Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 10 Lelaki Pemgganti

Fatia berdiri anggun mengenakan kebaya brukat berwarna soft pink. Dengan riasan sederhana pun terlihat sangat cantik.

Tangan kanan menggandeng lengan ayahnya dan buket bunga mawar putih di tangan kirinya. Ia dituntun menuju meja kecil beralaskan taplak putih.

Di sampingnya, Ahmad yang terlihat pucat bersiap menghadapi prosesi ijab kabul tersenyum haru ke arahnya.

"Saya terima nikah dan kawinnya Fatia Nurul binti Ahmad khaerudin dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai!" ucapnya lancar tanpa kendala.

Ketika para saksi mengatakan sah, wajah mereka berdua mengharu memancarkan kebahagiaan. Fatia mencium punggung tangan Ahmad yang sudah kini sudah sah sebagai suaminya, begitupun Ahmad kemudian mendaratkan ciumannya dengan lembut pada kening Fatia.

Bulir-bulir air mata bahagia hangat perlahan mulai membasahi pipi mereka.

"SAH! SAH!"

Dua orang saksi dengan tegas berucap yang diikuti gemuruh sorak sorai dari para undangan membuyarkan lamunan Ahmad. Kini Andini sudah sah menjadi seorang istri dari lelaki yang akan membawanya pindah ke Kuala Lumpur.

Ahmad mengerutkan keningnya, tersadar lamunannya sudah terlalu jauh.

Belum banyak teman-teman kantor Andini yang datang, begitupun Fatia.

Tepat pukul sebelas, saat acara resepsi dimulai, satu persatu bekas teman kantornya mulai berdatangan bersama pasangan.

Dari ujung pintu masuk, terlihat Seorang gadis mengenakan atasan brukat lengan pendek berwarna coklat muda dan rok span batik selutut. Rambut panjangnya di blow ikal dan diikat tengah dengan jepit berkilauan.

Dia menggandeng lelaki manis yang mengenakan kemeja batik corak yang sama dengan kain yang dia kenakan.

Ahmad terpesona melihat gadis itu menyebarkan senyum ramah pada orang-orang yang dilaluinya.

Sambil menunggu antrian panjang untuk menyalami sang pengantin, Arya dan Fatia menikmati hidangan mewah yang tersedia.

“Aku mau nyobain mpek-mpeknya, kamu mau?” tanya Arya.

“Boleh, aku tunggu di sini, ya.” Fatia tersenyum.

"Siapa dia?" tanya Ahmad ketus ketika lelaki yang menemani Fatia berlalu dari hadapannya.

"Pacar saya, Pak. Ganteng, kan?" jawab Fatia enteng. Pandangannya menatap lelaki yang sedang bergerilya dari satu stand makanan ke stand yang lain ketika stand mpek-mpek penuh dikerubungi.

"Biasa saja," cibir Ahmad.

Fatia memandangnya kesal saat Ahmad memasang wajah datar sambil asyik memakan puding.

"Buat apa ganteng kalau enggak bisa menjaga komitmen? Aku melihat wibawa seorang lelaki dari komitmennya, Pak," ujar Fatia santai sambil menyeruput jus jeruk dari gelas kecil.

"Ya, laki-laki emang harus seperti itu," ucap Ahmad tak sadar arah pembicaraan Fatia.

"Tapi, aku pernah mengenal lelaki yang berpura-pura mengajakku bertunangan, tapi, eeh ... ujung-ujungnya, dia malah menikahi perempuan lain. Menurut Bapak, lelaki seperti itu bisa menjaga komitmen, enggak?" ucap Fatia sambil berlalu meninggalkan Ahmad yang terbatuk-batuk karena tersedak.

Ahmad yakin yang dia ucapkan semata untuk menyindirnya, telak. Sindirannya mengena ke dasar hati. Rautnya berubah menjadi cemberut.

Seketika rahangnya mengatup dengan tangan mengepal saat ia melihat Fatia bercengkerama mesra dengan lelaki itu.

Tak lama, Fatia menggandeng lengan Arya dan berjalan semakin menjauh dari posisi Ahmad berdiri.

Pemandangan yang cukup mencabik-cabik hati di depan mata membuatnya seketika murung tak lagi menikmati pesta pernikahan meriah yang di suguhkan Andini dan suaminya.

*****

"Cie ... cie pacar baru. Kenalin dong!"

WAG (Whatsapp Group) ramai dengan gosip baru antara Fatia dan kekasihnya, yang tertangkap kamera sedang berpose mesra.

Andini mengirimkan banyak foto pernikahannya bersama tim marketing di WAG. Ketika salah satu foto di zoom, terlihat wajah Fatia tersenyum saat kekasihnya yang diketahui bernama Arya menempelkan hidung ke pipinya dan tangannya merengkuh tubuh Fatia.

"Oke, terima kasih, ya, teman-teman. Terima kasih, Pak Ahmad, aku pamit keluar grup, ya. Doakan aku bahagia bersama suamiku. Keep in touch, ya semuanya. I love you all."

Andini pamit di WAG dengan menyisipkan emotikon sedih.

Hari minggu yang cerah untuk yang lain menikmati libur kerjanya, tapi tidak dengan Ahmad yang semakin gelisah pasca melihat foto mesra Fatia di grup departemennya. Tak sabar rasanya ingin segera mempercepat waktu menuju Senin.

*****

Keesokan harinya.

"Kamu tahu apa alasanku dulu mengajakmu bertunangan?"

Fatia menghentikan langkahnya ketika hendak keluar ruangan Ahmad.

Mendadak lelaki menyebalkan itu mengagetkannya dengan kalimat yang menurutnya sudah basi. Dia menghela napas panjang dan berbalik arah mendekati Ahmad yang sedang duduk di kursinya.

Berdesir jantung Ahmad melihat Fatia berdiri menantang dengan jarak kurang dari setengah meter.

"Maaf, Pak, saya tidak mau membicarakan masalah pribadi di kantor, khususnya di jam-jam kantor!" ucap Fatia dengan lugas.

Kalimat balasan yang mengejek membuat Ahmad merasa tersudutkan. Dia pun melenggang hendak meninggalkan ruangan bosnya.

"Terlalu banyak hal yang kamu tidak tahu tentang jalan hidupku, Fat!"

teriak Ahmad hingga menghentikan tangannya membuka pintu.

"Dan saya sudah tidak mau tahu!"

jawab Fatia tegas tanpa sedikitpun membalikkan tubuhnya. Ia pun membuka pintu kembali ke ruangan kerjanya.

Dada bergemuruh dan napaspun memburu mendengar semua yang baru saja diungkapkan Ahmad. Ditariknya napas dalam-dalam, ia berusaha menenangkan jiwanya yang kalut tercabik-cabik lagi.

Ruangan sekretaris terasa panas walaupun pendingin ruangan menunjukkan angka enam belas.

Fatia merasa kalut, seharusnya ini momen yang tepat untuk membicarakan masa lalu dengannya ketika Ahmad sendiri sudah memulainya.

Tapi untuk apa? Toh jika aku mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal hatiku selama ini, tetap tidak akan mengubah apapun. Ahmad tetap harus kembali pada keluarganya. Dan aku tetap sendiri menikmati rindu yang tak ada habisnya.

Batin Fatia.

Fatia merasa sedih, namun ia berusaha tegar. Kembali ditarik dalam-dalam napasnya untuk menenangkan jiwanya yang goyah. Ia menahan air mata yang sedari tadi memohon untuk dikeluarkan.

Berhasil!

Tak ada setetes pun bulir bening yang keluar.

Dibukanya laci meja. Buku diari kuning masih tersimpan rapi di sana. Tadinya hendak ditunjukkan pada Ahmad dengan harapan dia akan luluh dan membuka pembicaraan mengenai masa lalu yang dianggapnya masih menggantung.

Buku Diari di mana terdapat tulisan-tulisan tangan mereka berdua. Tulisan-tulisan indah romansa di masa lalu. Namun kini dia berubah pikiran, hal itu sudah tidak diperlukannya lagi.

Setelah bertemu dengan Arya, dia memaksa dirinya untuk menutup lembaran kisah lalunya bersama Ahmad dan mencoba untuk realistis.

Fatia berharap bersama Arya lelaki yang berprofesi sebagai Chef di hotel berbintang itu, dia bisa melupakan masa lalunya dan memulai hubungan baru yang serius.

Jangan menilai ini adalah sebuah pelarian. Anggap saja, aku sedang mencoba menata hatiku dengan memberikan kesempatan pada lelaki lain, Arya.

Batin Fatia.

"Kalau kita sakit hati sama lelaki, obatnya, ya cari lelaki lagi."

Begitulah nasihat sahabatnya suatu kali ketika Fatia bercerita mengenai atasannya saat ini adalah orang yang pernah hadir di masa lalunya. Orang yang menyebabkannya selama belasan tahun tidak membuka hati pada lelaki lain.

Saat ini, dia mencoba mengikuti saran dari sahabatnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel