Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 6

✨Flame On✨

"Jadi sifat gue yang sebenarnya itu ... munafik?"

Riki tersenyum tipis. "Kurang lebih gitu. Tapi sehari-hari lo bersikap baik di depan Kak Hesa, sementara di belakangnya ... lo jelek-jelekin dia."

Aku menutup mulut, tidak percaya akan sifat asliku.

"Makanya waktu lo ngomong kasar pas sarapan, jelas kita semua kaget, biasa lo nggak gitu."

Aku menggelengkan kepala. Apa benar itu aku? Menjelek-jelekkan Kak Hesa di belakang? Sungguh?

"Lo sering adu mulut sama Varo, semua orang tau lo berdua pengen saling ngejatuhin di depan Kak Hesa, jadi lo bersikap manis biar nggak kalah. Dan tadi, untuk pertama kalinya lo kalah di permainan lo sendiri."

Permainan apa? Bahkan aku tidak tau permainan apa yang dimaksud.

Riki menghela napas. "Terus apa lagi yang perlu gue jelasin?"

Meski ini berat, namun ini diriku, kan? Aku harus mengetahui jati diriku yang sebenarnya. "Hubungan gue sama ... Kak Gian?"

Ia bergumam sambil mengusap dagu menggunakan telunjuk. "Kak Gian ...." Matanya menyipit, berpikir.

Aku menunggu dengan tak sabar.

"Sepengamatan gue, lo itu manja banget ke Kak Gian."

"Man-ja?"

"Hu'um, lo itu nakal, sering nongkrong bareng Azka, sebagai perlindungan nggak kena marah Kak Hesa, lo jadiin Kak Gian tameng."

Nakal? Perlindungan? Ta-meng? Benar-benar tidak dimasuk akal.

Keningku berkerut samar. "Bentar, gue nggak ngerti."

"Maksudnya, lo deketin Kak Gian cuma untuk ngemanfaatin doang. Lo kan doyan banget ngelakuin sesuatu yang bikin Kak Hesa marah, kalau lo udah siap-siap diceramahi, lo langsung ngadu ke Kak Gian biar dibela."

"Masa gue gitu?" Aku menutup wajah menggunakan telapak tangan.

"Tapi lo gitu, Shey. Itu diri lo sendiri."

Aku diam termenung, memikirkan apakah itu mungkin. "Menurut lo, Kak Gian tau gue manfaatin dia?"

Riki menatap ke arah lain, mengingat sekelabat memori yang biasa ia lihat. "Dari gerak-geriknya jelas dia tau. Tapi tetep aja, mau lo manfaatin dia, khianati dia, tusuk dia dari belakang, tetep aja dia masih sayang sama lo." Riki tersenyum simpul. "Eh, ralat! Bukan cuma dia, kita semua, kita bertujuh selalu sayang sama lo."

"Kenapa kalian kayak jagain gue banget?"

"Bukan kayak, tapi kita semua emang selalu jagain lo. Kita pengen lo selalu bahagia, dan nggak pernah sedih."

Tertegun, aku sedikit terhanyut melihat pancaran mata yang diberikan Riki padaku.

"Biar lo nakal, bandel, nggak penurut, kita tetep setia lindungi lo."

Apa ini? Mengapa mereka begitu peduli padaku? Sebenarnya ... aku siapa?

"Kalau sikap gue ke lo? Gimana?" timpalku, mengabaikan perasaan bimbang dalam hati.

"Emm ...." Riki membasahi bibir bawah. "Lo sering marah-marah ke gue."

"Marah?"

Ia mengangguk. "Kalau aja barang lo hilang, pasti nuduh gue. Kalau sesuatu nggak sesuai harapan lo, bakal nyalahin gue. Nggak cuma itu, lo sering teriak-teriak ke gue karena bikin mata lo sakit."

"Hah? Itu beneran gue?"

"Makanya waktu sarapan dua hari lalu, gue kaget lo ngampiri kursi yang gue tawar. Biasanya lo ngabain gue. Kalau ada Kak Gian di hari itu, pasti lo milih duduk di samping dia. Kalau enggak, ya lo nyamperi Kak Azka."

Seketika aku teringat kejadian dua hari lalu, aku memang langsung menuruti titahan Riki.

"Lo emang selalu marahi gue. Tapi menurut gue itu hal lumrah. Lagian gue seneng lo bentak, lucu."

"Gue nggak bikin lo sakit hati, kan?"

Riki mendengus geli. "Sakit hati? Gue? Nggak pernah tuh. Yang ada gue rindu dibentak sama lo."

Aku terkekeh kecil. Tidak percaya Riki sebaik ini. Mana mungkin aku yang sesungguhnya membenci dia yang terlihat paling imut.

"Pertanyaan terakhir nih, udah gelap." Riki memendarkan pandangan, menyaksikan langit biru perlahan berubah menjadi hitam.

Aku memutar otak dengan sungguh-sungguh, mencari hal lain yang paling ingin kuketahui selanjutnya. Jangan sampai aku menyesal tidak bertanya sekarang. Dua menit berpikir hingga satu hal terlintas dalam benakku.

"Ah iya, pesta!"

"Pesta?"

Kepalaku terangguk. "Tepatnya pesta kemaren, di hari pertama gue pulang dari rumah sakit, jam delapan malam. Gue mau tau itu pesta apa!" Ya, ini juga salah satu hal yang terngiang-ngiang dalam otakku.

Pesta apa itu, mengapa terlihat formal padahal dirayakan di rumah, mengapa tampak kaku padahal mereka akan mengadakan 'pesta'. Itu selalu menjadi tanda tanya di malam aku diijinkan Gian kembali ke kamar dan tidak mengikuti acara. Kini aku harus membunuh rasa penasaran tersebut.

Baru saja aku merasa senang karena sebentar lagi mendengar jawabannya, raut Riki berubah dari raut sebelumnya, begitu berbeda sampai aku menahan napas.

"Ke-napa?" bataku. Kulihat dia melamun sembari menatap tanah.

"Rik, kenapa?" Perlahan kuarahkan lenganku untuk mengguncang pundaknya.

Dia tak bergeming, air mukanya semakin datar. "Rik!" sentakku.

Dia masih melamun.

Aku mengguncang tubuhnya lebih kencang menggunakan kedua tangan. Pada saat itulah dia mulai sadar, mengerjapkan mata.

"Kenapa?" tanyaku, lagi.

Ia meringis, kemudian menggeleng menyatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sedetik setelahnya ia memancarkan sorot tidak enak. "Maaf, Shey, kalau itu gue nggak bisa jelasin. Kalau ingatan lo pulih, pasti lo tau sendiri."

Apa sepenting itu? Sepertinya iya. Bahkan ekspresinya menggambarkan sesuatu yang amat penting hingga tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata.

"Oke, nggak masalah." Aku tersenyum getir.

Dia beralih bangkit dari duduk. Menepuk-nepuk celana, membersihkan tanah yang menempel. Aku turut mengikuti pergerakannya. "Kita harus balik kalau nggak mau dicarii."

Aku mengangguk, menyetujui. Dia memimpin langkah menuju letak rumah, sementara aku mengikuti dari belakang. Bola mataku berkesempatan melirik dirinya dari belakang, aku terus memperhatikan punggung tersebut sampai puas.

Segala penjelasan yang ia berikan tadi masih berputar-putar bagai jam dinding dalam otakku. Sulit melupakannya, sebab aku masih belum yakin dengan kenyataan bahwa sikapku seburuk itu. Namun aku tidak bisa menolak perawakan yang ia kisah bukan aku, sedangkan aku sendiri tidak mengetahui jati diriku.

Mungkin sifat asliku sebenarnya memang seperti itu, namun aku yang melupakannya. Aku belum bisa membenarkan apa pun, yang terpenting sekarang ialah aku harus bertahan untuk mendapat kembali ingatanku.

"Shey," tegur Riki.

Aku tersentak dari lamunan. "Hng?"

"Gue panggilin daritadi nggak nyaut. Kepikiran, ya?"

"Hm?" Aku tersenyum culas.

"Jangan khawatir. Gue pasti selalu lindungi lo. Jangan mikirin yang aneh-aneh. Gue selalu ada kalau lo butuh." Riki mendekat lalu mengacak rambutku.

Aku mengangguk sambil tersenyum tipis.

"Bukannya tadi lo nyuci?" Riki menoleh lagi padaku setelah melihat balkon sekejap, dimana aku berjemur kain tadi.

"Iya. Kenapa?" Aku ikut melihat ke atas balkon.

"Kayaknya udah nggak aman."

Mendengar tersebut, sontak aku menajamkan pandangan ke atap sana. Tampak sesosok cowok berdiri menjulang. Yang sedang—sedetik kemudian aku berubah syok, lantas berlari kencang menaiki tangga, meninggalkan Riki yang terpingkal di tempat.

"Biar gue duga, bakal terjadi perang dunia," gumam Riki, ia berbalik lalu memasuki pintu utama.

Sementara aku sibuk berlari, mencapai tujuan dengan emosi berkobar.

Sesampai di atas, kulihat sesosok itu begitu anteng menginjak-injak seragam yang kucuci tadi lalu melemparkannya ke dalam seember lumpur.

Se...ember lumpur?!

Anj!

"Woi!" teriakku nyaring. Bahkan aku yakin suaraku dapat didengar kurang lebih lima ratus meter dari sini. Sang pelaku menoleh. Dengan wajah datar yang mengandung unsur songong, ia tersenyum miring.

"Sialan!" teriakku lagi, aku mulai melangkah seraya memasang wajah kemurkaanku.

Kala aku hampir mendekat—tepatnya tersisa satu meter—ia menendang seember lumpur itu ke hadapanku hingga isi lumpurnya terciprat mengenai sebagian kaki dan baju yang kupakai.

"Lo—!" Kupancarkan tatapan super murka. Telunjukku bahkan terangkat menunjuk dirinya saking geram.

Dan dia malah semakin menampilkan wajah songong!

"Apa? Nggak suka? Kalau enggak, tinggal ambil terus cuci ulang. Gampang, kan?" Dia berbalik pergi.

Dadaku kembang-kempis, emosi telah menelan diriku, terlebih melihat seragam yang tadi kucuci telah kotor dan tergeletak menggenaskan di antara kolam lumpur. Brengsek!

"Sekali lagi lo ngelangkah pergi, gue pastiin hidup lo nggak bakal tenang!" jeritku, marah.

Seketika ia menghentikan langkah, diam di tempat.

"Sekarang gue minta lo cuci ulang seragam gue sampe bersih!" Oktaf suaraku melengking melebihi apapun.

Dia berbalik, kembali menghadap wajahku, namun ekspresinya bertambah songong! Dia bersidekap dan dagunya terangkat tinggi.

"Apa?" katanya.

Tanganku terkepal, melihatnya yang angkuh membuat kemarahan dalam hatiku semakin mengobar. "Gu.e min.ta se.ra.gam gu.e lo cu.ci u.lang! Sialan!" bentakku.

Dia mendengus sambil tersenyum sinis. "Nggak mau."

"IHHHH! GUE BILANG CUCI!" Aku mengentak-entakkan kaki ke lantai, yang tanpa kusadari lumpur di bawah kakiku ikut bercipratan kemana-mana.

Dia masih tetap memasang wajah angkuh. "Eng-gak!" jawabnya.

"ARGHHHH." Aku menjambak rambut frustasi. Sejurus kemudian aku melangkah cepat menuju dirinya—bertujuan menjambaki cowok sialan itu—namun hal tak kusangka terjadi.

Tubuhku terpeleset hingga aku jatuh tersungkur.

Kejadian berikutnya adalah tawa ledekan dari sang pelaku kurang ajar. "Hahaha kasian," tawanya.

Aku mengepalkan jari. Gigiku bergemelatukan. Wajahku telah berakhir naas yaitu berlumuran cairan menjijikkan bernama lumpur yang tadi kuinjak-injak..

"Apa sih ini ribut-ribut?" Terdengar suara lain yang muncul dari balik pintu.

Ketika dua sosok itu menampilkan wujud, mereka membulatkan mata tatkala melihat posisiku yang mengenaskan.

"Shey?!" Azka lekas berlari ke arahku dengan wajah panik.

Sementara Varo yang datang bersamanya menghampiri Keenan. Ya, cowok songong yang menyebabkan kondisiku seperti ini adalah si kurang ajar Keenan.

"Shey? Lo nggak pa-pa?" Azka menjulurkan tangan berniat membantuku tetapi aku langsung menepis tangan tersebut.

"Siapa yang ngelakuin ini? Keenan, lo?" Azka mengarahkan tatapan ke arah Keenan.

"Iya, emang gue."

Kening Azka berkerut dalam. "Apa-apaan lo ngerjain Sheya?"

Keenan menggedikkan bahu acuh. "Iseng."

"Iseng gimana? Lo bikin Sheya kayak gini!"

Daripada menyaksikan perdebatan mereka, lebih baik aku pergi.

Aku berusaha bangkit sendiri. Dan—

Bruk!

Aku kembali terjatuh, kali ini seluruh wajahku terendam lumpur.

"BAHAHAHAHAHA," bahak Varo dan Keenan tiba-tiba, namun gelak Varo bervolume besar dan kencang, sementara Keenan tertawa ringan saja.

Refleks aku mengusap wajah, namun bukannya menghilang, lumpur itu semakin menutupi wajahku.

"Muka lo, sumpah! HAHAHAH," jerit Varo.

"Jelek banget, kayak kambing kelelep lumpur. BAHAHAHA."

Varo begitu terpingkal, seperti kemenangan berada di genggamannya. Kulihat Azka yang tadi membelaku ikut tertawa kecil seraya memperhatikan wajahku yang berlumur lumpur. Aku melongo tidak percaya. Bisa-bisanya—!

Dadaku kembali kembang-kempis. Entah mengapa mataku terasa panas. Ingin rasanya aku berteriak, namun kutahan. Sekuat tenaga aku berusaha bangkit, dan akhirnya di menit kedua berhasil. Tanpa sadar setitik air lolos dari pelupuk mataku.

Dan pada saat itulah tawa mereka serempak terhenti.

"Shey, lo nangis?"

Aku tidak menjawab. Lagi, setitik air kembali lolos dari ujung pelupuk mataku.

"Gue khilaf, Shey." Azka menutup bibir dan ingin meraihku, namun aku lebih dulu menghindar. Langsung saja aku berjalan tertatih menuju pintu, Azka menyusul.

"Gue nggak sengaja ketawa, serius! Jangan marah, Shey. Shey, plis. Gue nggak ada maksud ngejekin lo. Jangan nangis, Shey, Sheya. Honey," bujuk Azka sepanjang jalan.

Kami berjalan memasuki rumah, meninggalkan Varo dan Keenan yang sepertinya merasa bersalah kepadaku.

"Sheya, ini salah Varo, bibirnya nggak dikontrol, gue jadi nggak bisa nahan ketawa denger ucapannya."

Aku terus menangis, tanpa disadari air mataku malah semakin deras. Aku tidak peduli disangka lebay, intinya hatiku terluka, itu saja. Lagipula siapa yang tidak emosi ditertawakan dan dikatai jelek? Oleh tiga orang lagi! Namun jangan salah sangka, aku menangis bukan disebabkan sakit hati melainkan hanya untuk melampiaskan kekesalan. Aku kesal karena tidak bisa membalas perbuatan mereka. Kejadian tadi benar-benar memalukan.

"Jangan nangis." Azka mencekal lenganku. Aku berontak ingin dilepas.

"Shey."

"Lepasi," pintaku, bergetar.

Azka menggeleng lalu memelukku segera. Tangisku semakin menjadi, bahkan isakan keluar dari bibirku. Sesekali aku sesenggukan.

"Gue salah, maaf. Lo boleh marah tapi jangan nangis."

"Jangan nangis, plis."

Nada permohonan itu terdengar begitu halus, hingga beberapa detik kemudian air mataku tidak lagi berjatuhan. Aku mulai tenang. Dia mengusap kepala belakangku lembut.

"Jangan nangis. Tadi gue cuma bercanda. Dan gue yakin Varo sama Keenan juga cuma bercanda. Jangan marah ke kita. Kita sayang sama lo."

Sayang? Mengapa kata itu yang terus-menerus kudengar? Apa mereka sungguh menyayangiku? Tubuhku masih sesenggukan, tetapi air mataku tidak lagi berjatuhan.

Semenit setelahnya Azka mengurai dekapan, menatapku lekat. Tangannya terangkat mengusap wajahku yang basah bercampur lumpur. Kulirik bajunya sekilas dan ternyata terdapat bekas lumpur, jelas ada, kan tadi dia memelukku.

"Maafin gue. Jangan nangis kayak gini lagi. Kita semua bercanda, lo juga tau kita sering ketawa kayak tadi."

"Enggak, gue nggak tau. Gue lupa segalanya!" teriakku dalam hati.

"Kapan-kapan gue bakal ajak lo ke sirkus. Varo sama Keenan yang jadi badutnya, lo bisa ngetawain mereka sepuas hati."

Aku terdiam. Boleh juga.

"Udah tenang?"

Sontak aku mengangguk kecil. Ternyata diimingi rencana pembalasan membuatku bungkam.

"Ya udah, sekarang gue anter ke kamar sebelum masuk angin."

Aku tidak punya alasan untuk menolak, alhasil aku mengikuti tarikannya yang bergegas membawaku menuju kamar. Ia menggenggam lenganku erat, sangat erat, sampai aku heran mengapa dia berlaku seperti ini. Aku hanya menatapi lengan tersebut tanpa berkata sepatah kata-pun.

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

"Nona Sheya dipanggil untuk makan malam," beritahu pelayan seusai mengetuk pintu.

Aku yang tengah rebahan seraya termenung menoleh ke arah sumber suara.

"Makan malam? Nggak bisa makanannya dianter kesini, Bi?" Rasanya aku begitu malas berjumpa para manusia jelmaan iblis.

"Tidak bisa, Nona. Nanti Tuan bisa marah."

Aku menghela napas, lalu berdiri. "Iya. Ini aku mau kesana." Setelah itu suara dari luar tidak lagi terdengar. Aku kembali duduk di tepi kasur.

Aku baru selesai membersihkan diri, lebih tepatnya kejadian dimana aku menangis tersedu di depan Azka baru terjadi tadi. Bila aku berjumpa dengannya sekarang, mau diletak dimana wajahku? Jelas kejadian itu memalukan! Hanya karena ditertawakan, aku menangis seperti tadi. Sebenarnya dimana pikiran jernihku?!

Aku mengacak rambut frustasi, kembali memikirkan kejadian tersebut. "ARGHHH, BISA GILA GUE."

Kenapa gue secengeng itu?

Sebelum terlambat, lebih baik aku segera menuju meja makan. Apalagi jika mereka sudah berkumpul, sebaiknya aku lebih dulu sampai jika tidak mau menjadi pusat perhatian. Ya! Aku bangkit, keluar dari kamar dan beranjak menuju tujuan, yaitu meja makan.

Semua berjalan semeskinya, ketika aku berbelok memasuki koridor baru, tiba-tiba Kak Gian menghadang langkahku dari sisi lain. Aku terlonjak, kaget atas kedatangannya yang muncul mendadak. Refleks aku mengusap dada.

"Lo baik-baik aja?" tanyanya to the point.

"Ya, gue sedikit kaget karena lo tiba-tiba muncul."

"Bukan. Gue bukan nanya keadaan sekarang. Tadi pagi, apa lo baik-baik aja?"

Tadi? Tadi kapan? Keningku berkerut, memikirkan apa yang dimaksud Gian. Hingga semenit berpikir dan aku sadar apa yang ia maksud, kejadian di meja makan tadi.

"O-oh. Iya, gue baik-baik aja." Aku mengulas senyum kaku.

"Tapi kenapa lo nggak bilang apa-apa ke gue?" Alisnya terangkat. Aku yang menyaksikan menjadi salah fokus. Wajahnya sangat—Aku berusaha tenang, tidak boleh memikirkan hal lain. Seketika aku teringat penjelasan Riki yang mengatakan kedekatanku dengan Gian.

Satu kata; Manja!

Apa aku harus melakukannya? Perlahan kudongakkan kepala, manikku langsung bertemu dengan manik super tajam itu. Manja, ya? Baru beberapa detik menatap, aku membuang muka agar tidak bersitatap lagi dengannya. Menyeramkan.

Aku tidak bisa melakukan itu. Menatapnya saja aku tidak memiliki nyali, apalagi berlaku ... manja?! Iuwh ... menjijikkan. Dilihat dari sorot wajah Gian saja ... ada kemungkinan aku akan didepak bila benar-benar melakukan tingkah itu. Lebih baik aku tidak pernah mencobanya.

"Heh," sentaknya. Aku tersadar.

"Jawab gue."

Jawab apa?

"...."

"Kenapa lo nggak cerita ke gue kayak biasa?" Kini Gian bertanya lebih jelas, seolah mengerti kata hatiku.

Ah! Aku mengerti maksudnya. Ternyata yang dijelaskan Riki benar, mengenai aku yang menjadikan Gian tameng. "Hng? Gue...." Aku menggarut pipi.

Alisnya tertaut, menunggu jawaban.

"Gue ...." Aku berpikir keras. "Gue tadi ketiduran."

Kening Gian bergelombang, seakan tidak percaya akan apa yang kukatakan.

"Bukan gitu. Maksudnya tadi selesai makan gue minum obat dari rumah sakit, nggak taunya malah ketiduran sampe sore." Entah dia percaya atau tidak, aku ingin pergi dari hadapannya.

"Oh iya, niatnya gue mau ambil sekotak pulpen Riki, kelupaan. Gue duluan ya?" Tanpa membuang waktu aku langsung melesat pergi sebelum dia mencegat untuk bertanya yang tidak-tidak lagi. Sepertinya aku perlu menjaga jarak di antara mereka.

Apalagi Kak Gian. Auranya itu sangat berbeda. Aku selalu saja salah fokus bila berhadapan dengannya. Untuk sekarang aku harus berjauhan darinya.

Sebelum para Kakak-Kakak 'tercintaku' sampai di meja, aku bergegas untuk tiba duluan. Tidak butuh waktu lama aku telah berada di ruang makan. Di sana, aku hanya melihat si tanpa ekspresi tengah duduk sembari memainkan ponsel. Yang lain belum berdatangan, syukurlah.

Para pelayan masih menyiapkan makanan. Aku mendekat.

"Kak Hesa kemana, Kak?" tanyaku pada seorang pelayan yang keliatannya masih muda.

"Oh, tadi permisi ke toilet sebentar," jawabnya sopan.

Aku mengangguk sambil tersenyum lebar. "Ah. Gitu ya? Makasih."

"Oh iya, sama-sama."

Pelayan itu pergi, aku duduk di kursi terjauh dari kursi biasa Kak Hesa tempati. Karena aku sadar suasana malam ini akan begitu canggung. Keheningan menyelimuti diriku. Diam-diam aku melirik Zino, dia masih sibuk berkutat pada ponsel. Aku kembali teringat penjelasan Riki.

Zino adalah ketua osis. Itu artinya posisinya penting di sekolah? Yang secara tidak langsung berharga dimata para guru? Bila iya, maka aku harus membujuk dirinya agar tingkat kelasku berkesempatan dipindahkan ke kelas yang lebih bermakna.

Apa aku harus? Oh iya, aku lupa menanyakan pada Riki bagaimana caraku bersikap kepada makhluk tak berekspresi ini.

"Kak...." panggilku spontan. Sedetik kemudian aku membekap mulut.

Ia melirikku. Melirikku! Namun hanya melirik tanpa bertanya. Tenggorokanku terasa tercekat kala menyaksikan mata dinginnya. Ia masih melihatku, menantikan sepatah-kata yang keluar dari bibirku.

"Ergh ... enggak ada apa-apa hehe." Aku menyengir, kemudian dia langsung mengembalikan pandangan ke ponsel lagi.

Huh! Menyebalkan.

Respons macam apa itu? Lembut apanya, sih?! Aku kembali teringat isi buku harian. Sangat tidak masuk akal. Mungkin aku tengah mabuk saat menulis itu.

Beberapa menit setelahnya, Varo dan Keenan datang memasuki ruangan. Perhatian mereka langsung tertuju padaku.

"Apa?" sinisku, membuang muka.

"Lah? Lo bicara sama kita? Biasa juga kalau marah, mogok bicara sampe tiga hari," celetuk Varo. Mereka mengambil duduk tepat di hadapanku.

Aku berdecih. "Terserah gue! Lo pikir lo sia—"

Aku terbungkam ketika Kak Hesa memasuki ruangan. Aku melotot, dengan segera membetulkan cara duduk yang manis.

"Mulai." Varo tersenyum miring.

Aku menyempatkan memelet lidah padanya. Ia ikut membalas peletan lidahku dengan menjulingkan kedua bola mata. Aku menahan tawa, wajahnya terlihat imut, tetapi tingkahnya jauh dari kata baik.

Saat jarak Kak Hesa tersisa tiga meter, aku berdeheman. Seperti kata Riki, aku harus merebut hati Kak Hesa lagi jika tidak mau suasana malam ini menjadi hancur.

Kak Hesa menghampiri pantry, membantu para pelayan mengangkat menu makanan. Aku memperhatikan dengan seksama. Aku berdiri. "Saya! Saya mau bantu," pekikku dan melangkah mendekat ketika Kak Hesa meringis akibat kepanasan memegang mangkuk sup.

Kuambil alih mangkuk tersebut. "Saya bisa bantu." Aku mengembangkan senyum, Kak Hesa menatapku, dia terdiam. Tanpa meminta persetujuan, aku mengangkat mangkuk sup, melangkah meletakkan sup itu ke meja makan.

"Pake saya-saya, cih," ejek Varo saat aku berada di meja. Aku kembali memeletkan lidah dan menghampiri Kak Hesa lagi.

"Angkat yang itu, Shey, pelan-pelan," titah Kak Hesa sambil menunjuk menu udang bakar.

Dalam hati aku bersorak senang karena Kak Hesa bersikap ramah kepadaku. Apakah aku sudah dimaafkan? Kuhampiri makanan yang ditunjuk Kak Hesa, segera membawanya menuju meja makan. Saat di meja, tanpa kusadari seluruh Kakakku telah berkumpul. Mereka menatapku intens.

"Sejak kapan pelayan kita nambah satu?"

Aku mendelik pada Keenan. Dia itu benar-benar mengajak bergelut. Tidak ada bedanya dengan jelmaan Lucifer di sebelahnya, Varo. Aku harus menahan emosi bila tidak mau kejadian seperti pagi tadi terulang.

"Kak Hesa, silakan duduk." Aku membuka salah satu kursi pada Kak Hesa, ia tersenyum, mengusap pucuk kepalaku sejenak kemudian duduk di kursi yang kupersilakan.

Aku tersenyum riang.

"Hari ini aku mau layani Kakak!" seruku, meraih wadah nasi, menyendokkan beberapa centong ke piring lalu menyodorkan pada Kak Hesa.

"Sekarang kan lagi musim gugur, makan kepiting pasti ngembaliin mood." Aku meletakkan sepotong kepiting merah yang telah direbus pada piring tersebut.

"Oh iya, udang bakarnya jangan lupa." Aku mulai meraih udang bakar.

"Caper banget," cibir Varo yang masih dapat kudengar, namun kuabaikan.

"Ah, bumbunya!" Aku menjentikkan jari, ingin mengambil bumbu tetapi tidak sampai akibat kejauhan.

"Kak, tolong ambili," pintaku tanpa sadar pada Gian.

Gian melirikku menggunakan tatapan tajamnya, aku tersadar akan apa yang kulakukan dan segera mengunci bibir. "Salah. Maksudnya Keenan, tolong ambili." Aku beralih menatap Keenan yang memang bersebelahan dengan Gian.

"Males."

"Anj," umpatku dalam hati.

"Udah, Shey. Nggak perlu pake bumbu," ujar Hesa.

Aku menoleh. "Beneran?"

"Iya. Kalau kamu lakuin ini biar Kakak nggak marah lagi, itu sia-sia. Karena sebenarnya Kakak nggak marah sama kamu."

"Maaf, Kak. Aku salah tadi pagi." Rautku berubah memelas.

"Iya nggak pa-pa, lain kali jangan ulangi."

Lantas senyumku mengembang. Yeah, akhirnya, aku dimaafkan.

Dibanding itu, aku mengibarkan bendera perang pada Varo dan Keenan. Mereka benar-benar tidak akan kulepas.

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel