Chapter 14: Keraguan
"Olivia... Bangun, kau harus berangkat sekolah..."
Aku merasakan sebuah tangan mengelus kepalaku.
"Bangun, sayang..."
Aku spontan bangun dan duduk dari posisi tidurku. "Edward?!"
"Edward? Siapa itu?" Aku menyadari bahwa yg baru saja membangunkanku adalah ibu. Aku langsung menggeleng.
"Ti-tidak... ibu tidak berangkat kerja?" Tanyaku, aku sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Ibu bisa berangkat agak siang hari ini. Cepat mandi dan sarapan, kau harus sekolah." Ucap Ibu. Aku mengangguk dan Ibu berjalan keluar dari kamarku setelah melemparkan senyuman singkat.
Aku menoleh ke jendela kamarku yg masih terbuka lebar, menatap langit pagi yg masih gelap. Tanpa sadar air mata jatuh dari pelupuk mataku, ini karna aku merasa kecewa, hatiku dari kemarin terasa tidak enak seolah telah terjadi sesuatu yg buruk padanya. Entahlah, terkadang aku bisa merasakan apa yg Edward rasakan, seperti waktu itu disekolah… Aku merasa sangat sedih seolah akulah yg berada diposisinya. Apa mungkin setelah kontrak itu, hati dan pikiranku saling terhubung dengannya? Apapun itu, yg kuinginkan sekarang adalah Edward.
"Edward, kau dimana?" Gumamku sedikit terisak. Sudah 2 hari ia tak kembali, apa mungkin dia meninggalkanku? Apa semua yg dia katakan hanyalah kebohongan semata? Edward tolong jangan buat aku meragukanmu, setidaknya beri tanda-tanda bahwa kau masih mendengarku disuatu tempat. Apa gunanya kalung ini jika kau tidak memberikan respon apapun saat aku menyebut namamu. Kau membuatku benar-benar kecewa, Edward.
***
Aku datang ke sekolah dengan wajah lusuh. Sampai-sampai teman sekelasku berulang kali menanyakan pertanyaan yg sama termasuk Michele. Dia, entah mengapa, sekarang dia jadi lebih perhatian padaku. Dia membelikanku minuman dan makanan ringan, walaupun aku menolaknya berulang kali, dia tetap bersikeras, bahkan memintaku untuk pergi ke UKS saja. Mereka kira aku sakit.
"Sebenarnya ada apa denganmu?" Tanya Michele, lagi.
Aku hanya memalingkan wajahku dan mendengus. Semenjak aku memulai percakapan yg dibilang sok akrab kemarin, dia terlihat lebih leluasa bicara padaku. Tidak seperti sebelumnya yg kaku dan canggung. Aku takjub dgn kepribadiannya yg sangat cepat berubah. Atau mungkin dia memang seperti itu? Tapi karna aku orang baru dia jadi ragu utk akrab denganku sebelum mendapat lampu hijau dariku? Ah, terserah.
"Via? Hey... Kenapa kau mengabaikanku?" Tegurnya lagi.
"Eh? I-iya. Aku baik-baik saja." Jawabku. "Bisakah kalian berhenti bertanya hal yg sama padaku? Aku lelah menjawabnya."
“Aduh, Via… Michele hanya cemas. sama seperti kami semua. Kami terus bertanya karna kau yg memberi jawaban yg sama. Ditambah raut wajahmu itu beda dgn kata yg keluar dari mulutmu.” Potong Yashita.
“A-anu.. Yashita.. Sudahlah, mungkin Olivia punya alasannya sendiri.” Ucap ketua kelas itu. “Ehm.. Maaf Via.
Aku tidak akan bertanya lagi.” Michele menunduk dan sedikit menjauh dariku. Aku tau dia merasa bersalah.
Tapi aku tau mereka hanya khawatir karna memang orang-orang dikelas ini baik dan sangat peduli satu sama lain. Hari ini suasana hatiku hanya sedang kacau karna memikirkan Edward dan perasaan aneh yg terus menghantuiku kemanapun.
***
Jam pelajaran terakhir akhirnya selesai. Aku menghela nafas dan enggan untuk berdiri. Aku hanya ingin menunggu disini beberapa detik, aku malas keluar berdesakan untuk pulang. Setidaknya menunggu sampai koridor dan tangga sekolah tidak terlalu ramai dan sempit oleh banyak murid.
"Via, kamu tidak pulang?" Tanya Yashita yg sibuk membereskan bukunya.
"Ah, aku pulang. Hanya… sedikit malas untuk keluar berdesakan. Kalian duluan saja, sebentar lagi aku akan turun." Jawabku, aku sedikit menyunggingkan senyuman. Yashita hanya mengangguk dan langsung keluar bersama temannya yg lain untuk pulang bersama.
Aku melirik Michele yg sepertinya sibuk dengan absen kelas. Dia juga sepertinya belum berniat utk pulang, apa dia ada ekstrakurikuler hari ini? Buku-bukunya saja belum ia masukkan ke dalam tas. Saat kurasa diluar sudah lumayan sepi, aku menenteng tasku utk pulang dan menghampirinya.
"Michele, kenapa kau belum pulang?" Tanyaku, hanya sekedar penasaran.
"Oh? Aku, hari ini jadwal piket soreku." Jawabnya tersenyum simpul. Michele menutup absennya dan menatap tajam ke arahku.
"Ooh begitu.. Ya sudah. Aku duluan yah?" Ucapku dan langsung berbalik badan, merasa risih dengan tatapannya.
Tiba-tiba Michele langsung menarik tanganku sebelum aku melangkah maju. "Tunggu..." Ucapnya. "Ehm...a-anu.. Bisakah kau membantuku mengisi daftar hadir siswa?"
Aku tersentak dan menatapnya dgn alis yg dinaikkan. Dia terlihat menggaruk kepalanya yg tidak gatal dan menunduk. "Eeh.. Sekretaris kelas tidak masuk hari ini, jadi tidak ada yg mengisi daftar hadirnya. Tadinya aku kira guru yg masuk sudah mengisinya. Ditambah, a-aku aku harus piket, jika aku mengerjakan semuanya sendiri, aku takut aku bisa kesorean.” Jelasnya. “Bisakah kau membantuku?" Pintanya, terdengar meragu.
Karena cuma aku satu-satunya siswa yg belum pulang dikelas ini, aku tidak bisa menimpahkannya ke anak lain, dan aku merasa tidak enak menolak permintaannya, dia terlihat benar-benar membutuhkan bantuanku. Ah, aku menyesal sudah pulang lambat. Aku malas sekali, sepertinya hari ini adalah hari paling malas dalam hidupku.
Aku menghela nafas dan mengangguk. "Baiklah, sini.." Jawabku datar dan merampas absen ditangan Michele.
"Olivia, maaf sudah merepotkanmu. Kalau begitu, sebagai gantinya aku akan mengantarmu pulang yah.”
"Tidak, tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri. Sudah piket sana..."
"Kau yakin?"
"Iya. Michele, jika kau terus membuang waktumu kita bisa pulang kesorean dan aku bisa kehabisan bus." Ucapku. Michele lagi-lagi menunduk.
"Ba-baiklah. Aku mulai sekarang." Jawabnya cepat. Ia langsung menghapus papan tulis setelah itu mulai menyapu lantai.
Aku mengisi daftar hadir ini, tidak sulit, hanya perlu memberi tanda centang pada murid yg sakit, izin, alpa, dan hadir. Aku sesekali melirik Michele yg sedang piket. Aku sedikit terkekeh saat ia membersihkan lantai. Dia terlihat sangat lucu. Tapi tangannya mahir dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga, aku rasa dia orang yg rajin. Pantas saja dia jadi ketua kelas. Dia orang yg bisa mengontrol keadaan kelas, itu salah satu keahliannya.
Mungkin karakter baik dan peduli dari para siswa dikelas ini juga hasil didikannya? Jika benar, maka dia sudah masuk dalam kategori calon suami dan ayah yg ideal. Eh? Apa yg kupikirkan, bodoh.
Aku akhirnya selesai mengisi absen ini setelah berhayal yg aneh-aneh tentang Michele. Sedangkan dia masih harus memunguti sampah dibawah loker. Dia sesekali menoleh ke arahku dan melemparkan senyuman. Aku menoleh ke jam dinding di kelas. Sudah pukul 5 sore. Hah… Di jam segini aku sedang santai-santai dikasurku dengan cemilan enak.
"Michele, apa kau sudah selesai?" Keluhku.
"Sedikit lagi. Via, kau bisa pulang duluan saja. Aku jadi tidak enak merepotkanmu seperti ini." Jawabnya dengan suara yg dikecilkan.
"Kita harus keluar bersama. Masa aku harus meninggalkanmu sendirian." Ucapku. Kalo boleh jujur, itu hanya alasanku karena sebenarnya aku takut menuruni tangga sekarang, langit diluar sudah mulai gelap, aku takut makhluk gaib mulai bermunculan. Aku butuh teman untuk keluar dijam segini.
Aku menghampirinya dan berdiri dipinggir meja. "Jangan berdiri disitu, duduk saja Olivia." Sahut Michele, tangannya masih sibuk memungut sampah.
"Mau aku bantu? Biar lebih cepat." Ucapku.
"Ide bagus. Terima kasih." Jawabnya.
Aku tersenyum simpul. Aku berbalik dan menunduk untuk mengecek beberapa loker, dan membuang sampahnya. Saat aku tegak dan berniat untuk membuangnya ke tempat sampah, aku melirik Michele yg mematung dengan pipi yg benar-benar memerah.
"Ada apa?" Tanyaku, menaikkan alisku sebelah. Matanya yg tadi menoleh ke bawah tiba-tiba mendongak. Dia terlihat terjekut.
"Hah? Ti-tidak ada." Ucapnya terbatah dan langsung berbalik, kembali memungut beberapa sampah.
Aku bingung, sebenarnya apa yg dia lihat sampai mukanya memerah begitu. Aku kembali menunduk dan memeriksa loker meja. Aku melirik Michele diam-diam dan aku bisa melihat matanya yg terpaku ke arahku, bukan ke mataku tapi dibagian lain tubuhku. Dia jadi tidak fokus membersihkan sampah karna itu.
Aku mendegus tak mengerti dengan si ketua kelas ini. Saat aku kembali tegak tiba-tiba muncul sosok hantu yg berdiri di depanku. Aku terkejut dan menahan teriakanku dengan tangan, aku berbalik dan menoleh ke arah Michele, matanya pura-pura mengarah ke tempat lain saat aku melihatnya, aku tau ada sesuatu yg menarik perhatiannya sampai wajahnya memerah begitu. Kulihat langit melalui jendela kelas, ini sudah sangat sore ditambah sekolah ini mulai sepi karna orang-orang sudah pulang dari kesibukan mereka, wajar jika banyak hantu yg mulai bermunculan.
Hantu itu mengenakan kaos putih, hantu cewek dengan rambut pendek dan wajah pucat, hanya ada luka memar diseluruh tubuhnya, apa dia mati karna dipukuli? Entahlah, dia tertawa di depanku.
"Pergi, jangan ganggu aku!" Bisikku. Aku berusaha bersikap senormal mungkin karna aku tau Michele masih curi-curi pandang di belakangku. Hantu itu malah tambah melengking tawanya. "Hey, berisik!"
"Dasar gadis bodoh!" Ucapnya terkekeh.
"A-apa?! Kau memanggilku bodoh? Dasar makhluk mati! Ku bilang pergi." Bisikku agak ditekan karna kesal. Tapi hantu itu tak mendengarkanku. Aku memilih untuk mengabaikannya dan kembali menunduk.
"Apa kau tidak sadar?" Sahutnya.
"Hah? Apa maksudmu?" Ucapku bingung.
"Rokmu." Jawabnya.
Aku menoleh ke bawah dan mengecek rok-ku. Tak ada apapun yg aneh. "Ada apa dengan rokku?"
"Celana dalam pink dengan motif Love... Pria tampan itu melihatnya, saat kau menunduk untuk memungut sampah, rokmu yg pendek itu terangkat."
Aku melotot dan tersentak. Itu menjelaskan Michele yg bersikap aneh dari tadi. "Te-terima kasih sudah memberitahuku." Ucapku terbatah, aku sedikit menurunkan rokku. Tapi beginilah pendeknya. Hantu itu malah tertawa lagi, aku tidak suka tawanya. Memekakkan telinga bagi mereka yg bisa mendengarnya, yaitu aku.
"Apa kau tau apa yg dia pikirkan saat melihat celana dalammu? Hahaha." Ucapnya. Aku mendengus, pipiku memerah dan aku memalingkan wajahku.
"Wah, pakaian dalam yg imut, mulus sekali, ah aku sangat ingin menyentuhnya, tolonglah… jika seperti itu terus aku bisa tidak tahan, ya ampun imut sekali, blablablaba~" Hantu itu berkata sembari bersikap seolah mengolok-olokku.
Aku benar-benar malu. Aku merapatkan tanganku dibelakang utk menutupi pinggulku dan berbalik. "Michele!" Bentakku.
Anak itu terkejut dan spontan berdiri. "Ke-kenapa Olivia?"
"Apa kau melihat..." Aku tiba-tiba terhenti. Aku terlalu malu untuk menanyakannya, aku kembali melirik hantu itu, dia terkekeh lalu berbalik dan pergi menembus dinding kelas ini.
"Melihat apa?" Tanya Michele. Ia menggaruk tengkuknya yg tidak gatal.
"Ti-tidak. Tidak jadi. Cepat selesaikan piketmu, aku mau pulang dgn cepat!" Ucapku dan melempar bekas botol minuman ke kotak sampah. Aku kesal, tapi aku memilih untuk diam, lagipula ini bukan sepenuhnya salah dia.
Rok ini, rok seragam Jepang memang super pendek. Aku tidak suka tapi mau bagaimana lagi.
Aku berjalan dengan sepatu yg sengaja aku hentakan lalu duduk dikursi meja guru, tempatku mengisi absen. Aku menyilangkan kedua tanganku dan menatap sinis ke arah Michele.
"Eh? Kau tidak jadi membantuku?" Ucap Michele.
"Tidak! Orang yg piket adalah kau, bukan aku. Kerjakan sendiri!" Bentakku.
"Kau.. Kenapa jadi marah-marah padaku, Via?" Ucapnya, ia sedikit terkekeh palsu dengan wajah yg memasam.
"Tidak, aku tidak marah!" Teriakku.
Michele tersentak oleh teriakanku dan melanjutkan kegiatannya dengan buru-buru.
10 menit kemudian Michele selesai. Dia terlihat benar-benar kelelahan, aku memberikan botol air minum yg sempat ku minum setengah dijam istirahat tadi. Beberapa hari yg lalu, botol minum ini diberikan oleh Edward. Dia sangat perhatian padaku, waktu itu dia menyiapkan air utk ku sekolah. Dan aku membawanya dgn senang hati.
“O-olivia?” Tegur Michele.
Aku sadar dari lamunanku, ah kenapa aku malah ingat tentang Edward lagi. “Ehm. Maaf… Apa kau tidak haus?” Ucapku menyodorkan botol itu. Michele menolak dgn sedikit senyuman. “Oh ya sudah…”Jawabku. Aku meneguk air itu, gara-gara teringat dgn Edward aku jadi hanyut dalam pikiran. Sekarang aku merindukannya lagi.
"Ayo turun, sebentar lagi sekolah akan ditutup." Ujar Michele. Kami mengambil tas dan menutup pintu kelas.
Aku menoleh kiri-kanan, koridor sekolah yg panjang terlihat mengerikan saat sepi. Aku berjalan mengekori Michele dibelakang. Saat baru saja turun dari lantai atas, aku melihat banyak sosok mengerikan bermunculan dari dalam gudang sekolah, baseman, toilet, pokoknya diruangan yg jarang dipakai. Rata-rata memiliki wajah hancur dan berseragam.
"Michele!" Teriakku. Aku benar-benar takut saat salah satu hantunya mendekatiku. Aku berlari dan berpegangan dengan Michele.
"Ada apa? Kau terlihat ketakutan." Ucapnya, ia menoleh ke seluruh arah tapi tak menemukan alasanku ketakutan. Tentu saja, dia tidak bisa melihatnya.
"Ayo cepat keluar dari disini, Michele. Jangan berhenti." Ucapku, aku merapatkan kedua mataku karena tak sanggup melihat wajah seram mereka. Michele memegangiku dengan erat dan berjalan dengan langkah yg cepat.
Aku tau dia kebingungan, tapi saat ini aku sangat ketakutan.
***
"Kau tadi kenapa? Wajahmu seperti habis melihat hantu." Ucap Michele. Dia mengantarku sampai halte bus saja dengan motornya.
Aku memberi waktu sejenak untuk jantungku menenangkan diri. Menarik nafas dan membuangnya lagi perlahan, lalu duduk dihalte bus. "Aku, baik-baik saja. Terima kasih, Michele." Jawabku.
"Ah tidak tidak, aku yg harusnya berterima kasih. Tanpamu mungkin aku bisa pulang malam, aku harus lapor ke petugas sekolah untuk tidak menutup gerbang dijam sekian lalu balik lagi ke kelas untuk piket dan mengisi absen, jika kau tidak ada. Aku akan bolak balik ke kelas kita yg ada dilantai 2 itu, dan aku akan sangat kerepotan." Jelasnya.
"Ooh jadi begitu. Berarti kau beruntung karna aku tidak langsung pulang nanti. Hahaha." Ucapku terkekeh.
Michele balas tersenyum. Dan sekali lagi ia tiba-tiba menatapku dengan tatapan tajamnya, aku agak risih dengan tatapan itu, dia menatapku seolah ingin mengatakan sesuatu. "Michele, kau bisa pulang sekarang. Sampai bertemu besok." Ucapku tersenyum rengkuh, utk menghindari matanya.
"Eh? Tidak bisa." Jawabnya. Michele turun dari motornya dan duduk dihalte bus disebelahku. Aku menaikkan alisku karna merasa bingung. "Ini sudah sangat sore. Aku harus pastikan bahwa kau benar-benar pulang. Aku tidak akan membiarkanmu menunggu disini sendirian, disini kawasan rawan tau." Lanjutnya.
"Be-benarkah?" Ucapku, aku baru tau. Aku harus lebih berhati-hati menunggu disini kalo lagi sendirian.
"Iya. Aku takut kau kehabisan bus." Jawab Michele.
"Hm, terima kasih Michele. Yah… aku juga berpikir begitu." Aku menunduk dan merapatkan kakiku.
Kami menunggu selama hampir 20 menit. Dan sekarang matahari sudah benar-benar tenggelam. Aku melirik Michele yg berkali-kali mengecek jam ditangannya. "Michele, kau pulang saja. Aku yakin busnya akan datang."
Michele mendengus dan berdiri. "Kau ini bicara apa sih?! Ini sudah 20 menit lebih, dan kau masih yakin kalau busnya akan datang? Olivia, aku tidak mungkin meninggalkanmu disini, ayo aku antar pulang." Baru kali ini aku melihat wajah Michele yg setengah marah.
Aku ikut berdiri. "Tidak, tidak perlu Michele. Aku akan meng-"
"Ssssttt!" Michele menempelkan jari telunjuknya dibibirku. "Kau ini seorang gadis yg cantik, kalau masih menunggu disini sendirian saat matahari tenggelam, kau akan mengundang kejahatan, apalagi dengan seragam sekolah kita yg dibilang cukup seksi untuk murid perempuan.." Lanjutnya.
Aku menunduk dan menatap seragamku, bukan hanya roknya yg pendek, tapi atasannya juga. Jika aku mengangkat tanganku maka perutku akan terlihat, bahkan saat aku berkeringat pun, kulitku akan terlihat dari seragam ini saat basah.
“Aku akan mengantarmu pulang. Titik.” Ucap Michele.
Michele menarik tanganku ke depan motornya dan menyodorkan helm. Aku menghela nafas dan terpaksa menurutinya. Aku rasa Michele ada benarnya juga. Aku memberitahu alamat apartemenku dan Michele langsung menancap gas.
Jalan menuju apartemenku melewati beberapa toko dipinggiran jalan. Saat ini sedang ada karnaval. Aku lupa kalau hari ini ada acara seperti ini disekitar apartemen kami, dan sekarang beberapa toko memasang pernak pernik khusus jepang, sangat ramai orang-orang lalu lalang bahkan beberapa turis juga terlihat. Mataku tak sengaja melirik ke salah satu cowok dengan pakaian yg tak asing lagi bagiku.
"Edward?!" Gumamku. Aku menepuk bahu Michele. "Berhenti, berhenti dulu Michele!"
"Aduh... Iya iya sebentar. Disini ramai, aku harus pinggirkan motorku." Jawabnya, ia menepi dan berhenti, secepat kilat aku melepas helmku dan memberikannya kepada Michele. Aku lari menuju orang yg menurutku adalah Edward.
"Eh? Olivia? Kau mau kemana?!" Teriaknya. Tapi aku enggan mengubrisnya. Pikiranku hanya ada Edward, aku sangat merindukannya. Aku tidak sabar untuk memeluknya dan memarahinya karna tidak pulang-pulang.
Aku menerobos beberapa orang yg menghalangi jalanku. Aku tau, Michele masih mengejarku dibelakang. Aku tidak peduli.
"Edward! Tunggu, tunggu aku! Edward!" Teriakku. Tapi orang itu tak kunjung berhenti dan menoleh.
"Via! Jangan berlari. Kau itu orang baru disini, kau bilang tidak hapal jalan menuju apartemenmu, bagaimana kalau kau tersesat, hey!" Suara Michele.
Pokoknya aku tak peduli. Jika benar itu Edward, dia pasti bisa mengantarku pulang kan. Beberapa langkah lagi aku akhirnya berhasil menarik tangan orang itu. Aku spontan memeluknya dari belakang. "Edward! Berhenti!" Ucapku. Aku hampir meneteskan air mata namun aku membatalkan niatku saat orang itu berbalik.
"Maaf, siapa yah?" Ucapnya dan melepaskan tanganku dgn sopan. Pria itu ternyata tadi memakai earphone sehingga tak bisa mendengarku. Dia bukan Edward. Entah siapa, dia turis yg tak aku kenal, dan aku baru sadar kalau pakaiannya hanya mirip dari jauh. Tapi posturnya cukup mirip dgn Edward, itu sebabnya aku terkecoh.
Aku langsung menunduk dan membungkukkan badan.
"Ma-maaf... Maafkan aku, aku salah orang. Pe-permisi..." Ucapku dan langsung berbalik. Ini benar-benar memalukan. Pria itu melihatku dengan tatapan aneh lalu kembali memakai earphone-nya.
Aku berjalan lambat ke arah yg sebaliknya, sekarang malah aku yg ditabrak-tabrak oleh orang yg lalu lalang di keramaian karnaval ini. Aku hampir saja jatuh, namun untung saja seseorang langsung menarik tanganku sebelum aku menyentuh trotoar jalan yg kotor.
"Michele?" Ucapku. Ia terlihat ngos-ngosan dan mendengus saat menatapku.
"Kenapa kau berlari seperti itu Olivia?! Aku hampir saja kehilangan jejakmu, untung aku mengenali seragam sekolah kita. Kau pikir kau bisa kembali kalau sudah berada ditengah-tengah sana? Aku tegaskan padamu, Jepang ini kejam, jika kau tersesat, seseorang akan menipu, menculikmu dan menjualmu, apa kau mengerti?!" Michele membentakku. Dia menurunkan alisnya dan benar-benar marah.
Aku menunduk karena aku tau aku salah, dia benar bahwa aku baru saja pindah. Dan aku sama sekali tak mengenal wilayah ini.
"Maaf, Michele. A-aku tadi..."
"Kau benar-benar membuatku khawatir." Michele menarikku dan tiba-tiba memelukku dengan erat. Aku tersentak dan mataku melotot. "Jika kau hilang, aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri, karna akulah yg sudah membuatmu pulang dijam segini. Tolong jangan kabur seperti itu lagi." Lanjutnya.
Aku meneteskan air mata di dekapannya. Bukan karna kata-katanya, tapi karna aku ingat bahwa aku kecewa, marah, dan sedih saat yg aku kejar-kejar tadi bukanlah Edward. Saat Michele memelukku, rasanya seperti saat aku memeluk Edward, kehangatan yg sama yg sangat aku rindukan. Kenapa Edward tidak kembali lagi? Ini membuatku frustasi, apa dia mencampakkanku setelah mendapatkan apa yg dia inginkan?
Aku menangis tersedu-sedu hingga Michele menyadarinya. "Eh? Maaf jika aku membentakmu tadi, aku hanya cemas. Tolong jangan menangis yah.” Michele mengusap air mataku dgn ibu jarinya.
"Bu-bukan, tadi aku tidak kabur kok. Maafkan aku, aku sudah menyusahkanmu Michele." Ucapku menunduk dengan air mata yg masih menetes.
Michele mengusap air mataku sekali lagi dan tersenyum simpul. "Tidak, sebenarnya ini salahku. Harusnya dari awal aku tidak perlu memintamu untuk membantuku." Ucapnya. Aku masih terisak.
"Sekarang sudah jam 6 lewat. Orangtuamu pasti mengkhawatirkanmu, kau harus pulang dan istirahat. Berhenti menangis." Michele berbicara dengan nada yg sangat lembut. Ia menggandeng tanganku dan menyuruhku naik ke motornya lagi. Aku tersenyum simpul saat ia menyodorkan helmnya, Michele benar-benar orang yg baik dan sabar menghadapi gadis aneh seperti aku. Dia memang sempurna. Tapi sayangnya, Edward sudah lebih dulu masuk ke dalam hatiku.
***
Tok tok tok
"Olivia! Ya ampun, Ibu dari tadi cemas, kau tidak bisa dihubungi, kemana saja kau? Kau baik-baik saja kan? Apa kau tersesat?" Ibu menyambutku dengan pelukan.
"Maaf bu, ponselku habis baterai dan mati. A-aku tadi..."
"Dia tadi membantuku piket sore, tapi tugasku banyak sekali, Olivia jadi kehabisan bus dan aku mengantarnya pulang, ta-tadi kami terjebak macet karna ada karnaval jadi pulangnya terlambat. Maaf tante..." Potong Michele.
Ia membungkukkan badan di depan Ibuku.
"Ooh... Iya, tadi memang ada karnaval saat tante pulang sore tadi. Ah kau membuat Ibu khawatir saja, Olivia." Ucap Ibu sedikit terkekeh. Aku lega, Ibu tidak berpikir yg aneh-aneh tentangku.
"Ngomong-ngomong siapa namamu, nak?" Tanya Ibu.
"Aku Michele, tante." Jawabnya.
"Kau teman sekelasnya Olivia yah? Wah, kau ganteng sekali... Ayo masuk dulu."
"Ah, te-terima kasih... Tapi aku langsung pulang saja tante..."
Aku memutar bola mataku saat Ibu terus berbasa-basi dengan si ketua kelas disebelahku ini. "Ibu sudahlah, Michele harus pulang, rumahnya lumayan jauh dari sini, ya kan?" Ucapku. Michele menoleh ke arahku.
"Hah?" Ucapnya, dia tersentak karna dia pernah bilang bahwa dari rumahku jarak rumahnya tidak terlalu jauh, aku menyenggol lengannya. "Eh iyaiya, rumahku jauh dan ini sudah malam. A-aku harus pulang, tante."
"Benarkah? Aduh, terima kasih sudah mengantar Olivia. Kapan-kapan mampir kesini yah." Ucap Ibu tersenyum lebar.
Michele balas tersenyum dan mengangguk. "I-iya, aku pulang dulu yah tante... Via, aku pulang yah... Sampai bertemu besok pagi." Ucapnya dan melambaikan tangan ke arahku dan Ibu.
Seketika setelah pintu ditutup, Ibu langsung sumringah dan menarikku duduk disofa. "Olivia, ada hubungan apa kau dengan si ganteng itu?"
Aku menghela nafas panjang dan menatap datar ke arah ibu. "Tidak ada. Ayolah Ibu, kami hanya teman sekelas biasa. Seperti yg dia bilang, aku hanya membantunya piket sore. Itu saja." Jelasku.
"Oh ya?"
"Aku berani sumpah."
"Tapi tatapannya padamu berbeda. Olivia, mungkin saja dia menyukaimu... Iyakan?"
"Ibu hentikan, aku lelah. Aku mau ke kamar." Jawabku malas dan beranjak dari sofa.
"Ibu yakin dia menyukaimu. Jika kau berpacaran dengannya Ibu sangat mendukung loh!" Teriak Ibu.
Aku hanya memutar bola mataku dan membanting pintu kamar. Aku terduduk lemas setelah menutup pintuku dan bersandar, pikiranku kembali pada Edward. Lagi-lagi air mataku menetes saat mengingatnya, aku meringkuk dan menenggelamkan wajahku dilenganku.
"Edward... jika memang kau mencampakkanku, maka aku membencimu! Kau sudah berbohong padaku! Aku benci padamu!" Ucapku terisak.
"Aku tidak bohong, nona Olivia." Seseorang mengelus kepalaku, aku melihat sepasang kaki tanpa sepatu dengan kulit pucat, aku langsung mendongak dan sumringah.
"Edward!"
