Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 4

✨Done For Me✨

Jantungku berdentum hebat. Keringat bercucur deras dari pelipis. Ditambah tanganku bergetar akibat grogi.

Aku tidak bisa melakukan ini!

Tolong!

Ingatanku kembali terlayang pada penjelasan tiga cowok aneh tadi.

"Mumpung lo baru masuk rumah sakit, lo harus manfaatin keadaan ini buat bikin Kak Hesa sama Kak Gian nggak ngikutin kemauan Nenek. Awalnya lo harus ambil simpati Kak Gian biar Kak Hesa gampang diluluhi."

Penjelasan macam apa itu?!

Aku semakin tidak mengerti apa yang terjadi! Nenek apalah itu, aku bahkan tidak tau seperti apa wujudnya. Dan sekarang aku harus meyakinkan cowok bernama ... Gian? Huh! Yang benar saja! Pertama kali jumpa dengan cowok bernama Gian itu saja aku sudah ketakutan! Dan mereka menyuruhku apa?

Mereka bilang aku hanya perlu membujuk Kak Hesa, namun—aku malah berakhir naas di depan kamar Gian. Astaga ....

Aku memilin jari. Bagaimana ini? Harus apa? Mereka bilang Kak Gian tengah bersiap-siap di kamarnya. Lalu, sekarang apa?

Aku menggigit bibir bawah cemas, kuarahkan pandangan ke depan, berusaha fokus dan meyakinkan diri bahwa aku pasti bisa. Meski aku tidak mengenal diriku yang sekarang, namun jika aku mencoba lebih dalam, siapa tau aku dapat menemukan jati diriku yang hilang.

Oke. Baik. Tenang. Semuanya akan baik-baik saja. Se.mu.a.nya. a.kan. ba.ik. ba.ik. sa.ja.

Aku menarik napas lalu menghembuskan. Begitu berulang kali sampai merasa lebih baik.

Kulebarkan senyum agar tidak terlihat aneh dan mulai menjulurkan tangan ingin mengetok pintu. Lama terdiam seraya melamun dengan tangan yang berada di udara, pada akhirnya aku lelah seperti ini terus. Tanpa berpikir lagi, tanganku bergerak mengetok pintu.

Tok tok tok

Jantungku kembali berdetak kencang, keringat mengucur deras. Dua menit menunggu, hingga pintu terbuka dari dalam.

Ceklek

Jantungku semakin berderu. Pintu akhirnya terbuka, menampilkan sosok bernama Gian. Tubuhku memaku saat dihujani tatapan tajam darinya. Dalam beberapa detik aku berdiri sembari memasang raut tegang.

Hening.

"Kenapa?" Dia mulai membuka suara.

Aku menahan napas. Suaranya yang berat ... memasuki gendang telingaku menyebabkan bulu kudukku meremang. Mataku berkedip dua kali.. Tiba-tiba dia menyentil keningku, seperti yang dilakukannya di rumah sakit kemarin.

Aku membelalak.

"Jangan ngelamun! Kenapa ke kamar gue? Ada perlu?" tanyanya.

Mendengar kalimat lumayan panjang yang keluar darinya, aku benar-benar merinding. Suaranya teramat berat.

"Heh!" sentaknya sebab aku tidak kunjung merespons.

"Ha?"

Dia menatapku tajam, seperti biasa. "Kenapa lo pake dress? Lo mau ikut acara?"

"Ah! I-itu, ergh ... apa? Oh! I-iya, iya! Eh, apa ya? Ngh...." Aku merasa bodoh akan diriku. Dia terus menatapku bingung.

"Lo mau ikut acara? Nggak. Lo masih sakit."

Aku menengadah kepala, meliriknya sekilas. "E-enggak. Gu-gue udah ngerasa baik."

Dia menaikkan satu alis ke atas, menyorotku penuh intimidasi. Spontan aku meringis. Bagaimana cara mengatakannya?

"Lo disuruh Azka?"

"Ha?"

Gian memutar bola mata. Melihat responnya itu, nyaliku semakin menciut. Dia benar-benar menyeramkan.

"Apapun yang mau lo minta sekarang, oke, gue iyain. Gue juga bakal bilang ke Kak Hesa, jadi lo nggak perlu ke kamarnya lagi. Sekarang gue minta lo balik ke kamar terus istirahat."

Apa katanya? Aku diperbolehkan pergi? Benarkah?

"Udah sana! Jangan sampe gue tau lo main bareng Azka. Jangan harap gue maafin lo lagi."

Usai mengatakan hal tersebut, pintu ditutup kencang bersama sang empu yang menghilang di balik pintu. Sementara aku hanya bisa terbengong. Aku pikir semua akan lebih rumit. Tetapi, ternyata semudah ini. HAHA. Itu artinya, aku bisa kembali ke alam mimpi, kan?

Daripada memikirkan hal-hal tidak berguna, lebih baik aku berguling-guling indah di kasur. Buru-buru aku berlari menuju kamar sebelum Azka, Varo atau cowok satu lagi itu menyeretku entah kemana.

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

"Sheya...."

"Shey bangun, Shey."

Aku mendengar sebuah suara memasuki gendang telingaku.

"Sheya...."

Suara itu terdengar lembut.

"Shey."

Tunggu—apa itu malaikat?

"Shey, udah pagi."

Malaikat membangunkanku?

Apa aku telah mati?

Benarkah?

"Shey."

Jika benar aku mati, maka—

Bruk

Aku langsung terbangun tatkala sebuah bantal menubruk kepalaku. Sontak aku bangkit duduk dan bergerak kalut layaknya kemalingan, kepalaku celingukan kesana-kemari. Dan yang kudapat adalah ....

"HAHA KOMUK LO."

"NGGAK KUAT GUE BAHAHAHAH."

"Walau nggak tega, tapi gue nggak bisa nahan ketawa, Shey. Hahahaha."

Aku melongo menggunakan wajah bantal sebab rasa kantuk belum sepenuhnya menghilang. Kutatap mereka satu-persatu.

"Udah gue bilang nggak perlu pake cara lembut. Taunya cara gue yang bisa bikin dia bangun," sombong Varo.

"Ya, ada benernya." Keenan menimpali, tersenyum sinis.

Mereka kembali terpingkal, bahkan sampai memukul paha. Akhirnya kesadaranku pulih total. Huft ... tiga cowok sialan ini lagi! Benar-benar membuatku naik darah! Sudah semalam meracau, lalu sekarang—Oh, astaga! Aku bahkan tidak sanggup mendeskripsikan perasaan membeludak ini.

Rasanya ... ingin meledak saja!

"Liat muka lo! Ngelotot sambil nganga BAHAHAHAHA," bahak Varo.

"Harusnya gue bawa ponsel, sial," timpal Keenan.

"Keluar sekarang," pintaku bernada rendah, sebelum emosiku semakin memuncak.

Mereka masih terbahak, tak mengindahkan titahanku. "Keluar sekarang!" geramku.

Belum juga. Keterlaluan!

"Keluar!"

Masih belum.

Tanganku terkepal erat, bibirku merapat. "KELUAR!"

Seketika tawa mereka memudar, meski kekehan Varo masih tersisa, mereka menatapku.

"Sekarang gue minta baik-baik, Kakak-Kakak yang tercinta, tolong keluar, jangan sam—"

"Gue bukan Kakak lo," potong Keenan sambil memeletkan lidah menggunakan wajah songong.

Anj!

Ingin rasanya aku menendang wajah mereka satu-persatu.

"Keenan kan kembaran lo, Shey. Masa lo lupa," celetuk Varo seraya merangkul Keenan.

"Dih, najis kembaran sama kucing."

"Ya iya, lo kan kelinci."

"Lo monyet."

"Tai, udah gue bela malah menjadi. Anjing juga lo Nan."

"Nggak masalah, anjing imut."

Aku mengepalkan tangan, tersulut emosi. Bayangkan saja, sedang nyaman di alam mimpi, tiba-tiba diracau dengan lemparan bantal, dan sekarang dua orang gila tengah bertengkar di depanku. Ah, kini aku mengerti perasaan para pembunuh.

"Kak Azka," panggilku, kurasa dia sedikit waras. Azka menoleh dan ingin mendekat, namun aku langsung menyuruhnya berhenti.

"Stop! Nggak perlu deket-deket. Gue cuma mau bilang, tolong bawa dua makhluk nggak berakhlak ini keluar! Gue mau mandi." Aku bersiap-siap bangkit.

Azka tersenyum. "Bayarannya dong, sayang."

Aku bergidik ngeri mendengar kata 'sayang' yang keluar dari mulutnya. Dia pikir dia siapa? Lihat saja, ia malah memamerkan senyum lebar ke arahku.

"Iya. Nanti gue bayar. Gue minta duit sama Kak Hesa dulu." Melangkah melewatinya, aku ingin ke kamar mandi, tetapi dia menghadang.

Alisku tertaut. "Gue bilang, nanti gue bayar!"

Dia bersedekap seraya menatapku intens. "Lo jelas tau bukan itu bayarannya."

"Jadi?" Keningku semakin berkerut. Sungguh aku tidak tahu. Bukannya menjawab, senyumnya malah semakin lebar. Bikin merinding saja!

"Apa, sih?" desisku.

Dia mencondongkan tubuh mendekat padaku. Setenang mungkin aku menyiapkan kuda-kuda bilamana dia bertindak kurang ajar. Sampai tersisa jarak lumayan dekat, dia hanya membisikkan sesuatu tepat di sebelah telingaku.

"Bayarannya ... lo ikut gue keluar nanti sore."

Aku menahan napas, deru napasnya berhembus di leherku, membuat darahku berdesir dan bulu kudukku meremang.

"Keluar kemana?" Aku berusaha bersikap tenang.

"Ya keluar rumah. Cuma lo jalan satu-satunya Shey. Karena pesta semalem, gue belum diijini keluar rumah. Kak Hesa ngaduin gue ke Nenek."

Sejenak aku terdiam meloading permintaannya. Hingga akhirnya aku tersadar kala Varo berteriak beradu mulut bersama Keenan, teriakannya memekakkan seisi ruangan.

"Ya udah ya udah. Sekarang cepetan keluar! Jangan lupa bawa dua orang sinting itu juga! Gue mau mandi!" teriakku.

Azka masih tersenyum lebar. Tanpa izin dia mengangkat telapak tanganku lalu bertos-ria dengan tangannya sendiri. "Kita tunggu di meja makan. See you."

Usai mengucapkan itu, Azka menarik kerah Varo dan juga Keenan menuju pintu keluar. Sebelum benar-benar menghilang, Azka mengedipkan sebelah mata ke arahku. Aku hanya bisa terdiam dengan raut datar.

Terserah, pikirku.

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Semalam, aku kembali melanjutkan bacaan buku harian yang merupakan milikku. Dan aku mengetahui beberapa momen dan juga hal yang selama ini kualami. Yang lebih penting lagi, aku telah mengetahui seluk-beluk sifat dan tingkah Kakak-kakakku.

Mereka berjumlah tujuh. Bernama Hesa, Gian, Azka, Zino, Varo, Keenan dan juga Riki. Sebetulnya mereka semua tidak sepenuhnya Kakakku. Keenan sebayaku, sementara Riki lebih muda dariku. Tetapi di buku itu tertulis judul; My Brothers.

Tetapi aku menemukan suatu fakta, menjelaskan keheranan yang selama ini kupendam. Kalau sebenarnya mereka bukan Kakak kandungku. Juga mereka tidak satu darah. Mereka hanya saling bersepupuan. Alasan kami tinggal bersama, aku belum mengetahuinya, tidak ada dijelaskan di buku harian tersebut. Intinya aku mengerti sedikit mengenai keluarga aneh ini.

Daripada memikirkannya lagi, aku memilih keluar kamar. Sebaiknya aku cepat-cepat menuju meja makan sebelum para orang gila itu kembali menyusulku.

Tidak sulit menemukan ruang makan sebab para pembantu menggiringku. Hingga tampaklah meja panjang berisi dua puluh kursi di masing-masing sisi meja.

"Kak Shey!"

Aku tersentak. Baru melangkah masuk ke dalam sudah dipanggil sebegitu kencang. Dan semua orang yang berada di meja makan mengalihkan pandangan mereka menjadi ke arahku.

"Sini duduk samping gue," tawar cowok mungil itu. Apa dia yang bernama Riki? Lebih muda dariku? Tetapi tinggiku hanya sebatas lehernya. Tidak adil bila aku terlihat lebih muda. Kakiku berjalan kikuk, menuju kursi yang disediakan Riki. Kuusahakan agar tidak terkecoh oleh tatapan para cowok lainnya.

"Tidur lo nyenyak?" tanyanya setiba aku mendudukkan bokong.

Aku mengulas senyum tipis. Kemudian mengedarkan pandangan mencari Kak Hesa. Mataku menyisir ruang makan, pantry, dan juga daerah sekitar. Namun yang kucari malah tidak ada.

"Kak Gian ke sekolah latihan basket," celetuk Riki tiba-tiba.

Huh? Gian?

"Gue nyari Kak Hesa," jawabku spontan, sesuai dengan suara hati.

"Nyari Kak Hesa? Biasa juga nyari Kak Gian." Varo menaikkan alis sambil sibuk mengunyah roti.

"Biasa nyari Kak Gian? Emang gue ngapain nyariin dia?" batinku.

"Kenapa nyari Kak Hesa?" Riki kembali bertanya.

"Mau nyapa sekalian minta duit."

"Lah? Biasa juga minta duit sama Kak Zino." Varo menyipitkan mata ke arahku.

"Ihhh apaan sih. Emang kenapa kalau minta ke orang yang beda? Nyebelin banget nih cowok," ucapku dalam hati. Kupicingkan mata sinis padanya.

"Kak Zino juga pergi ke sekolah. Kayaknya ada rapat osis," jawab Riki sembari mengedikkan bahu acuh. Dia juga sibuk menghabiskan sarapan.

"Gue nanyain Kak Hesa daritadi!" teriakku dalam hati.

"Emang kalian nggak sekolah?" tanyaku pada akhirnya.

Dan, sepertinya ucapanku lagi-lagi salah. Terbukti dari respons mereka yang saling lirik.

"Kita ambil cuti satu minggu, honey, buat jagain lo. Hari senin juga balik ke sekolah. Lo juga udah bisa masuk," jawab Azka.

"Gue sekolah?"

"Lo pikir?"

"Kelas berapa?"

Varo kembali menyipitkan mata curiga. "Lo bukan Sheya, ya?! Lo tuh aneh banget dari kemarin!" pekik Varo melengking.

Aku membungkam.

"Lo liat dong pake mata! Ini bener Sheya gue yang gemesin," sentak Azka, ia tersenyum manis padaku.

"Tapi dia aneh. Harusnya cuekin Varo." Keenan ikut berkomentar.

"Ho'oh, apalagi masalah jatuh kemarin, harusnya dia masih marah ke gue."

Aku berusaha mengendalikan mimik wajah, entah bagaimana rautku sekarang. Ini memang begitu kacau. Aku kebingungan dan tidak tau bagaimana bersikap yang benar.

Mereka benar-benar menyebalkan! Aku juga tidak tau apa-apa!

"Kenapa sih lo semua? Kak Shey masih sama. Jangan ngawur! Biar gue buktiin." Riki menyenggol bahuku menggunakan sikunya. Kemudian mengambil dua buah roti berselai anggur lalu memberikan kepadaku. "Tunjuki gaya makan kita."

Aku memaku. Bagaimana mau menunjukkan, kalau tidak tau apa-apa?

Dia masih menyodorkan roti tersebut, tetapi aku tak kunjung menerima. Tatapan keempat cowok yang berada di sekitar masih tersorot padaku. Aku menduga mereka akan kembali mencurigaiku.

"Nggak tau?"

"...."

"Nah kan, bener ini Kak Sheya. Orang gue sama dia nggak pernah punya cara makan rahasia." Riki memasukkan dua roti tadi ke dalam mulut, mengunyah santai tanpa beban.

Dalam hati aku menghembuskan napas lega, dapat terhindar dari jutaan pertanyaan para makhluk astral itu.

Untuk sekarang, aku harus menemukan jati diriku yang sepertinya telah hilang tanpa diketahui seorang pun.

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Aku tersentak ketika Azka menyenggol tubuhku hingga terdorong beberapa langkah ke depan. Mataku membulat, mengartikan bahwa aku kesal. Namun dia tampak tak mengindahkan kekesalanku dan malah menaik-turunkan alis sambil menunjuk-nunjuk sesuatu menggunakan gerakan mata.

Aku bertambah kesal, tetapi tetap mengikuti arah tunjuknya. Oh, ternyata dia menunjuk ke ... Kakak-abangnya. Ralat! Kakak-kakakku juga.

"Kenapa?" tanyaku, kesal.

Azka mengembangkan senyum. "Bayaran lo, sayang."

"Bayaran apa?" Aku masih belum mengerti.

"Semalem, duh."

Keningku berkerut, berpikir. Sedetik kemudian aku tersadar apa yang ia maksud.

"Ish," desisku refleks.

"Ish?" Dia menaikkan alis.

Sontak tanganku tergerak menutup bibir. "Ah, enggak. Kapan emang?"

"Sekarang dong."

Ish. Aku benar-benar malas berinteraksi dengan mereka. Tadi aku sedang bersantai di ballroom ruang tengah seraya menikmati senja, lalu cowok menyebalkan ini mendadak datang dan mengacau ketenanganku. Kurang ajar.

Kepalaku tertoleh melirik ruang televisi. Di sana terdapat Kak Hesa dan juga ... si muka datar. Dan satu lagi, cowok yang memanggilku dengan sapaan 'Kak'.

"Harus sekarang?"

"Bentar lagi jam tujuh, kalau kelamaan entar enggak diijinin."

Bibirku terbuka setengah. "Ki-ta?" ejaku.

"Ya iya, lo ikut. Kalau gue doang mana dikasih."

Aku berdecak malas, kuyakin dia dapat mendengar, sebab begitu kentara, biar saja, toh aku memang malas berdekatan dengannya. Ketika aku bersiap melangkah menghampiri ruang televisi, tiba-tiba tanganku ditarik olehnya hingga tubuhku berputar seratus delapan puluh derajat, kembali menghadap dia. Aku menahan napas.

Dengan mudah ia cengengesan sembari menatapku intens. "Jangan marah dong, Shey. Gue tau lo kesel. Tapi Kakak kesayangan lo ini lagi butuh lo, bantuin ya?"

Ha?

Aku mengerjapkan mata sebab belum menalar apa yang terjadi. Kuarahkan sorot mata sepenuhnya pada dia. Dan, astaga, aku baru tersadar bahwa dia tengah memasang wajah paling manis kepadaku. Aku melongo. Ditambah tangannya terjulur mengusap pucuk kepalaku. Fix, aku hilang kesadaran.

"Nggak marah kan, Shey?" Senyumnya terus mengembang membentuk bulan sabit.

"Ngh?" gumamku.

Azka mengulas senyum simpul. "Nanti gue beliin donat lima pack deh."

"He?"

"Ya udah, cepetan sana sebelum makin lama."

Aku menggarut pipi yang tak gatal lalu mulai melangkah menuju ruang televisi. Walau langkahku terasa canggung dan kaku, tetapi aku tetap meneruskannya. Hingga tersisa tiga meter, si wajah datar menoleh ke arahku. Tubuhku sangat kikuk dan wajahku meringis. Aku berdiri kaku di tempat tanpa berjalan lebih dekat.

Cowok tanpa ekspresi itu ... aduh, siapa ya namanya, intinya dia hanya melirikku, tidak menyapa atau menyuruhku duduk. Hingga hampir dua menit berdiri, Kak Hesa berbalik badan dan menyadari keberadaanku.

"Loh? Shey?"

Dalam hati aku menghembuskan napas lega sebab tidak harus menjadi patung lebih lama. Riki ikut berbalik dan menatapku.

"Kenapa berdiri gitu? Kalau mau nonton sini," ajak Kak Hesa sambil melambaikan tangan, mengajakku mendekat.

Aku kembali meringis lalu mendekat ke arahnya. Kemudian memilih duduk tepat di sebelahnya.

"Kak Shey mau nonton apa?" Riki menoleh padaku, tangannya menggenggam remote bersiap mengambil siaran yang akan kupilih.

"Hng? Ah! E-enggak. Gue bukan mau nonton."

"Jadi?" Alisnya terangkat.

Aku melirik Kak Hesa, dan manik kamipun bertemu dikarenakan Kak Hesa juga melihatku.

"Kenapa? Ada yang mau kamu bilang?"

Suasana berubah mengintimidasi bagiku. Terbukti dari tatapan tiga cowok yang hanya terarah pada diriku.

"Ergh ...." Aku kembali mengarahkan pandangan ke luar ruang tonton—tempat Azka berada—namun dia telah menghilang dari sana. Sialan.

Bola mataku bergerak kesana-kemari, mencari alasan yang tepat. Ketika aku fokus berpikir, tidak sengaja manikku bertubrukan dengan manik cowok tak berekspresi yang kini duduk berhadapan denganku. Astaga, siapa sih namanya. Lalu dia mengalihkan tatapan menjadi lurus ke televisi, tidak peduli padaku.

"I-itu, Kak, eum ... gue mau minta izin," ucapku pada akhirnya.

"Minta izin buat?" Kak Hesa menyandarkan tubuh ke sofa sambil menungguku melanjutkan kata.

"Sebenernya...." Aku menatap lantai. "Lusa kan gue—ah, bukan, maksudnya aku kan udah bisa sekolah, jadi ada yang perlu dibeli." Kuarahkan sorot mata padanya. Aku mengganti kata 'gue' menjadi 'aku' karena lebih nyaman menggunakan itu padanya. Apalagi dia menggunakan sapaan 'Kakak-kamu'. Kurasa sapaan 'gue-lo' tidak akan sopan.

Dia tersenyum lebar. "Boleh kok. Emang kamu mau beli apa?"

"Pulpen! Pulpenku abis hehe." Aku menyengir lambat.

"Pulpen gue masih banyak, biar gue pinjemin entar," celetuk Riki.

"Nah, bagus. Kalau gitu, Rik, ambil sekarang siapa tau Sheya butuh."

Riki mengangguk lalu bersiap bangkit.

"Nggak!" Aku berteriak spontan.

Riki mengurungkan niat untuk bangkit. Tatapan mereka kembali sepenuhnya padaku, kecuali si datar.

"Ah! Maksudku, sebenernya bukan pulpen doang yang abis, tapi—" Aku menyengir bodoh.

Kupikir mereka akan tau maksudku, namun yang ada mereka berdua semakin menatapku dengan sorot tanda tanya. Astaga. Aku pura-pura meringis malu, walau kenyataannya aku memang malu. Tetapi hanya ini satu-satunya cara agar masalahnya selesai.

"Pembalut," bisikku pelan.

Barulah mereka berohria seraya mangut-mangut.

"Kalau gitu biar pembantu aja yang beliin." Kak Hesa mengangkat tangan ingin memanggil seorang pembantu.

Aku yang tadi sudah menghembuskan napas lega kini kembali panik. Mengapa sih? Aku hanya ingin keluar rumah! Padahal sudah kukatakan akan membeli pulpen, artinya tidak jauh dan hanya sebentar. Tetapi seakan aku harus dijaga ketat agar tidak berkeliaran walau semeter pun dari rumah.

Ini semua Azka dalangnya! Dia bilang jika aku meminta apapun pada Kak Hesa akan diberi. Namun—apa?! Seorang pembantu akhirnya datang menghadap kami. Aku mengumpat dalam hati.

"Ada apa, Tuan?"

"Tolong beliin Sheya—"

"Enggak, Kak!" sentakku sebelum terlambat.

Dia kembali melirikku.

"Aku mau beli sendiri. Mungkin apa yang aku bilang tadi udah jelas kalau aku minta izin biar keluar rumah. Tolong ijini aku."

Ada jeda di antara kami, hingga Kak Hesa membuka mulut.

"Ya udah, biar Kakak temenin." Dia bangkit dan mengulurkan tangan. Aku semakin panik. Ya ampun. Mengapa sesulit ini?

"Yuk?" ajaknya.

Spontan aku menggeleng kencang. "A-aku mau pergi bareng Kak Azka."

"Azka?" Rautnya berubah tidak ramah, jantungku berdentum kencang.

"Kalian mau pergi main?" tebaknya tepat sasaran. Kupikir dia tidak akan tau. Bibirku seketika terkunci rapat.

"Kalau sama Azka nggak boleh. Kakak tau kalian bakal buat macem-macem."

Benarkah? Seburuk itu? Kepalaku terunduk. Tiba-tiba aku merasakan sebuah tangan mengusap pucuk kepalaku, aku menengadah dan pada saat itu manikku bertemu dengan sepasang bola bundar berwarna hitam jernih miliknya.

"Shey, denger Kakak ya, kamu baru sembuh. Jangan keluar rumah dulu, tunggu sehat total baru Kakak ijinin. Jangan sampe kejadian kayak kemarin keulang lagi. Kalau kamu sakit, semua panik. Tolong jangan bikin kita khawatir."

"Kejadian kayak kemarin? Khawatir? Panik? Emang gue kenapa?" batinku.

"Kami beneran cemas kalau terjadi sesuatu sama kamu."

Entah karena tatapan matanya yang serius, atau aku yang terlalu lemah, aku malah mengangguk.

Senyumnya mengembang lalu mengacak rambutku lembut. "Kakak janji, kalau kamu udah beneran sembuh, kita bakal traveling bareng."

"Traveling?"

"Iya. Kita semua. Kita berdelapan."

Mulutku terbuka setengah, tidak bisa membayangkan jika itu sungguh terjadi. Lebih baik tidak pernah ada momen seperti itu di masa depan.

"Jangan sedih dong. Lo pasti bisa sembuh di waktu dekat ini." Riki tersenyum lebar ke arahku. Senyumnya itu begitu mengembalikan moodku. Tanpa kusadari aku ikut tersenyum seraya mengangguk.

"Kita bakalan traveling bareng." Riki bertepuk tangan senang. Aku terkekeh, seolah dia tengah menghiburku.

"Kak Zino, lo ikut semangati Kak Shey dong. Jangan datar mulu mukanya," pinta Riki.

Ah! Aku baru ingat cowok tanpa ekspresi itu bernama Zino. Huft~

Dia—Zino—hanya melirikku sekilas lalu kembali mengarahkan tatapan ke televisi, sibuk menonton. Ya, sedari aku berbincang, dia hanya asyik menatap televisi.

"Kak! Kak Shey entar sedih lagi."

"Enggak kok." Aku menepuk kaki Riki pelan, menyuruh agar ia berhenti mengajak bicara cowok aneh itu. Kuarahkan kembali pandangan pada Kak Hesa. "Sebenernya aku minta keluar sama Kakak bukan karena mau beli pulpen, pembalut atau sesuatu."

Lebih baik aku jujur sekalian. Biar tau rasa si Azka. Hehe.

"Terus?"

"Itu karena ... Kak Azka maksain aku biar ikut sama dia. Katanya Kakak nggak ngijinin dia keluar."

"Udah gue duga," seru Riki.

Kak Hesa berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Jangan marah samaku, Kak," ujarku cepat sebelum diceramahi.

Tangan Kak Hesa kembali bersarang di kepalaku. "Kakak nggak marah. Kalau gitu kamu balik ke kamar, biar Kakak yang urus Azka. Besok kamu harus istirahat seharian, soalnya senin udah sekolah."

Aku mengangguk, senang. Akhirnya bisa terlepas dari masalah ini. Dan pada akhirnya aku tidak akan keluar rumah bersama Azka. Fiuh, untung.

"Dah, Kak," pamitku pada Kak Hesa lalu tersenyum cerah pada Riki. Kemudian berjalan riang keluar dari ruang menonton.

"Haha, rasain lo Azka. Dasar Azka Titanic. Gue harap lo gugur kali ini juga."

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Bruk

"Ish," desisnya.

"Eh, maaf," ucapku lalu berniat mengumpulkan barang-barang di dekat kaki, namun orang yang kutabrak sampai menyebabkan barangnya jatuh dan berserakan malah mengacungkan kelima jari seolah menyuruhku untuk tidak menyentuh apapun.

Jadilah aku hanya diam tanpa melakukan apapun. Sementara dia sibuk mengumpulkan figur marvel ke dalam sebuah kardus yang ia bawa tadi.

"Punya lo?" tanyaku.

Dia berdesis, seolah menyatakan kekesalan. Aku memilih tidak bertanya lagi. Hingga seluruh barangnya terkumpul, ia bangkit, bergegas pergi. Aku berdelik kesal, dia beranjak begitu saja, tidak melirikku apalagi menyapaku. Menyebalkan.

Saat memutuskan untuk tidak terlalu peduli, sudut mataku menangkap sesuatu di samping guci bunga. Kumiringkan kepala ke samping, terdiam memperhatikan benda itu kemudian berbalik untuk menatap cowok tadi yang ternyata tidak tampak lagi wujudnya. Tanganku terjulur mengambil benda tersebut.

Figure Ironman. Sepertinya dia melupakan yang satu ini. Apa aku harus mengembalikannya? Huft, sepertinya tidak ada pilihan lain. Padahal aku sangat ingin cepat-cepat ke kamar untuk bergulung dalam selimut sebelum Azka menemuiku.

Membalikkan badan, aku mengikuti arah pergi cowok tadi, kukejar sebelum tertinggal jauh. Dan pada belokan koridor kedua, aku dapat menemukannya.

"Eh!" seruku.

Dia tidak menggubris. Padahal aku yakin volume suaraku melampaui kata tinggi.

"Woy!" Aku semakin mencepatkan langkah. Dia sama sekali tidak mengindahkan teriakanku.

"Ish." Hingga aku berlari dan dapat mencapai jaraknya. Kutarik pundaknya sampai tubuhnya berbalik.

Yang kuterima berikutnya adalah tatapan tidak ramah.

"Apaan sih lo!" desisnya.

Aku ikut berdesis. Kulempar figure ironman itu ke kotak yang ia rengkuh. "Dasar sinting! Orang gue cuma mau ngembaliin itu! Telinga lo dimana ha?!" Napasku tidak teratur sebab berlari kencang hanya untuk mencapainya.

Dia melirik benda yang kulempar. "Lo curi?"

"Mata lo!" Aku melotot kesal. "Itu jatoh di sebelah guci!"

"Sama aja. Bendanya ada sama lo, artinya lo nyuri." Ia beranjak tanpa memedulikanku lagi.

Aku menggeram marah. "Woy!" panggilku lagi. Dia tidak menggubris dan terus berjalan.

"Tai banget," umpatku saat dia telah menghilang dari balik tembok.

"Emang cowok-cowok di sini otaknya nggak ada yang beres. Kecuali Kak Hesa sama Riki. Yang lain tong kosong."

Aku menekuk bibir. "Siapa sih namanya? Varo? Bukan. Varo cowok paling putih terus paling gesrek. Keenan?" Aku memutar otak, dan tidak menemukan nama lain selain yang kusebut barusan. "Kayaknya iya. Sialan."

"Awas aja kalau jumpa. Nyebelin!" Aku memutuskan melangkah menuju kamar, melupakan kejadian ini jika tidak mau naik pitam lagi.

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel