Chapter 13: Dia Tidak Kembali
Saat ini aku mengikuti pelajaran dikelas seperti biasanya. Michele disebelahku tak banyak bicara, kami sebangku tapi tidak dekat. Tak ada yg berani memulai percakapan terlebih dahulu, sepertinya kami sama-sama orang yg pendiam. Tadi pagi aku bangun cepat, seperti kata Edward, selangkanganku sama sekali tak terasa sakit lagi. Berbanding terbalik dengan semalam yg sangat perih.
Aku merindukannya. Aku harus akui bahwa aku menyukai Edward, si hantu mesum itu. Otakku terus menolak dirinya karna dia hantu namun hatiku berkata lain. Sekarang dia tidak ada, biasanya saat aku bangun Edward selalu memelukku dan membangunkanku dengan kecupannya. Hari-hariku selalu diisi oleh suara dan senyumnya, dulu aku jengkel setiap kali Edward ada di dekatku dan terus menggodaku. Tapi sekarang aku sadar bagaimana rasanya sehari tanpa kehadirannya. Sangat hampa. Yah, aku tau sebenarnya aku bisa memanggilnya, tapi kurasa jangan, mungkin dia sedang sangat sibuk. Dia benar-benar bertekad untuk berhubungan denganku secara normal seperti manusia pada umumnya, aku tidak bisa melarang keinginannya itu, aku tidak tega. Saat ini aku berusaha menahan hatiku untuk tidak memanggilnya, setidaknya sampai aku pulang sekolah.
"Via!" Tegur seseorang. Itu Yashita, sahabat baruku, aku punya banyak teman dan akrab dengan semua anak perempuan dikelasku, mereka semua anak yg ramah, tapi aku lebih dekat dengan Yashita. Aku berbalik dan melemparkan senyuman.
"Iya?" Jawabku.
"Ayo ke stadiun olahraga, disana sedang ramai." Ucapnya dan menggandeng tanganku.
"Ta-tapi kenapa? Memangnya ada apa disana?" Jawabku linglung.
"Eh? Kau tidak tau? Tim Ketua kelas kita sedang bertanding basket, kita teman sekelasnya kan? Harus ikut memberikan semangat pada mereka, yg lainnya sudah ada disana, aku kesini untuk menjemputmu." Jelasnya.
"A-aku tidak suka keramaian. Kau saja yg pergi. Aku akan tunggu disini." Jawabku malas, aku tidak mood karna aku sedang merindukan Edward.
Yashita menghempaskan tangannya dimejaku. Baru kali ini aku melihat wajah imutnya yg cemberut. "Kau ini bagaimana? Michele juga teman sebangkumu kan? Dan semua timnya teman yg sekelas dengan kita, kau sama sekali tidak punya rasa peduli dan saling mendukung. Kau membuatku kecewa, Olivia!" Bentaknya.
Aku terkejut karna Yashita ternyata bisa marah seperti ini. Sekarang perasaanku menjadi tidak enak. Aku berdiri dan membungkukkan badan. "Ah baiklah. Aku minta maaf, aku hanya.. Sedang ada masalah tadi, maaf yah." Ucapku menunduk.
Aku mendengar Yashita menghela nafas. "Ya sudah..." Ucapnya. "Ayo kesana." Lanjutnya dan menarik tanganku. Aku hanya bisa mengekorinya karna aku juga belum hapal letak stadiun olahraga di sekolah ini.
"Hey! Yashita, Olivia, disini!" Panggil seseorang dengan melambaikan tangan.
"Via, rombongan kelas kita disana. Ayo.." Tariknya. Aku mengikutinya, disini berisik sekali, rasanya telingaku sampai berdenging, kami berdesakan melewati beberapa anak yg sedang bersorak untuk tim kelasnya juga.
Kami berdua akhirnya sampai ditujuan, mereka bergeser tempat duduk dan membaginya dengan kami. Anak-anak dikelas ini memang peduli satu sama lain dan kompak. Aku duduk dan mataku otomatis mengarah ke arena orang-orang yg sedang bertanding. Kebetulan sekarang sedang waktunya istirahat selama 5 menit.
"Itu disana! Michele!"Teriak mereka, menunjuk ke arah yg dituju. Mereka sempat mengejutkanku, teriakkan mereka memekakkan telinga.
Aku bisa melihat dia, ciri khas rambutnya yg panjang dan setengah dikuncir memudahkan siapa saja mengenalinya. Ditengah keramaian itu, Michele menoleh ke arah barisan kami. Ia mengangkat tangannya dan membentuk peace, lalu berkedip. Yah, sekarang hampir semua gadis di stadiun ini berteriak histeris gara-gara kelakuan ketua kelas itu. Aku rasa Michele punya banyak penggemar. Dia sangat ramah dan baik, contoh laki-laki yg sempurna.
"Kau lihat dia kan? Dia selalu terlihat tampan dimanapun dan kapanpun!" Teriak Yashita disebelahku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum untuk menanggapinya. Melihat Michele mengingatkanku dengan Edward.
Aku ingin cepat pulang dan bertemu dengan Edward.
Selama hampir setengah jam kami menyaksikan pertandingan sengit ini. Dan akhirnya tim ketua kelas kami menang. Mereka bilang, ini sudah biasa, tim kelas kami memang selalu memenangkan pertandingan basket ini.
Aku tidak tau karna aku adalah murid baru. Kami bubar dari stadion setelah itu.
Mereka tak henti-hentinya membicarakan soal Michele dan pertandingan tadi, rasanya aku sudah bosan mendengarnya. Aku menghela nafas dan duduk dibangku saat setibanya dikelas. Tepat saat itu, tim Michele kembali dari stadiun dengan keringat yg bercucuran.
"Michele! Kalian tadi hebat sekali!" Sahut Yashita. Ya, sekarang mereka mengepung tim si ketua kelas itu.
"Seperti biasa, tidak ada yg bisa mengalahkan tim Michele dalam basket." Ucap anak-anak yg lain.
Aku memperhatikan si ketua kelas ideal itu, ia hanya mengangguk dan tersenyum lebar menanggapi mereka semua. Kalau aku jadi dia, aku tidak akan tahan dan meminta mereka untuk bubar. Apakah dia tidak kepanasan dikepung seperti itu? Ya kurasa aku tau kenapa aku tidak suka keramaian.
"Aduh... Tenggorokanku rasanya sakit sekali..." Keluh Yashita di depanku.
"Ya, itu karna kau terlalu banyak teriak di stadiun tadi." Jawabku sedikit terkekeh.
Michele yg sedang mengobrol dengan teman 1 timnya mencuri-curi pandang padaku. Aku tidak tau, apa yg sedang ia pikirkan.
"Yashita, Olivia, mau ke kantin tidak?" Sahut rombongan gadis dikelasku.
"Eh, iya iya tunggu.. Olivia ayo, aku juga haus nih.." Tarik Yashita.
"Kalian mau ke kantin? Ayo barengan.." Sahut rombongan cowok yg baru saja habis bertanding, ya mereka timnya Michele.
"Yashita, aku malas ke sana. Kalian saja." Ucapku menunduk.
"Dari tadi kau terlihat lemas, diajak kesini tidak mau, kesana tidak mau, kau sakit yah? Mau menitip makanan tidak?" Ucap Yashita, gadis imut ini memegang dahiku untuk mengecek suhu tubuhku.
"Tidak, tidak, aku tidak sakit. Aku disini saja, kumohon jangan memaksaku." Jawabku. Pipiku memerah lantaran semua anak menoleh kearahku, termasuk Michele yg menatapku sangat tajam.
"Via, jika kau sakit bilang padaku, aku akan mengantarmu ke UKS." Ucap Fang, ia memegang tanganku namun Yashita langsung menepuk tangannya.
"Sudah, tidak usah cari kesempatan kamu.” Ucapnya pada Fang. “ Olivia, kamu yakin baik-baik saja?" Lanjut Yashita. Aku mengangguk dan tersenyum simpul.
"Ya sudah, ayo... Via jangan kemana-mana yah, nanti kau tersesat. Hahaha." Ucap salah satu anak gadis.
Mereka terlihat akrab satu sama lain, kompak, dan baik. Lega rasanya punya teman seperti mereka, tapi terkadang aku butuh waktu untuk sendiri. Aku melirik Michele dibarisan paling belakang, ia menunduk saat menyadariku sedang menatapnya balik. Aku tidak mengerti, ada apa dengan anak itu.
Sekarang aku ada dikelas ini sendirian, yg lain sudah ke kantin semua. Aku duduk dibangkuku dan bersender di dinding. Aku hanya memainkan kalungku dan mengingat saat-saat bersama Edward, melamun seperti orang bodoh. Beberapa menit kemudian aku terkejut saat Michele dan Fang kembali ke kelas dengan botol minuman dingin ditangan mereka.
"Eh? Kalian sudah selesai makannya? Cepat sekali…" Sahutku yg melongo.
Fang terkekeh dan mendekatiku. "Aku hanya menemani Michele untuk kembali ke kelas, tanpa aku dia akan dikepung sama gadis-gadis centil diluar. Haha." Ucapnya.
"Ooh.. Memangnya ada apa?" Tanyaku lagi.
"Entahlah. Aku akan kembali ke kantin. Michele aneh... tiba-tiba dia memutuskan untuk tidak jadi ke kantin.
Merepotkan saja." Keluh Fang. Itu membuatku sedikit terkekeh.
"Hey! Sesama teman itu harus saling membantu." Sahut Michele. Aku bisa melihat pipinya yg merona.
"Iya iya pak ketua kelas... Aku tau kau hanya ingin berduaan dengan Olivia kan?” Candanya.
“Fang..!” Bentak Michele tersentak.
“Haha, bercanda. Ya sudah, aku lapar dan makananku pasti sudah dipesankan oleh mereka. Kalian berdua, awas jangan mesum yah! Hahahaha." Ledeknya Fang.
"Pergi sana, dasar!" Teriak Michele kesal dan melempar botol minumannya yg sudah kosong. Fang hanya kabur dengan tawanya yg lucu.
Aku sendiri hanya menunduk malu dan terkekeh kecil. Michele juga terlihat menunduk dan wajahnya benar-benar merah. "I-itu tadi... Jangan pedulikan ucapannya, Fang memang suka bercanda." Ucap Michele terbatah.
Ia menggaruk tengkuknya yg tidak gatal. Aku tau dia sedang malu sekarang.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum simpul. Beberapa menit kemudian, suasana menjadi canggung dan sangat sunyi karna dikelas ini hanya tersisa aku dan Michele. Aku rasa akulah yg harus memulai pembicaraan duluan, setidaknya agar kami bisa jadi lebih akrab. Lagipula, dia adalah teman sebangkuku.
Aku berdiri dan Michele sedikit tersentak saat melihatku. Ia menunduk saat aku mendekatinya. Aku duduk dibangku yg ada persis di depannya. "Michele, ngomong-ngomong, dimana rumahmu?" Tanyaku, hanya untuk basa basi.
"A-aku, rumahku cukup jauh dari sini. Aku baru pindah rumah dan aku masih belum hapal jelas nama dari alamat rumah kami yg baru." Jawabnya gugup. Aku hanya mengangguk. "Ta-tapi, kau bisa melihatnya dari daftar identitas murid dikelas ini. Aku menyimpannya dibawah loker guru. Alamat mu dan semua murid disini tercantum disana." Sambung Michele.
"Hmm, baiklah. Kapan-kapan aku lihat." Jawabku, berusaha bersikap se-santai mungkin. "Selama 2 hari aku masuk dan duduk denganmu. Kau tidak banyak bicara yah." Sambungku. Aku bisa melihat Michele menunduk dan sedikit memalingkan wajahnya.
"Ah, itu karna... A-aku tidak tau cara memulai percakapan denganmu." Jawabnya terbatah.
"Hm.. Kau tidak perlu sungkan untuk bertanya padaku. Lagipula kita teman sebangku kan? Aku orang yg cukup ramah. Hehe." Aku melemparkan senyuman agar situasinya tidak terlalu canggung. Lagi-lagi Michele menunduk.
"Iya. Kau... Sangat manis. Wajahmu selalu membuatku gugup. Maafkan aku jika aku terkesan tidak mau bicara denganmu." Ucapnya. Aku tersentak, sekarang pipiku ikut-ikutan memerah.
"Ooh? Menurutmu begitu? Te-terima kasih. Kau juga keren." Jawabku ragu. Aku memainkan kakiku karna aku benar-benar malu.
Michele sedikit terkekeh, ia berdiri dan memasukkan jaket ke tasnya. "Oh iya, apa kau baik-baik saja jika aku duduk disebelah sini? Apa kau mau bertukar posisi?" Ucapnya.
Aku berpikir sejenak, saat aku duduk disebelah dinding, sangat sulit untuk keluar karna aku harus menyuruh Michele minggir dulu, terkadang postur badan Michele suka menutupiku untuk melihat papan tulis. Kebetulan dia bertanya, yah apa boleh buat.
"Eeh ya, itu... Aku sedikit kesulitan melihat papan tulis saat duduk disebelah sana. Jika kau tak keberatan, apa boleh aku duduk disebelah sini saja?" Ucapku dan menunjuk posisi itu. Michele menatapku sayu, apa dia keberatan? Ah aku merasa tidak enak.
"Ah maaf, kalau begitu.. aku tetap disini saja." Aku berniat untuk duduk diposisiku yg sebelumnya namun Michele langsung menarik tanganku.
Aku tersandung kursi dan tak sengaja memeluk Michele, ini gara-gara dia yg menarikku secara tiba-tiba. Aku bisa melihat wajahnya dengan jelas, aku melongo dengan ketampanannya, wajah yg benar-benar sempurna.
Bening dan mulus. Michele, ia masih mencengkram tanganku dan menatapku tajam. Iris mata kami saling bertatapan selama beberapa detik hingga akhirnya aku sadar dan menepis tangan Michele dilengan dan pinggangku.
"Michele... Maaf, maaf." Ucapku dan sedikit menjauh darinya.
"Ah, tidak tidak, ini bukan salahmu, tadi aku menarikmu tapi aku tidak bermaksud untuk..." Michele menggaruk kepalanya yg tidak gatal karna tidak tau harus berkata apa. "Aku minta maaf, Olivia." Sambungnya.
Aku hanya mengangguk dan menundukkan kepalaku. "Aku tadi mau bilang, kau.. Bisa duduk disini. Aku mengerti alasanmu dan aku akan pindah ke tempatmu." Ucapnya, ia memindahkan tasnya ke bangkuku dan duduk bersender di dinding. Ia tersenyum simpul ke arahku.
"Terima kasih. Kalau kau mau keluar, bilang saja, aku akan menyingkir sebentar." Jawabku. Aku masih berdiri membetulkan seragamku yg sempat kusut.
"Iya. Kau bisa duduk sekarang, aku belum mau keluar." Ucapnya. Aku duduk perlahan dibangku yg biasanya ia duduki. Sekarang jarak kami cukup dekat, apa kau punya teman sebangku? Bisa kau bayangkan jaraknya kira-kira seperti apa? Tapi setidaknya aku lega, diposisi ini aku bisa lebih bebas.
Aku mengeluarkan bukuku saat jam istirahat sebentar lagi berakhir. Aku tau, Michele disampingku sedang memandangiku dari tadi dengan senyuman dalam diam. Saat aku menoleh ke arahnya, ia berpura-pura tak melihat, matanya mengarah ke tempat lain. Aku tidak tau apa yg ia pikirkan, apakah Michele menyukaiku? Ah tidak, tidak mungkin. Ketua kelas ideal yg punya banyak penggemar seperti dia tidak mungkin menyukai gadis sederhana seperti aku. Lagipula hatiku masih menyukai sosok hantu mesum yg bersemayam dikalungku ini.
***
Aku membuka pintu apartemen, aku rasa tidak perlu memberi salam dulu sebelum masuk karna ibu selalu pulang malam, tidak ada orang dirumah. Aku berjalan malas ke kamarku.
Beberapa jam setelah membersihkan diri dan membereskan kamarku aku duduk di kasur kecil dekat jendela yg dibawahnya sekaligus rak buku. Aku merapatkan kakiku dan menatap matahari terbenam. Rasanya sangat sunyi karna aku tak melakukan apa-apa. Hanya termenung di depan jendela.
"Edward... Kapan kau kembali?" Gumamku sembari mengelus mainan kalungku. Aku menunggu beberapa menit. "Edward, kembalilah. Aku kesepian dan bosan sendirian." Ucapku sekali lagi. Aku tersentak saat tak terjadi apa-apa.
"Edward, kau sudah janji... Kau akan kembali saat aku memanggilmu. Kembalilah..." Ucapku lagi. Aku menggenggam erat kalungku dan memejamkan mataku selama beberapa detik, namun tetap tidak ada apapun.
"Edward! Kau dimana?! Aku memanggilmu, apa kau mendengarku?" Aku mulai khawatir, kalungku tak bergetar atau menunjukkan reaksi apapun. Matahari sudah tenggelam dan malam telah tiba. Perasaanku cemas dan aku tak tau apa lagi yg bisa aku lakukan untuk memanggil Edward. Pasti terjadi sesuatu, dari pagi tadi perasaanku sudah tidak enak.
"Edward! Aku mohon..." Air mata tanpa sadar menetes, mengalir dan membasahi mainan kalungku. "Kau sudah janji, kembalilah!" Ia tak kunjung datang.
Ceklek
"Edward?" Gumamku, aku sumringah dan secepat kilat keluar dari kamarku dan mengecek siapa yg membuka pintu. Namun aku tersentak saat yg muncul bukanlah Edward, tapi ibu. Aku menghela nafas dan menghampirinya. "Olivia? Kau sudah pulang..." Ucap ibu sembari meletakkan beberapa kantong belanjaan di meja dapur.
Aku berbalik badan sebentar untuk mengusap bekas air mata dipipiku. "Iya, bagaimana pekerjaan Ibu?" Jawabku. Aku berusaha membuat Ibu tidak curiga.
"Seperti biasa, sangat melelahkan." Ucapnya sembari mengeluarkan beberapa bahan makanan dari kantong. Ibu memang selalu mampir ke supermarket dan membeli makanan setelah dari kantor. "Kau mau makan apa malam ini?" Tanya Ibu.
"Terserah ibu saja. Apapun yg ibu masak selalu enak." Jawabku, aku sedikit tersenyum tipis. Ibu hanya terkekeh.
"Baiklah, bisa kau keluarkan sisanya... Ibu harus mandi dan ganti baju dulu. Rasanya capek sekali.." Ucap ibu sembari merenggangkan tangannya. Aku hanya mengangguk.
Ibu pergi ke kamarnya. Aku mengambil mangkuk dan memisahkan beberapa buah-buahan. Aku rasa Edward bisa mencium aromanya, setidaknya dia masih bisa dapat energi dari sini walaupun sedikit. Aku berencana akan memberikannya energi yg lebih banyak jika dia kembali.
"Edward... Kau dimana? Cepatlah pulang." Gumamku sekali lagi. Aku menoleh kanan kiri dan menunggu beberapa detik. Hantu manis itu tetap tidak muncul. Kali ini aku benar-benar kecewa, padahal dia sudah berjanji. Sepertinya malam ini aku akan tidur sendirian tanpa kehadiran Edward yg biasanya menggumamkan nada indah atau memberiku kecupan singkat sebelum tidur.
Tapi, aku masih akan menunggu sampai besok. Aku harap, saat aku bangun besok pagi, Edward sudah berada disampingku. Aku benar-benar merindukannya dan hatiku rasanya gelisah. Walaupun baru 1 hari tanpa Edward, tapi rasanya sudah seperti 1 tahun. Semoga dia baik-baik saja.
