Chapter 9: Brian
Aku terbangun oleh hembusan angin ditengkukku. Aku perlahan membuka mataku. Kulihat layar ponselku menunjukkan jam 7 pagi. Aku lega hari ini masih liburnya sekolah, jadi aku bisa bangun siang. Namun aku tersentak saat menyadari sesuatu. Buku suciku?! Tidak ada disamping bantalku. Dan sekarang aku merasakan tangan yg masuk ke dalam bajuku. Sudah kuduga, ini tangan hantu mesum itu lagi.
"Edward! Singkirkan tanganmu dari perutku!" Teriakku.
"Eh, kau sudah bangun nona?" Ucapnya sembari mengucek matanya.
"Apa yg kau lakukan padaku semalaman?" Bentakku.
"Hm, tidak ada. Aku hanya tidur disampingmu." Jawabnya tersenyum lebar.
Aku mengangkat bantalku dan mencari keberadaan buku suciku tapi tidak ada. "Dimana kau sembunyikan bukuku?!"
"Aku bahkan tidak bisa menyentuhnya. Jangan salahkan aku terus nona Olivia!" Bentaknya balik dengan tangan yg disilangkan. Baru kali ini aku melihat wajah kesalnya.
Aku menoleh ke bawah, dan ketemu. Ternyata buku suciku terjatuh dari kasur, apa aku yg tidak sengaja menjatuhkannya saat tertidur? Itulah sebabnya Edward bisa mendekatiku? Ah, bodoh sekali. Aku langsung mengambilnya, dan seketika Edward langsung menjauh saat aku memegangnya.
"Apa kau tidak bisa menyingkirkan buku itu?!" Teriak Edward di sudut ruangan.
"Jika kau terus mengangguku seenaknya, aku tidak akan segan-segan membaca ayat-ayat di dalamnya." Ucapku terkekeh.
"Baiklah, aku tidak akan mengganggumu lagi. Tapi tolong singkirkan kitab itu, apa kau tidak kasihan padaku? Aku tidak bisa kemana-mana sekarang." Ucapnya dengan tangan yg disatukan dan mata puppy eyes -nya.
Aku menghela nafas dan beranjak dari kasurku. Aku meletakkan bukuku dirak buku dekat jendela dan menutupinya diantara albumku. "Baiklah, kali ini saja. Sekarang bisakah kau keluar dari kamarku sebentar, karena aku harus mandi dan mengganti pakaian." Ucapku dengan tangan yg disilangkan.
Edward berjalan mendekatiku. "Hm, ok. Tapi sebelum aku keluar, aku butuh..." Ucapnya dengan smirk.
Chup
Edward mengecup singkat bibirku dan ia langsung berlari, menembus pintu keluar kamarku sembari tertawa.
"Terima kasih untuk Morning Kiss-nya, Olivia." Kekehnya.
Aku tersentak dan mengelap bibirku dengan telapak tangan. "Dasar hantu sialan!" Teriakku.
Dan tepat saat itu Ibu langsung mendobrak pintu kamarku. "Olivia… Dari kemarin kau sering sekali berteriak, ada apa?!” Bentak Ibu.
Aku melihat Edward yg melambaikan tangan di belakang Ibu. Aku menurunkan alisku dan menatapnya. Aku benar-benar jengkel pagi ini. "Tidak Ibu, kecoanya muncul terus dari bawah kasurku." Jawabku, aku terpaksa melakukan itu.
"Mungkin kau tidak menyapu dengan benar, sapu lagi bawah kasurmu siapa tau ada bekas makanan sisa dibawah sana." Ucap Ibu.
"I-iya baiklah." Jawabku. Mataku masih menatap sinis ke arah Edward yg mengedipkan matanya padaku.
"Tolong jangan teriak-teriak lagi. Oh iya, itu kenapa bajumu terbuka semua, mandi sana..” Ucap Ibu yg hanya menggelengkan kepala dan membanting pintuku.
Aku melotot dan menunduk. Aku langsung menutup bajuku dengan tangan. "Ini pasti ulah Edward, aku tidak tau apa saja yg sudah dia lakukan padaku saat aku tidur.” Umpatku dan langsung masuk ke dalam kamar mandi.
***
"Kenapa tubuhmu sangat indah, ya ampun..." Sahut Edward.
"Aaahkkk! Keluar dari kamarku, aku belum selesai!" Teriakku dan spontan menutupi tubuhku dengan selimut.
Aku tidak menyadari kehadirannya karna dia duduk diatas lemari. Aku sangat malu, pipiku terasa sangat panas, aku belum sempat memakai apapun, tak ada sehelai benang pun di tubuhku.
"Haha, tidak apa. Anggap saja aku tidak ada." Jawab Edward dan memopang dagunya dengan tangannya.
"Ka-kau... Melihatnya? Kau melihat semuanya?!" Ucapku sembari terus menggenggam erat selimut yg menutupi tubuhku.
"Squishy-ku tanpa bra terlihat sangat menggiurkan. Boleh ku lihat sekali lagi?" Ucapnya dan muncul ke bawah, sekarang dia berdiri di depanku.
"Mundur! Ja-jangan mendekat, menjauh dariku!" Namun hantu itu enggan mendengarkanku.
"Memangnya kenapa?" Bisiknya. Edward sekarang berdiri dibelakangku dan bahkan memelukku. Rasanya tubuhku seperti disengat listrik, Edward meraba perutku dan gerakan tangannya semakin naik.
"Cu-cukup Edward! Aku akan membencimu jika kau menyentuhku lagi!" Teriakku. Tangan Edward berhenti, ia menurunkan tangannya dan menghilang dan muncul kembali ke depanku.
"Maaf. Tolong jangan membenciku. Nona Olivia." Ucapnya menunduk. Saat itulah entah mengapa aku merasakan kekecewaan dari matanya, wajah Edward terlihat cemberut dan ia berjalan perlahan menembus pintu kamarku dengan kepala yg tertunduk.
"Apa... Aku salah bicara?" Gumamku kebingungan. Aku tak mau ambil pusing dan segera memakai pakaianku dengan cepat. Sangat merepotkan jika ada hantu laki-laki yg menunggu kamarku, apalagi dia hantu yg mesum.
Walaupun harus ku akui wajahnya tampan dan manis, tapi tetap saja aku harus selalu mengingatkan diriku sendiri bahwa dia tidak nyata.
***
"Olivia, ada temanmu datang!" Panggil Ibu.
Aku tersentak dan keluar dari kamarku, aku melirik Edward yg duduk diatas meja dengan kepala yg tertunduk saat melihatku, aku mengabaikannya dan menuju ruang tamu.
"Memangya siapa yg dat-" Ucapku dan aku tersentak saat melihat orang itu. "B-Brian? Darimana kau tau apartemen kami?!"
Ibu mencubit lenganku dan aku meringis. "Bicara yg sopan pada temanmu, dia datang dari jauh hanya untuk bertemu denganmu." Ucap Ibu.
"Nak Brian, masuk dulu. Tante akan buatkan minuman untukmu." Lanjut Ibu tersenyum ramah.
Brian balas tersenyum dan mengangguk. Aku hanya bisa menggaruk tengkukku yg tidak gatal, sekarang Ibu meninggalkan kami berdua. "Eeh... Si-silahkan duduk dulu, Brian." Ucapku canggung.
Namun sebelum aku berbalik Brian tiba-tiba menarik tanganku dan memelukku dengan erat, ia menenggelamkan wajahnya dipundakku. "Aku sangat merindukanmu, Olivia." Ucapnya.
Aku lupa bahwa masih ada Edward, dia muncul dibelakang Brian yg sedang memelukku, menatapku dengan tatapan sinisnya. Aku langsung melepaskan pelukannya. "Brian, duduk dulu." Ucapku tersenyum masam.
Brian awalnya kebingungan saat aku mendorongnya dan terus menatap ke belakangnya, namun dia akhirnya mau duduk. Edward masih berdiri di belakang sofanya Brian. Aku harap hantu itu tidak mengusiknya.
"Olivia, sudah lama aku tidak bicara seperti ini denganmu, saat disekolah aku merasa tertekan karena tidak bisa mendekatimu. Sekarang kau sudah pindah, cukup jauh dariku. Aku benar-benar sedih." Jelas Brian, dan ia menggenggam tanganku.
"A-aku terpaksa, Brian... Aku ingin kau menjalani hari-harimu tanpa aku, lupakan saja aku, kau pasti akan menemukan gadis yg lebih baik dariku." Ucapku menunduk dan melepaskan tangan Brian.
"Ya, itu benar." Sambung Edward tepat di telinga Brian.
"Eh? Apa itu tadi?" Ucap Brian dan mengusap telinganya. Ya ampun, apa yg dilakukan hantu itu. Harusnya dia tidak perlu ikut campur.
"A-apa? Apa yg terjadi?" Lanjutku kepada Brian.
"Ah lupakan." Ucap Brian, matanya melirik kanan kiri, aku tau rasanya pasti merinding, dan tidak nyaman. "Olivia, hanya kau satu-satunya gadis yg aku sukai... Sulit bagiku melupakanmu." Lanjut Brian.
"Kau harus melupakanku. Aku sudah pindah sejauh ini, aku juga akan melupakan semuanya. Ada banyak yg sudah ku hapus dari ingatanku, tentang kota itu, ayahku, semuanya sudah lenyap, aku ingin menjalani kehidupan yg baru disini. Tolong jangan mengangguku lagi." Jelasku panjang.
Air mata tanpa sadar menetes tipis dipipiku. Dan aku bisa melihat Brian dan Edward yg menundukkan kepala.
"Apa kau sebenci itu padaku?" Tanya Brian dengan suara yg dikecilkan.
"A-aku tidak membencimu. Hanya saja, setiap kali melihatmu, aku merasa bersalah pada Maya..."
"Maya, Maya, Maya, Maya terus! Kenapa kau selalu mengaitkan semua hal tentangku dengan Maya? Tidak bisakah mau mengerti diriku sekali saja, aku sangat mencintaimu." Bentak Brian.
Tiba-tiba vas bunga ditengah meja kami terlempar ke Brian. "Aduh!" Gertaknya. Vas itu mengenai kepalanya, untunglah tidak sampai pecah. Aku melirik Edward yg tangannya sudah terangkat.
"Edward!" Bisikku geram. Namun hantu itu hanya memutar bola matanya dan menunduk.
"Kau baik-baik saja? Brian?" Tanyaku cemas.
"Aku tidak mengerti, ada apa dengan apartemenmu ini." Jawabnya.
"Entahlah, tidak ada apa-apa kok." Ucapku, sembari terus mengawasi Edward.
"Olivia, aku mohon. Terima aku... Kau mau kan jadi pacarku?" Lanjut Brian.
Dan Edward lagi-lagi mendorong kepala Brian hingga tersungkur ke depan. Aku spontan berdiri dan membantunya berdiri sembari menggertak ke arah Edward.
"Apa itu tadi? Seseorang seperti mendorongku..." Ucap Brian sembari memeriksa belakang sofa.
Edward terlihat tersenyum miring dengan tangan yg disilangkan. "Ehm, Brian. Aku tidak bisa menerimamu, sudah ku bilang aku..." Jawabku.
"Kenapa? Aku tau, dulu kau menyukaiku kan? Apa sekarang perasaanmu padaku sudah lenyap juga?" Potongnya dan kembali memegang tanganku.
Aku menepis tangannya dan membelakangi dirinya. "Ya, aku tidak punya perasaan apapun lagi denganmu. Aku mohon Brian, cukup. Pulanglah ke kotamu dan jangan pernah hubungi aku lagi." Ucapku.
"Olivia, tapi aku.."
"Pergilah Brian! Aku tidak mau melihatmu lagi. Kau hanya bisa membuatku menderita." Bentakku. Aku mengatakan hal itu agar Brian membenciku dan meninggalkanku.
Dia terlihat menunduk. "Kau tega sekali padaku, Olivia. Baiklah jika itu maumu." Ucapnya dengan suara yg dikecilkan, ia pergi dan membanting pintu rumahku.
Aku mengusap air mata tipis yg mengalir di pipiku. Dan saat itulah Edward menyodorkan tisu. Aku hanya mendegus dan meraih tisu itu. "Kenapa kau menganggu Brian? Sudah kubilang jangan lakukan apapun." Ucapku.
"Entahlah, aku hanya tidak suka dengan pria itu." Jawab Edward.
"Bilang saja kau iri dengannya." Dengusku.
"Ya! Aku iri dengan jantungnya yg masih berdetak!" Bentak Edward. Dia terlihat marah dan merajuk, ia masuk ke kamarku dan mengabaikanku.
"Ya ampun, apa aku salah ngomong lagi?" Gumamku merasa tidak enak.
Ibu datang dengan 2 cangkir teh dan cookies coklat yg kelihatannya baru saja diangkat. Saat melihatku Ia terdiam dan meletakkan nampannya diatas meja. "Hm, dimana Brian? Dia sudah pulang?" Tanya Ibu.
"Ya." Jawabku singkat.
"Cepat sekali, padahal Ibu sudah susah payah memanggang kuenya." Ucap Ibu dan menghela nafas.
"Seharusnya Ibu tidak perlu repot-repot segala. Kalo begitu taruh saja disana, aku akan memakannya." Ucapku.
"Kau mau menghabiskan semuanya?" Kekeh Ibu.
Aku menggangguk. Yah memangnya kenapa? Cookies buatan Ibu memang yg terbaik dan aku sangat menyukainya, lagipula aku tidak akan memakan semuanya sekaligus, mungkin aku akan menyimpan sisanya ditoples dan meletakkannya dikamarku untuk cemilan malam.
"Oh iya, Ibu harus berbelanja, kelihatannya kita kekurangan perabot dan bahan makanan, Ibu hanya memindahkan separuh barang dari rumah Ibu yg dulu kesini. Apa kau mau ikut?" Tanya Ibu sembari melepas celemeknya.
Aku berpikir sejenak dan melirik kamarku, bagaimana dengan Edward? Lagipula, Aku juga malas sekali untuk keluar hari ini.
"Kenapa diam? Tidak mau? Ibu rasa kau tidak perlu ikut, Ibu akan sangat lama soalnya.” Ucap Ibu dan berbalik.
"Ahh Ibu... Jadi aku sendirian dirumah? Berapa lama Ibu pergi?" Keluhku.
"Tidak tau. Ibu akan pulang sebelum gelap. Tapi, mungkin saja kau akan keluar untuk melihat-lihat kota baru ini, jadi ibu sudah meninggalkan uang saku diatas meja kalau kau mau, tapi ingat... Kunci pintunya dan jangan pulang terlalu malam." Ucap ibu.
"Yah, terserah ibu saja." Jawabku datar. Ibu hanya geleng kepala dan pergi keluar. Suasana menjadi sunyi seketika saat ibu tidak ada. Aku menatap nampan berisi 2 cangkir teh dan cookies tadi yg masih panas. Aku mengangkatnya dan membawanya masuk ke kamarku.
Edward menoleh ke arahku saat aku membuka pintu, lalu dia membuang muka dan duduk dipinggir jendela memandangi langit siang, aku rasa dia masih marah padaku.
"Edward?" Panggilku. Tapi tidak dikubris olehnya.
Aku meletakkan nampan tadi di meja belajarku. "Edward, apa kau masih marah padaku? Baiklah, aku minta maaf." Ucapku. "Walaupun aku tidak tau pasti apa kesalahanku." Lanjutku dalam hati.
Aku bisa mendengar Edward hanya mendengus dan mengabaikanku. Aku tidak tau apa yg harus aku lakukan untuk mengatasi hantu yg sedang merajuk. Edward adalah satu-satunya hantu yg akrab denganku, yg bisa aku sentuh, dan aku ajak bicara layaknya manusia.
Aku meraih 1 cookies tadi dan menyodorkannya ke Edward. "Hey, apa kau mau cookies coklat?" Ucapku tersenyum lebar.
Edward menoleh ke arahku dengan alis yg diturunkan. "Aku mau jika aku bisa menelannya." Jawabnya jutek.
"Oh iya, aku lupa. Kalau begitu hirup saja aromanya, kau bilang kau bisa mendapatkan energi dari makanan."
Ucapku lagi, tak lupa dengan senyum lebar.
"Ini bukan makanan kami yg aku maksud. Kami menghirup daging dan buah-buahan." Jawabnya lagi.
Aku benar-benar bingung. "Ya sudah kalau tidak bisa." Ucapku tak kalah juteknya.
Aku bosan dan sekarang kami sama-sama saling mengabaikan. Aku duduk dikasurku sambil menikmati secangkir teh dan cookies ibu tadi. "Hey, bagaimana dengan teh?" Panggilku.
"Sama saja." Jawab Edward. Yah, sekarang aku yg harus habiskan 2 cangkir teh ini. Tak apa, lagipula cangkirnya lumayan kecil.
Sebenarnya aku lapar, tapi tanganku malas untuk memasak sesuatu.
Aku memainkan ponselku dan bersandar di dinding kasurku. Edward masih diam dan memandang ke arah jendela seperti hantu yg sedang patah hati. Tiba-tiba sebuah notifikasi masuk.
Notif itu berasal dari media sosial boyband korea favoriteku yg memberitahukan bahwa toko serba serbi BTS sudah resmi dibuka di beberapa kota di Jepang. Dan aku melotot saat melihat kota tempatku berada sekarang termasuk dalam daftar itu.
"Aahkk! Tidak, ini imut sekali! Oppa-oppaku, aku akan segera menjemputmu, tunggu aku!" Teriakku histeris saat melihat foto-foto dari gambar tokonya. Aku segera beranjak dari kasur dan bersiap-siap.
"Mau kemana?" Tanya Edward yg melihatku tergesa-gesa membuka lemari dan menata rambutku.
"Mau jemput Oppa-Oppaku." Jawabku sumringah, tanganku masih fokus memakai makeup.
"Kau mau keluar? Boleh aku ikut?" Ucap Edward yg langsung nge-glitch ke belakangku. Apa perubahan suasana hatinya semudah ini?
"Yah terserah kau saja. Selama kau tidak menganggu orang-orang disekitarku, kau boleh ikut." Jawabku.
Edward terlihat tersenyum lebar namun ia tiba-tiba menunduk. "Oh iya, aku baru ingat. Aku..." Ucapnya dengan nada yg dikecilkan.
"Kenapa murung? Kau mau ikut kan? Ayo." Ucapku dan menarik tangannya.
Edward melepas tanganku. "Aku tidak bisa keluar dari tempat ini." Lanjutnya.
Aku tersentak dan terdiam sejenak. "Hm? Ke-kenapa tidak bisa?" Tanyaku.
