Bagian 9
✨Misfit✨
"Enggak! Gue bilang enggak! Lo pikir gue cewek macem apa? Gue nggak mau!"
"Tapi Shey, ini demi kebaikan kita. Kita masih muda, belum ada masa depan. Kita berdua masih bisa lanjutin hidup."
"Emang lo pikir semudah itu ha?!"
"Lo nyesel kan? Ngaku deh, kita berdua sama-sama nyesel. Nggak usah munafik, Shey. Gue mohon."
Aku menggeleng sambil menangis sesenggukan. "Kalau seandainya lo nggak peduli, atau nggak mau bertanggung jawab, silakan! Tapi gue yang rasain ini, gue ngerasain anak kembar ini dalam perut gue. Pergi! Jangan pernah tunjukin muka lo di depan gue lagi." Aku berbalik badan lalu beranjak cepat, tangisku semakin kencang. Baru lima langkah menjauh, tanganku ditarik hingga kembali berbalik menghadap cowok itu lagi.
"Jangan egois, gue sayang sama lo, gue nggak mau lo berjuang sendiri. Tapi ngertiin gue sekali ini aja, hidup kita masih panjang."
Plak.
"Bajingan," umpatku usai menamparnya. Dengan cepat aku berlari menjauh. Tangisku benar-benar tak terkendali, isakan terus saja menyergap dada hingga rasanya sesak hampir membunuhku.
Ketika di lampu merah, aku tersandung batu hingga terjatuh. Pada saat itulah waktu terasa berhenti. Pendengaranku mendadak berdengung oleh klakson. Penglihatanku memburam dipenuhi air mata. Jantungku berdegub kencang. Sedetik setelah itu suara teriakan yang menyerukan namaku berderu nyaring. Aku membeku. Hingga semuanya berlanjut dengan tubuhku yang melayang di udara, aku tidak merasakan apapun, sampai diriku terpelanting ke tanah.
"AAAAAAAKHHHHHH," teriakku menggelegar sambil terbangun spontan. Keringat bercucur deras dari pelipis ke leherku, napasku tidak beraturan. Aku kacau. Sial! Mimpi apa aku? Dan lebih anehnya lagi, cowok yang ada dalam mimpiku itu ... argh! Kulihat kasurku yang ikut basah akibat banjiran keringat.
Aku mengerjapkan mata, berusaha meyakinkan bahwa itu hanya mimpi. Cahaya matahari yang menyeruak masuk dari jendela menyadarkanku, aku melirik jam dinding.. Pukul 06.26. Mampus. Aku menepuk jidat lalu bergegas turun dari kasur. Keningku mengeryit, melihat laptop yang terbuka lebar, terletak di sebelah aku tidur.
Aha! Pantas saja aku bermimpi seperti tadi. Semalaman aku bergadang menonton drama korea keluaran terbaru tahun ini. 18 again. Astaga, alur ceritanya hampir sama dengan mimpi ini, kecuali bagian ending. Namun, yang paling mengherankan ... mengapa cowoknya harus...?
Aku menggeleng, dibanding memikirkan hal tidak penting, lebih baik aku segera bersiap ke sekolah. Bila tidak, maka habis aku kena ceramah lagi. Semula aku membetulkan tempat tidur, setelahnya bergegas menuju kamar mandi.
Tidak butuh waktu lama aku sudah rapi dengan seragam sekolah. Usai merapikan rambut, memasang sneakers, kuraih ransel yang telah kupersiapkan semalam, kemudian keluar dari kamar menuju ruang makan. Dalam hati aku berdoa agar tidak mendapat kesialan hari ini. Semoga berjalan lancar.
Setiba di ruang makan, manikku tak sengaja bertubrukan dengan manik Azka. Ih! Melihat dia, aku jadi teringat mimpi konyol itu lagi. Ya, pasanganku di main drama tadi adalah dia. Menjijikkan! Kenapa harus dia? Harusnya Kak Gian. Eh.
Aku berusaha menjaga jarak darinya, lekas menghampiri Kak Hesa. "Pagi, Kak," sambutku. Kak Hesa tersenyum.
"Kamu lama banget, kita semua udah siap sarapan."
"Oh iya, nanti aku sarapan di kantin aja." Boro-boro ke kantin, toilet saja aku tak tau letaknya dimana. Namun aku berusaha menutupi dengan senyum palsu.
Kak Hesa mengangguk. "Kamu berangkat bareng Zino ya."
A-apa?! Mulutku terbuka lebar.
Kuedarkan pandangan mencari sosoknya. "Tapi dia enggak ada." Yang ada di sini; Azka, tengah mengunyah roti. Varo dan Keenan, tengah bermain ponsel sambil menyantap roti. Dan juga Riki yang tengah membaca buku. Sementara Kak Hesa tampak bersiap pergi.
"Dia lagi ke kamar mandi bentar. Kakak belum bisa nganterin kamu, ada banyak anggota baru yang perlu Kakak urus. Sibuk banget. Gian udah pergi sejam lalu, pokoknya sama dia dulu ya?" Kak Hesa mengusap rambutku, tersenyum lebar, lalu beranjak pergi usai pamit sekejap dengan yang lain. Aku terbengong di tempat.
"Shey, pergi bareng gue aja." Azka menaik-turunkan alis. Melihat itu, ingin sekali kutonjok wajahnya.
"Rik, gue bareng lo," putusku. Riki menoleh padaku. Yang lain-pun malah ikut menoleh.
"Boleh sih...," jawab Riki. Aku tersenyum senang. "Kalau diijini," lanjutnya yang membuatku bingung.
"Kalau diijini gimana?"
Riki menunjuk ke arah belakangku menggunakan dagunya. Aku tergugu, mengikuti arah tunjuk tersebut.
"Ayo pergi." Si tanpa ekspresi bersedekap, lalu berjalan keluar melalui pintu utama.
Aku melongo, kembali melirik Riki. "Gue mau bareng lo Rik."
"Apaan sih lo, tinggal pergi bareng Zino doang," ujar Varo. "Kalau nggak mau, bareng gue aja sekalian."
Aku berdesis sinis. Najis.
"Lebay banget." Keenan menimpali.
Ihhhh!
Tidak punya pilihan, jika aku mendadak ikut Riki, maka Zino akan mengadu pada Kak Hesa, pada akhirnya aku akan diceramahi. Dengan malas aku menyusul langkah Zino, yaitu berjalan menuju basement. Kulihat dia sudah menunggu dengan berdiri di sebelah mobil putih miliknya. Aku mendekat. Tanpa menegur terlebih dahulu, aku langsung masuk ke dalam mobil. Dia menyadari kehadiranku lalu ikut masuk ke jok kemudi.
Tidak banyak bicara dia menyalakan mesin, melajukan mobil keluar dari basement. Di perjalanan hanya ada keheningan, aku tidak tau bagaimana memecahkan kecanggungan ini. Aku memang merasa jengkel bersamanya, juga tidak ingin berhubungan dekat, tetapi jika begini terus, maka tidak akan ada kemajuan dalam ingatanku.
Aura dingin .... Aku merasakan aura dingin menguar hebat dari dalam dirinya, menyebabkan tanganku bergetar dan tenggorokanku terasa kering. Sesekali aku mencuri pandang ke arah dia. Tatapan matanya terlihat meredup. Air mukanya hanya diisi kedataran. Apa tidak bosan menjalani hidup seperti itu? Tidak salah jika aku mencairkan es di pagi hari, bukan? Aku memutar otak, mencari topik pembahasan menarik.
"Kak," panggilku refleks.
"...."
Sudah kuduga tidak akan ditanggapi, tapi tidak apa, setidaknya dia mendengar.
"Tadi pagi gue mimpi." Aku mulai bercerita, tatapan kutujukan hanya kepadanya. "Kak Azka hamilin gue."
Sontak ia menoleh sambil memasang tatapan teramat tajam. Aku terlonjak. Mobil mendadak tidak kendali sebab ia masih menoleh padaku. "Mo-mobilnya, Kak, Kak!" Kutepuk pundaknya berulang kali. "Kak!"
Barulah ia kembali menoleh ke depan. Aku menghembuskan napas lega. Tunggu! Tadi itu aku barusan melihat ekspresinya yang berbeda! Tak kusangka dia akan berekspresi begitu. Sungguh menyeramkan.
"Jangan mimpi sembarangan."
Aku terkejut kala tiba-tiba ia berceletuk.
"Itu jelas nggak akan terjadi."
Dalam hati aku mengiyakan perkataan tersebut. Tidak mungkin Kakak sendiri melecehkan adiknya. Lagipula latar belakang aku bermimpi seperti itu hanya karena menonton drama korea. Dan mungkin penyebab Azka pemeran cowoknya dikarenakan aku terus kepikiran pasal dibonceng pulang kemarin. Ya, pasti. Selanjutnya perjalanan kami diisi oleh keheningan.
Dua puluh menit melaju di jalan raya, akhirnya kami sampai di pekarangan sekolah. Zino mengendarai mobilnya memasuki parkiran. Saat sudah berhenti, aku keluar lebih dulu, pada saat itulah deru motor yang memekakkan telinga berbunyi nyaring. Tiga motor besar yang menjadi penyebab bunyi tersebut berhenti tepat di sebelah mobil Zino.
"Ini parkiran mobil, lo pada pake mata nggak buat liat?" hunus Zino saat baru keluar mobil.
Azka melepas helm full facenya. Ia tertawa miring. "Nggak liat, soalnya mata gue cuma tertuju sama bidadari doang." Ia melirik ke arahku. Aku bergidik jijik.
"Sekarang pindahi atau gue tendang kayak kemarin?" Aku kembali melihat tatapan yang berbeda dari Zino, kali ini sinis.
"Males ah, tendang aja, entar bisa gue rawat balik." Ia turun dari motor, menepuk bahu Varo dan Keenan—menyuruh mereka untuk mengikuti dirinya—sebelum benar-benar pergi, Azka menyempatkan mengacak rambutku sejenak. Kemudian mereka bertiga serempak masuk ke dalam gedung.
Aku terpelongo. Sungguh mereka definisi dari kata berandal sesungguhnya. Kulirik kembali Zino, emosinya tampak tersulut namun ia berusaha tetap tenang. Dibanding berurusan lebih lanjut, sebaiknya aku bergegas masuk ke dalam kelas.
"Kak, gue masuk duluan," pamitku, langsung berlari memasuki gedung, meninggalkan Zino yang tidak tau melakukan apa nantinya.
•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
Kruyuk... Kruyuk... Kruyuk
"Laper...." Aku mengentak-entakkan kaki ke lantai dengan pelan. Kupegang perut rataku yang terus meronta. "Kantin, jangan?" Kepalaku celingukan memperhatikan keadaan sekitar, sepi. Sepertinya bel masuk belum berbunyi.
Haruskah aku keluar? Aku menggigit bibir bawah cemas. Ingin menghubungi Riki, namun menggunakan apa? Sedari kemarin ponselku disita Kak Hesa, sampai sekarang belum dikembalikan. Jika menemui ke kelas, aku tidak tau letaknya dimana.
Lantas aku harus bagaimana? Seharusnya aku sarapan di rumah. Kebanyakan gaya, sih!
Kruyuk....
Bunyi mengerikan itu kembali terdengar. Aku menimbang mana yang harus diduluankan.
Kruyuk....
Argh! Masa bodoh! Perutku lebih penting. Tanpa berpikir lagi, aku berdiri, berjalan keluar pintu. Baru sepuluh langkah beranjak dari kelas, dua orang cowok datang menghampiri.
Astaga. Aku tidak memperkirakan untuk yang satu ini. Aku melupakannya! Bahwa aku memiliki banyak teman cowok.
"Shey?!" panggilnya.
Aku tersentak, takut. Langkahku turut terhenti. Dua cowok ini berbeda dari yang kemarin. Tetapi aura badboy mereka masih terumbar. Akankah aku lari? Tidak. Itu aneh. Alhasil aku mendongak, membalas tatapan mereka. "Y-ya?"
"Lo kok nggak ngabarin udah sekolah? Kita kangen tau!" Mereka berdua tersenyum lebar. Aku hanya menatap dengan gentir, tidak mengerti.
"Barga sama Regit bilang ke gue lo makin sombong. Mana mungkin, ya nggak?" Salah satu dari mereka mencolek pundakku. Aku terkesiap kaget. "Gimana kalau ngerokok deket sungai, setuju?"
"Boleh tuh," jawab satunya lagi. "Ajak Laskar sama Elang. Mereka juga nanyain lo mulu. Eh, nggak mereka doang sih, yang lain juga."
"Kuy." Mereka menarikku lancang. Aku tersentak. Lenganku dicengkeram seenaknya oleh mereka. Siapa mereka menyentuhku?! Berani sekali! Aku ingin melawan namun tak kuasa. Sekitarku ramai, tetapi seakan bibirku kelu hanya untuk meminta pertolongan.
Bagaimana ini? Mereka akan membawaku kemana? Kami mulai masuk ke koridor sepi. Tidak ada siapapun di sini.
"Gu-gue, gue mau ketemu Kak Gian." Entah kenapa aku menyebut nama Gian. Tetapi seolah itu berhasil, mereka menghentikan langkah, melepas cengkeremannya, kemudian berbalik menatapku.
"Gian? Ngapain lo ketemu dia?"
"Gue—gue rindu." Dalam hati aku mengumpat, bisa-bisanya!
Mereka berdua serempak tertawa. "Lo nggak perlu akting depan kita, karena di sini nggak ada mereka." Lenganku kembali ditarik. Kami melanjutkan langkah yang tertunda. Napasku berubah tidak kendali. Apa? Kenapa? Aku tidak mengerti maksud perkataan mereka.
"Kak Hesa...," gumamku saking ketakutan, kami memasuki kawasan gelap. Rasanya aku ingin melawan! Tetapi mengapa sulit sekali? Tidak ada keberanian dalam diriku.
Saat di belokan menuju lobang besar, jalur anak nakal membolos, tiba-tiba tampak sesosok orang di ujung jalan tengah berdiri tegak sambil bersander ke dinding, ia bersidekap, raut wajahnya menunjukkan kesongongan sejati. Dagunya terangkat angkuh.
Sementara aku dan dua cowok tak dikenal ini berjalan menghampiri sosok itu. Aku terkejut setelah melihat jelas siapa orang tersebut.
"Gue liat ada pemaksaan di sini," ujarnya.
Dua cowok yang menyeretku mengernyitkan kening. "Pemaksaan gimana maksud lo?"
Sosok itu, Keenan, menunjukku menggunakan dagu. "Tadi nggak sengaja gue liat lo maksa dia ngerokok deket sungai."
"Kita nggak maksa, dia juga mau."
"Oh ya?" Keenan menegakkan tubuh, meletakkan kedua tangan di saku celana. "Tapi gue nggak denger ada kata setuju?" Alis Keenan terangkat, wajah songongnya bertambah dua kali lipat lebih menyebalkan.
"Sheya setuju. Lo nggak ada urusan di sini. Kita mau ngerokok. Cepetan Minggir!"
Keenan mangut-mangut, lalu melirikku. "Lo setuju nggak?" Ia meminta pendapat.
"Buang waktu!" Tanganku kembali ditarik, namun langsung kutepis.
"Gue nggak setuju." Aku beralih bersembunyi di balik punggung Keenan.
Keenan terkekeh sinis. "See? Kalian itu cuma bisa ngelakuin pemaksaan."
"Shey, lo...?" Tatapan mereka seolah mengatakan 'kenapa?'
Aku berdeheman. "Maaf, tapi gue lagi nggak pengen bolos."
"Bisa minggir, sam-pah? Kita mau lewat." Keenan menimpali.
Dapat kusaksikan dua cowok berambut cokelat itu mengepalkan buku-buku jari. "Ayo pergi, Hwan." Lalu mereka berlalu memasuki lobang besar tersebut.
"Cih, sampah." Keenan mendengus malas.
"Lo kok gitu ha?" tanyaku.
"Gitu apa?" Ia berjalan melalui jalan datangku tadi, menuju koridor yang semestinya, dimana ada banyak para murid.
"Kenapa lo mesti nanya gue dulu? Kalau gue bilang nggak setuju, itu artinya lo bakal biarin gue?"
"Jelas. Itu kan kemauan lo. Gue cuma nurutin apa yang lo mau."
"Tapi—"
"Awalnya gue mau biarin lo, tapi ngeliat muka lo pucet banget, jadi gue ikutin."
"Ta—"
"Harusnya lo masih di rumah! Lo belum sembuh total! Liat gimana lo nggak bisa nolak mereka!" Keenan menatapku sinis.
Dia ... ada apa, sih? Kenapa mendadak sensi?
"Percuma gue jorokin seragam lo ke lumpur, taunya tetep sekolah juga. Harusnya gue suruh semua toko tutup biar lo nggak sekolah sekalian," gumamnya sangat pelan, samar-samar aku mendengar.
"Apa? Lo bilang sesuatu?"
"Nggak." Ia memasuki lift, aku tidak bisa lagi mengikutinya sebab kelasku berada di lantai ini. Ia menyipitkan mata padaku, dari pancarannya berarti tatapan benci, tetapi aku tidak merasa begitu. Aku hanya bisa menyaksikan pintu lift perlahan menutup dengan Keenan yang juga menghilang dari pandangan.
•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
"Lapeeer." Aku menelungkupkan wajah ke atas meja. Bel istirahat telah berbunyi sepuluh menit lalu, aku jera keluar sendirian tanpa ditemani, ada kemungkinan kejadian seperti pagi tadi terulang. Dan di sinilah aku, meratapi nasib dengan perut keroncongan. Tidak cukup aku kelaparan sejak pelajaran pertama hingga keempat, kini aku harus menahan lagi sampai pulang. Sungguh menyedihkan.
Di detik-detik aku berpasrah, mendadak datang sesosok dari depan pintu yang memanggil namaku dengan senyum lebarnya. Ralat! Sangat lebar. Tidak! Begitu lebar. Bukan! Sangat-sangat lebar. Bersinar, bercahaya, layaknya matahari. Siapa lagi kalau bukan....
"Kelaparan, ya?" Senyum tulusnya seketika berubah menjadi senyum mengejek.
Aku berdecih, menegakkan tubuh agar tidak terlalu tampak menyedihkan. "Enggak. Kata siapa? Tadi gue udah ke kantin."
"Haha, bohong. Dari jam pertama gue di kantin, dan gue nggak ngeliat lo sama sekali."
"Ya jelas lo nggak liat, orang gue nitip sama kawan," alibiku. Harga diri harus dijunjung tinggi.
"Kawan yang mana? Setau gue kawan lo tuh berandal semua, nggak ada yang bisa diminta-tolongin."
Aku mencibir. "Bukan urusan lo kalau gue kelaperan atau kekenyangan."
Sebelah bibir Varo tersungging. "Yang bener?"
"Ya, nggak ada urusannya sama lo. Pergi sana!"
Kruyuuuuuuk....
Bibirku terbuka lebar mendengar deruan yang teramat nyaring tersebut. A-astaga. Apakah suara itu berasal dari perutku?
Varo terbahak. "Tuh kan, perut lo aja sampe mohon-mohon sama gue."
Aku membungkam sembari tetap memasang raut sinis. Harga diri, harga diri. Selanjutnya Varo mengeluarkan sekresek putih dari dalam hoodie belakangnya. Ia membuka kresek tersebut lalu mengambil kotak yang ada di dalam.
"Gue beliin lo martabak. Mau nggak?"
Mau! Mau! Mau! Mau! Mau! Mau!
Aku menggigit lidah. Melihat martabak berbagai rasa yang disodorkan Varo, menggugah selera. Perutku semakin meronta.
"Gue itung sampe ti—"
Sontak aku langsung merampas martabak itu. Tidak baik membuang kesempatan emas. Lantas kulahap martabak yang ada di genggamanku dengan lahap. Pertama kuhabiskan martabak rasa kacang, kemudian cokelat, lalu martabak telurnya.
"Tadi lo janji apa sama Kak Hesa? Janji bakal sarapan di kantin kan? Jadi kenapa nggak nurut? Mau gue kasih tau biar kena ceramah lagi?"
Dengan mulut penuh aku menggeleng. "Jua-ngan," ucapku susah payah.
"Udah gitu sampe sekarang tetep nggak makan juga. Bener-bener minta kena marah." Dahi Varo bergelombang.
Aku memutar otak, memikirkan alasan tepat. Semenit berpikir, aha! "Perut gue keram, lagi datang bulan. Gue nggak bisa jalan, sakit banget," bohongku sambil terus mengunyah.
Varo memicingkan mata. "Bohong."
"Atas dasar apa lo bilang gue bohong?!" sewotku.
Dia tersenyum remeh. "Mantan gue banyak, jelas gue berpengalaman. Kalau cewek lagi datang bulan, nggak bakal bisa makan selahap ini. Lo nggak mikir cara makan lo gimana? Kayak anjing tau nggak?"
Spontan aku melambatkan aksi kunyah. Kurang ajar. Aku melupakan fakta bahwa cowok di depanku ini malaikat berwujud Lucifer. Iblis! Jangan-jangan dia sudah meletakkan racun ke dalam martabak ini? Tidak mungkin dia sangat baik mau membelikanku makanan.
"Hehe, bercanda. Mantan gue nggak ada asal lo tau. Gue asal ngomong." Ia tersenyum lebar, lagi. Matanya yang sipit bertambah sipit, pipinya yang chubby bertambah chubby. Aku bertaruh bahwa pipinya itu lebih menggemaskan daripada pipiku.
"Jangan senyum lebar gitu, lo jadi mirip vampir." Aku kembali mengunyah dengan lahap. Tidak mengindahkan pemikiran Varo tentang aku.
"Iya, gue emang vampir, yang lagi mangsa lo."
Aku tersenyum mengejek. "Mangsa aja, tameng gue banyak. Gue bisa berlindung di balik Kak Hesa."
"Asal lo tau, yang lo anggap tameng itu, bisa ngemangsa lo juga."
Aku mencebikkan bibir. "Diem deh, diem, gue lagi makan." Tanpa menanggapinya lagi, aku sibuk mencecap nikmat tekstur martabak ini. Benar-benar nikmat, seolah baru pertama kali aku merasakan makanan mewah. Eh, memang pertama kali sih, mengingat aku baru siuman dari koma. Pertama kali seusai masuk rumah sakit maksudnya, haha.
Varo tersenyum, menyaksikan aku bahagia hanya karena makanan. Dia terus menatapku, tidak melepas pandangan walau sedetik pun, tentu dengan senyum yang terus terpatri di wajah. Semula aku menganggap itu hal lumrah, lama-kelamaan malah berujung pada sesuatu yang tak kusangka.
••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
[Epilog]
"Sheya udah boleh sekolah besok."
Kalimat itu terus terngiang dalam benak Keenan, berputar bak kaset rusak, terulang bagai jarum jam berdenting setiap detik. Tidak bisa disingkirkan. Keenan bingung bagaimana meredam kecemasan ini.
Berlatih taekwondo. Lebih baik melakukan itu, agar bisa melupakan segalanya. Dia memilih berlatih di balkon utama, sebab luas dan letaknya menenangkan, ia melangkah ke sana. Setibanya, ia malah menemukan sepasang seragam wanita terjemur di atas tiang yang diikat tali. Keenan mendekat, memegang seragam tersebut dengan pandangan tak terbaca. Tepat di bagian dada kiri, tercetak nametag 'Sheya Barsha Claretta'.
Keenan mencengkeram seragam itu, ia membantingnya ke lantai kemudian menginjak-injak sepenuh hati. Sedetik kemudian ia keluar dari balkon, menghampiri taman, mengambil seember lumpur dari dalam kolam ikan. Setelahnya kembali ke tempat semula, balkon, tempat dimana seragam tadi ia temukan. Senyum miring terbit di wajah babyface nya. Tatapannya memancarkan kemenangan.
Sesampai di balkon, langsung saja ia menumpahkan seluruh isi lumpur yang ia angkut menggunakan ember ke atas seragam tersebut. Jadilah kolam lumpur. Keenan tertawa, menginjak-injak dengan bahagia.
"Lo nggak boleh sekolah, lo masih sakit, lo harus istirahat, lo nggak boleh cacat, karena lo milik gue."
Tepat seusai Keenan mengucapkan kalimat itu, teriakan nyaring terdengar. "Woi!"
Keenan tersenyum sejenak lalu menoleh. Dengan wajah datar yang mengandung unsur songong, ia membentuk senyum miring.
"Sialan!" teriak gadis itu, Sheya. Dia mulai melangkah seraya memasang wajah kemurkaan.
Kala Sheya hampir mendekat—tepatnya tersisa satu meter—Keenan menendang seember lumpur itu tepat ke hadapannya hingga isi lumpur terciprat mengenai sebagian kaki dan baju yang Sheya kenakan.
"Lo—!" Pancaran mata Sheya menunjukkan tatapan super murka. Telunjuknya bahkan terangkat menunjuk Keenan saking geram.
Sementara Keenan merasakan kepuasan.
[Epilog End]
••••••••••••••••••••••••••••••••••••
