Chapter 11: Sekolah Baru
"Nona Olivia~ bangunlah..."
Kecupan singkat mendarat dipipiku, membuat mataku langsung terbelalak.
"Oh tidak! Aku terlambat!" Teriakku. Aku menoleh ke samping, Edward sedang menatapku dengan ekspresi bingung, aku tau dia juga terkejut dengan teriakanku yg tiba-tiba. "Minggir!" Usirku, lantaran hantu ini berada dihadapanku.
"No-nona, ada apa? Kau terlambat untuk apa?" Tanya Edward linglung.
"Kenapa kau tidak membangunkanku dari tadi?!" Keluhku. Suara langkah kakiku yg tergesa-gesa merusak suasana pagi yg harusnya hening. Edward hanya memayunkan bibirnya saat mendengar celotehanku. Saat aku baru mau masuk ke kamar mandi, aku teringat sesuatu.
"Oh iya, Ibu! Edward, cepat bangunkan Ibu, aku yakin dia juga masih tidur sekarang, aku tidak punya waktu." Ucapku dan langsung menutup pintu kamar mandi.
"Hah? Ta-tapi nona... Aku ini bukan manusia, Ibumu tidak bisa melihatku." Jawabnya.
"Aduh, terserah. Pokoknya bangunkan saja dia menggunakan cara apapun yg kau bisa!" Teriakku dari dalam kamar mandi.
"Apapun?" Jawabnya.
Aku membuka setengah pintu kamar mandi dan memunculkan kepalaku. "Tapi ingat, jangan gunakan cara yg akan menyakitinya atau aku tidak akan memaafkanmu.” Ucapku dengan mata yg disipitkan. Edward malah tersenyum simpul saat melihatku, matanya tidak mengarah pada mataku. “Hey, kau dengar tidak?” Tegurku.
Dan seperti yg kuduga, dia memberiku kecupan singkat dibibir, aku tidak suka saat dia selalu melakukannya secara tiba-tiba. "Yak! Pergi sana!" Teriakku dan langsung membanting pintu kamar mandi.
"Hehe. Aku butuh energi untuk melakukan perintahmu, terima kasih nona!" Kekehnya.
***
Aku keluar menuju dapur saat mendengar suara berisik dari piring-piring yg ditata. Aku rasa Edward sudah berhasil membangunkan Ibu. Namun saat aku tiba disana, Ibu terlihat berantakan, ia menatap sinis ke arahku.
"Olivia, apa kau yg menarik selimut Ibu dan mendorong Ibu sampai jatuh dari ranjang?" Ucap Ibu datar sembari memotong-motong sayuran.
"A-apa?" Jawabku terbatah. Aku menoleh ke arah Edward di sampingnya. Ia hanya menunduk sembari memainkan jarinya. "Ti-tidak, bukan aku bu." Lanjutku.
"Terus siapa? Untung ibu punya tulang yg kuat, kalau tidak pasti ibu sudah mengalami patah tulang, bahkan sekarang pun pinggangku masih terasa sakit." Keluh Ibu.
Aku melotot kearah Edward saat mendengarnya. Hantu itu malah berpura-pura tidak lihat. Aku menghela nafas dan menggeleng kearah ibu. "Mungkin Ibu tadi bermimpi buruk sampai jatuh dari ranjang, aku tidak pergi ke kamar ibu dan menarik selimut ibu sama sekali." Ucapku sembari meraih kue beras yg masih hangat diatas meja makan.
"Benarkah? Tapi, sepertinya ada yg aneh dengan apartemen ini..." Ucap ibu dengan mata yg melirik ke sekitar.
“Ah tidak ada yg aneh kok, hanya perasaan ibu saja.” Jawabku terkekeh palsu.
“Tapi ibu benar-benar yakin ada seseorang yg mena-”
"Aduh! Aku sudah terlambat, ini hari pertamaku masuk ke sekolah baru, kalau begitu aku pergi dulu yah bu, Dah." Potongku cepat lalu keluar dari apartemen ini secepat kilat agar bisa menghindari percakapan itu.
Aku memegang dadaku dan berusaha mengatur nafasku saat di dalam lift, lalu Edward muncul dibelakangku secara tiba-tiba, membuat jantungku hampir saja copot karna kaget. "Kau! Kenapa mengikutiku!" Protesku.
"Nona, apa kau lupa... Aku ini milikmu, kau masih memakai kalungmu. Aku tidak bisa pergi jauh darimu selama kau masih memakainya. Walaupun aku mencoba untuk pergi, rohku akan tertarik ke kalungmu secara paksa.” Jelas Edward.
Aku terdiam sejenak lalu menarik rantai yg terhubung dikalungnya Edward, menatapnya dengan sinis. "Aku sudah bilang kan, jangan menyakiti Ibu. Lalu kenapa kau membangunkannya sekasar itu?!" Bentakku sedikit kesal. Aku mencengkram erat rantai kalung itu hingga membuatnya harus menunduk.
"No-nona... Tidak ada cara lain. Aku sudah gunakan cara yg lebih halus tapi tidak berhasil. Maafkan aku, aku janji tidak akan menyakitinya lagi." Ucap Edward, matanya benar-benar menunjukkan penyesalan. Aku yg tadinya kesal akhirnya luluh karna ekspresi polosnya itu, namun itu tidak bertahan lama, beberapa detik kemudian Edward mencium bibirku lagi saat pertahananku goyah, membuatku kembali kesal. Kenapa hantu ini harus menjadikan ciuman sebagai energinya.
"Hahaha. Itu karna kau menarik kalung rantaiku, aku cuma tidak tahan melihat wajah cantikmu yg sangat dekat denganku." Ucapnya terkekeh.
Aku mengepalkan tanganku dan memukul wajahnya, namun tanganku malah menembus dinding lift. "Ahh, aduh!" Ringisku dan mengibas-ngibaskan tanganku yg sakit. Ah ini menyebalkan, aku malah memukul lift. Edward tiba-tiba menghilang saat aku hendak memukulnya.
"Apa itu sakit? Mau aku obati nona?" Sahut Edward yg muncul lagi di sampingku.
"Diam kau! Cepat masuk ke kalung ini dan jangan keluar sampai aku menyuruhmu!" Bentakku emosi.
"Tapi nona, aku..."
"Aku bilang masuk!" Potongku.
Edward menunduk dgn mulut yg dipout-kan. Perlahan ia menghilang dan aku bisa merasakan mainan kucing dikalungku bergetar yg artinya hantu ini sudah masuk. Saat setelah itu pintu lift terbuka, aku berlari tergesa-gesa menuju halte bus.
***
"Baiklah anak-anak. Kita punya murid baru dikelas ini, dia dari kota Florida, USA. Bahasa jepangnya belum fasih. Tolong bersikap ramah padanya dan ajarkan dia peraturan yg ada disekolah ini yah.." Ucap si wali kelas baruku.
Aku masih menunggu di luar kelas, aku sangat gugup. Jantungku berdetak tak karuan. Aku bisa mendengar keributan dikelas itu, mereka terlihat bersorak dan bahkan ada yg bersiul tak jelas.
"Ssssttt! Mana sopan santun kalian?" Ucap si wali kelas. "Olivia Bella, silahkan masuk." Panggilnya.
Aku segera merapikan rambut dan seragamku. Aku berdiri di depan pintu kelas, perlahan melangkahkan kakiku masuk ke dalam. Semua mata anak-anak di kelas itu tertuju padaku. Aku melirik anak laki-laki yg duduk dibangku paling depan yg berada di dekat pintu. Dia sangat tampan, ia menyadari tatapanku dan melemparkan senyuman padaku, aku hanya bisa menunduk karna malu. Semua anak dikelas ini menjadi ribut tak karuan tepat saat aku berdiri di depan kelas.
"Woah.. Cantik sekali~" Sahut salah cowok dibangku belakang.
"Bu, kenapa wajahnya tidak terlihat ke barat-baratan?"
"Iya, lebih seperti orang Asia. Tapi cantik kok!" Ucap mereka. Pipiku benar-benar memerah dan aku hanya bisa menunduk dengan senyum yg tak bisa ku tahan.
"Sssstt! Diam anak-anak!" Teriak wali kelas. Dan seketika suasana menjadi sunyi. "Olivia, kau bisa perkenalan dirimu kepada teman-teman barumu sekarang." Ucapnya.
Aku mengangguk, aku menghela nafas dan mengumpulkan keberanianku. "Selamat pagi, namaku Olivia Bella.
Aku berumur 17 tahun. Ibuku memang berdarah Korea dan ayahku dari Amerika, mungkin itu sebabnya wajahku lebih seperti orang Asia. Kami juga masih baru dikota ini, senang rasanya bisa masuk ke kelas yg sama dengan kalian. Mohon kerja samanya~" Ucapku dan membungkukkan badan sebagai penutup.
Mereka semua mangguk-mangguk dan bertepuk tangan. Salah satu anak laki-laki yg juga memiliki wajah yg lumayan tampan mengangkat tangannya.
"Ya? Fang, ada yg ingin ditanyakan pada Olivia?" Ucap bu guru.
"Olivia, apa kau sudah punya pacar?" Ucapnya lantang. Aku tersentak, dan seisi kelas kembali ribut oleh suara tawa dan siulan untuk menggodaku.
"A-aku... Tidak pernah pacaran." Jawabku menunduk, aku tidak tau apakah ini jawaban yg tepat tapi memang ini kenyataannya. Dan mereka semua bersorak. Aku merasakan kalungku yg tiba-tiba bergetar. Oh tidak, Edward pasti ingin keluar atau mungkin ingin mengatakan sesuatu. "Tidak Edward, jangan sekarang." Bisikku, dan akhirnya kalungku berhenti bergetar.
"Pertanyaan macam apa itu?! Ya ampun Fang..." Ucap bu guru yg hanya bisa menggelengkan kepala.
"Hahaha, maaf bu. Aku cuma tanya, soalnya Olivia cantik sekali." Jawabnya diikuti oleh gelak tawa teman-temannya.
"Baiklah, Olivia. Kau bisa duduk di..." Wali kelas itu melirik kanan dan kiri, mencari bangku kosong untukku.
Namun banyak anak-anak yg justru sudah punya pasangan sebangku malah mengangkat tangan.
"Bu, disini saja!"
"Tidak, disini saja!"
"Olivia, kau sebaiknya duduk disini!"
"Hey, aku bisa membantumu mengerjakan PR kalau kau mau duduk disini!"
"Olivia, sini!"
Mereka bertengkar kecil dan itu membuatku pusing. Mereka semua memintaku untuk duduk disebelah mereka tapi itu tidak mungkin karna mereka sudah punya pasangan. Wali kelas menghempaskan buku-buku yg dipegangnya ke atas meja. "Ini kelas atau pasar?! Bisakah kalian mengecilkan suara kalian? Kelas yg ada disebelah sedang belajar!" Teriaknya kesal.
Aku bisa melihat anak laki-laki tampan yg duduk dibangku paling depan tadi terkekeh dalam diam. Aku tidak tau apa yg sedang ia tertawakan.
"Olivia, ada 2 bangku kosong disini. Di depan dan di belakang, kau bisa pilih mau duduk dimana." Ucap Ibu guru.
Oh ya, aku baru sadar kalau bangku disebelah anak tampan itu kosong, tadi tidak terlihat karna tertutupi oleh badannya yg tinggi, lalu aku melirik bangku yg dibelakang, anak laki-laki gendut duduk disebelahnya. Ah, ini pilihan yg sulit. Aku hanya ingin duduk dengan sesama perempuan saja, tapi sepertinya tidak ada bangku kosong lagi untukku selain ini. Aku berjalan mendekati beberapa bangku.
"Pssst, Olivia.." Bisik salah satu gadis, wajahnya mungil dan ia sangat imut. "Sebenarnya aku ingin sebangku denganmu, tapi seperti yg kau lihat aku sudah punya teman sebangku, aku sarankan kau jangan duduk dibelakang, anak itu jorok."
Aku mengeryitkan dahiku dan menatap cowok gendut itu. Ia tersenyum padaku. Yak. Bukan bermaksud mengejek tapi anak itu sepertinya tidak pernah gosok gigi, gadis ini benar. Aku hanya balas tersenyum untuk menanggapi anak gendut itu. Lalu aku melirik cowok dibangku depan. Yah tidak ada pilihan lain, walaupun rasanya malu untuk duduk dgn anak tampan itu, tapi aku terpaksa. Aku yakin siapapun yg ada diposisiku akan melakukan hal yg sama.
"Ooh, kau mau duduk disana Olivia?" Ucap wali kelas. Aku mengangguk ragu. Pria tampan itu berdiri saat aku menatapnya, posturnya sangat tinggi dan bagus, dia sempurna.
"Silahkan, Olivia Bella." Ucapnya ramah. Hmm, sepertinya dia tidak mau bergeser dan duduk disebelah dinding. Yah, baiklah, aku terpaksa mengalah dan duduk disana.
"Michele, perkenalkan dirimu. Sekarang kalian adalah teman sebangku." Sahut si wali kelas.
Aku melihatnya menghela nafas. Dia menatapku dengan tajam dan itu membuatku benar-benar tersipu malu, wajahnya sempurna. "Namaku Michele, aku ketua kelas disini. Senang berkenalan denganmu, Olivia." Ucapnya tersenyum simpul.
"Hm, baiklah. Karna kalian sudah berkenalan. Ayo kita mulai pelajaran pertama. Keluarkan buku kalian." Ucap wali kelas, kebetulan hari ini merupakan jadwal pelajarannya.
Ya ampun, awal yg bagus. Aku tidak percaya bahwa aku masuk ke kelas orang-orang dengan wajah cantik dan tampan. Dan sekarang aku sebangku dengan ketua kelas, yg aku yakin orang yg pintar, dia juga ramah, ketua kelas yg sempurna. Aku harap aku punya sahabat baru disini. Aku suka kota ini!
***
Suara bel menandakan bahwa jam pulang sekolah sudah tiba. Sialnya, aku mendapat giliran piket kelas hari ini. Ya tidak apa, lagipula aku murid baru dan aku harus mematuhi aturan disekolah ini.
"Olivia, anak lain yg harusnya piket sore bersamamu tidak masuk karna sakit, apa kau tidak masalah ditinggal sendirian?" Ucap Yashita, dia adalah teman baruku.
"Tidak apa, sampai jumpa besok." Jawabku. Mereka tersenyum dan melambaikan tangan padaku. Perlahan murid-murid disekolah ini mulai pulang semua. Aku heran kenapa Edward tak kunjung keluar? Bukannya tadi dia mau keluar… Aku sendirian dikelas ini, sedang menyapu lantai kelas seperti orang bodoh, setidaknya aku butuh teman bicara, walaupun dia hantu.
"Edward? Pssstt..." Bisikku dan menguncang-guncangkan kalungku. "Keluarlah... Aku sendirian disini, ayo temani aku." Bujukku.
"Baru ingat denganku, nona?" Sahut Edward. Aku terkejut dan berbalik. Ia menatap datar kearahku dengan tangan yg disilangkan.
"Ma-maaf. Aku hanya terlalu fokus dengan sekolah baruku. Sekarang aku sedang piket sore dan… aku bosan sendirian." Ucapku tersenyum rengkuh.
"Kenapa tadi kau bilang bahwa kau tidak pernah pacaran? Cih." Ucap Edward memalingkan wajahnya.
"Eh? Memang tidak pernah kok. Lagipula kita tidak punya hubungan apapun." Jawabku, tanganku masih fokus menyapu lantai.
"Oh, kau tidak menganggapku sebagai pacarmu yah? Bukannya kita saling menyukai, itu sudah jelaskan?" Sahutnya lagi. Aku tersentak dan menghentikan kegiatanku.
"Edward, itu berbeda. Ka-kau itu, hantu. Mana mungkin aku pacaran sama hantu. Dan juga, siapa bilang aku su-suka padamu?" Jawabku terbatah, aku membelakanginya karena aku benar-benar gugup.
Edward menunduk. “Kalau begitu, apa kau mau pacaran denganku jika aku manusia?" Ucapnya dgn suara yg dikecilkan. Aku melotot dan langsung meghampirinya.
"Kau bisa hidup lagi?!" Ucapku antusias, entah apa yg membuatku tiba-tiba bersemangat. Edward memegang daguku dan membuatku mendongak.
"Tidak, tapi aku bisa masuk ke tubuh manusia yg putus asa dan menendang arwahnya yg asli untuk keluar, lalu aku akan mengambil alih tubuhnya. Bagaimana?" Jelasnya.
Aku mengurungkan senyumku dan mundur beberapa langkah darinya."Itu namanya mencuri. Kau tidak seharusnya mengambil tubuh orang yg masih hidup. Itu jahat sekali." Ucapku dan kembali menyapu lantai.
Tiba-tiba aku merasakan sepasang tangan melingkar dipinggangku dari belakang. Edward memelukku. "Aku tidak peduli. Yang penting aku bisa bersamamu." Bisiknya ditelingaku.
Aku melepas pelukan Edward. "Tidak boleh, kau tidak boleh mengambil tubuh orang lain."
"Tapi kenapa? Kau sendiri yg bilang bahwa kau tidak mau pacaran sama hantu."
“Iya tapi mereka yg ingin kau ambil tubuhnya itu masih hidup, dan kau sudah mati. Manusia cuma berhak hidup 1 kali dan kau tidak bisa seenaknya merenggut hidup mereka, mau bagaimanapun juga aku tidak akan pernah bersatu denganmu, Edward.” Protesku.
Ia mundur perlahan. "Aku memang sudah mati, tapi aku masih bisa merasakan sakit di jantungku saat kau mengatakan itu, aku masih memiliki perasaan, nona." Jawabnya dengan mata sendu, aku bisa melihatnya menunduk lalu bersender di dinding, terlihat kecewa dengan ucapanku.
Aku jadi merasa tidak enak. Seharusnya aku tidak mengatakan hal semacam itu. "Maafkan aku Edward. Lu-lupakan apa yg barusan aku katakan. Meskipun kita tidak bisa bersatu, aku masih bisa jadi pemilik sekaligus teman dekatmu kok.” Ucapku tersenyum rengkuh.
Edward hanya menatapku dengan tatapan datar dan kembali menunduk. Ia duduk dan meringkuk di sudut tembok tersebut. Bagus, sekarang dia merajuk untuk yg kedua kalinya. Aku menghampirinya dan duduk disebelahnya.
"Edward... Maafkan aku, aku hany-Eeh?!" Edward langsung mendorongku ke lantai dan menindih tubuhku.
"Hey, ini masih dikelas... Bagaimana jika ada orang yg masuk?!" Ucapku panik menoleh ke pintu kelas.
"Ya, aku benci kenyataan bahwa mereka tidak bisa melihatku." Jawab Edward.
“Lepaskan aku, Edward.” Dorongku, tapi tenaganya kuat sekali.
"Nona Olivia, aku sangat menyukaimu. Sungguh.." Ucapnya serius. Ekspresinya membuatku terdiam, tiba-tiba air matanya menetes dan jatuh dipipiku. Dia menangis? Aku tidak tau kalau hantu bisa seperti ini? Apa aku membuatnya tertekan? Kalau benar, maka aku pasti jahat sekali sampai membuat seorang pria menangis. Yah walaupun pria itu bukan manusia. Aku mengusap air mata dipipinya. Edward malah terisak dan memegang tanganku, entah kenapa hatiku jadi tersentuh, sekarang mataku malah berkaca-kaca, mengapa aku bisa merasakan kesedihan se-dalam ini. "Edward jangan menangis..." Ucapku.
Ia mengusap air mata yg membekas dipipinya. "Aku tidak pernah merasakan cinta sejak kecil, orangtuaku meninggal dan aku dibesarkan oleh keluarga yg begitu kejam. Sisa hidupku dihabiskan untuk menghasilkan uang untuk mereka, bahkan disaat-saat terakhirku… Mereka tidak merasa bersalah sedikitpun.” Ungkapnya.
“Mereka bahkan tidak mengubur mayatku, mereka membuangku ke sungai begitu saja seolah aku ini sampah.” Isaknya.
Mataku terbelalak, air mata yg dari tadi ku tahan dengan susah payah sekarang menetes. Apa ini perasaan Edward yg mengalir ke dalam diriku? Begitu pedih dan sakit dijantungku… Selama ini dia terlihat ceria, senyumnya sangat manis dan tidak disangka dibalik senyumnya terdapat penderitaan yg begitu menyakitkan.
Aku benar-benar menyesal. “Ma-maafkan aku, Edward.” Ucapku.
Ia tersenyum tipis dan menggenggam tanganku. “Seumur hidupku, baru kali ini aku merasakan kebahagiaan. Ada saat dimana aku bertanya-tanya, kenapa Tuhan begitu kejam padaku sampai aku harus merasakan kebahagiaan ini disaat aku sudah mati? Kadang aku berpikir bahwa kehidupanku sama sekali tidak ada artinya.”
“Edward…” Gumamku.
“Tolong izinkan aku, nona. Aku tau kau juga menyukaiku jadi tolong jangan melarangku. Mengambil tubuh orang lain adalah satu-satunya cara. Kau tenang saja, karna aku janji bahwa aku akan meminta izin terlebih dulu pada orang yg akan ku ambil tubuhnya itu." Bujuknya dengan mata yg masih berair.
Aku memalingkan wajahku karna tak sanggup menatap matanya, aku benar-benar tidak tega melihatnya seperti ini. Tapi aku takut bahwa aku membuat kesalahan nantinya. Walaupun ku akui aku memang menyukainya, tapi…
"Nona Olivia, aku mohon. Kau adalah majikanku, hanya izinmu yg bisa melepaskan rantai ini, supaya aku bisa keluar dan mencari tubuh yg putus asa." Bujuknya sekali lagi, matanya benar-benar memelas. Tidak ada pilihan lain, aku tidak sanggup melihatnya harus menderita dan sedih lagi. Aku ingin melihat senyumnya yg benar-benar tulus tanpa kepalsuan dibaliknya, aku tidak ingin merusak kebahagiaan yg pertama dia rasakan seumur hidupnya.
Aku harap tuhan memaafkanku jika tindakanku ini memang salah. Ya ampun, aku benar-benar jadi orang jahat.Tapi, itu benar bahwa dunia memang tidak adil dan terkadang kematian adalah pilihan Tuhan yg tepat untuk mengakhiri penderitaan seseorang. Aku tidak bisa mengabaikan perasaan tulus dari pria ini walaupun dia sudah meninggal. Aku ingin dia mengenal yg namanya kebahagiaan dan cinta, oleh karna itu aku tidak peduli apapun yg terjadi nantinya.
"Baiklah. Aku mengizinkanmu." Jawabku tegas.
Dalam hitungan detik rantai yg terhubung di kalung Edward dan kalungku perlahan menghilang. Dia tidak lagi terikat olehku dan bisa pergi dan pulang kemanapun dan kapanpun yg dia mau.
"Terima kasih, nona. Tapi tenang saja, walaupun aku bebas, kau masih tetap majikanku dan aku masih harus mematuhi perintahmu karna kita masih terikat oleh kontrak." Ucapnya sumringah. Aku mengangguk, melihatnya tersenyum membuatku ikut bahagia.
"Iya iya, sekarang menyingkir dari tubuhku. Aku harus piket sebelum sekolah ditutup." Ucapku, namun Edward enggan menyingkir dan malah menindih tubuhku lagi saat aku hendak berdiri.
"Tunggu dulu, sebagai pemilik yg baik dan cantik, kau harus memberi makan peliharaanmu." Ucapnya, ia mengedipkan matanya ke arahku. Aku terdiam sejenak dan berusaha mencerna omongannya.
"Kau mau makanan? Tapi aku tidak membawa apapun. Dirumah saja yah?" Ucapku tersenyum simpul.
"Ah tidak, aku tidak butuh itu lagi." Ucapnya. Aku menatapnya dengan tanda tanya.
"Terus apa?" Jawabku.
Edward menyentuh perutku, tangannya naik mengelus dadaku dan membuka kancing seragamku. "Edward! Apa yg kau lakukan? Bagaimana kalau ada orang yg masuk?!" Ucapku panik. Edward mengangkat tangannya dan secara tiba-tiba pintu dan gorden kelasku tertutup rapat dengan sendirinya.
"Sekarang tidak ada yg bisa melihatmu. Nona, aku butuh energi yg banyak untuk berkelana malam ini. Tolong berikan aku energi..." Ucapnya. Edward lanjut membuka kancing seragamku.
"Tu-tunggu... Kenapa harus disekolah, dirumah kan bisa?" Ucapku terbatah.
"Baiklah, aku akan minta sedikit saja disini. Tapi janji harus berikan aku lebih saat sudah sampai dirumah, oke? Tenagaku sudah habis nona, setidaknya aku butuh sedikit untuk keluar dari kalung itu. Oh, aku belum bilang kan bahwa rohku akan masuk ke dalam kalungmu kalau tidak ada energi lagi?" Bujuknya.
"I-iya, baiklah. Bisakah kau menyingkir dulu... A-aku mau berdiri." Ucapku gugup. Sudah beberapa kali Edward melakukan ini, tapi jantungku selalu berdebar-debar.
Edward akhirnya menyingkir . "Se-sebentar yah... Aku piket dulu." Ucapku gugup dan meraih sapuku yg berada dilantai.
"Nona, aku bisa membantumu." Sahutnya. Aku menoleh ke arahnya.
"Hah? Membantuku piket?" Ucapku melongo.
"Iya makanya kau harus memberiku energi dulu, setelah itu akan ku buat kelas ini bersih dalam sekejab.” Ucapnya dan perlahan mendekatiku.
"Apa maksudmu?"
"Apa kau pernah dengar beberapa orang yg mengaku telah membersihkan ruangan, namun setelah ia kembali lagi ruangan itu tiba-tiba berantakan padahal tidak ada seorang pun disana. Sama seperti itu, aku bisa melakukan hal sebaliknya." Jelas Edward.
Aku terdiam dan menggenggam sapuku. Jantungku tak henti-hentinya berdetak saat dia semakin dekat denganku. "Percaya padaku, nona. Ayo..." Lanjutnya dan memegang pinggangku, ia menyingkirkan sapu itu dari tanganku. Aku menggigit kukuku dan menoleh ke luar kelas. "Jangan khawatir, tidak akan ada orang yg masuk, pintunya sudah ditutup." Lanjut Edward.
"Ta-tapi, jangan lama-lama yah...?" Ucapku gugup.
"Iya sayang..." Edward mengangkat tubuhku dan menaikkanku ke atas meja. "Kau sudah siap?" Kedipnya nakal.
Aku hanya mengangguk dan menundukkan kepalaku.
"Ah, Edward?!" Teriakku dengan suara yg sedikit dikecilkan. Ia tiba-tiba membuka lebar pahaku.
"Sssstt.." Bisiknya. Dan saat itu juga Edward langsung menempelkan bibirnya dibibirku.
Tangannya membelai leherku, ia menyibakkan rambutku ke belakang. Edward melumat bibirku dengan lembut.
Aku mencengkram rokku dan terpaksa membalasnya dengan intens. Suara decakannya selalu membuatku racau.
Beberapa menit kemudian tanganku tanpa sadar aku lingkarkan ke leher Edward. Ia menempelkan tubuhnya ke tubuhku, dan bisa kurasakan Edward mengelus pahaku di balik rok ini. Posisiku yg duduk sepertinya mempermudah dirinya untuk menerawang rokku. Aku sedikit mengacak rambut Edward, aku suka ciumannya yg tidak agresif ini. Menyadari lampu hijau dariku, Edward mengangkat pahaku, aku bisa merasakan benda keras menempel dikewanitaanku yg masih di balut celana dalam, Edward sengaja menggesekkannya dgn pelan.
7 menit bukanlah waktu yg singkat, dan aku segera menyudahi ciumannya saat tangan Edward mulai menurunkan celana dalamku. Apalagi saat ia menyentuh dadaku, aku tidak tahan saat dia memainkannya begitu. Tidak sekarang.
"Hahh, ini terlalu singkat." Keluh Edward. Aku mengusap bibirku dengan telapak tangan dan membetulkan seragamku.
"Aku sudah bilang sebentar saja." Jawabku dan turun dari kursi.
"Hm, tapi janji yah? Lanjut di rumah." Ucap Edward tersenyum simpul. Pipiku terasa panas, dan aku memalingkan wajahku ke samping karna malu. "I-iya." Jawabku singkat.
"Kalau begitu, seperti janjimu, bersihkan kelas ini." Lanjutku.
"Baiklah nonaku yg seksi, kau bisa tunggu diluar dulu." Jawabnya terkekeh.
Tanpa basa basi aku langsung keluar dari kelas itu.
"Tunggu yah, tidak akan lama." Ucapnya dan tiba-tiba langsung menutup pintu kelas. Aku tidak bisa melihat apa yg sedang dia lakukan karna gorden jendela kelas juga ditutup. Aku hanya bisa bersender di dinding, berusaha menenangkan jantungku yg dari tadi berdetak kencang. Aku menarik nafas beberapa kali dan menghembuskannya perlahan. Kurasa baru kali ini aku menanggapi permainan Edward dengan penuh kesadaran.
Beberapa menit kemudian, pintu itu terbuka. "Selesai. Sekarang ayo pulang." Ucap Edward dan langsung merangkulku.
"Eh tunggu dulu..." Aku mengecek isi kelas. Dan semuanya tertata rapi, lantainya mengkilap, papan tulisnya juga bersih. "Se-secepat ini?" Ucapku mengangah.
"Ini kecil bagi hantu, apalagi aku sudah menjadi hantu yg kuat karna memilki majikan manusia. Sekarang energiku terkuras lagi. Ayo pulang… ayo pulang sekarang nona." Rengek Edward.
Pipiku jadi memerah saat dia bertingkah seperti anak kecil dgn mengayunkan tanganku. "Ba-baiklah. Kau… karna kau bilang energimu habis, masuk saja ke kalung ini." Ucapku terbatah.
Hantu itu mengangguk dan langsung masuk. Aku menghela nafas, merapikan rambutku dan berjalan dengan langkah yg besar keluar dari sekolah ini.
