Chapter 6: Mayat Maya Ditemukan
Gubraaakk
Salah satu cewek dengan behel dan rok super pendek menendang kursiku hingga membentur dinding.
"Hentikan, aku dan Brian tidak ada hubungan apapun! Kau bisa tanya sendiri padanya." Teriakku dengan air mata bercucuran.
Devi menjambak rambutku dan membuatku mendongak. "Oh ya? Lalu kenapa kalian selalu berduaan diluar sekolah? Kau sudah tau kan, Brian itu milikku!" Bentaknya.
3 temannya yg lain yaitu Reffa, Elina, dan Okta hanya berdiri mengelilingiku dengan tangan yg disilangkan.
Saat ini jam pulang sekolah, mereka tidak membiarkanku pergi untuk pulang dan mengancam anak-anak lain yg berani melaporkan mereka. Sekarang inilah aku, tak ada yg peduli menolongku karna takut. Apakah ini yg dirasakan Maya? Aku sungguh minta maaf untuknya.
"Brian yg selalu memintaku naik ke motornya dan mengantarku pulang, aku sudah beberapa kali menolak tapi dia tetap memaksa. Sungguh, aku tidak punya maksud lain!" Jawabku.
Devi berdecih dan menamparku dengan keras. Tanganku diikat dan aku tidak bisa melakukan apapun. Temannya hanya terkekeh. "Mana mungkin Brian seperti itu, kau yg pasti sudah merayunya dengan wajah sok cantikmu itu, ya kan? Ngaku?!" Bentaknya.
Aku menggelengkan kepala dan menangis sejadi-sejadinya. "Sumpah, aku tidak pernah merayu Brian. Tolong hentikan semua ini, aku tidak salah apa-apa!" Rengekku.
Devi berdiri dan menyuruh salah satu temannya untuk mengambilkan sesuatu. Dan saat itulah mataku melotot, Okta memberikan pisau lipat kepada Devi.
"A-apa yg mau kau lakukan? Ja-jangan macam-macam!" Ucapku gemetar.
Devi hanya terkekeh begitu pula dengan yg lainnya. "Kesalahanmu itu mendekati Brian dan menggodanya, dasar pelacur! Biar kamu tidak menggoda cowok lain, mukamu itu harus di ukir ulang dulu. Hahaha."
"Tidak! Aku mohon, jangan lakukan ini Devi! Lepaskan aku!" Teriakku histeris. Reffa dan Elina mencengkram lenganku dan membuatku berdiri, mereka mendorongku ke tembok, sedangkan Okta disuruh menjaga pintu kelas dan memastikan tidak ada saksi.
Tak terhitung berapa ton air mata yg aku keluarkan hari ini, suaraku serak karena terlalu banyak berteriak. Devi mulai mengangkat tangannya dan mengarahkan pisau lipat itu ke wajahku. Aku benar-benar takut, namun aku sadar bahwa mereka tidak memegangi kakiku, aku langsung menendangnya sekuat tenaga hingga Devi tersungkur ke lantai, pisau lipat itu lepas dari tangannya dan terpelanting entah kemana.
Aku kira aku bisa lolos, tapi kenyataannya tidak semudah itu. Tanganku masih diikat dan dipegangi oleh 2 teman sialannya ini, belum lagi si gendut Okta yg menghalangi pintu keluar. Sekarang Elina mengikat kedua kakiku dengan solasi ban. Devi menggeram dan ia terlihat sangat marah. Ia berdiri dan menepuk-nepuk singkat roknya yg kotor bersentuhan dengan lantai.
"Kau pikir kau siapa, beraninya menendangku?!" Bentaknya.
Ia maju dengan tangan yg dikepalkan. Seperti dugaanku, ia memukul wajahku dengan keras. Rasanya benar-benar perih, aku bisa merasakan sesuatu yg asin disudut bibirku dan pipiku sangat sakit.
"Dari dulu, kau memang sok berani, bertingkah jadi pahlawan buat Maya! Kaulah yg sudah melaporkan kami dengan wali kelas waktu itu kan? Cih, orang sepertimu harus dimusnahkan dari sekolah ini." Ucap Devi dengan alis yg diturunkan.
Mendengar itu aku teringat dengan Maya. Spontan aku langsung membentak balik. "Apa yg sudah kalian lakukan pada Maya? Dimana dia sekarang?!"
Mereka ber-4 langsung terdiam dan menatapku dengan tatapan seakan membunuh. Devi mengambil sesuatu di laci mejanya, dia mengambil gunting besar yg biasa digunakan untuk berkebun. Seketika aku langsung melotot, aku berusaha melepaskan diri tapi tak ada gunanya.
"Kau mau tau apa yg terjadi dengan Maya? Kami memotong jari-jarinya.” Jawabnya dengan seringai.
Aku tidak percaya, mereka sangat kejam pada gadis baik seperti Maya. "Dasar Iblis! Tega sekali kalian memotong jarinya dan membunuh Maya, kalian tidak punya hati!" Bentakku dengan air mata yg tak henti-hentinya mengalir.
"Ssssstt!" Bisik Devi dan menempelkan jari telunjuknya dibibirku. Ia mengangkat gunting besar itu dan tersenyum miring. "Tidak tidak, kami tidak membunuh Maya. Itu hanya unsur ketidaksengajaan. Tadinya kami hanya ingin mengajaknya bermain di gudang sekolah. Tapi dia meronta-ronta dan Reffa melepaskan cengkramannya, saat itulah ia tersungkur ke arahku dan menancap tepat di gunting yg sedang aku pegang ini." Jelasnya.
"Dia tidak akan mati kalau kalian tidak menyiksanya seperti itu! Kalian pembunuh, lepaskan aku!" Bentakku.
"Setelah mendengar ceritaku, kau pikir kami akan melepaskanmu begitu saja? Haha, aku rasa kau sebaiknya menyusul temanmu itu SEKARANG!" Teriak Devi, dan ia mengangkat gunting itu.
Aku memejamkan mataku dan meringis. Aku kira hari ini hidupku akan berakhir, namun Maya muncul, ah tidak, hantunya Maya.
Devi menurunkan tangannya dan mereka berempat langsung menoleh ke arah yg dituju. Maya berjalan mendekati kami, namun tidak seperti yg aku lihat di toilet waktu itu. Ia tampak normal, hanya saja wajahnya pucat. Sontak mereka ber-4 langsung terkejut dan mundur beberapa langkah.
"Ti-tidak mungkin. Maya? Tapi kau sudah mati!" Ucap Devi. Mereka terus mundur hingga tersentak di tembok. Maya melirikku, ia membuka ikatan ditangan dan kakiku. Lalu, ia mengangkat tangannya dan entah bagaimana tubuh mereka terangkat, seolah sedang digantung dengan rambut mereka.
Ruangan ini dipenuhi oleh teriakan histeris dari mereka ber-4. Mereka sangat kesakitan dan meminta Maya menghentikan perbuatannya. "Maya maafkan kami, tolong lepaskan kami! Ahh, sakit sekali!" Teriak Devi dan yg lainnya.
"Jika aku lepaskan, kalian akan membully lebih banyak anak-anak tak bersalah. Cukup aku yg terakhir." Ucap Maya. Kata-katanya membuatku terharu. Air mata tipis mengalir dipipiku, aku sangat menyesal tidak membantu Maya lebih keras, dia sangat baik, tapi rasa takut menguasaiku dan membuatku lemah.
"Maya, kami janji, kami tidak akan membully anak-anak lagi!" Teriak Devi.
"Ya, tolong lepaskan kami! Rambutku bisa copot dari kepalaku, ini sakit sekali!" Lanjut Elina. Dan Maya hanya tersenyum miring.
Aku tidak tega melihat mereka ber-4, aku bisa melihat ubun-ubun mereka mengalir banyak darah. Aku tau mereka jahat, tapi aku rasa ini sudah cukup, aku yakin mereka sudah kapok. Aku mendekati Maya dan menepuk pundaknya.
"Maya... A-aku mohon, lepaskan mereka. Aku rasa mereka sudah cukup jera." Bujukku. Maya menurunkan tangannya dan mereka langsung jatuh menimpa lantai. Aku bisa melihat dari akar-akar rambut mereka mengeluarkan banyak darah.
"Bagaimana rasanya di bully, Olivia Bella? Apa yg mereka lakukan padamu tidak seberapa denganku." Jawab Maya menunjuk mereka ber-4.
"Maafkan kami Maya, kami menyesal. Sungguh!" Teriak Devi sembari menyatukan kedua tangannya.
"Jadi sekarang, kau mau balas dendam dan membunuh mereka?" Tanyaku datar. "Kalo begitu... Kau juga tidak ada bedanya dengan mereka." Lanjutku.
Maya mengeryitkan dahinya dan menatap tajam kearahku. Tiba-tiba ia langsung berubah ke bentuk menyeramkan yg aku temui di toilet waktu itu. Ia menggeram dan melempar semua kursi ke arah kelompok Devi yg sudah sekarat. "Maya hentikan!" Teriakku. Namun kursi-kursi itu terlanjur menimpa mereka hingga mereka pingsan karena terbentur dikepala.
"Rasanya menyakitkan! Kau tidak melihat apa yg mereka perbuat padaku sampai aku jadi seperti ini kan?! Kau tidak mengerti apa yg aku rasakan." Bentak Maya.
Aku sesekali memalingkan wajah saat Maya mendekat kepadaku, wajahnya benar-benar seram. "Sudah cukup, hentikan semua ini Maya, mereka sudah mendapatkan ganjarannya. Mana Maya yg aku kenal dulu? Gadis baik dan penyayang, kau tega membunuh mereka?" Ucapku tegas.
Maya terdiam dan menunduk. Ia kembali melirik gadis-gadis yg sekarang pingsan dengan tubuh yg penuh luka memar.
"Aku akan menemukan mayatmu dan mengabari keluargamu. Aku mohon, buang rasa dendammu sekarang dan maafkan mereka. Aku ingin kau beristirahat dengan tenang, kau gadis baik, kurasa ini adalah jalan tuhan agar kau tidak perlu melalui berbagai penderitaan lagi. Kembalilah." Bujukku. Aku mendekatinya dan memberanikan diri untuk memegang tangannya.
Saat itu juga, Maya berubah menjadi wujudnya yg normal lagi. Air matanya menetes ditanganku dan ia mendongak. Aku bisa melihat bibir pucatnya, Maya menyunggingkan senyuman.
"Maafkan aku, Olivia. Aku malah bersikap seperti orang jahat. Maafkan aku." Ucapnya terisak dan langsung memelukku. Aku tidak terlalu takut karna wujudnya tidak seram lagi. Aku memeluknya balik.
"Aku ada di gudang sekolah, mereka menimbunku dengan semen ditembok dan mengecat nya, kau bisa menemukan warna yg sedikit berbeda di dindingnya. Tolong temukan aku." Ucap Maya tersenyum.
Aku tak habis pikir, kelompok Devi ini memang kejam sekali, bukannya mengubur malah menyembunyikan mayatnya. Pantas tak ada yg tau dimana ia berada. Aku mengangguk dan balas tersenyum.
"Oh dan, tolong katakan pada keluargaku bahwa aku menyayangi mereka. Katakan pada mereka untuk tidak perlu larut dalam kesedihan terlalu lama, aku baik-baik saja. Terima kasih, Olivia Bella." Lanjut Maya.
"Sama-sama. Semoga kau bahagia disana." Jawabku, aku menghapus bekas air mata dipipiku dan tersenyum lebar.
Maya mundur dan perlahan memudar hingga akhirnya menghilang bagaikan debu. Aku akan sering berkunjung ke makam Maya nanti, aku tidak akan melupakan teman seperti Maya.
***
"Disini pak, aku yakin Maya ada di dalam sini." Ucapku setelah menelusuri dinding gudang sekolah.
"Baiklah, ayo kita lihat." Ucap pak polisi itu.
Mereka menyuruh tukang untuk menggebor temboknya, ada banyak orang disini, bahkan kepala sekolah juga nampak panik menunggu hasilnya. Setelah beberapa lama akhirnya kami menemukan Maya, mayatnya dibungkus dengan plastik dan kami bisa mencium bau formalin yg sangat menyengat. Dibawah lubang itu, tepatnya dibawah kaki Maya ada sebuah kotak. Kami membukanya dan itu berisi Lilin yg mengeluarkan aroma yg harum, serta beberapa buku, tas, sepatu, dan sebuah toples berisi air.
Kami semua terkejut saat pak Polisi mengangkat toples itu. Isinya adalah jari manusia. "Itu jari Maya pak, mereka memotong jarinya." Sahutku. Petugas medis langsung mengecek Mayatnya dan benar saja, tangan Maya hanya ada telapaknya saja tanpa jari-jemari. Semua bukti telah mereka sembunyikan dengan baik, agar baunya tak tercium ia menambahkan lilin beraroma dibalik tembok ini. Aku benar-benar prihatin pada Maya, semoga dia benar-benar beristirahat dengan tenang. Polisi membawa mayat Maya untuk diotopsi. Semua barang milik Maya akan dikembalikan ke rumah orangtuanya. Beberapa anak yg melihat ini ada yg menangis bahkan muntah.
Aku berulang kali dibawa ke kantor sebagai saksi untuk memberikan keterangan. Devi, Reffa, Elina, dan Okta masih diobati dirumah sakit. Mereka tidak dimasukkan ke penjara karna masih dibawah umur. Mereka hanya menerima beberapa hukuman dan denda. Mereka pasti menyesali semuanya.
Selama beberapa hari berita tentang Maya selalu muncul di koran dan TV. Sekolah kami terus didatangi oleh banyak wartawan. Aku sudah menyampaikan amanat Maya kepada keluarga mereka. Mereka berterima kasih padaku karna telah menemukan Maya. Hari itu, aku berjalan dengan kepala yg tertunduk ke sekolah, aku tau semua anak-anak lain berbisik-bisik tentangku yg mengetahui letak mayat Maya.
Brian menegurku di koridor sekolah.
"Apa?" Jawabku judes.
"Aku turut berduka untuk temanmu itu. Aku tidak tau kalau kau sampai dibully karna aku, aku benar-benar minta maaf." Ucapnya.
Aku sedikit meringis karena bekas luka tonjokan Devi waktu itu masih belum pulih disudut bibirku, membuatku sedikit sulit bicara. "Tolong jauhi aku." Jawabku singkat dan berbalik. Namun Brian mencegatku. Aku menepis tangannya.
"Hentikan! Sudah kubilang jauhi aku! Maya dan aku jadi korban pembully-an karna kau, aku tidak tau berapa banyak lagi cewek yg bernasib sama sepertiku karena wajahmu itu. Tolong, berhenti mendekati cewek lagi, bersikaplah dingin atau terserah tapi jangan sok perhatian pada siapapun dan menimbulkan rasa salah paham lagi." Bentakku dengan air mata yg perlahan mengalir deras, aku benar-benar emosi saat itu. Aku sadar, aku dulu memang menyukainya, tapi rasa sukaku lenyap seketika saat aku mengingat Maya.
Brian terlihat mengagah tak percaya dan perlahan menundukkan kepalanya. Aku tau ia merasa sangat bersalah padaku. "Maafkan aku, aku benar-benar tidak tau." Ucap Brian dengan suara yg nyaris tak terdengar.
"Sebenarnya, aku menyukai Maya. Semenjak dia hilang, entah mengapa wajahmu mirip dengan Maya, dan sekarang aku menyukaimu. Maafkan aku, tolong maafkan aku." Lanjutnya.
Aku terdiam. Aku tidak menyangka, itu menjelaskan perhatian khusus yg ia berikan padaku selama ini. Tapi sudah terlambat, aku sudah terlanjur sakit. Aku mengusap air mataku dengan telapak tangan. "Mulai sekarang, jangan pernah bicara lagi padaku. Anggap saja aku tidak ada di sekolah ini." Ucapku dan berbalik.
"Tunggu Olivia, kau tidak bisa memperlakukanku seperti ini, aku benar-benar menyukaimu. Aku mohon, maafkan aku." Lagi-lagi ia menarik tanganku.
"Untuk apa kau minta maaf? Ini memang bukan salahmu, tapi aku mohon jaga sikapmu terhadap murid perempuan di sekolah ini agar salah satu dari mereka tidak bernasib sial sepertiku dan Maya. Lepaskan aku!" Bentakku lagi.
"Ta-tapi Olivia, aku..."
"Sudah cukup! Brian lihat sekelilingmu... Semua cewek menatapku dengan tatapan seakan ingin membunuh.
Apa kau tidak mengerti?! Aku akan menderita jika kau masih mendekatiku, tolong lepaskan aku!" Teriakku, kali ini aku menepis tangannya dan lansgung berlari keluar, moodku untuk sekolah hilang, dan aku memilih untuk bolos walaupun aku sudah sampai disekolah.
Sesekali aku melirik ke belakang sembari berlari, Brian terlihat sangat kecewa, aku bisa melihat setetes air mata mengalir tipis dipipinya. Dia memang tidak bersalah, tapi aku tidak punya pilihan lain, aku tidak mau dibully untuk yg ke-2 kalinya oleh kelompok yg berbeda. Kita tidak tau siapa saja yg diam-diam sedang menyusun rencana dan membenci kita.
Setiap minggu aku selalu mengunjungi makam Maya dan meletakkan bunga. Rasanya hatiku masih hancur, melihat seberapa sadis perbuatan yg dilakukan oleh mereka kepada Maya. Setiap kali aku masuk ke kelasku, air mataku selalu menetes, tempat duduk Maya telah diisi oleh murid lain, tapi aku masih merindukannya dan merasa Maya masih duduk disana dan bersekolah seperti biasa.
Selamat tinggal, teman baikku.
