Chapter 4: Sonia Lenyap
"Olivia! Oh sayang, ada apa denganmu?!" Tegur Ibu. Aku merasa lega mendengar suaranya. Ibu menghampiriku dan memelukku dengan erat. Aroma parfume Ibu selalu membuatku tenang.
"Kenapa wajahmu memar semua? Ya ampun, tanganmu..." Ucap ibu. Aku tau dia khawatir. Dia selalu khawatir.
"Aku tidak apa, bu." Potongku cepat.
Ibu menghela nafas dan kembali memeluk singkat diriku. "Baiklah, ayo pulang dan bersihkan dirimu."
"Tidak! Aku tidak mau!" Teriakku menepis tangan ibu dan menjauh. Aku sangat takut, aku tidak berani kembali lagi kesana.
"Kenapa? Kau terlihat ketakutan, ada apa dirumah?" Tanya Ibu kebingungan.
"Aku tidak mau pulang ke rumah." Bantahku. "Setidaknya... Sampai besok." Ucapku. Aku tidak tau alasan apa yg harus aku katakan.
"Tapi Olivia, kau harus..."
"Tidak! Kalau Ibu mau pulang ke rumah silahkan, aku tidak mau!" Bentakku. Aku berbalik dan berniat untuk pergi namun Ibu menegurku.
"Baiklah, kita tidak akan pulang. Tapi jangan pergi, lihat kondisimu..." Ucapnya dan mendekatiku. "Kau penuh dengan luka, kita akan menginap di Motel untuk malam ini. Tapi kau harus janji, besok kita pulang yah?" Lanjutnya.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Aku berharap, besok Sonia tidak mengangguku lagi. Ibu menarik tanganku masuk ke mobil. Kami berhenti di toko swalayan, Ibu turun untuk membeli beberapa baju ganti untukku, kami juga berhenti di restoran cepat saji dan memesan banyak makanan. Ibu menyewa Motel untuk 1 malam dan kami masuk sambil menenteng beberapa kantong makanan dan belanjaan. Ibu baru saja menerima bonus, jadi dia punya banyak uang untuk membeli ini semua. Ibu sengaja bekerja keras, agar nanti saat ayah meninggalkan kami, Ibu punya cukup uang untuk memenuhi kebutuhan kami. Dia memang Ibu yg terbaik.
Aku membersihkan diri dan mengganti pakaianku dengan piyama yg baru saja Ibu beli, begitu pula dengan Ibu. Aku merasa nyaman dan aman dimotel ini. Dengan suhu AC yg pas dan kasur Queensize yg cukup untuk dua orang, motel yg sempurna. Kami duduk lesehan dan menyantap makanan kami.
"Apa ayah memukulimu lagi?" Tanya Ibu disela acara makan kami. Aku berpikir keras. Tapi aku tidak cukup cerdas untuk mengarang banyak hal.
"Aku hanya, terjatuh dari tangga." Ucapku, pura-pura bersikap setenang mungkin sambil menghirup minuman soda-ku. Tapi Ibu mencatuk kepalaku dan membuatku tersentak. "Aduh."
"Kau jatuh dari tangga, tapi sikapmu seolah tak terjadi apa-apa!" Bentak Ibu. Aku tau dia hanya khawatir dan kesal dengan tingkahku. Aku hanya anak SMP yg belum mahir berbohong. Aku bahkan tidak memikirkan banyak hal sebelum berbuat sesuatu. Bersikap seolah aku bisa melakukan apapun dan tidak memerlukan bantuan, padahal aku salah. Setidaknya, aku belajar dari kesalahan.
"Maaf, bu." Ucapku menunduk. Ibu hanya menghela nafas dan menggelengkan kepala.
"Ibu sudah telepon ayah dan bilang kita akan menginap dimotel. Dia memang marah, tapi Ibu janji kita akan pulang besok siang." Ucap Ibu, aku melotot dan menghentikan acara makanku. Aku teringat sesuatu.
"Apa ayah akan pulang ke rumah sendirian? Ayah akan tidur dirumah sendirian?" Tanyaku tergesa-gesa. Ibu menatap heran ke arahku dan mengangguk.
"Tentu saja, itu rumah kita. Memangnya kenapa?" Tanya Ibu.
Aku terdiam. Mengingat si hantu anak kecil bernama Sonia itu masih berada disana dan melempar banyak benda, membuat rumah seperti sehabis gempa bumi. Serta coretan di kaca cerminku, sobekan foto. Apa yg harus kulakukan? Aku tidak tau bagaimana reaksi ayah saat melihatnya. Aku melirik jam di ponsel Ibu, menunjukkan pukul 8 malam. Ayah sudah pulang 2 jam yg lalu.
"Ibu, apa ayah tidak mengatakan apapun tentang rumah?" Tanyaku ragu.
"Tidak, tidak ada. Kenapa?" Jawab Ibu. Aku hanya tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. Apa yg sudah dilakukan Sonia? Aku tidak tau bagaimana nasib ayah sekarang, dia sedang apa?
Ugh! Untuk apa peduli. Dia Iblis, setan itu temannya. Dia jahat sama seperti Sonia. Masa bodoh dengan ayah kejam itu.
Aku kira malam ini aku akan tidur nyenyak. Tapi nyatanya tidak. Saat aku ke toilet untuk membasuh tanganku, aku melihat seorang gadis yg keliatannya seumuran denganku, duduk di atas wastafel. Baiklah, aku tidak akan terkejut. Aku menutup mulutku secepat kilat sebelum aku mengeluarkan suara dan berbalik, menutup lagi pintu toilet dan mengurungkan niatku.
"Olivia, ada apa?" Tanya Ibu saat melihatku berperilaku aneh.
"Ah tidak, tanganku... Sudah bersih." Jawabku dan tersenyum masam.
Tadinya aku berharap dia tetap di dalam toilet, namun aku salah. Saat Ibu sudah tidur, pintu toilet terbuka sendiri, tapi yg kulihat hantu itu yg membukanya. Aku gemetar dan menarik selimut sampai menutupi separuh wajahku.
"Aku mohon jangan mendekat. Jangan mendekat..." Gumamku dalam hati.
Gadis itu menghentikan langkahnya. Dia berbalik dan malah duduk disudut ruangan. Dia mendongak, aku akhirnya bisa melihat wajah pucatnya. Tak ada yg hancur dan aneh dari wajahnya seperti Sonia ataupun wanita yg aku lihat di sekolah. Hanya wajah putih polos yg cantik dan mata yg normal, namun kantung matanya sangat hitam, bibirnya pucat, dan dia memasang ekspresi datar. Baiklah... Aku tidak tau apakah aku sedang di ganggu atau tidak?
Dia tidak menyeramkan, namun tetap saja seram saat hal itu hanya kau yg bisa melihatnya. Ibu tidur dengan lelap, aku tau dia kelelahan, aku juga, aku harusnya bisa tidur nyenyak. Tapi karena makhluk ini, aku tidak bisa. Aku sadar bahwa disemua tempat pasti ada penunggunya. Makhluk itu hanya menatapku terus-terusan dari pojokan. Itu menyeramkan, bisa kau bayangkan jika seseorang terus melihatmu dan mengawasimu ketika kau tidur?
Dia tidak melakukan apapun selain menatapku tajam tanpa ekspresi. Aku terpaksa membangunkan Ibu dan pindah posisi, aku tau ibu sama sekali tak bisa melihat hantu itu jadi percuma kalo aku mengadu soal ini. Aku menutup wajahku dengan bantal. Berharap untuk segera terlelap dan mengabaikannya.
***
"Baiklah sayang, tolong masukkan barang-barang ini ke dalam. Ibu harus langsung pergi ke kantor. Tugas Ibu sudah menumpuk." Ucapnya dan menyodorkan beberapa kantong dan tas kepadaku.
"Tapi bu, aku sendirian dirumah." Jawabku.
"Hm? Kau kan sudah biasa sendirian. Kau sudah cukup besar untuk jaga rumah. Ibu harus berangkat sekarang. Telepon Ibu jika kau butuh sesuatu.” Ucapnya dan mengecup singkat dahiku.
Aku terdiam dan menghela nafas. Tubuhku mulai gemetar saat menatap pintu rumahku sendiri. Aku mengambil kuncinya yg diletakkan ayah di bawah pot bunga dan membuka pintu rumahku. Di dalam sangat gelap, dan hembusan angin yg aneh menabrak wajahku saat aku membuka pintu, membuat suasana merinding walaupun saat ini masih siang bolong. Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, menenteng barang-barang tadi dan meletakkannya di meja ruang tamu. Suara langkah kakiku benar-benar terdengar jelas dan menggema. Aku membuka seluruh gorden di ruangan ini sehingga sinar matahari bisa masuk dan tidak gelap lagi.
Sejauh ini aku belum melihat Sonia. Dimana dia?
Tiba-tiba aku mendengar suara pintu yg dibuka perlahan. Aku menoleh ke lantai atas, itu adalah pintu kamarku. Oh tidak, aku rasa itu Sonia. Mungkin dia ada disana. Sumpah aku benar-benar ketakutan disini, tapi aku tidak punya banyak pilihan. Sekarang masih jam 11 siang. Untuk jaga-jaga, aku membuka semua jendela rumahku lebar-lebar dan membuka pintu keluar rumahku. Aku mengumpulkan semua keberanian dan menaiki anak tangga satu persatu dengan langkah pelan nyaris tak terdengar.
Aku mendekati pintu kamarku yg terbuka itu dan meraih gagang pintunya. Langsung membukanya tanpa aba-aba. Namun tidak ada apa-apa. Aku melihat ponselku masih di tempat yg sama, diatas kasur. Aku berlari dan mengambil ponselku. Aku tidak mengisi dayanya, baterainya sekarang tinggal 20% dan disini lumayan gelap karena gordenku masih tertutup. Aku segera membukanya. Aku rasa ayah yg menutup semua gorden sebelum dia pergi.
Dan aku ingat bahwa Sonia menulis dengan lipstikku di cermin meja riasku. Dan saat aku melihatnya, tidak ada tulisan apapun. Alat-alat makeup dan Lipstikku masih tersusun rapi diatas meja. Aku sadar bahwa rumah ini masih terlihat seperti sebelum Sonia mengacak-ngacaknya. Apa aku hanya berhalusinasi? Apa aku bermimpi? Ah tidak, aku terjatuh dari tangga dan luka-luka. Tidak mungkin ini mimpi. Aku mengingat dengan jelas apa yg terjadi kemarin.
Mungkin ini perbuatan Sonia, dia hantu yg kuat dan bisa melakukan apapun. Dia sengaja membuatku terlihat konyol saat aku menceritakan semua kejadiannya pada orangtuaku. Tapi sayangnya, aku tidak bercerita apapun soal itu. Usaha yg bagus Sonia.
Aku mengambil charger ponselku dan turun ke bawah. Aku tidak berani berlama-lama di lantai atas. Setidaknya aku berada dekat dengan pintu keluar. Aku memilih untuk mengisi daya ponselku di stok kontak dekat TV. Aku masih belum tenang, walaupun Sonia belum menampakkan dirinya aku masih was-was. Aku duduk disofa untuk beberapa menit, aku sama sekali tak bisa tenang, mataku melirik kemana-mana.
20 menit...
50 menit...
1 Jam...
Aku menghabiskan waktu selama itu hanya duduk disofa, mengawasi sekitar selama 1 jam. Cukup. Aku bosan. Aku berdiri dari posisi dudukku dan menarik nafas dalam-dalam. Aku berpikir untuk ke dapur dan mengambil cemilan namun tiba-tiba..
Bug!
Seseorang melempar bantal sofa ke arahku dan mengenai kepalaku. Aku menunduk utk meraih bantal itu dan meletakkannya kembali ke sofa. Ini pasti Sonia. Tidak mungkin terlempar sendiri saat tak ada siapapun selain aku dirumah ini. Aku harus memberanikan diri.
" Sonia! Aku tau kau disini! Apa yg kau rencanakan?!" Teriakku. Yah, aku seperti orang bodoh, berteriak sendiri di dalam rumahku.
Aku menunggu beberapa saat. Tetap sama. Tidak ada apapun, aku hanya mendengar suara tik-tok jam dinding yg ada di ruang tamu. Sangat sepi dan hening. Ini adalah perumahan baru. Kami belum memiliki tetangga. Ayah tidak suka ada tetangga. Ya dia tidak suka semua hal.
Aku mulai bosan, aku tidak tau dimana dia sekarang tapi perutku berbunyi, ini sudah memasuki jam makan siang. Aku lupa mengeluarkan roti dan selai yg ada di kantong plastik tadi. Langsung saja aku membawa kantong itu ke dapur dan mengeluarkan beberapa makanan yg Ibu beli dari supermarket pagi tadi. Aku meletakkannya di kulkas. Kami punya banyak bahan makanan seperti daging, telur, dan lain-lain. Tapi aku terlalu malas untuk memasak, lagipula aku tidak bisa memasak apapun selain mie instan dan telur dadar. Aku melihat Yoghurt Blueberry. Tanpa berpikir panjang aku langsung mengambilnya.
Aku menyantapnya sembari berjalan ke ruang tamu. Namun aku langsung mematung saat tiba disana, tubuhku kembali gemetar dan aku menjatuhkan kotak Yoghurt-ku. Dia ada disana. Duduk diatas sofa dgn santainya.
Menoleh ke arahku dan tersenyum lebar. Sonia ada disana.
“Eh? Kenapa dijatuhkan? Bukannya kau lapar, kakak.” Ucapnya terkekeh.
Aku meneguk salivaku. Perlahan aku mendekatinya. “Sonia, a-apa yg kau inginkan?” Tanyaku.
“Kakak menderita saat pria jahat itu ada disini, bahkan disekolah pun begitu. Hidup kakak menyedihkan, kalo di duniaku.. Kakak tidak perlu merasa sedih lagi, ada banyak teman dan kita akan bersenang-senang setiap hari.” Jelasnya. Sonia berdiri dan menyatukan tangannya. “Bagaimana kalo kakak ikut aku saja?”
Aku tersentak. “Ba-bagaimana kalo aku tidak mau?”
Wajahnya tiba-tiba sedih. Aku tidak mengira dia akan bereaksi seperti itu. AKu kira dia akan marah dan mengamuk seperti sebelumnya.
“Kenapa?” Tanyanya.
Aku menoleh kanan kiri, berusaha memikirkan sesuatu. “Anu.. Ka-karna… karna aku masih hidup. Mana mungkin aku bisa ikut ke duniamu.”
Tiba-tiba dia tertawa. Ugh, ini mengerikan. Aku ingin tidak mau melihat wajah seramnya lagi tapi kalo aku pergi juga tidak tau mau kemana.
“Kalo begitu, kau harus mati dulu. Aku akan membantumu, kakak.” Ucapnya tersenyum miring.
“Tidak!” Tepisku saat tangannya hendak mencekikku.
“Tidak? berikan aku alasan yg bagus….” Ucapnya.
“Aku sudah lelah denganmu, aku ingin kau pergi dan jangan pernah mengangguku lagi. Kembalilah ke alammu.” Jawabku yg gemetaran, nafasku terengah dan aku mundur beberapa langkah.
“Jawaban yg salah!” Bentaknya. Sonia tiba-tiba mengeluarkan pisau yg sudah berlumuran darah, aku tidak tau apa pisau itu asli atau hanya ilusiku. Yg jelas aku tidak bisa diam saja. Aku berbalik untuk berlari darinya, namun pisau itu melayang dan berhasil menggores lenganku. Jika saja aku terlambat untuk menghindar maka pisau itu akan menancap dipunggungku. Goresannya cukup parah, dan banyak darah yg mengalir. Sekarang aku tau bahwa pisau itu bukan ilusi.
“Aku sudah berbaik hati dgn menawarimu ke dunia yg lebih menyenangkan, dimana kalian tidak perlu merasakan apapun dan mengkhawatirkan apapun. Tapi kau malah menolak tawaranku? Apa kau tidak lelah dgn hidupmu yg tak berguna ini?” Ucapnya.
“Aku masih punya Ibu yg menyayangiku. Setidaknya aku ingin tetap hidup utk membahagiakan ibuku suatu hari nanti.” Bentakku.
Sonia terlihat tersentak oleh kata-kataku dan kembali menggores lengan kiriku. “Kalo begitu ajak saja Ibumu, kita bertiga akan menjadi keluarga yg saling menyanyangi. Benarkan, kakak?” Ucapnya tersenyum miring.
Aku benar-benar muak dgnnya, aku tidak tahan lagi. “Kau bukan adikku! Aku tidak punya adik dan aku tidak mau punya adik yg jahat sepertimu. Berhenti mengangguku!”
“A-apa?”
“Kau hanya hantu, hentikan semua ini dan beristirahatlah dgn tenang.”
“Tutup mulutmu!”
“Apa kau tidak punya orangtua?!” Bentakku. Sonia terdiam dengan mata yg sendu, pisau yg melayang di hadapanku menghilang. Apa aku mengatakan sesuatu yg membuatnya sedih?
“Ibu dan ayahku…” Gumamnya.
“Mereka pasti sudah menunggumu diatas sana, saat melihatmu seperti ini… mereka pasti sedih karna kau tidak mengingat mereka,” Sambungku.
Cahaya putih terang yg menyilaukan mata tiba-tiba muncul dibelakang Sonia. “Aku ingat tapi…” Wajah seramnya berubah menjadi wajah gadis biasa pada umumnya, matanya tidak lagi merah menyala seperti iblis. Dia menatapku dgn banyak kesedihan dimatanya. “Aku hanya ingin bermain dgnmu, kakak.” Ucapnya. Dan cahaya itu seolah menariknya utk masuk, Sonia sempat mengulurkan tangannya padaku sebelum cahaya memakan seluruh tubuhnya hingga akhirnya lenyap.
***
Perasaanku sudah lebih baik sekarang. Aku tidak lagi merasa cemas, khawatir, merinding, dan merasa diawasi setiap saat oleh Sonia. Aku bebas seperti sebelum aku mendapatkan penglihatan sialan ini. Aku memutar musik diponselku dengan volume keras dan berusaha melupakan semuanya. Tapi aku takut, aku akan melihat makhluk-makhluk gaib lainnya yg lebih menyeramkan.Kurasa inilah takdirku yg menyedihkan. Mulai sekarang aku harus mempelajari semua hal tentang mistis. Aku berencana untuk ke toko buku dan membeli beberapa buku tentang Paranormal Activity.
Aku tidak mungkin meminta bantuan orang lain. Aku akan belajar untuk terbiasa dengan mereka. Mau tak mau aku harus terbiasa. Orang bilang semakin dewasa si anak Indigo, maka penglihatannya akan semakin memudar dan hilang seiring bertambahnya usia jika tidak dilatih. Aku melakukannya. Aku memilih untuk tidak menggali lebih dalam tentang kemampuanku atau melatihnya. Aku hanya mengabaikannya. Namun aku sadar, tidak semua anak Indigo seperti itu. Kemampuanku malah menjadi lebih parah. Maksudku, lebih jelas. Aku mulai bisa mencium bau-bau si makhluk halus itu, berkomunikasi, dan lain-lain. Aku benci kemampuan ini. Beragam cara aku lakukan untuk membuat penglihatanku lenyap namun tak ada satupun cara yg berhasil.
Sampai kapan kemampuanku ini akan bertahan?
