Bagian 9 Jebakan Manis
“Oh, ini yang namanya Arya? Fatia banyak cerita tentang kamu, loh,” sapa Mieke ramah tak lama setelah Arya menghempaskan tubuhnya di atas sofa berwarna hitam. Wanita berdaster batik lengan pendek itu mengulurkan tangan ke arah Arya.
Sedari tadi dia sudah menantikan kedatangan teman anaknya itu. Di usia tiga puluh tahun, anak gadisnya lebih suka menghabiskan waktu di rumah.
Teman perempuannya pun tidak banyak. Dia pesimis Fatia akan menemukan jodoh dengan cepat kalau kebiasaannya tidak berubah. Makanya dia senang saat tamu lelaki yang dibawa ke rumah, berwajah menarik dan memiliki pekerjaan yang bagus.
Nalurinya mengatakan bahwa lelaki ini baik untuk anaknya.
“Apaan sih, Bun?” rengek Fatia.
“Assalamualaikum, Tante. Apa kabarnya?” ucapnya sembari mencium punggung tangan bunda Mieke.
“Aku ambil minum dulu, ya,” pamit Fatia bergerak ke arah dapur yang dijawab angukkan Arya.
“Eh, jangan panggil Tante, panggil saja Bunda. Alhamdulillah baik,” ucap Mieke dengan tersenyum.
Fatia yang mendengar dari arah dalam menggerutu melihat tingkah bunda yang sok akrab pada Arya. Padahal kemarin dia hanya mengatakan kalau teman lamanya, sahabat Aby akan berkunjung ke rumah. Bukan pacar, hanya teman.
Mieke terdengar asyik mengobrol akrab dengan Arya seperti sudah mengenal lama. Obrolan yang sebetulnya jelas sekali sedang menginterogasi namun wanita lima puluh tahunan itu menyusunnya seperti obrolan biasa.
“Bun, boleh pinjam dapurnya? Aku punya utang masakin makan malam untuk Fatia,” tanyanya malu-malu di tengah obrolan.
“Ya, ampuuun so sweet, boleh dong. Silakan,” jawab Mieke dengan mata berbinar sambil menelungkupkan kedua telapak tangan di kedua pipi meniru gaya ABG.
Fatia merasa jengah dengan tingkah bundanya yang terlalu manis pada Arya, terlihat sekali kalau dia sudah menyukainya.
Love at the first sight, ini sih! batinnya.
Fatia pun menemani Arya berjibaku di dapur. Diam-diam Mieke memantaunya dari ruang tamu. Dengan pura-pura sibuk berselancar di sosial media melalui ponsel android, kupingnya tetap awas mendengar dan matanya sesekali melihat ke arah mereka.
Arya mengeluarkan bahan-bahan makanan yang akan dibuat dari container yang ia bawa. Semua sayuran sudah bersih dicuci dan potongan daging pun sudah dimarinasi. Dia menyiapkan semuanya dari rumah supaya tidak memakan waktu lama memasak di rumah Fatia.
Fatia hanya membantunya mengiris-iris bumbu. Kemudian dia lebih banyak menontonnya menyelesaikan masakannya.
“Hmm ... baunya enak sekali, pasti lezat!” cetus Bunda menghampiri mereka.
“Kalau enggak enak, enggak mungkin bisa lolos jadi Chef di hotel itu, Bun,” timpal Fatia.
“Bisa saja.” Arya merendah.
Tak lama Mieke pergi meninggalkan mereka saat ada panggilan masuk dari suaminya yang sedang dinas ke Bandung. Dia menanyakan oleh-oleh apa yang ingin dibeli, karena akan kembali malam ini juga, tak jadi menginap. Bunda menyebut beberapa daftar makanan yang mendapat protes dari ayah Fatia.
“Ayahmu ini masiiih saja enggak ingat kalau istrinya hobi ngemil,” ucap Mieke setelah suaminya menutup panggilan.
Arya tertawa menanggapi gerutuan wanita yang masih terlihat lebih muda dari usianya.
“Fat sudah cek akun instagramnya? Aku sudah follback, loh,” canda Arya sambil membalik-balikkan daging yang ia panggang di atas teflon.
“Iya tahu.” Fatia terlihat memanyunkan bibirnya mengingat kejadian memalukan beberapa hari lalu.
“Sampai segitunya kekepoan kamu?” tanyanya lagi dengan sengaja.
“Aku selalu follow akun instagram semua teman yang baru aku temui. Nah kemarin itu aku cari-cari akun kamu tapi enggak nemu. Pas lihat gambar dapur, kupikir itu kamu. Terus aku scroll dulu ke bawah untuk memastikan itu kamu, sampai lupa follow ...”
“Sudah, enggak perlu kamu jelasin. Aku senang, kok.” Arya tersenyum manis ke arahnya saat memotong ucapannya yang menggebu-gebu.
Arya memandang dengan senyuman maut menawan hingga membuat Fatia tersipu. Gadis itu mengalihkan pandangan ke arah lain menghindari tatapannya yang semakin lekat.
“Fat, jadian, yuk.”
Belum hilang rona merah di wajah kini Arya mengagetkannya dengan pernyataannya yang mendadak.
“Eh, kok?” tanyanya grogi.
“Kamu pikirin saja dulu. Kabari aku iya enggaknya, ok?” ucapnya lagi-lagi tanpa mengajaknya berkompromi.
“Kita kan baru ketemu lagi setelah sekian tahun, memangnya kamu enggak butuh pertimbangan lain mengenai aku?”
“Kamu masih perempuan tulen, kan? Masih suka cowok, kan?” tanyanya jahil menyelidik.
“Ya iyalah, aku masih normal,” ucap Fatia.
“Ya sudah, itu cukup, kok.” Arya berkata santai.
Lelaki itu menyiapkan masakannya dan menyajikannya rapih di atas meja. Hidangan yang cantik dengan plating ala hotel tersaji cantik di meja makan. Arya mengajak Mieke untuk makan bersama.
“Bunda makan di ruang tv saja sambil nonton,” ujarnya sambil membawa piringnya.
“Bundamu pengertian sekali,” bisik Arya tersenyum yang disikut pelan.
“Emmm, enak sekali ini steak-nya. Minggu depan kamu bikin lagi di sini, ya,” ucap Mieke berbicara agak keras.
“Tuh, kan. Bunda saja sudah Acc, ini anaknya malah galau padahal cuma bilang iya doang.”
Arya memotong daging dan menyuapkanya pada Fatia. Mau tak mau dia pun menerimanya.
“Suapan itu artinya kamu menerima aku jadi pacar kamu,” ucapnya tertawa.
“Idih, kamu sukanya menjebak, ya?” protesnya sambil mengunyah pemberian Arya.
“Cerdik, kan aku?”
Fatia memandang lelaki di hadapannya. Sosok yang menawan. Ditambah banyak informasi dari Aby mengenai sifat baiknya. Kemarin dia sengaja menelepon, karena rasa kangen mereka mengobrol sampai ber jam-jam. Fatia pun menyelipkan beberapa pertanyaan mengenai Arya pada teman kuliahnya itu.
Apakah aku punya alasan untuk menolaknya? tanyanya dalam hati.
“Buatku, kamu bukan orang baru. Yang penting saat ketemu kemarin itu, masih ada ser-serannya.” Arya tertawa.
Tiba-tiba bundanya Fatia menoleh ke arah mereka.
“Artinya, memang aku masih suka sama kamu,” ujarnya buru-buru meralat, berharap Mieke tidak mendengar ucapannya yang tadi. Di tolehkannya wajah ke arah wanita yang pandangannya kembali serius ke arah laptop.
Fatia hanya tersenyum ke arahnya. Sambil menghabiskan sisa makanannya yang memang lezat, dia berpikir kembali menimbang-nimbang.
Pernyataan Arya terasa sangat terburu-buru padahal mereka belum lama bertemu. Namun alasan yang dikemukakan Arya ada benarnya juga.
“Kamu kelihatannya bingung? Santai saja, aku enggak akan memaksa, kok. Ikuti kata hatimu. Yang pasti, aku serius sama kamu. Aku enggak mau main-main dengan perasaanku,” ucapnya lembut.
“Tapi aku ...”
“Belum punya perasaan apa-apa sama aku? That’s fine. Kita bisa sambil jalan, lihat nanti apakah perasaan itu tumbuh dengan tulus atau malah gugur. Apapun keputusannya aku akan terima,” potongnya dengan bijak.
Mieke menguping semua pembicaraan mereka, walaupun samar terdengar. Hatinya meleleh mendengar semua ucapan yang dilontarkan Arya dan merasa gemas terhadap anaknya sendiri yang betah melajang di usianya yang sudah kepala tiga.
Mau cari yang kayak gimana lagi, sih? Ucapnya geram dalam hati.
Arya meraih tangan gadis yang terlihat galau dan dipegangnya dengan erat.
“Ikuti kata hati kamu, ya. Aku akan tunggu,”
“Yes I do!” ucap Mieke dengan lantang.
Tiba-tiba mereka menoleh ke arahnya dan memandang heran. Sadar ucapannya yang spontan mendapat perhatian, dia berdalih dengan menunjuk layar laptop.
“Itu ...” ucapnya dengan wajah memelas walau hati menahan geram.
