sih? Banyak, berat lagi."

"...."

"Bentuknya kayak perkakas, sebenernya apa?"

"...."

Heol. Memangnya aku tengah berbicara dengan apa? Batu?

"Kak."

"...."

Aku memutar bola mata malas, sangat jengkel. Dia masih sibuk memoleskan alkohol pada lukaku. Dua menit keheningan mengambil alih, di menit selanjutnya ia mengemas kotak p3k kemudian menyimpan di tempat semula. Aku mengangkat siku yang ia obati barusan, menyaksikan perban putih terikat sempurna di sana. Ikatannya tampak mengagumkan, rekatannya tertata rapi. Aku tidak tau dia orang yang sangat telaten.

Kuperhatikan dirinya, kini ia melangkah pergi dari ruang utama. Huh! Begitu saja? Tidak ada kata maaf? Tidak ada kata permisi? Sebenarnya dia itu terbuat dari apa?

Bibirku tertekuk. Melihat jam dinding, pukul delapan. Bukannya ini jam makan malam? Namun aku tidak perlu repot ke sana sebab sudah makan lebih dulu. Aku merasa lega karena tidak harus bertemu mereka lagi. Dalam beberapa saat aku termenung. Ketika memutuskan untuk beranjak, wujud Zino kembali muncul. Aku membatu di tempat. Mengapa kembali? Dia berjalan semakin dekat.

Yang tak kupercaya, dia membawakan aku secangkir minuman. Tunggu! Belum tentu itu untukku. Tetapi melihat raut wajahnya yang hanya tertuju padaku, aku sangat yakin bahwa dia membawakan itu untukku. Ah! Aku hanya bisa membungkam menunggu kedatangannya.

Dan, dugaanku benar.

"Minum." Dia menyodorkan secangkir minuman tersebut ketika sudah berada tepat di hadapanku. Tubuhnya berdiri menjulang sementara aku harus mendongak bila melihatnya karena aku tengah duduk.

"H-ha? A-apa?"

"Minum," ulangnya.

Terpaksa aku menerima minuman tersebut. "Ginseng?"

Dia mengangguk. "Minum sampe abis." Kupikir dia akan pergi, tetapi dia tetap berdiri seolah menungguku meminumnya, memastikan kalau aku benar menghabiskan minuman tersebut. Jikalau sudah begini, maka aku langsung meneguk abis ginseng itu di depan matanya.

Tepat saat tegukan terakhir, dia beranjak pergi, keluar dari ruang utama. Aku mendengus, deru napasku tidak teratur akibat meneguk minuman dengan tempo cepat. Dadaku kembang-kempis. Ini gila! Tingkahnya benar-benar aneh. Dia bukan manusia. Sung-guh bu-kan ma-nu-si-a. Huh....! Aku benci dia!

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel