Bagian 5
✨Attention✨
DUAR!
Sontak aku terbangun ketika sebuah petir menggelegar berbunyi nyaring. Padahal hanya butuh beberapa detik lagi aku mencapai ambang mimpi, tetapi petir kurang ajar ini merusak istirahatku.
Aku bangkit dari tempat tidur, melangkah mendekati balkon. Dari sini dapat kulihat langit tanpa hiasan bulan dan bintang tengah diselimuti awan hitam nan tebal yang siap menjatuhkan jutaan titik air ke bumi. Dan kejadian itu dimulai kala sebuah kilat berwarna biru muncul dari balik kepulan awan. Seketika aku menutup balkon dan kembali masuk ke dalam kamar. Mengagetkan. Tidak lama kemudian deru hujan lebat terdengar, pertanda bahwa jutaan air telah menerjang muka bumi.
Kuarahkan pandangan ke jam dinding, pukul 10 malam. Ternyata belum terlalu larut. Aku memilih duduk di bibir kasur dengan keheningan yang meraup nyata. Sepuluh menit termenung, hingga perutku tiba-tiba berbunyi.
"Padahal jam lima tadi udah makan." Aku meringis seraya menggarut pipi. "Udah jam sepuluh, kalau makan bisa gemuk. Nyemil?" Pandanganku beralih melirik nakas, tempat penyimpanan camilan.
Pasti udah abis.
Tapi kalau turun, malesin banget.
Aku memutuskan untuk tetap diam di kamar. Namun beberapa menit setelahnya, perutku kembali berbunyi.
Heol!
Sepertinya tidak punya pilihan lain, aku harus menghampiri dapur. Aku bangkit, berjalan menuju pintu, membukanya perlahan, lalu menyembulkan kepala memastikan keadaan sekitar.
Kosong.
Kuedarkan pandangan ke seluruh sudut. Tidak ada siapa pun. Oke. Aman. Dengan perlahan aku keluar dari kamar, mulai melangkah menyusuri koridor besar itu. Kuusahakan tidak menimbulkan sedecit pun suara.
Bola mataku terus berpendar, memeriksa situasi bahwa tidak ada seorang pun yang berkeliaran di saat-saat begini. Apalagi petir sambar-menyambar di luar sana, hujan lebat turut mengisi keadaan yang kacau. Setahuku saat seperti ini para cowok akan tidur atau bermain game di kasur empuk mereka. Tidak mungkin mereka masih menonton atau berada di luar.
Ya. Harusnya begitu. Biar aku puas menghabiskan seluruh makanan yang ada di dapur. Aku terkikik.
Sejauh mata memandang, para pelayan juga telah kembali ke kamar masing-masing. Bagus. Mendekati tangga kemudian aku bergegas turun. Sesampai di lantai bawah, gelap. Celingukan, aku melihat ruangan dengan mengandalkan cahaya remang dari lampu depan. Mungkin setiap malam, lampu di lantai bawah dimatikan.
Tidak apa-apa. Aku bukan cewek penakut hantu atau semacamnya. Ini bukan masalah untukku. Dengan hati-hati kuarahkan langkah kaki menuju dapur. Dan—sampailah aku pada dapur super mewah ini.
Ini kedua kalinya aku menginjak dapur. Yang pertama saat aku tersesat mencari toilet hingga bertemu cowok super datar dan yang kedua kali adalah sekarang. Dalam kegelapan yang remang aku mencapai kulkas. Kubuka kulkas dua pintu itu dengan sangat pelan.
Woah. Seketika mataku berbinar. Rasa-rasanya aku ingin menghabiskan segala yang ada di dalam. Menakjubkan. Seluruh isinya penuh. Tidak ada yang kosong. Aku tidak pernah tau kulkas seharga berlian ada di dapur rumahku. Dengan riang gembira kuambil sekotak pizza yang berada di freezer lalu membuka bungkusnya. Dan—
"Jinjja daebak," seruku dalam hati.
Tanpa babibu aku langsung melahap pizza tersebut tanpa ampun. Hanya dalam kurun waktu lima menit aku telah menghabiskan tiga loyang.
Marvelous!
Saat tanganku bersiap mengambil kotak donat, tiba-tiba semua lampu menyala. Tubuhku membatu dan aku melongo.
"Siapa?"
Aku semakin melongo. Kotak pizza di tangan kiriku terasa keram, sementara tangan kananku yang memegang sebagian kotak donat mematung di tempat.
"Siapa?" tanyanya lagi dari kejauhan sepuluh meter. Suaranya terdengar tinggi namun datar.
Aku berusaha bersikap seadanya. Walau kikuk, kukembalikan kotak pizza ke dalam freezer lalu kututup pintu kulkas dengan gerakan lambat dan mulai berbalik mengikuti empu suara.
"Lo?" Dia mengerutkan alis. "Ngapain?"
Ya ampun. Cowok ini lagi. Aku menyengir kaku menghilangkan canggung. "Ergh ... itu, gu-gue, tadi laper."
"Terus makan sambil ngumpet?"
"Nggak ngumpet!"
"Udah jelas tadi lo ngumpet."
"Ah!" Aku menggarut kening yang tak gatal. "Gue nggak tau dimana letak lampunya." Eh. Sepertinya aku salah bicara. Terbukti dari dia yang semakin mengerutkan alis.
"Ma-maksud gue kan, banyak petir, males banget jalan jauh-jauh."
Semula dia diam, entah mencerna perkataanku atau apa, intinya dia hanya diam seraya memperhatikan lantai. Setelah itu tiba-tiba ia berjalan mendekatiku.
Aku membulatkan mata. Langkahnya tertuju padaku, aku semakin melotot. Aku berdiri kaku ketika jarak kami semakin dekat, mataku terus melotot, tetapi ternyata dia malah menghampiri kulkas yang berada tepat di sebelahku, bibirku sontak terkatup. Ia mengambil secangkir air mineral dari dalam lalu meneguknya cepat. Kupikir dia mau menghampiri diriku. Kepedean. Keburu besar kepala.
"Kalau mau makan ya makan aja, jangan kayak maling. Lo aneh tau nggak?"
Setelah itu dia beranjak meninggalkanku, menaiki tangga, kemudian hilang dari balik tembok. Sementara aku yang terus meratapi punggungnya melongo tak tertahan.
Kuhentakkan kaki kesal. "Nyebelin banget coba! Dasar muka datar!"
Tiba-tiba aku teringat buku harian yang kubaca kemarin. "Lembut apanya? Kayaknya pas nulis diary itu, kepala gue abis kepentok dinding. Sintiiiiiiing!"
DUAR!
"ARGHH!!" teriakku refleks ketika petir dan kilat muncul bersamaan, aku menutup wajah menggunakan telapak tangan. Dan pada saat itu juga aku dapat merasakan saus dan sisa daging menempel di sekitaran pipiku.
Mulutku terbuka lebar. Jadi, tadi dia melihatku dengan wajah penuh saus dan sisa daging?!
Benarkah?!
Aaargh, tidaaaak!
••••••••••••••••••••••••••••••••••••
Aku terbangun ketika sebuah ketokan pintu mengalihkan fokus tidurku. Aku menguap sejenak, ketokan pintu itu kembali terdengar. Dengan malas aku bangkit untuk meraih pintu.
Tok tok
"Iya bentar!" teriakku, serak.
Dengan kemalasan yang merundung, akhirnya aku sampai pada pintu. Kuputar kunci lalu menarik knop. Hingga tampaklah seseorang yang mengganggu pagiku.
"K-Kak Gian?" Aku terpelongo. Entah mengapa bila ditatap oleh mata tajam itu, aku merasa kikuk beribu kikuk.
"Ayo lari pagi," ucapnya.
Mulutku tergagap. "Ka-kapan?"
"Sekarang."
Aku kembali tergagap-gagap, mulutku membuka dan menutup dalam seperkian detik, apalagi tatapannya hanya tertuju padaku, entah mengapa aku merasa ... gugup? Ah, entahlah.
"Gue tunggu di bawah. Lima belas menit harus udah selesai." Kemudian dia pergi menuruni tangga. Aku yang melihatnya semakin tergagap.
Astaga. Mengapa aku ini? Menggeleng, berusaha membuang pikiran aneh. Lebih baik aku segera bersiap-siap. Kututup pintu kamar lalu berlari menuju lemari, mencari kaos ringan dan juga celana training. Tidak terlalu sulit, sebab aku langsung mendapatkannya di kumpulan baju rumah. Aku berlari memasuki toilet, tidak mandi, hanya sikat gigi dan cuci muka. Seusai itu langsung berganti pakaian.
"Kalau dipikir-pikir, wajah mereka tuh kebanyakan datar," gumamku, secara mendadak.
Mataku menyipit, mengingat sifat mereka yang diam-diam kuamati.
"Kak Gian? Wajahnya emang datar, tapi rada nyeremin, tatapan matanya, auranya juga beda sama yang lain, gue juga sering liat dia senyum miring. Keenan? Mukanya datar tapi cuma image doang, aslinya songong dan gue sering liat dia ketawa kalau bareng Varo sama Azka. Zino? Nah kalau dia datar asli, gue nggak pernah liat ekspresi lain dari dia."
Aku bergumam, lagi. "Varo nggak ada unsur datarnya, tapi nyebelin. Kalau Azka, dia manis tapi kayaknya dia bakal sering manfaatin gue. Kak Hesa ... cuma dia yang tulus, suci dan bersih. Riki? Hmm sikapnya santai, easy going, gue suka."
Kemudian aku mangut-mangut.
"Gue harus sering perhatiin mereka, siapa tau kalau inget sikap mereka, ingatan gue bakal balik lagi. Ya! Gue harus!" Aku bertekad untuk mengembalikan apa yang telah aku lupakan.
Iya. Pasti bisa. Semangat!
•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
"Udah?" tanya Gian memastikan.
Aku mengangguk sambil tersenyum kaku.
"Oke, ayo!" Dia berjalan duluan, keluar pintu utama, aku mengikut dari belakang. Alih-alih fokus melangkah, aku malah memperhatikan punggung Gian.
Di dalam diary, aku menulis bahwa Kakak kesayanganku adalah Gian. Tetapi—mengapa? Mengapa aku lebih menyukai dia daripada Kak Hesa? Aku terus memperhatikan punggung kokoh itu. Tubuhnya tinggi, rahangnya terlihat tajam, juga tatapannya yang menelusuk. Sebenarnya apa yang kusukai dari dia?
Dibanding itu semua, aku lebih menyukai kehangatan Kak Hesa, senyum Kak Hesa dan juga keramahan Kak Hesa. Lantas—untuk apa aku menulis nama Gian?
Saking memikirkan itu, aku tidak sadar bahwa kami sudah sampai di taman rumah. Rumah ini memang begitu luas, halamannya bahkan melebihi ukuran lima ratus meter. Oleh sebab itu terdapat taman khusus yang bisa dijadikan untuk joging. Hebat, bukan?
Kami mulai berlari, aku masih di belakangnya, tidak berniat menyejajarkan langkah atau melewati. Lebih baik aku bertindak sebagai pengamat dari belakang. Hingga sekitar dua putaran mengelilingi taman, aku berhenti sambil bertopang lutut. Sekejap kuatur deru napas yang menggebu. Kulihat Gian masih setia berlari tanpa menyadari bahwa aku tidak lagi mengikuti.
Melihat dia yang teramat semangat berlari, niatku untuk mengejar menciut, aku memilih duduk di kursi panjang yang tersedia, dekat pada kumpulan bunga daisy. Fiuh ... melelahkan. Keringat bahkan telah bercucuran dari pelipis hingga leherku.
Aku menormalkan detak jantung yang berpacu akibat kelelahan, cahaya matahari telah keluar dari persembunyian dan bersinar terang di ufuk timur, menambah kesan panas di sekitar. Aku mengusap peluh keringat yang membanjiri wajah menggunakan telapak tangan, sampai tanpa kusadari Gian berdiri menjulang tepat di hadapanku, menutupi terik matahari yang menyengat.
"Capek?" tanyanya, parau.
Oh, astaga. Aku salah fokus hanya karena mendengar suaranya. Suara tersebut bernada rendah namun terdengar berat. Benar-benar ... seperti apa ya! Ergh ... seksi? Arghhhh!
Sontak aku menggeleng—mengusir pikiran jahat—. Namun karena responku, Gian tampak bingung.
"Beneran capek?" Dia menautkan alis.
"Ah? Ah, bukan. Gue cuma istirahat bentar."
Dia ikut duduk di sebelahku membuatku menjadi lebih kikuk.. Cahaya matahari kembali menyengat tubuh kami berdua. Tidak sengaja ekor mataku melirik keringat yang mengucur jatuh dari rambut Gian. Tidak hanya itu, pelipis dan juga lehernya ... basah!
Lord! Melihatnya seperti itu, aku jadi teringat novel yang berada di kamar—Aku kembali menggeleng kencang. Berpikir apa aku ini?!
"Kenapa?" tanyanya lagi, membungkam benakku.
Aku menjadi salah tingkah. "E-enggak."
"Besok lo udah sekolah, apa masih sering pusing? Mau gue ijinin lagi biar lo istirahat di rumah lebih lama?"
"Hng?" Aku tidak tahu-menahu harus menjawab apa. Di satu sisi aku tidak mau pergi sekolah, di sisi lain aku benci bila menghabiskan waktu di rumah, sebab secara tidak langsung aku akan bertemu Kakak-Kakak sialanku terus. Dan aku tidak mau itu terjadi setiap hari.
"Gimana?"
"Emm ...." Aku bergumam. Sepertinya tidak apa bila aku sekolah. Mungkin dengan ini aku bisa mendapat ingatan kembali.
"Enggak usah." Aku menyengir kaku. "Gue rasa udah lumayan pulih."
"Oke." Dia membuang muka, meluruskan pandangan ke kumpulan bunga.
Selanjutnya hanya keheningan yang mengisi di antara kami. Aku menggigit bibir bawah, berusaha mencari topik pembicaraan. Tetapi dari sekian banyak pembahasan, aku tidak dapat memilih yang paling tepat. Seakan bila aku memilih pembicaraan yang salah, maka saat itulah riwayat hidupku berakhir. Hingga pada akhirnya kami saling membisu dengan kecanggungan menguar.
"Soal lo jatuh kemaren—"
"Kak Shey!"
Aku menoleh saat mendengar namaku terpanggil.
Riki berlari kencang menghampiri kami. "Lo dipanggil Kak Hesa," ujarnya.
"Hng? Dipanggil Kak Hesa? Ngapain?"
Dia mengedikkan bahu, kemudian menarikku untuk berdiri. Sontak aku mengikuti pergerakannya.
"Gue bawa dia ya, bye," pamit Riki pada Gian lalu segera menarikku menuju pintu belakang.
Sekilas aku melirik ke arah Gian, wajahnya berubah mengeras. Ada apa? Tadi aku sempat mendengar bahwa dia mengucapkan sesuatu, namun Riki langsung memotong, aku tidak mendengar jelas apa yang dia katakan.
"Kenapa buru-buru banget?" ringisku akibat langkah Riki terlalu lebar dan cepat. Aku tidak dapat mengimbangi langkah tersebut.
Dia tidak menjawab, tetapi meringankan langkah, kami mulai berjalan santai. Lima menit berjalan menyusuri taman hingga mendadak ia menghentikan langkah.
"Kok berhenti?"
"Sebenernya, lo nggak dipanggil Kak Hesa." Riki melebarkan senyum sembari menatapku dengan tatapan bersalah.
"Lah?"
"Hm, iya, gue cuma liat lo sama Kak Gian kayak serius banget, gue nggak mau lo kena hukum, jadi gue bohong deh hehe." Riki menggarut kepala belakang.
"Kena hukum?"
Riki mengangguk, kemudian ia menarikku untuk duduk di kursi panjang seperti yang kududuki bersama Gian tadi, ia turut duduk di sebelahku. "Lo kan kesayangannya Kak Gian."
Kesayangannya ... Kak Gian? Gimana? Gimana?
"Maksudnya?" Aku menatap dia dengan sorot tanda tanya.
"Masa lo nggak tau? Harusnya lo sendiri yang paling tau gimana sikap Kak Gian ke lo."
Bagaimana mau tau kalau ingatanku saja tidak ada? Refleks aku merunduk. Tanpa kusadari dia memperhatikan rautku yang berubah drastis.
"Ada masalah?" tanyanya, peka.
"Ngh ... Rik, gue masih inget kata-kata lo, lo bilang kalau ada apa-apa, gue bisa cerita ke lo."
Mendengar ucapanku, kening Riki bergelombang, dia memutar tubuh dan mengarahkan seluruh pusat perhatiannya padaku. "Beneran ada masalah? Kenapa? Apa yang terjadi sama lo? Lo bisa cerita ke gue apa aja."
Aku menggigit bibir, menimbang akankah aku memberitahu hal ini padanya? Responku yang lambat membuatnya gundah, ia mencengkeram kedua bahuku, mengguncang-guncangnya. "Bilang sama gue, ada masalah apa? Cepetan kasih tau! Kenapa Shey? Kenapa?"
Aku termangu, dia bahkan tidak memanggilku dengan embel-embel 'Kak'.
"Shey," sentaknya.
Sedetik berikutnya aku tersadar. "Janji nggak kasih tau siapa-siapa?"
Tanpa berpikir dia langsung mengangguk cepat. Dalam hati aku gemas sendiri melihat ia mengangguk bak anak kecil. Namun aku berusaha fokus, memikirkan kata apa yang sebaiknya kugunakan untuk memberitahu dia.
"Sebenernya...." Kutatap manik dia lamat-lamat.
Dia balas menatapku, serius.
Aku berdeheman sejenak. "Ini masalah gue jatuh kemaren."
"Masalah jatuh?"
Kepalaku terangguk. "Waktu gue bangun di rumah sakit kemarin, kalian semua beruntun dateng jengukin gue kan?"
Riki mengangguk sebagai jawaban.
Menarik napas terlebih dahulu, aku kembali berbicara dengan nada lambat agar ia mengerti. "Pas pertama kali bangun, entah kenapa ... gue nggak inget sama sekali momen yang pernah gue alami."
Aku menjeda penjelasanku, kulihat dia terdiam dengan kening berkerut dalam. Beberapa detik kemudian aku melanjut penjelasan. "Bukan cuma itu, bahkan gue nggak inget sama sekali apapun tentang diri gue. Gue nggak inget siapa gue, dimana gue tinggal, orangtua gue, hidup gue, intinya semuanya gue nggak inget! Bahkan kalian semua, gue nggak tau kalian siapa."
Aku mengunci bibir saat kulihat dia termenung seraya menatap trotoar.
"Lo ... nggak inget?" Dia mulai bersuara.
"I-iya." Tenggorokanku terasa tercekat.
"Kalau gue? Lo juga nggak inget gue?"
Walau kaku, aku berusaha mengangguk. "Bukan cuma lo, se-mu-a-nya gue nggak inget."
"Tapi lo nggak ada riwayat amnesia. Gimana bisa?"
"Itu makanya gue nggak tau. Gue nggak ngerti apa yang terjadi. Waktu gue bangun, Kak Hesa orang pertama yang gue liat, dia senyum, tapi gue nggak tau dia siapa. Gue nggak inget apa-apa." Aku frustasi.
Riki dan aku membungkam, kami saling berdiam diri, memikirkan kemungkinan yang telah terjadi. Hingga dia kembali menatapku dengan pandangan yang berbeda, aku tidak mengerti.
"Kayaknya udah jam sarapan, kita harus cepat masuk."
Dia berdiri kemudian berjalan duluan, meninggalkanku yang hanya bisa memperhatikan punggungnya perlahan menjauh. Aku tau ini berat untuknya. Mungkin dia butuh waktu untuk mencerna setiap perkataanku. Apalagi ini terdengar tidak masuk akal. Baiklah. Aku harus yakin kalau semua akan baik-baik saja.
Ya. Semua akan kembali seperti semula.
•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
"Besok Sheya udah sekolah, apa ada sesuatu yang mau Kakak beliin?"
Aku memelankan aksi kunyah saat Kak Hesa bertanya sambil menatap ke arahku.
Tidak hanya itu, kini aku menjadi pusat pandang ketujuh cowok yang duduk di satu meja makan bersama. Ya, hari ini mereka komplit tanpa kekurangan satupun, sebab ini adalah akhir pekan, mungkin mereka libur atau tidak memiliki kegiatan lain.
"Emm?" gumamku seraya terus mengunyah, pelan. "Kayaknya nggak ada." Diam-diam ekor mataku melirik Azka, mengingat kejadian semalam—dimana aku menyerahkan semuanya pada Kak Hesa—dan ia tampak santai, tidak ada aura dendam yang ia pancarkan terhadapku.
Syukurlah.
"Beneran nggak ada?"
Aku menoleh pada Kak Hesa. "Iya, barang-barangku masih lengkap kok."
Bohong.
Padahal kenyataannya aku belum memeriksa apakah ada yang kurang atau tidak. Tapi biarlah, supaya aksi tanya-jawab ini usai dan mereka tidak lagi melihat-lihat ke arahku. Aku melanjutkan kegiatan sarapan. Begitu juga dengan mereka. Sarapanku hampir habis, aku makan dengan lahap.
"Kapan terakhir kali nafsu makan Sheya sebanyak ini?" celetuk Varo kala melihat nasi di piringku tersisa sedikit.
Sontak aku memperlambat kunyahan, kuarahkan pandangan padanya. Dia turut membalas tatapanku.
"Kenapa? Nggak boleh?" sinisku. Memang cowok bernama Varo ini terlihat begitu manis, tetapi kelakuannya di luar kata mengesalkan.
Lihat saja, kini dia tersenyum lebar, matanya yang sipit bertambah sipit, wajahnya yang putih seakan bersinar tatkala ia tersenyum. Bak malaikat. Namun bagiku dia tidak lebih dari kembaran Lucifer.
"Nggak pa-pa sih, cuma belakangan ini tingkah lo banyak berubah. Sebelumnya porsi makan lo itu sedikit banget." Ia mengatakannya sambil tersenyum, aku merasa tengah dicibir tetangga.
"Oh ya? Kalau gitu gue mau nanya, emang porsi makan seseorang itu selalu tetap? Apa nggak bisa berubah? Gue liat-liat juga porsi makan lo sedikit banget, nggak sesuai buat asupan bibir lo yang asyik nyinyir mulu."
Ups. Aku menyuarakan kekesalan hati yang sedari kemarin kupendam. Mendadak nuansa berubah mencekam. Para Kakakku bahkan berhenti mengunyah dan mengarahkan seluruh pusat perhatian padaku. Dan sekarang aku dilanda kecanggungan.
Aku tau bahwa aku telah salah bicara. Tetapi—apakah sampai begini? Jangkrik pun tidak berani bersuara dalam situasi seperti ini.
Perlahan kuedarkan pandangan hingga manikku bertemu dengan manik Riki, ia tampak melotot ke arahku.
Apa?
Kenapa?
Aku salah apa?
"Porsi makanan gue sedikit karena gue nggak makan banyak," celetuk Varo lagi, ia kembali mengembangkan senyum, namun terlihat berbeda dari senyum tadi. "Kenapa lo jadi kasar, Shey? Kita nggak pernah ngajarin lo ngomong gitu."
Raut wajahnya mengatakan kepalsuan. Seolah mengisyaratkan sesuatu. Aku memperhatikannya, sesekali ia menunjuk Kak Hesa menggunakan gerakan mata. Mengapa? Apa maksudnya?
Hingga aku memilih menatap ke arah Kak Hesa. Dan—
"Apa yang kamu bilang tadi?" Tatapan telusuk dari Kak Hesa langsung menghujaniku. Aku tersentak, tatapan tersebut baru pertama kali kusaksikan.
"Hng? Ke-kenapa?" sahutku, rendah.
"Kami nggak pernah ngajarin kamu bertindak kurang ajar sama orang yang lebih tua."
Aku termangu. Nada Kak Hesa mengintimidasi, membuatku mati kutu. Kuedarkan kembali pandangan, menatap para Kakakku satu-persatu. Mereka semua memperhatikanku dengan tatapan yang tidak bisa kubaca. Apa artinya? Sungguh. Aku tidak mengerti apa yang terjadi.
Padahal ... perkataanku tadi tidak terlalu berlebihan. Hanya berbicara mengenai porsi makan. Lalu ... aku bertindak sedikit sinis pada Varo.
"Kita udah pernah bicarain ini, jangan berlaku semena-mena, Shey. Kamu itu kami jaga sebaik mungkin. Sakit? Kami yang ngurusin. Butuh sesuatu? Kami yang siapin. Bahkan waktu kamu jatuh, gimana khawatirnya kami semua? Kami ngelakuin yang terbaik buat kamu. Dan sebagai balasan, seharusnya kamu bisa berlaku sewajarnya. Jangan jadi gadis kurang ajar yang nggak tau aturan."
Tenggorokanku benar-benar tercekat. Tidak percaya Kak Hesa mengatakan hal seperti itu hanya karena aku berbicara hal gampangan. Aku merasa dadaku diserbu ribuan jarum. Sesak.
Kak Hesa yang selama ini kupikir.... Hatiku terasa tergores, menyisakan luka lebar. Beberapa menit keheningan mengambil alih. Aku diam dengan tubuh terpaku.
Sampai tiba-tiba Azka tertawa garing, memecahkan kesunyian.
"Hahaha, lucu banget." Ia bertepuk tangan. "Shey, lo tuh bisa aja aktingnya. Kita tau lo cuma akting. Lo kan punya bakat jadi aktris. Ya kan, Var?" Azka tampak menendang kursi yang Varo duduki.
Varo tersadar, kemudian ikut tertawa. "Haha bener banget. Kenapa ladeni gue sih? Liat Kak Hesa beneran marah. Gimana sih lo? Kalah jago dari gue kan."
Mereka berdua tertawa, yang hanya menambah kesan kaku bagiku.
Hening.
Aku tidak dapat melakukan hal lain selain merunduk. Sampai sebuah tangan menarikku keluar dari meja makan.
"Gue baru inget mau ngasih sesuatu. Kayaknya ketinggalan di kamar, ayo ikut gue." Azka menyeretku, menjauh dari ruang makan. Aku tidak bisa melawan dan mengikuti arah tujuannya.
"Kenapa lo ngomong gitu?" Pertanyaan mendadak itu ditujukan padaku, namun aku tidak menggubris dan bergeming.
Azka menghentikan langkah saat kami berada di koridor yang cukup jauh dari ruang makan. Ia berbalik, menatapku.
"Jawab, Shey. Yang tadi itu jelas bukan lo."
Bukan aku? Tapi itu adalah aku.
Azka menyipitkan mata, bersedekap. "Ya udahlah. Lupain aja, pasti Kak Hesa bakal maafin lo." Ia beralih mengusap pucuk kepalaku sambil tersenyum manis.
"Sheya gue yang manis, jangan ngelakuin hal kayak tadi lagi, gue nggak tega liat lo dimarahi. Jangan bikin gue lemah liat lo sedih."
Aku mendongak, balas menatap bola matanya yang jernih. Dalam hati aku sedikit bersyukur karena Azka menarikku dari situasi seperti tadi.
"Lain kali lo bisa jadiin gue alesan biar nggak dimarahi Kak Hesa, kayak semalem." Azka semakin mengembangkan senyum.
Melihatnya yang seperti itu, aku merasa diriku menjadi orang jahat karena tidak bertanggungjawab atas kejadian semalam. Ah, tapi tidak juga, kejadian semalam, itu bukan kesalahanku sepenuhnya, melainkan kesalahan dia juga. Namun untuk yang satu ini, aku berterimakasih padanya.
Aku mengangguk sebagai respons. "Gue mau ke kamar, pusing."
"Mau gue anter?"
Aku menggeleng. "Nggak perlu, gue bisa sendiri." Setelahnya aku berjalan cepat, menuju letak kamarku berada. Dalam benakku masih terbayang kejadian sepuluh menit lalu. Terus berputar, layaknya radio rusak. Ternyata, aku belum mengerti kepribadian mereka satu-persatu. Contohnya Kak Hesa, aku tidak menyangka ia memiliki sisi tegas dan disiplin yang sangat kuat, aku belum mengerti sifat mereka yang sesungguhnya. Aku hanya menilai dari luar.
Dibanding itu—Jangankan sikap mereka, sikapku saja tidak kuketahui. Lantas, bagaimana aku bersikap kepada mereka? Bagaimana caranya aku menanggapi mereka?
••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
"Ssst! Shey!"
Aku menoleh, mendengar bisikan yang menyebut namaku.
"Ssst! Shey!"
Kuletakkan ember kosong dimana kugunakan sebagai tempat seragam sekolah yang kucuci. Ya, aku barusan selesai mencuci seragam sekolahku sendiri, sebab merasa bosan di kamar dan tidak memiliki pekerjaan apapun selain tidur. Dan kini aku baru selesai menjemurnya.
Tetapi tiba-tiba gendang telingaku tak sengaja mendengar sebuah bisikan yang memanggil namaku, entah dari mana asalnya. Aku mengikuti arah suara tersebut, namun tidak menemukan siapapun.
"Di sini!" bisiknya, lagi.
Keningku berkerut. "Dimana?"
"Sini!"
Aku melongokkan kepala ke bawah tangga—arah taman belakang—dan menemukan sumber suara tersebut.
"Riki?" Kulihat Riki melambaikan tangan, menyuruhku bergegas turun.
Tanpa banyak tanya aku segera turun ke bawah, menghampiri dirinya.
"Ap—"
"Sstt!" Dia meletakkan telunjuk di bibirnya. Sontak aku membungkam bibir, memperhatikan dirinya dengan sorot tanda tanya.
Dia menengadah kepala, memastikan tidak ada sesiapapun di lantai atas. Aku ingin bertanya namun melihat ekspresinya yang serius aku mengurungkan niat untuk bertanya. Kemudian dia menarikku menjauh dari sana.
Setelah merasa lebih aman, aku mulai membuka mulut. "Kenapa, sih?"
"Lo udah ngelakuin kesalahan besar tau nggak?"
Dia fokus membawaku menuju taman yang letaknya jauh dari keberadaan rumah.
"Kesalahan besar?" Alisku tertaut.
"Waktu sarapan, kenapa lo ngomong kasar?" Riki mendudukkanku ke sebuah ayunan kayu.
Ngomong kasar?
"Itu ngomong kasar? Bahkan gue nggak tau letak kasarnya dimana."
Ia ikut duduk di ayunan sebelah. "Bagi kita itu biasa aja. Tapi bagi Kak Hesa jelas beda. Kalau lo nggak hilang ingatan, pasti lo nggak bakal ngelakuin hal bodoh kayak tadi."
"Jadi seharusnya gue gimana? Gue sama sekali nggak tau peraturan apa yang boleh dan nggak boleh buat gue larang."
Riki menghela napas, ia mengayunkan ayunannya ke atas dan bawah. "Gue masih nggak ngerti kenapa lo bisa lupa segalanya."
"...."
Semilir angin menerbangkan rambut kami, aku sedikit merasa tenang, sisanya dipenuhi kebingungan serta kebimbangan. Kudongakkan kepala, memperhatikan langit biru yang sore ini begitu cerah. Awan bergerak lambat di atas sana, kumpulan burung beterbangan mengikuti kawanan lain. Benar-benar menenangkan. Cuaca sejuk, nuansa sunyi.
"Apa nggak sebaiknya kita kasih tau yang lain?" Riki berpendapat.
Spontan aku menggeleng kencang. "Gue rasa itu ide buruk. Lo udah janji untuk ngerahasiain ini."
"Ya, gue udah janji." Dia tersenyum kecut. "Tapi gimana kita ngembaliin ingatan lo balik?"
"Gue yakin bisa. Gue hanya perlu jalani hari-hari seperti biasa. Kayak Sheya yang biasanya."
"Gue harap secepatnya."
Aku mengangguk yakin. "Sebagai bantuan...." Sorot mataku berubah memelas padanya. "Tolong jelasin apa aja yang lo tau tentang gue."
"Jelasin?" Dia terdiam sembari merunduk.
"Iya. Gue minta tolong banget. Lo sendiri yang bilang gue bisa minta tolong apa aja kan? Tolongin gue." Aku menatapnya dengan sorot permohonan.
Riki terdiam. Semula aku mengira dia akan menolak, namun tiba-tiba kepalanya tertoleh, melirikku. Sedetik kemudian dia mendengus geli sembari tersenyum. "Jelas gue bantuin. Atas dasar apa gue nggak nolongin lo?" Tangannya terangkat mengelus pipi kananku. Aku termenung menerima elusan tersebut.
"Gue bakal jelasin semua yang gue tau. Asal lo jangan pernah ngelakuin hal bodoh kayak tadi pagi lagi. Karena kata-kata Kak Hesa bisa nyakitin lo. Gue nggak mau lo sedih."
Tatapan itu ... sama persis dengan tatapan Azka di koridor.
Mengapa? Apa aku sebegitu dicintai?
•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
"Dimulai dari mana?"
Aku memutar otak, memikirkan hal yang paling ingin kuketahui.
Riki menunggu jawabanku sembari bertopang dagu. Aku mendesah, menimbang sesuatu yang akan kuketahui, dan sangat susah untuk memilih paling utama. Tanganku terjulur memilin rumput seraya terus berpikir.
Kini kami tengah duduk lesehan di rerumputan tanpa alas. Tepatnya taman yang jauh dari letak rumah, namun masih berada di dalam gerbang. Kami memilih lokasi yang agak jauh agar tidak seorang pun mengacau perbincangan kami. Jika di dalam rumah, maka akan diketahui. Oleh sebab itu aku memutuskan untuk berbicara di sini.
Bola mataku bergerak kesana-kemari, menimbang pertanyaan yang tepat. Hingga di menit kelima, aku menjentikkan jari. "Aha! Sekolah!"
"Sekolah?"
Aku mengangguk semangat. "Ceritai tentang sekolah. Gue dan kalian sekolah dimana dan kelas berapa aja!"
Memang sejak kemarin, pasal sekolah menjadi tanda tanya besar di kepalaku. Dan saat ini aku ingin menuntaskan rasa penasaran itu.
Riki mengangguk kecil, mulai menulis sesuatu di kertas yang tadi sempat dia ambil. Beberapa menit kemudian dia menegakkan tubuh sambil berdeheman, seolah akan berkisah panjang kepadaku. Aku terkekeh. Kertas yang dia tulis tadi diserahkan padaku.
•Mahesa Nevan Adelard
•Gianno Derrin
•Azka Putra Ravindra
•Enzino Aksara
•Sean Argi Alvaro
•Keenan Ardana
•Riki Evano
"Kita semua sekolah di tempat yang sama, Starlight highschool. Sekarang gue ceritain rinci kelasnya."
Mataku berbinar, tidak sabar mendengar. Tubuhku refleks mendekat akibat keantusiasan.
Riki kembali berdeheman. "Yang pertama, Kak Gian, Kak Zino sama Kak Azka itu kelas dua belas." Jari Riki teracung membentuk jumlah tiga. Aku mengangguk. "Kak Gian ada di kelas 12 A 1, kelas paling unggulan di sekolah, kelas yang isinya anak-anak pinter semua. Sementara Kak Zino dan Kak Azka ada di kelas yang sama, 12 A 2, isinya murid pinter, tapi nggak seunggul A 1."
Aku mengangguk mengerti.
"Yang kedua, Varo dan Keenan itu kelas sebelas." Jari Riki kembali teracung membentuk V, bermaksud menunjuk jumlah dua. "Varo di 11 A 3, Keenan di 11 A 2."
Aku mengangguk lagi.
"Yang ketiga, kita berdua. Kita itu masih kelas sepuluh." Jari telunjuk Riki teracung membentuk angka satu. "Kita berdua beda kelas. Gue di 10 A 1, sementara lo di ...." Ia menatapku ragu. Aku menatap penuh penantian.
"Lo di 10 S 7, kelas paling terakhir di sekolah."
Ke-kelas apa? Mulutku menganga lebar.
"Seriusan? Kelas paling akhir?"
Riki tersenyum, menandakan perkataanku benar adanya.
"Gue sebodoh itu?"
Ia mengabaikanku dan melanjutkan penjelasan. "Di sekolah, Kak Gian itu kapten basket. Kak Zino ketua osis. Kak Azka kapten futsal. Varo ketua dance dan Keenan ketua taekwondo."
Ketua taekwondo? Si songong itu?
"Di sekolah emang wajib ikut ekskul. Dan beruntung mereka semua cocok dipilih jadi ketua."
"Gue? Lo?" Alisku tertaut.
Senyum Riki terculas. "Gue ketua kedisiplinan. Sementara lo ... anggota PMR."
"A-anggota PMR?" Aku terpelongo tak percaya. "Kalian semua keren-keren, sementara gue?"
Sudah kelas paling terakhir, ditambah ekskulku yang anjlok. Yang benar saja! Apa aku murid yang seburuk itu?
Bahu Riki tergidik. "Kenyataannya gitu, Shey."
"Kalau temen gue? Lo tau temen gue?"
Matanya menyipit, berpikir. "Lo itu sering main bareng Azka, Varo dan Keenan, secara nggak langsung lo bergaul sama kakak kelas semua. Kenalan lo banyak sih, secara lo terkenal karena kenakalan."
A-apa?!
"Gue sering mergokin lo nongkrong bareng Kakak kelas. Dan juga, lo sering bolos, nilai terbengkalai, suka main keluar bilang kerja kelompok, lo juga suka bully anak-anak lemah."
"I-IH! YANG BENER AJA!" bentakku, tidak tahan mendengar segala keburukanku.
Membully anak-anak lemah?! Itu bukan aku sekali! Tanpa mengingatnya saja jelas itu bukan sifatku!
Bagaimana bisa?!—
"Tapi itu kenyataan!" tekan Riki.
Aku menggeleng tidak percaya. Dia kembali bersuara.
"Tapi setahu gue, temen sekelas terdeket lo itu namanya ...." Kening Riki berkerut dalam, berpikir keras. "Ergh ... siapa ya." Ia mengetuk-ngetukkan jari ke tanah.
Aku menunggu.
"Ah! Gayatri dan Thalia," serunya.
"Gayatri dan Thalia?" Nama itu begitu asing, tidak pernah terbesit dalam otakku. "Beneran?"
Ia mengangguk yakin. "Gue inget soalnya lo pernah ngenalin mereka ke Varo sama Keenan. Waktu itu gue nggak sengaja lagi lewat."
Aku termenung. Sedetik setelah itu aku merasa ada yang kurang.
"Tunggu! Dari tadi lo nggak ada nyebut Kak Hesa!" celetukku.
"Oh iya." Dia menyengir lebar.
Aku berdecak. Dia semakin melebarkan senyum.
"Kak Hesa udah tamat sih. Dia lagi kuliah semester satu jurusan bisnis."
Ah? Benarkah?
"Tentang sekolah selesai. Sekarang masuk topik lain. Lo mau tau apa lagi?"
Aku merasa belum puas mendengar mengenai sekolah, namun bila Riki menjelaskan lebih detail, keburu malam. Oleh sebab itu pikiranku kembali terputar, berpikir, memilah sesuatu yang sangat ingin kuketahui selanjutnya. Dan ketika itu, pikiranku langsung tertuju pada buku harian.
"Ya! Gue mau tau soal ini." Aku berkata yakin.
Riki menunggu apa yang ingin kuketahui. Kupicingkan mata ke arahnya.
"Em, gue mau tau, sikap dan kebiasaan gue ke kalian. Tolong jelasin serinci mungkin."
••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
