Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 7

✨Innocent✨

"Shey! Kamu cepetan turun!"

Aku tersentak kala teriakan itu terus-menerus diucapkan oleh orang yang sama dan telah puluhan kali dikatakan. Aku mempercepat aksi mengikat tali sepatu dan bergegas berdiri. Kuraih ransel yang isinya buku dan alat tulis kemudian berlari menghampiri lantai bawah. Rumah ini begitu megah tetapi teriakan Kak Hesa masih saja terdengar dari sana. Menakjubkan.

"Shey!" teriak Kak Hesa, lagi.

Aku meringis. "Iya, Kak."

Tidak butuh waktu lama—sebab aku berlari—aku sudah sampai di depan si empu peneriak.

"Udah telat jadi nggak sempet sarapan, nanti kamu sarapan di sekolah ya." Kak Hesa menyambutku lalu langsung menarikku menuju pintu depan.

Aku yang tiba-tiba ditarik tidak bisa melakukan penolakan. Langkahku yang kecil terpaksa mengiringi langkahnya yang besar. Aku terseok-seok! Dia sungguh terburu-buru, layaknya buronan yang dikejar polisi.

"Kak...," cicitku, berharap dia mengerti. Namun bukannya didengar, aku hanya diabaikan. Dalam hati aku mendesis. Kami terus melangkah cepat, hingga sampailah pada garasi mobil.

"Kamu pergi sama Gian ya, Kakak nggak bisa nganter kamu soalnya ada kelas pagi dan ini udah telat banget. Baik-baik di sekolah, jangan buat ulah. Gian sama Zino bakal ngawasin kamu." Dia mengacak rambutku yang tergerai lalu memasukkanku ke dalam mobil. Di dalam mobil ia memasangkan seatbealt.

"Gian, tolong jaga Sheya," pesannya pada Gian yang duduk di sebelahku atau tepatnya di bagian kemudi.

"Hm."

Kak Hesa kembali melirikku, untuk terakhir kali dia tersenyum manis, setelah itu menutup pintu, beranjak memasuki mobil lain berwarna putih. Aku memperhatikan dirinya. Hingga mobil yang kunaiki mendadak melaju meninggalkan pekarangan rumah. Perlahan aku menggerakkan bola mata melihat jok belakang mobil. Tidak ada siapa pun.

Kukira para kakakku yang lain akan ada. Kalau begitu, di mobil ini hanya ada aku dan ... Kak Gian? Aku melotot, baru kusadari sekarang.

"Kenapa lo lama banget?" tanya Gian, memecah keheningan. Aku menahan napas. Dia tampak melirikku sekilas. Astaga. Tubuhku panas-dingin, Auranya menguar keluar hingga tenggorokanku tercekat.

"Heh," panggilnya sambil fokus mengemudi. Kulihat mobil sudah melaju di jalan raya. "Shey, jangan bengong." Dia menjentikkan jari berulang-kali, pada saat itu aku terkesiap.

"Hng? Gimana?" celetukku spontan.

"Belakangan ini gue liat lo sering ngelamun."

"O-oh, iya. Gue kepikiran sekolah."

"Sekolah?" Alisnya tertaut. Sontak aku menutup mulut menggunakan telapak tangan, merasa telah salah bicara lagi.

"Iya, maksudnya gue kepikiran temen-temen gue, gimana cara jelasin ke mereka masalah masuk rumah sakit kemarin."

"Nggak perlu diceritai, bikin repot doang."

Dia mengatakannya begitu ringan, tanpa beban, menggunakan raut datar pula. Dikira mempunyai teman itu tidak sulit? Seperti kata Riki, aku mempunyai dua teman, itu artinya mereka akan bertanya padaku mengenai kejadian ini. Memangnya teman mana yang tidak kepo? Setahuku seorang teman akan cemas bila teman lainnya terluka.

"Nggak usah inget kejadian lo masuk rumah sakit. Lupain, nggak perlu cerita ke siapapun."

Gimana mau cerita ke orang lain sementara aku sendiri tidak tau detail kisahnya? Aku mendengus geli.

"Ngerti?" timpalnya. Aku mengangguk sebagai jawaban, iya-iya saja.

Lima menit keheningan mengambil alih. Gian sibuk menyetir, sementara aku sibuk meratapi jalanan kota, tidak berniat membuka percakapan apapun. Lebih baik seperti ini, hening melengang.

Hingga di menit kesepuluh, mobil kami memasuki gerbang super mewah nan besar. Pupilku dapat melihat kumpulan murid berbondong-bondong memasuki gerbang. Ada yang mengendarai motor, mobil—seperti kami—maupun berjalan kaki dari halte bus. Kepalaku terus celingukan, memperhatikan interior bangunan yang sepertinya tempat aku menuntut ilmu.

Luar biasa. Dua kata yang mendeskripsikan tempat tersebut. Terdapat pohon tabebuya yang super indah tumbuh rapi menghias pinggiran jalan. Para siswa-siswi melangkah sembari bercanda-gurau, ada yang mengobrol di bawah pohon maupun tengah berlari. Keadaan sekitar begitu asri, kadangkala daun dari pohon tersebut berguguran. Itu tampak menyejukkan dan menenangkan.

Mobil memasuki sekolah lebih dalam, jarak dari gerbang ke parkiran saja begitu jauh, bagaimana ukuran bagian dalamnya, ya? Gian memarkirkan mobil tepat di parkiran mobil, aku membuka seatbealt lalu turun, tidak sabar mengelilingi sekolah ini.

"Shey, bentar," celetuk Gian, tetapi aku tidak mendengar dan malah langsung berlari meninggalkannya. Kakiku tanpa sadar melangkah memasuki pintu masuk sekolah, tidak mengindahkan Gian yang masih sibuk di dalam mobil.

Kepalaku terdongak, mulutku terbuka lebar menyaksikan bangunan mengagumkan ini. Gedungnya tinggi, lebar, dan modern, dengan lima belas lantai yang menjulang tinggi.

Wow. Ini yang dinamakan sekolah? Yang kutahu sekolah memiliki minimal tiga lantai dan tidak semegah ini. Apa aku tengah berada di hotel atau bagaimana?

"Ssst, Shey."

Seseorang menyenggol bahuku. Aku menoleh.

Dia menyengir lebar. "Bingung ya kenapa gedung sekolah sebesar ini?"

Aku mengusap dada lega ketika mengetahui orang itu siapa. "Bikin kaget tau ngga!" Aku menekuk bibir.

Riki terkekeh. "Lo kelamaan bangun sih, kalau cepet kita bisa pergi bareng, gue bisa nunjukin ruang-ruang sekolah. Kalau sekarang mana sempet." Ia melirik arloji. "Tujuh menit lagi bel."

Benar juga. Harusnya tadi aku bangun lebih pagi. Dan sekarang rasakan aku yang buta arah, mau kemana pun tidak tahu.

"Anterin gue ke kelas," pintaku. Aku tidak tau kelasku yang mana.

Riki tersenyum. "Tentu, Tuan Putri."

Aku tertawa kecil mendengar sebutan itu. Kami mulai berjalan menyusuri koridor. "Kalian nggak pergi barengan?" Aku membuka percakapan.

"Kalian siapa?"

"Lo dan Kakak-Kakak kita."

"Ya enggaklah." Riki mendengus. "Kita pergi sendiri-sendiri. Gue, Kak Azka, Varo sama Keenan naik motor masing-masing. Sementara Kak Hesa, Kak Gian, sama Kak Zino naik mobil masing-masing."

"Kalian punya kendaraan pribadi?" Mulutku terbuka lebar.

Dia mengangguk. "Kita beli nabung sendiri."

"Nabung?" Keningku bergelombang. "Uangnya dari?"

Ia tidak menjawab, hanya diam, menatap ke depan sambil terus berjalan. Apa ini juga menjadi rahasia? Mengapa aku tidak diperbolehkan tahu? Aku berdeheman menghilangkan canggung. "Oke, cari topik lain," tuturku pelan. "Terus gue? Gue nggak punya kendaraan pribadi?"

Riki kembali menoleh padaku. "Lo punya. Mobil, dibeliin Kak Azka. Tapi Kak Hesa ngelarang lo ngendarain apapun."

Aku? Mempunyai mobil? Benarkah? Dan apa tadi? Pemberian Kak Azka? Apa itu artinya yang kutulis di buku harian benar? Mengenai Azka yang selalu membelikanku apa saja? Aku tidak lagi fokus dengan pembicaraan dan malah terpana dengan interior dalam bangunan.

"Ada lift?" Aku memekik sambil menunjuk kotak canggih yang dinaiki para siswa atau biasa disebut lift.

Riki tertawa kecil. "Ya jelas ada dong. Lima belas lantai nggak pake lift apa jadinya kaki kita?"

Benar juga.

"Ayo cepetan sebelum murid lain masuk." Dia menarikku memasuki lift, lekas menekan tombol tutup sebelum segerombol murid memasuki lift yang sama. Aku terpelongo. Lift tertutup dan hanya kami berdua penghuninya.

"Kalau rame kenapa? Lagian mereka kasian nanti terlambat," ujarku.

"Kalau rame kan bakal dorong-dorongan. Gue nggak mau lo yang udah kecil makin kecil karena kepepet."

Aku memukul pundaknya. "Kurang ajar."

Riki tertawa kemudian menekan tombol sembilan. Sepertinya kelasku berada di lantai sembilan.

"Eh tapi tadi lo bilang kasian? Sejak kapan seorang Sheya punya belas kasian?"

"Setiap manusia pasti punya!" Aku memicingkan mata.

"Setiap manusia kecuali lo. Lo itu monster berbentuk manusia."

Aku semakin memicingkan mata, kali ini terlihat sinis. "Jahat banget. Gue pikir lo beda dari Varo dan Keenan."

"Dih, iya-iya sori. Bercanda doang kok haha. Lo mah bidadari berbentuk manusia." Ia tertawa kemudian mengacak rambutku. Aku menekuk bibir dan tidak mempedulikannya lagi. Dasar, Riki. Tidak sampai satu menit pintu lift terbuka, kami telah berada di lantai sembilan.

"Ayo, Shey, bentar lagi bel." Riki bergegas membimbing arah menuju kelasku. Aku mengikut dari belakang.

"Oi!" Dua orang cowok menghampiri kami dari arah depan. Saat itu juga langkah Riki terhenti, aku ikut berhenti.

Aku menatap Riki ingin meminta penjelasan mengenai siapa mereka, namun mereka berdua sudah terlanjur sampai di hadapan kami.

"Ck, awas deh lo berdua. Sheya lagi nggak pengen main." Riki berceletuk, nadanya berbeda dengan nada biasa yang ramah-tamah.

"Kita cuma mau nanya kabar Sheya doang, dua minggu nggak jumpa. Lo mah sensi amat." Salah satu cowok berambut agak hijau berniat mendorong bahu Riki tetapi Riki lebih dahulu menepis lengannya.

"Nggak usah ngajak berantem. Gue bilang Sheya lagi nggak mau main."

Mereka berdua tertawa sinis, sedetik kemudian pandangan mereka beralih padaku.

"Shey, bilangin sama adek lo yang satu ini, dia nggak berhak larang-larang gue main sama lo."

Keningku berkerut tak suka. Nada cowok itu terdengar mengintimidasi seolah aku seorang babu yang tengah diperintah. Aku mendengus. "Emang lo siapa? Harusnya lo yang nggak berhak nyuruh-nyuruh gue." Aku menyikut perut Riki menggunakan siku agar kembali berjalan.

Riki sadar dan menggenggam tanganku, kami berdua berlalu meninggalkan dua cowok berpenampilan aneh itu.

"Mereka berdua siapa?" tanyaku ketika jarak kami sudah menjauh.

"Temen main lo."

"Temen main gimana?" Tadi aku juga mendengar kata 'main' dari salah satu mereka.

"Barga dan Regit. Temen berandalan lo."

Temen berandalan? Apa aku termasuk golongan cewek brengsek?

"Itu kelas lo." Riki menunjuk kelas nomor urut kedua dari ujung. "Kelas gue di lantai dua. Semenit lagi bel. Belajar yang bener ya." Dia tersenyum tipis padaku lalu berbalik pergi, meninggalkanku yang sangat ingin mencegat.

Riki.... Rasanya aku tidak ingin berada di sini. Rasa takut menghinggapiku. Aku ingin pulang saja. Tapi, tidak mungkin. Karena sudah terlanjur, aku berbalik menuju kelas. Dua orang cewek berpakaian super ketat dan makeup menor menjadi sapu pandang bola mataku pertama kali, sebab mereka berdiri tepat di depan pintu. Tubuhku semakin kikuk, tidak sengaja aku melirik name tag mereka.

Gayatri dan Thalia.

Seketika aku teringat perkataan Riki. Gayatri dan Thalia, bukankah mereka temanku? Aku mengedipkan mata dua kali, menyadarkan diri.

"Halo, Sheya." Mereka tersenyum miring sambil bersidekap dada.

"K-kalian ... kalian berdua temen gue?" tanyaku to the point.

Mereka saling melirik, kemudian tertawa. "Ya jelas, kita kan temen." Mereka mendekat, mengapit kedua lenganku lalu mengajakku masuk ke dalam kelas.

Aku menahan napas. Kondisi ini begitu asing. Parfum mereka sangat menyengat, aku merasa sesak. Ekspresi mereka juga tampak menyeramkan, seolah mereka zombie yang siap menerkam.

"Gimana kabar lo? Setelah dua minggu cuti liburan?"

Cuti liburan?

Aku ingin memberitahu hal sebenarnya, namun urung ketika melihat tampang mereka yang tak meyakinkan. Sepertinya Riki salah, tidak mungkin aku memiliki teman modelan seperti mereka.

Kulepaskan apitan lengan mereka karena risih, mulai berjalan seorang diri masuk ke dalam kelas. Kelas terasa sepi kala aku masuk. Padahal sebelumnya terdengar kerusuhan, tetapi sekarang tidak lagi. Mereka serempak diam, dan ... berbisik-bisik? Apa ada gosip terbaru?

Berusaha tidak peduli, aku berjalan menuju meja kosong, Gayatri dan Thalia tidak mengejar atau menuntut penjelasan seperti yang kuperkirakan, mereka malah sibuk bergosip-ria, tertawa seraya memainkan ponsel. Untungnya aku tidak terlalu peduli. Beruntung meja kosong yang kupilih bersebelahan dengan jendela, dari sini aku dapat menyaksikan taman hijau, banyak bunga serta pepohonan di sana. Melihat itu, aku sedikit merasa tenang.

Tidak lama setelahnya, bel masuk berbunyi nyaring di sepenjuru sekolah. Para murid berbondong menghampiri kelas masing-masing, taman yang tadi sedikit ramai kini tidak berpenghuni. Aku masih memperhatikan taman itu, sampai seorang guru datang, ketua kelas memimpin untuk memberi salam dan kemudian aksi ajar-mengajar dimulai.

••••••••••••••••••••••••••••••••••

Lapar. Itu yang kurasakan sekarang. Kuedarkan pandangan menyisir seisi kelas. Sepi. Ya. Sudah sepuluh menit sejak bel istirahat berbunyi, tetapi aku tidak juga berniat beranjak keluar kelas.

Bukannya apa, aku hanya takut berjumpa dengan orang yang tidak kukenal. Aku tidak tau cara bersikap kepada mereka. Jika menghampiri Riki, sama saja. Kelasnya di lantai dua, terlalu jauh. Ada kemungkinan aku bertemu dua cowok aneh pagi tadi. Dan tidak mustahil juga bila aku bertemu 'orang-orang aneh' lainnya.

Aku takut berhadapan dengan mereka. Walau aura Kak Gian lebih menyeramkan, tetap saja aku takut, jangan lupakan fakta bahwa aku tidak mengenal siapapun di sini selain kakakku. Kuletakkan kepala di lipatan tangan, memperhatikan taman di bawah sana yang kembali ramai.

Gayatri dan Thalia bahkan tidak lagi mengajakku bicara. Dugaanku sepertinya benar, mereka bukan temanku. Mungkin Riki salah mengira bahwa mereka teman terdekatku. Lantas, siapa sobatku di kelas ini? Yang kuterima hanya tatapan datar dan sinis dari setiap orang.

Tadi aku mencoba berbicara dengan cewek di depanku—yang ada dia malah mendelik sebal dan mengacuhkan diriku. Sebenarnya ada apa, ya? Lima menit terbengong, hingga—

"Shey."

Sontak aku menegakkan tubuh tatkala suara yang belakangan ini kukenali terdengar. Suara berat dan serak itu. Siapa lagi pemiliknya kalau bukan Gian?

"L-loh? Kenapa?" Aku melirik dia sejenak lalu beralih ke teman sekelas, mereka menatapku takut-takut. Mengapa? Ada apa? Tadi mereka menatapku dengan berani? Sekarang...?

Gian menarik kursi entah siapa kemudian duduk tepat di hadapanku. Dia menyodorkan sekresek putih dan sebotol air mineral di mejaku. "Tadi pagi gue bilang tunggu, lo malah langsung pergi. Makan," titahnya sambil menunjuk kresek yang ia bawa menggunakan gerakan dagu.

Aku menunduk, melihat kresek tersebut. Dengan gerakan lambat aku membukanya. Tonkatsu?

"Makan," titahnya lagi.

Tanpa babibu aku mengambil sumpit dan melahap makanan itu.

"Hari ini lo ada rencana bolos?"

Kunyahanku melambat. "Hng? Rencana bolos?" Keningku berlipat. Aku sama sekali tidak berencana melakukan hal seperti itu.

"Biar gue jagain."

Ja ... gain gimana? Ingin rasanya aku bertanya, namun pasti akan terlihat aneh. Lebih baik pura-pura saja.

"Enggak, gue masih badmood ngelakuin itu."

Dia mangut-mangut. Daripada terlihat mencurigakan, aku melanjutkan aksi makan. Perutku yang semula keroncongan akhirnya terobati. Untung ada Kak Gian, memberiku kelegaan, bila tidak maka habis cacingku meronta.

"Lo pulang bareng gue."

Gue mau sama Riki. Ingin rasanya aku menjawab seperti itu. Apa daya aku yang tidak memiliki nyali? Alhasil aku hanya mengangguk menyetujui.

"Oke, habisin makanan lo. Gue balik." Dia bangkit lalu berjalan keluar kelas dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.

Sikapnya itu sangat santai. Ekspresinya, stylenya, cara jalannya, segalanya tentang dia itu bisa dinilai terlalu simpel. Sejenak aku terpukau melihat pesona diri Gian.

•••••••••••••••••••••••••••••••••

"Sheyaaaaaku sayaaaaang."

Mulutku terbuka lebar. Baru menginjakkan kaki keluar dari ruang kelas, teriakan nyaring sepanjang koridor mengisi gendang telinga. Para murid yang bersiap pulang kini menjadikan Azka, Varo dan Keenan titik objek pandang.

"I miss you so much!" teriaknya, lagi. Para murid kini hanya menatap Azka. Tanganku terkepal, aku mendesis malu. Tidak cukup mereka mengacau di rumah? Di sekolah juga? Serius? Huft~

"Shey! Don't move! Your prince will come to you, honey!"

Aku menggeram. Benar-benar memalukan. Lihat saja! Mereka bertiga berjalan ke arahku dengan wajah berbeda satu sama lain. Seolah mereka bukanlah saudaraan.

Varo, berjalan dengan langkah percaya diri, senyum merekah super manis tercetak di wajahnya namun bagiku senyum itu tidak lebih dari senyum iblis. Keenan, langkahnya lebar, dagunya terangkat angkuh dengan smirk yang terpasang di wajah, sesekali angin menerbangkan poni depannya. Cuih, dia pikir dia keren? Azka, dia terlihat normal, senyum polos terpatri di wajahnya. Tetapi jangan tertipu oleh sampul luar, kenyataannya dialah yang berteriak sepanjang koridor memanggil namaku. Orang gila!

Ingin rasanya aku berlari menjauhi mereka! Apakah bisa? Tidak. Terbukti dari kakiku—terpaku—menunggu sosok mereka mendekat.

"Shey! I miss you so much!" Sesampai tepat di hadapanku, Azka meraih pipiku dan mengapit sisi kiri-kanan menggunakan kedua telapak tangannya. Tawanya membeludak melihat ekspresi wajahku.

"Leupas!" Aku melotot. Dia semakin tertawa dan terus menekan kedua sisi pipiku.

"Gemesin banget. Sheyanya siapa sih? Sheyanya siapa? Sheyanya gue? Oh, udah pasti." Azka masih memainkan pipiku seolah aku adalah anak kecil. Seluruh pasang mata tertuju pada kami, lantas aku menepis kedua lengan tersebut sekuat tenaga. Terlepas.

"Lo kira gue bocah?!" Aku memicingkan mata.

"Lo kan emang bocah. Bocahnya Azka. Bener?" Dia terkekeh.

Aku berdecih. "Nggak waras." Dengan segera aku berlari meninggalkan kerumunan itu.

"Eh, Shey, bentar! Kita pulang bareng! Gue mau ngajak lo jalan!"

Koridor dipenuhi teriakan Azka, aku tidak menggubris, meneruskan langkah menjauhi mereka semua. Sekarang aku ingin cepat sampai rumah, menghempaskan tubuh di kasur empuk dan mengistirahatkan otak yang penat. Ke sekolah bukan hal mudah, sedari pagi hanya kesusahan yang mendatangiku. Menyebalkan.

Aku mengarahkan langkah menuju salah satu lift. Kata Kak Gian aku harus pulang bersamanya. Mengapa aku harus menuruti perintah itu? Lebih baik aku menghampiri Riki. Aku menunggu lift, ketika pintu terbuka, terdapat tiga orang cowok berpenampilan berandal di dalam. Tubuhku mendadak kaku, tidak berani masuk.

"Loh Shey? Lo udah masuk? Kok kita nggak tau?" Cowok bertindik yang semula berjongkok berdiri kala melihatku.

Aku meneguk saliva sulit, bingung harus apa. Sebenarnya ada apa dengan hari ini? Tidak adakah yang berjalan normal?

"Pas banget, kita mau nongkrong, kuy bareng." Cowok lain berkenakan bandana merah berceletuk.

Napasku berubah tidak beraturan, tidak tau harus bagaimana menanggapi mereka. Kalau sudah begini aku menyesal berjauhan dengan Azka. Walau Azka mengesalkan, namun aku mengenalinya, tidak seperti tiga cowok ini.

Salah satu dari ketiga cowok itu melangkah mendekat dan berniat menarik pergelangan tanganku, bertujuan memaksaku menaiki lift, aku tersentak, ingin menepis namun tenaganya sangat kuat, aku tertarik ke dalam dan hampir dipeluk salah satu dari mereka, namun urung ketika sebuah tangan lain menarikku keluar dari lift.

"Kayaknya Sheya gue lagi sibuk, jangan ganggu dulu." Azka merangkulku akrab, tersenyum manis. Aku menghembuskan napas lega karena kedatangannya, jika tidak, maka aku sudah berakhir naas di pelukan para troublemaker itu.

"Cih. Kenapa nggak ngasih tau Sheya udah sekolah?"

"Emang lo siapa? Harus banget gue ngasih tau berita ke lo?"

Kukira mereka berdua berteman, namun terlihat dari pancaran mata Azka, bahwa cowok itu melayangkan tatapan sinis, hanya saja ditutupi dengan senyum.

Cowok berbandana merah ikut tersenyum, sinis. "Kapan-kapan kita main lagi." Dia menekan tombol lift, pintu perlahan menutup.

"Ngapain sih lo temenan sama mereka lagi? Udah dilarang Kak Gian juga," sindir Varo saat pintu lift sepenuhnya tertutup.

"Kegatelan." Keenan menimpali.

Rahangku mengeras. Emosi mendengar satu kata yang keluar dari bibir Keenan. Aku bahkan tidak tau memiliki teman sejenis itu. Asal menuduh.

"Udah diem lo berdua." Azka menengahi, dia menggenggam tanganku erat, menatapku lekat. "Sekarang lo nggak bisa lepas, gue mau ngajak lo jalan."

Tetapi aku ingin pulang. Tolong, bawa aku pulang. Azka menarikku menuju parkiran motor. Dan aku tidak bisa melakukan hal lain selain menuruti titahannya.

•••••••••••••••••••••••••••••••••••

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel