Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 7: Penunggu Manis Apartemen

2 bulan kemudian...

Brian tidak pernah mendekatiku lagi, perlahan laporan tentang pembully-an di sekolahku mulai berkurang. Kelompok Devi juga sudah berubah, mereka bicara dengan sopan dan menjadi anak yg rajin, mereka tidak berani lagi menyakiti anak lain. Aku tau Brian masih suka mencuri-curi pandang padaku, dia selalu ingin bicara padaku tapi ragu, saat kami tidak sengaja berpapasan, kami bersikap seolah tak mengenal satu sama lain. Aku lega, Brian mendegarkan perkataanku, ia tak lagi mendekati cewek terlalu sering sehingga tidak ada murid cewek lain yg saling iri-irian.

***

Hari ini saat aku pulang sekolah, vas bunga hampir saja mengenaiku yg baru membuka pintu rumah, vas itu terlempar dan menghantam dinding disampingku hingga pecah. Aku mendengar orangtuaku bertengkar. Lagi-lagi, pertengkaran yg parah. Rasanya aku sudah trauma dgn pertengkaran seperti ini. Aku berniat untuk keluar lagi tapi aku ragu, aku khawatir sama ibu. Terakhir kali mereka bertengkar, ayah menampar Ibu hingga pingsan. Kali ini aku tidak boleh diam.

Aku menghubungi kantor polisi, yah, saat aku menjadi saksi untuk Maya aku diberi nomor polisi. Mereka bilang akan segera menuju ke rumahku. Aku menunggu diluar, tapi aku kembali mendengar suara pecahan piring yg makin lama terdengar makin parah dan teriakan Ibu yg melengking. Aku spontan langsung membating pintu dan masuk.

"Ibu!" Teriakku. Ayah langsung melotot ke arahku, Ibu berbalik dan aku bisa melihat kepalanya yg berdarah, dapur ini terlihat sangat berantakan sekarang. Pecahan kaca berserakan dilantai.

"Olivia, keluarlah!" Teriak Ibu, wajahnya merah dan bekas air mata memenuhi pipinya. Aku tidak tega melihat Ibu.

"Ayah hentikan! Apa ayah tidak kasihan sama Ibu? Kepalanya sampai berdarah, ayah macam apa kau ini?!" Bentakku kesal dan mendekati Ibu.

"Bicara apa kau hah?! Tutup mulutmu dan masuk ke kamarmu sana, tidak usah ikut campur urusan orangtua!" Teriak ayah.

"Sudahlah, masuk saja ke kamarmu dan kunci. Ibu baik-baik saja." Bisik Ibu sembari mengelap air mata dipipinya. Aku mengernyitkan dahi.

"Tidak Ibu, aku sudah dewasa. Aku tidak mau terus disuruh sembunyi di kamar. Kenapa tidak Ibu usir saja laki-laki ini, lagipula rumah ini milik Ibu!" Bentakku emosi dan menatap tajam ke arah ayah.

"Hey! Berani sekali kau yah... Sudah lama kau tidak dipukuli, sini, biar kuberi pelajaran padamu, dasar anak durhaka!" Teriak Ayah dan mendekatiku dengan alis yg diturunkan.

Ibu langsung menghadangku. "Sudah hentikan, jangan libatkan Olivia dalam masalah ini!" Bentak Ibu.

Plaaak

Ayah lagi-lagi menampar Ibu, aku bisa lihat telapak tangan ayah sampai membekas merah dipipi Ibu. Ibu jatuh, ia ingin berdiri tapi sepertinya kepalanya jadi sangat pusing dan sempoyongan. Aku tidak percaya, ayah sangat kejam pada Ibu. Ayah terkekeh seolah puas menampar Ibu, setelah itu dia melirikku. Ayah meraih gelas kaca diatas meja. Tidak, aku tau apa yg ingin ia lakukan padaku. Aku mundur hingga tersentak di dinding, Ibu berusaha untuk bangun dan menolongku tapi kepalanya benar-benar pusing. Aku berteriak saat ayah mulai mengangkat tangannya dan tepat saat itu aku mendengar suara sirine mobil.

Polisi sudah sampai. Ayah tersentak, ia mengabaikanku dan mengintip dari jendela ruang tamu. "Apa kau yg memanggil polisi?! Olivia kau yg memanggil mereka hah?! Dasar kau, tidak akan kubiarkan!" Gertak Ayah.

Aku meringkuk dan memejamkan mataku saat ayah mendekatiku dengan penuh emosi. Namun untunglah polisi langsung mendobrak pintu rumah kami.

"Berhenti! Angkat tanganmu!" Teriak para polisi itu. Mereka mengangkat pistolnya dan mengarahkannya pada ayah. Sungguh, aku benar-benar lega, aku beranjak dan menghampiri Ibu, dia langsung memelukku dengan erat.

"Aku tidak bersalah pak! Jangan tangkap aku!" Ucap ayah mengangkat kedua tangannya.

"Kau dilaporkan oleh anakmu sendiri atas kasus kekerasan. Ikut kami ke kantor polisi." Ucap pak polisi dan mereka memborgol kedua tangan ayah.

"Olivia!" Teriak ayah, aku memalingkan wajahku dan kembali memeluk Ibu. "Pak dia anak yg nakal, dia hanya menjahili kalian, aku tidak melakukan kekerasan apapun!" Bantah ayah.

Ibu meringis dan berusaha untuk berdiri, aku membantunya. "Bohong! Selama ini aku diam demi Olivia, tapi sekarang kau sudah berani menyakitinya, aku tidak akan diam lagi. Pak, dia sudah memukulku dan berniat membunuh anakku, tolong tahan dia!" Ucap Ibu. Polisi itu mengangguk dan membawa ayah ke mobil polisi.

Perlahan sirine mobil polisi itu terdengar menjauh. Aku kembali memeluk Ibuku, aku berhasil melindungi Ibu.

Bodoh sekali, kenapa tidak dari dulu aku melakukan ini. Dulu aku masih lugu, dan hanya bisa menurut.

"Ibu, apa ayah akan benar-benar dipenjara?" Tanyaku.

"Tentu saja, Ibu tidak akan biarkan dia menyakitimu lagi." Jawab Ibu tersenyum simpul.

***

Ibu menemui ayah di kantor polisi. Aku duduk disamping Ibu. Ayah terlihat menatap sinis kearah kami. "Cepat bebaskan aku dari sini! Aku tidak mau dipenjara." Bentak Ayah.

"Kau menerima ganjarannya. Sudah cukup kau membuat kami menderita. Sekarang aku kesini untuk memberitahukan padamu, bahwa aku ingin berpisah. Kita tidak lagi cocok, akan ku urus surat cerainya segera mungkin." Ucap Ibu datar.

Ayah berdiri dan memukul meja, polisi dibelakangnya terlihat sudah siap siaga. "Apa maksudmu?! Kau mau bercerai?! Tidak, aku tidak mau!" Tolak ayah.

"Richard... Kau sangat kejam, kau tidak pantas untuk Ibu." Ucapku yg Ikut-ikutan emosi.

"Diam kau anak setan!" Bentak ayah, dan aku hanya bisa menunduk. "Kita tidak bisa bercerai! Aku tidak akan setuju, tidak akan pernah!" Lanjutnya.

"Oh iya... Aku baru menerima kabar bahwa kau dipecat dari kantormu, mobilmu juga sudah disita bank karena kau tidak membayar utang-utangmu saat berjudi." Jawab Ibu.

"A-apa? Tidak mungkin!" Teriak ayah, dia terduduk lemas dan mengacak-ngacak rambutnya.

"Aku sudah memperingatkanmu, tapi kau menganggap remeh perkataanku. Dan aku tidak butuh persetujuanmu untuk bercerai." Ucap Ibu dan Ia berdiri, akupun mengikutinya namun saat kami hendak berbalik ayah mencegat kami.

"Tunggu, maafkan aku. Selama ini aku sudah bersikap kasar pada kalian, tolong maafkan aku. Jangan berpisah dariku, aku janji aku akan merubah sikapku." Bujuk ayah.

Aku mengeryitkan dahi, dan Ibu menepis tangan ayah. "Aku tidak akan tertipu oleh kata-katamu lagi." Bantah Ibu.

"Tolong, maafkan aku, aku mohon, aku tidak punya apa-apa lagi. Aku mohon, Emily, Olivia, maafkan ayah." Ucapnya terisak.

"Kenapa baru sekarang minta maaf? Ayah sudah menyiksaku dan Ibu, permintaan maaf tidak akan merubah apapun lagi sekarang." Bentakku kesal.

Ibu menghela nafas dan merangkulku. "Aku akan berikan rumah itu untukmu, kau bisa memilikinya, kami akan pindah ke apartemen dan jauh dari kota ini, jauh darimu. Dan aku yakin, Richard... kau tidak akan bisa menyusul kami."

"Ibu! Apa yg ibu katakan?!" Ucapku terkejut.

"Tidak Olivia, Ibu tidak sanggup lagi tinggal 1 rumah dgnnya bahkan 1 negara, takutnya saat bebas dia akan mendatangi kita dan melakukan sesuatu” Bisik Ibu. “Ibu tidak mau bertemu lagi. Ibu sudah mempersiapkan semuanya karna Ibu tau hal ini pasti terjadi suatu hari nanti. Ibu punya uang yg lebih dari cukup." Ucap Ibu. Aku hanya bisa diam dan menunduk.

"Kau bisa memiliki rumah itu, tapi kau harus tanda tangani surat ini dulu." Lanjut Ibu dan mengeluarkan selembar kertas.

"Ta-tapi.." Ucap ayah mengangah tak percaya dengan perkataan Ibu.

"Tidak usah banyak bicara, ayo buat ini berjalan dengan mudah, biar lebih cepat, kau tanda tangani saja surat cerai ini, dan aku akan mengganti rumah itu atas namamu. Jadi saat kau bebas, kau punya tempat tinggal, terserah kau mau apakan rumah itu, aku tidak peduli." Ucap Ibu.

"Cih. Terserah kau saja." Jawab Ayah, dan aku tau bahwa permintaan maaf ayah tadi hanya akting semata. Ia menandatangi surat itu dengan santai. Setelah itu Ibu melipat dan menyimpan suara itu dalam tasnya. Tapi dia tidak tau bahwa kami akan pindah dari Negara ini dan dia tidak akan pernah melihat kami lagi.

"Baiklah, kita sudah sepakat. Semoga tuhan melindungimu." Ucap Ibu dan kami segera pergi dari kantor polisi itu.

***

Beberapa hari kemudian kami pindah ke Jepang, Ibu bilang dia dipindahtugaskan ke sana karena perusahaan tempat Ibu bekerja memang milik Jepang. Untungnya aku mengikuti klub bahasa jepang dari SMP kelas 1, bahasa jepangku lumayan walaupun terbatas. Sekarang aku tau alasan Ibu ngotot menyuruhku mempelajari bahasa Jepang.

Kami Memindahkan semua barang-barang kami ke sebuah apartemen yg sudah Ibu pilih. Apartemen ini terlihat sederhana tapi tempatnya lumayan luas, ada 2 kamar, pas untuk kami berdua. Catnya berwarna cerah dan punya banyak jendela, apartemen ini cukup nyaman. Aku sangat suka apartemen sederhana ini.

"Olivia, ini kotak barang-barangmu. Kau sudah melihat kamarnya kan? Ini, mulailah menata kamarmu sendiri." Ucap Ibu sembari mendorong kotak yg sudah ditandai dengan namaku.

"Ok, bu." Jawabku sumringah. Ibu hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahku yg loncat-loncat seperti anak kecil. Aku sudah 16 tahun, dan 2 bulan lagi aku akan menginjak 17 tahun, tapi entah mengapa aku sangat senang, aku akan memulai hidup baruku, dikota yg baru, sekolah, dan rumah yg baru.

Aku mengangkat kotak berat ini dan meletakkannya dilantai kamar yg sudah aku pilih. Ada rak sekaligus tempat seperti kasur mini didekat jendelanya, aku bisa membaca buku sambil menikmati angin sepoi-sepoi dari jendela itu. Ibu juga sudah memindahkan ranjang dan lemariku disini, aku hanya tinggal meletakkan barang-barangku.

"Baiklah, ayo mulai menata." Ucapku dan merenggangkan kedua tanganku ke atas.

Aku membuka kotak kardusku yg kecil dan meletakkan alat-alat makeup ku diatas meja rias dengan rapi, setelah itu aku membuka kardusku yg lain, berisi fornitur boyband favoritku. Oh iya, apa aku pernah bilang bahwa aku penggemar BTS? Hahaha, yup aku adalah ARMY. Tapi aku bukan ARMY Garis Keras. Aku hanya kagum dan suka, fornitur mereka cukup bagus, dan aku selalu tertarik untuk membelinya.

Aku merapikan album-albumnya dirak buku yg di dekat jendela tadi, lalu aku mengambil BTS Stand, semacam patung mereka yg terbuat dari kaca plastik. Aku membeli semuanya, ya ketujuh membernya.

"Baiklah, harus ku letakkan dimana yah Oppa-Oppaku ini." Ucapku berpikir. "Ah ya, dimeja rias saja." Aku mulai menata mereka dengan rapi.

"V oppa, Namjoon oppa, Jungkook oppa, Seokjin oppa, Jhope oppa, Suga oppa, dan... Eh?" Aku menjatuhkan BTS stand-nya Jimin. Untung itu terbuat dari kaca plastik dan tidak pecah, aku terlalu bersemangat.

"Olivia, apa itu?!" Teriak Ibu yg terkejut dengan suara yg aku buat tadi.

"Bukan apa-apa bu, aku hanya tidak sengaja menjatuhkan barangku!" Teriakku balik. Ibu menyuruhku untuk berhati-hati.

Aku mengeluh dengan perbuatanku sendiri, BTS Stand Jimin-ku jatuh dan mengelinding ke bawah kasur. Aku menunduk malas dan memasukkan tanganku ke bawah kasur, meraba permukaan lantai untuk mencari Jiminku. Namun aku tak sengaja menyentuh sesuatu, aku terkejut dan langsung menyingkirkan tanganku dari bawah kasur.

"A-apa itu barusan? Aku tidak boleh teriak, nanti ibu bertanya lagi." Ucapku gemetar. Rasanya aku barusan menyentuh kepala seseorang, rambutnya sangat halus. "Ah tidak, jangan-jangan itu hantu. Aku memilih kamar yg ada hantunya, ya ampun... Sudah terlanjur untuk berkemas lagi, semua barang-barangku sudah dipindahkan kesini." Keluhku.

Aku mengintip Ibu yg sedang menata ruang tamu, aku menutup pintu kamarku perlahan agar Ibu tidak mendengar apapun. Aku takut, tapi aku penasaran hantu jenis apa yg menghuni kamar baruku ini, lagipula aku sudah terbiasa toh, aku harus memberanikan diri, aku harus memeriksa ke bawah kasur dan mengambil BTS Stand Jimin-ku.

Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Pelan-pelan aku mendekati kasurku dan menunduk, menaikkan sprei kasurku yg panjang ke atas. Aku membuka mataku dan aku akhirnya melihat sosok itu. Seorang anak laki-laki yg keliatannya lebih tua dariku. Matanya hitam dan gelap seperti terowongan yg dalam, wajahnya pucat, dan ia tersenyum lebar padaku, tangannya terulur memberikan BTS Stand Jimin-ku.

"Nih…” Ucapnya.

Aku menutup mulutku untuk menahan teriakanku, secepat kilat aku merampas Jiminku dan berdiri mendekati pintu, lalu langsung keluar dari kamarku dan menutup pintu kamarku dari luar.

"Olivia ada apa? Kenapa kau terengah-engah." Ucap Ibu yg heran melihatku memeluk BTS Stand Jimin dengan nafas yg ngos-ngosan.

Aku tersentak oleh Ibu dan merapikan rambutku yg sedikit berantakan. "A-anu... A-aku tadi, aku tadi lagi nge-dance pake lagu Boyband favorite ku." Ucapku tersenyum lebar dan mengangkat BTS Standku.

"Loh? Terus kenapa kau tiba-tiba keluar dan menutup pintu kamarmu? Wajahmu seperti habis liat hantu." Ucap Ibu, ia menatapku dengan tajam. Aku terus tersenyum agar Ibu tidak curiga.

Ia mendekatiku. "Kau ini aneh sekali. Minggir, coba Ibu lihat apa yg sedang kau kerjakan dari tadi." Ucapnya. Aku lansgung memegangi pintu kamarku.

"Ibu, jangan masuk dulu. A-aku belum selesai membereskan semuanya." Ucapku gugup.

"Apa sih, ibu kan cuma ingin memastikan." Ibu menepis tanganku dan menerobos masuk.

"Ibu! Sudah kubilang jan-"

Dan aku melihat anak laki-laki itu berdiri disudut kamarku. Dia cukup tinggi, Ia seperti mengenakan seragam sekolah, tapi model seragamnya terlihat sudah sangat lama, mungkin seragam tahun 90-an. Rambutnya hitam tertata rapi dengan poni panjang yg sedikit menutupi wajahnya, dia hanya tersenyum simpul, masih dengan mata hitamnya yg mengerikan. Aku hanya bisa terdiam saat Ibu masih ada di dalam, mataku masih fokus ke anak laki-laki itu.

"Apa ini? Kau belum mengeluarkan semua barang-barangmu dari kardus, dan coba lihat ini, banyak sekali debu dimeja riasmu, sprei kasurmu juga berantakan. Olivia, malam ini kita sudah tinggal disini, apa kau mau tidur dengan kamar yg berdebu seperti ini?” Umpat Ibu. Aku hanya memutar bolaku.

"Iya iya Ibu, aku tau. Aku akan sapu lantai dan lap mejanya. Tinggal sedikit lagi kok." Ucapku, aku masih curi-curi pandang kepada hantu dipojokkan tadi, untunglah Ibu tak bisa melihatnya.

"Hadeh. Baiklah. Ibu akan membereskan dapur dan memasak makan malam, saat ibu selesai memasak, kau juga harus selesai dengan kamarmu. Yah?" Ucap Ibu tegas. Aku mengangguk dan Ibu akhirnya keluar dari kamarku.

Aku kembali menutup pintu kamarku namun tepat saat aku berbalik, hantu laki-laki itu tiba-tiba berpindah tempat, sekarang dia tepat berada di depanku. Lagi-lagi aku harus menutup mulutku untuk menahan teriakanku.

"Apa... Kau bisa... Melihatku? Nona." Ucapnya. Suaranya serak dan lembut, suara laki-laki yg maskulin sekaligus manis. Namun tetap saja, matanya membuatnya seram.

"To-tolong... Jangan terlalu dekat." Pintaku, dan aku menyingkir dari hadapannya.

"Kau tidak takut?" Tanyanya lagi, sembari memiringkan kepalanya.

"Hentikan, te-tentu saja aku takut, kau itu hantu. Siapapun pasti takut sama hantu." Jawabku, aku sesekali memalingkan wajahku dari pria tinggi tersebut.

Dia terkekeh. Aku hanya menaikkan alisku, tak tau apa yg lucu baginya. Dia tiba-tiba menghilang dan muncul tepat dibelakangku.

"Kau sangat menarik, nona." Bisiknya, aku merasakan panas di telinga kananku. Dia berbisik tepat ditelingaku, membuatku tersentak dan berbalik.

"Aduh... Bisakah kau tidak mengangguku? Aku baru saja pindah bersama Ibuku. Tolong jangan buat kami tidak nyaman di apartemen ini. Dan ini sekarang jadi kamarku." Jawabku, entah kenapa aku malah jadi lancar bicara, padahal tadi aku terbatah.

"Benarkah? Mulai sekarang, ini adalah kamarmu?" Ucapnya lagi. Aku mengangguk. Dan dia kembali terkekeh.

"Haha, sepertinya kau tidak takut padaku. Kau hanya cemas Ibumu tau. Yah, usahaku gagal." Ucapnya.

"Ti-tidak, aku takut kok! Aku benar-benar takut!" Bantahku.

Hantu itu mendekatkan wajahnya, dan aku bisa melihat ia merubah matanya menjadi mata normal. Mata hijau yg sangat indah. Saat itu aku menyadari wajahnya yg benar-benar tampan bak karakter komik. "Hmmm.." Gumam hantu itu. Aku tidak bisa berhenti mengagumi matanya.

"Tidak, kau tidak takut, aku pikir sekarang tidak ada gunanya menunjukkan wujud seramku. Energiku akan banyak terkuras." Ucapnya dan menghela nafas.

Aku masih bengong dan terdiam menatap matanya. Hantu itu balik menatap heran kearahku. "Hey? Kenapa melihatku seperti itu nona?" Ucapnya dan menjentikkan jarinya. Namun aku tetap fokus dengan mulut yg mengangah.

Dia terkekeh kecil, dan itu terdengar sangat manis, sungguh sekarang aku seperti melihat malaikat bukannya hantu. Tapi kemudian kegagumanku tidak bertahan lama. Aku kesal, benar-benar kesal pada akhirnya karna…

"Baaaa!" Hantu itu tiba-tiba mengeluarkan kembali mata hitam seram miliknya.

"Aaahhkkk!!!" Teriakku histeris.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel