Pustaka
Bahasa Indonesia

My Brothers

141.0K · Tamat
_sheyiu
52
Bab
1.0K
View
8.0
Rating

Ringkasan

Sheya Barsha Claretta terbangun di rumah sakit seusai koma. Saat pertama kali membuka mata, beberapa cowok dengan wajah rupawan nyaris sempurna mengaku sebagai sosok Abangnya. Anehnya, Sheya tidak mengenal mereka. Dan yang lebih buruk lagi ia tidak mengenal dirinya sendiri. Mulanya Sheya menjalani hari seperti biasa, namun sifat overprotektif ketujuh Abangnya yang terlalu mengukung membuatnya tidak bisa merasakan kebebasan layaknya remaja biasa. Lama-kelamaan ia merasa ketujuh Abangnya itu sungguh mencurigakan.

badboyPengkhianatanTeenfictionSweetKeluargaMenyedihkanBaper

Bagian 1

••••••••••••••••••••

Kegelapan adalah momen dimana aku sendirian, dan kalian menjadi titik terang aku bisa bersinar.

✨My Brothers✨

••••••••••••••••••••

"Halo, Sheya Barsha Claretta."

Aku mengerjapkan mata. Telingaku terasa berdengung kala cahaya menyapa indra penglihatanku.

"Hng?" gumamku lirih.

Entah mengapa tenggorokanku begitu tercekat sampai aku sangat sulit untuk bernapas. Penglihatanku juga memburam. Walau sulit, aku berusaha menjernihkan pandangan. Hingga beberapa detik mengerjapkan mata akhirnya aku bisa melihat lebih jernih dari sebelumnya, perhatianku tercuri oleh setitik objek yang ada di depan mata.

"Sheya."

Dia membelai rambutku, tersenyum lembut ke arahku.

Hatiku yang semula terasa hampa seketika menghangat. Deru napasku yang tadinya berantakan kini lebih beraturan. Senyumnya membuatku tenang. Aku bisa merasakan rasa sayang yang dia salurkan.

Keadaan terasa manis, semanis ketika aku mencoba permen kapas pertama kali, sampai—

Brak!

"Sheya! Sheya lo nggak pa-pa?"

Segerombol cowok tergesa-gesa berlari ke arahku.

"Gimana bisa lo jatoh, sih?!"

"Shey, ada yang sakit? Bilang sama gue sekarang juga."

"Bego sih, pake segala jatoh."

"Kalau mau nangis di pundak gue aja. Tapi lebih bagus jangan nangis, entar gue ikutan sedih."

"Ck, makanya jangan nakal, udah gue bilang jangan pergi."

Rentetan kalimat yang beruntun itu terus memasuki gendang telingaku. Kepalaku terasa sangat pusing, ditambah suara-suara mereka, rasanya kepalaku akan meledak.

"Stop! Kalian bisa dewasa sedikit, nggak? Sheya masih sakit, tolong kalian keluar!"

Seseorang yang tadi menjadi objek pandangku tampak menengahi mereka. Sepertinya dia sangat memahamiku.

"Tapi kita juga khawatir sama Sheya."

"Iya, Kakak tau kalian khawatir. Tapi satu-satu kalau mau jenguk Sheya. Sekarang keluar semua."

Akhirnya mereka keluar, walau sempat saling beradu-mulut satu sama lain. Sementara aku kembali memejamkan mata, menetralkan rasa pusing mengerikan yang menyergap kepala.

"Jangan pernah sakit lagi. Kita bener-bener khawatir sama kamu."

Kurasakan belaian lembut yang mengelus puncak keningku. Mataku terbuka, menatap seorang cowok di hadapanku yang memiliki senyum menawan, ia tengah mengusap keringatku di kening menggunakan telapak tangan. Hatiku kembali menghangat.

Walau sebenarnya aku tidak mengerti apa yang terjadi.

Sulit mengatakan, bahwa aku sama sekali tidak mengenal mereka.

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••

CHAPTER 1

✨My Brothers✨

"Sheya!"

Pintu tiba-tiba terbuka, menampilkan sesosok yang tersenyum lebar seraya membawakan kresek putih besar.

Aku membuang muka.

"Liat, gue bawa apa?"

Aku tidak menggubris, atau lebih tepatnya tidak mau merespons?

"Sheya."

"Shey, liat gue."

"Shey!"

Dia berteriak nyaring, membuat telingaku kembali berdengung, sakit.

"Gue minta maaf."

Minta maaf?

"Gue akuin gue salah."

Sa-lah?

"Gue nggak anterin lo ke terminal kemaren."

Terminal apa?

"Shey!" Dia kembali berseru. Aku memilih membuang muka.

"Jangan marah ke gue. Ini semua demi kebaikan lo. Gue, Keenan sama Azka bakal lebih berusaha bikin lo nyaman."

Kebaikan? Nyaman? Sebenarnya apa yang ia bicarakan?

Pintu kembali terbuka, masuklah beberapa cowok asing yang sama sekali tidak kukenal.

"Udah gue bilang, Sheya ngambek sama lo. Lo sih, nggak mau nganterin dia ke terminal.."

Cowok putih yang tadi mengacau mendelik kesal. "Diem deh lo! Sheya tuh cuma mogok bicara, iya kan Shey?" Dia menatapku seolah meminta pendapat. Namun aku tidak peduli dan membuang muka.

"Tuh kan! Sheya marah."

"Dih, berisik banget sih lo. Kalau emang Sheya marah sama gue ya udah, nanti bisa gue imingi donat."

Aku masih diam, tidak berniat berbicara apalagi merespons mereka.

"Shey," panggil salah satu dari mereka sambil berjalan ke arahku. Aku berusaha tidak terkecoh, namun entah mengapa aku tidak bisa bila tidak menatapnya.

Hingga akhirnya tindakanku berbanding terbalik dengan hatiku, aku melirik ke arahnya secara spontan.

Dia tampak memasang air muka tajam. Tangannya juga tersilang di dada. Semula aku ingin bersikap acuh, tetapi apa yang ia lakukan membuatku cengo. Dia menyentil keningku menggunakan wajah datar. Datar ... datar yang menyeramkan! Namun tindakannya membuatku speechless, seolah ia telah mengenalku akrab. Jangankan akrab, wajahnya saja terlihat asing di mataku.

"Lo tau apa yang udah lo perbuat?"

"...."

"Lo udah bikin kita semua khawatir! Kemarin gue udah larang, tapi lo keras kepala!"

Aku membatu, merasa terintimidasi dengan nada suara itu. Terlebih nuansa berubah hening melenggang.

Nuansa kini mencekam, aku termenung dan merasakan seluruh tatapan tertuju padaku. Apalagi cowok berhoodie hitam yang memiliki tatapan super tajam ini menatapku teramat lekat seakan aku akan menghilang jika ia berkedip sekali saja.

"Sekarang cepet minta maaf ke kita."

Aku masih terdiam, tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun.

"Shey." Nada suaranya berubah seperti menahan geram.

Tanpa kusadari aku meneguk saliva sulit, aku berubah panik. Apalagi menyadari empat cowok yang ada di ruangan ini tengah menatapku.

Aku merasa tidak pernah mengalami ini.

"Shey, jangan biarin gue ngehukum lo."

"Ngehukum?" batinku.

"Shey."

"Okay, Gian, stop. Lo bikin dia ketakutan."

Tiga cowok lainnya mendekat dan mengerubungiku. Hingga aku dikelilingi keempat cowok yang menurutku wajahnya di atas standar.

Namun sungguh, aku sama sekali tidak mengenal mereka.

"Gue bawain lo donat loh. Tadinya gue pikir lo bakal seneng," ucap cowok paling putih yang tidak kuketahui namanya. Ralat, mereka semua tidak kuketahui namanya, kecuali cowok berhoodie hitam yang tadi menyentil keningku. Tadi aku mendengar salah satu dari mereka menyebut nama 'Gian'.

"Gimana keadaan lo? Masih ngerasa sakit?"

Aku menoleh, melirik cowok berkenakan topi merah yang barusan mengajakku berbicara.

"Kalau masih sakit emangnya lo mau ngapain?"

Dia duduk di sebelahku, bertopang dagu sembari memperhatikanku dengan intens. "Gue rindu princess gue."

Sang cowok putih berdengus. "Azka, Azka .... Alay banget, jijik gue."

Cowok yang sepertinya bernama Azka itu memutar bola mata malas.

"Yang diambeki mending diem. Lo ratapi aja kesalahan lo apa."

Azka kembali melirik ke arahku. Dia tersenyum manis. "Sheya gue yang manis, nanti kalau udah sembuh kita jalan-jalan, ya? Gue bakal beliin semua yang lo mau. Atau kita pergi main? Iya, nanti gue ajak lo nongkrong lagi."

Aku terpaku menyaksikan senyum itu, benar-benar definisi termanis yang pernah kulihat. Atau bisa dibilang lebih manis dari senyum cowok yang pertama kali kulihat semalam?

Dia menyengir. "Kayaknya lo masih syok. Jadi istirahat yang total. Biar cepet sembuh."

Aku hanya bergeming. Bibirku terasa berat untuk digerakkan, atau karena aku enggan berbicara dengan mereka? Intinya aku bingung mau merespons atau tidak.

"Lo belum bisa makan ya?" Cowok paling putih yang bagiku menyebalkan itu bertanya. Siapa sih namanya?

"Belum. Lo nggak denger dokter bilang apa?" jawab Gian, nada suaranya terdengar sinis. Auranya juga mengatakan bahwa ia berbeda dari yang lain.

"Kasihan," ujar satu cowok lagi berkenakan hoodie biru. Tak sengaja kulihat ia melengkungkan senyum sinis. Apa maksudnya itu? Apa ia tengah mengejekku?

"Donatnya buat gue aja." Azka bersiap mengambil kresek berisi donat mahal yang tadi dibawa si cowok putih. Namun langsung disembunyikan oleh empunya.

"Enak aja. Ini tuh donat buat Sheya. Seenak lo aja. Kalau mau ya beli!"

Azka membola malas. "Pelit amat, kalau gue nggak lagi kelaperan juga ogah makan punya lo."

"Nggak!"

"Gue laper."

"Beli sendiri."

"Oh? Oke." Dia tertawa. "Varo, gue larang lo duduk di sebelah Sheya pas makan siang di kantin."

Ah! Sepertinya sekarang aku mengetahui nama cowok putih itu, Varo.

Varo menyipitkan mata tak suka. "Enak banget lo ngatur-ngatur. Serah gue lah." Dia bangkit sambil membawa kresek berisikan donat miliknya lalu beranjak keluar ruangan.

Kuakui cowok putih itu begitu manis. Bahkan tanpa tersenyum dia sudah terlihat manis, tetapi tingkahnya....

Azka tersenyum miring. Sejurus kemudian ia berdiri lalu menarik lengan cowok berhoodie biru yang tadi mengejekku. Bersamaan keduanya keluar dari ruangan. Sebelum benar-benar menghilang, Azka menoleh. "Honey, kita pergi bentar. Entar malem gue bakal jengukin lo lagi. Bye."

Sepergian mereka tubuhku menegang. Betapa tidak? Cowok beraura menyeramkan bernama Gian itu berada tepat di sampingku. Dan kami hanya berduaan di ruangan ini.

Aku merasakan deru napasku berubah kacau. Jangan sampai dia menyadari ketakutanku. Jika sadar, maka habislah riwayat, kalau sebenarnya aku tidak mengenal mereka. Sebelum itu terjadi, maka sebaiknya aku berpura-pura tidur.

Memejamkan mata, aku berusaha tetap tenang. Namun—

"Nggak usah pura-pura tidur," serunya tiba-tiba, memecah keheningan.

Aku tersentak, terkejut mendengar celetukan mendadak tersebut.

"Buka mata lo."

Aku tidak menurut, tepatnya tidak ingin.

"Cepet buka."

Rasa-rasanya aku ingin menggeleng dan berteriak keras bahwa aku tidak mau, tetapi itu sungguh tidak mungkin, kan?

"Shey...? Belakangan ini lo sering ngebantah gue."

Aku masih memejamkan mata, bersikeras pura-pura tidur.

"Kenapa lo—"

"Gian? Kenapa? Suasananya canggung?"

Suara lain tiba-tiba terdengar, sontak aku membuka mata sebab mengenal suara ini, pintu inap terbuka, menampilkan sesosok yang kulihat pertama kali semalam.

Terdengar helaan napas jengah, berasal dari Gian.

"Bukan apa-apa." Ia bangkit berdiri, menimbulkan decitan kursi yang memenuhi ruangan dalam beberapa detik, selanjutnya ia berbalik dan beranjak pergi.

Aku melirik kepergiannya tanpa memasang ekspresi apapun.

"Halo, Sheya Barsha," sapa cowok yang baru datang itu saat Gian telah pergi seutuhnya. Seperti semalam, senyum menawannya masih terpatri manis. Ia berjalan mendekat, meletakkan sebuah botol ke atas nakas lalu merapikan anak rambutku.

"Sheya Barsha, udah ngerasa lebih baik?"

Dia memanggilku Sheya Barsha Claretta. Apa itu namaku? Mengapa aku tidak mengenali diriku sendiri?

"Udah ngerasa lebih baik?" ulangnya, ramah.

Kali ini, entah mengapa aku mengangguk sebagai respons. Padahal sedari semalam aku hanya diam dan bersikap acuh, tidak ingin merespons apapun tetapi kini malah sebaliknya.

Dia tersenyum lebar. "Karena kamu belum bisa makan, Kakak bawain kamu cokelat panas."

Cokelat panas? Bingung apakah harus senang atau takut. Di satu sisi aku lapar, di lain sisi aku tidak mengenal mereka. Bagaimana jika mereka orang jahat yang tengah menjebakku? Aku takut.

"Coba duduk. Sini, Kakak bantu." Dia menggenggam lenganku dengan erat, sebelah tangannya yang lain menopang bahuku, sekuat mungkin aku bangkit hingga akhirnya posisiku berubah menjadi duduk menyandar.

Memastikan aku sudah bersandar dengan baik, ia menyerahkan sebuah botol—tutupnya telah dibuka—berisi cokelat panas. Karena tidak punya pilihan, aku menerimanya.

"Itu buatan Kakak, pasti enak."

Bibirku menyunggingkan senyum paksa. Tanganku mulai tergerak mendekatkan bibir botol ke bibirku. Aku merasa ragu, tetapi melihat senyum cowok itu ... aku menjadi yakin. Saat cokelat panas menyapa bibir ranumku, aku merasa lebih baik sekarang.

"Enak?"

Senyum tipisku terbentuk, aku mengangguk kecil. Oh, tunggu! Apa aku benar tersenyum? Bahkan tersenyum sambil mengangguk? Mengapa aku melakukan itu?

Cowok di hadapanku terkekeh, ia kembali merapikan rambutku yang acak-acakan.

Melihatnya, aku merasa lebih baik. Kehadirannya membuatku menjadi lebih baik. Rasa hampa yang menghinggap di hatiku sejak semalaman seketika menghilang kala menyaksikan senyum itu.

••••••••••••••••••••••••••••••••••