Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 8 Pertemuan tak terduga

“Fatia?” sapa seorang lelaki berseragam hitam dengan agak ragu.

Fatia mendongakkan wajah dari layar ponsel. Wajah masamnya tak bisa disembunyikan setelah membaca pesan masuk dari Ahmad yang mengomelinya setelah ia memberitahukan penolakan pihak hotel atas permintaannya.

“Arya? Ya, ampuuun kok bisa ketemu kamu di sini? Apa kabarnya? Eh, ngomong-ngomong kamu kerja di sini?” tanyanya setelah melihat seragam yang dikenakan.

“Waw, segitu rindunyakah kamu sampai enggak berhenti bicara?” lelaki manis berperawakan sedang itu menyunggingkan senyumnya berkata jahil.

Gadis itu terlihat kaget melihat sosok yang sudah tujuh tahun tidak bertemu, kini terlihat semakin menawan. Terlebih seragam hitam itu membuatnya semakin terlihat seksi.

“Happy sekali, kamu masih bisa mengenaliku setelah sekian purnama,” cerocosnya.

“Halah lebay. Enggak ada yang berubah, kok,” ucapnya berbohong.

“Eh, kamu buru-buru enggak?” tanyanya.

“Enggak, kenapa?”

“Kita ngobrol di restoran, yuk,” ajaknya.

“Ok.” Fatia mengangguk dan kemudian mengekornya.

Fatia memerhatikan dari belakang lelaki yang pernah “menembaknya” dulu saat ia masih kuliah. Lelaki yang merupakan sahabat SMA dari teman kuliahnya.

Demian Aryandaru biasa dipanggil Arya, seorang mahasiswa perhotelan yang katanya berbakat memasak tapu jago juga memetik gitar. Pernah mengaku playboy namun statement-nya itu dipatahkan oleh Aby, sahabatnya sendiri.

Awalnya minta dikenalkan pada Fatia, namun saat bertemu langsung dia mengomel karena menurut dia gadis itu bukan tipenya.

“Stylenya kayak tante-tante. Enggak jadi, deh!” Begitu kesan pertama yang dia ungkapkan pada sahabatnya hanya karena melihat gayanya berpakaian saat itu.

Namun belakangan, setelah beberapa kali bertemu secara tidak sengaja, akhirnya dia jatuh hati juga pada Fatia.

Sepanjang perjalanan menuju restoran, beberapa orang terlihat tersenyum dan menganggukkaan kepalanya saat berpapasan dengan Arya.

Mungkin dia orang penting di sini, gumam Fatia dalam hati.

Saat memasuki area restoran, Arya menuntunnya ke arah pojokan dekat aquarium berukuran besar dengan panjang empat meter.

“Di sini saja, ya?” ujarnya menarik kursi untuk diduduki Fatia.

“Terima kasih,” ujar Fatia tersenyum.

"Jadi, ada urusan apa di sini? Aku kok ngerasa kayak takdir berpihak sama aku yang lagi jomblo ini,” ucapnya jahil dengan senyum menggoda.

“Kamu belum menikah?” tanya Fatia ragu.

“Nope! Kalau kamu?”

“Belum juga,” jawab Fatia tersipu malu mengingat usianya yang sudah tiga puluh tapi pacar saja belum punya, jadi kemungkinannya masih lama untuk menjadi pengantin.

“Nah, cocoklah kita.” Arya tersenyum lebar. Fatia membalas senyumnya.

“Terus gimana? Tadi belum cerita kenapa sampai ada di sini?” lanjut Arya.

Fatia menceritakan hasil meeting tadi yang berakhir penolakan. Pihak hotel tidak bisa menyediakan makanan sesuai permintaannya.

“Sebentar, ya.”

Arya bergegas meninggalkannya dan tak lama dia kembali dengan membawa kabar baik untuk Fatia. Arya menikmati senyuman lebar yang indah hingga membentuk matanya menjadi satu garis dan tak henti mengucapkan sebaris kata terima kasih.

Ahh ... senyum itu masih membuatnya bergetar.

“Mana HP-mu?” pintanya.

Tanpa bertanya Fatia langsung memberikannya dan dengan mudah menebak arahnya akan seperti apa. Gaya orang minta nomor ponsel yang sering ia lihat di drama-drama Korea.

“Bantuanku tidak gratis, loh. Kini kamu punya utang makan malam denganku, di rumahmu,” ucapnya dengan mata jahil.

“What? Kenapa harus di rumahku?” tanya Fatia.

“Options-nya cuma ada dua, di rumahku atau di rumahmu, OK!”

“Dari sekian banyak restoran dan kafe di dunia ini, tapi kenapa cuma pilih di rumah, sih?” protes Fatia.

“That’s my style. Ok, Deal! Aku enggak bisa lama-lama nganggur, see you.”

Arya menjabat tangannya menandai kesepakatan sepihak yang ia buat. Dia pun pergi dengan tampang jahil yang membuat Fatia gemas. Gadis itu bingung menghadapi reaksi ayah bundanya saat nanti secara tiba-tiba membawa lelaki ke rumah. Selama ini ia tidak pernah melakukannya kecuali saat bersama Ahmad, itu pun dulu masih SMA.

Arya mengintip dari ruangannya. Langkah gemulai Fatia menjauh namun sesekali masih menolehkan kepala ke belakang. Dia tersenyum puas walaupun sempat deg-degan saat melakukan aksinya tadi.

Fatia yang pernah ia tolak saat Aby, sahabatnya mengenalkan. Namun gadis itu berbalik menolaknya saat ia menyatakan perasaan. Dia tak menyangka akan bertemu lagi dengan sosok yang tumbuh menjadi modis dan sangat cantik terawat. Tiba-tiba dia berharap lebih.

Kali ini harus berhasil. Batinnya dengan mengepalkan tangan.

*****

“Sudah selesai, Pak. Akhirnya pihak hotel menyetujuinya,” ucap Fatia puas menyampaikan pada Ahmad dengan harapan mendapat pujian.

“Kelewatan kalau kayak gitu saja tidak mampu handle!”

Lagi-lagi ucapannya menohok. Untung saja Fatia tidak menyinggung keberhasilan itu adalah berkat bantuan temannya, mungkin dia akan semakin puas mengejek.

Tak bisakah dia menyusun ucapannya tanpa menyakiti? Batinnya.

Fatia mencari tahu akun sosial media dengan nama Arya kemudian Demian namun tidak ia temukan. Setelah sekian lama mencari, akhirnya dia menemukan akun Aryandaru.D di akun instagram. Dengan foto profil bergambar dapur sudah bisa ditebak pemiliknya adalah seseorang yang berprofesi sebagai Koki sang penguasa dapur.

Ternyata Arya cukup aktif bersosial media. Terlihat dari ribuan foto yang sudah diunggah di feed instagram. Fatia terkesan dengan kehidupan pribadi Arya melalui unggahan itu. Video bersama keponakannya sedang bermain kucing memikat hatinya, terlihat jelas dia adalah orang yang hangat dan dekat dengan keluarga.

Pandangannya terhenti pada sebuah foto yang diunggah beberapa minggu lalu, sabuah foto mengenakan kaos putih dengan apron menutupi tubuh bagian depannya sedang bergaya di dapur.

“Aahhh, seksi sekali,” ucap Fatia antusias seperti sedang melihat tokoh idolanya. Matanya tak henti menatap foto itu.

Fatia kembali mengusap-usapkan telunjuknya pada layar ponsel menjelajah satu demi satu foto di akun itu dengan senyuman yang tak bisa lepas. Tiba-tiba jarinya terhenti pada sebuah foto Arya merangkul Aby. Buru-buru ia membaca captions-nya, tertulis BFF. Lega hatinya bahwa teman kuliahnya itu tidak sampai jatuh cinta pada sahabat SMAnya yang kini menjelma menjadi sosok yang tampan menawan.

Fatia mendengus menyadari sudah tiga tahun dia tidak bertemu Aby yang kini bekerja di Semarang. Tahun lalu ia janji akan mengunjunginya namun gagal.

Jarinya lincah bergerak hendak keluar dari akun instagram Arya, namun ikon love tiba-tiba berubah menjadi merah pada foto mereka berdua.

Fatia menepuk dahi menyesali keteledorannya. Ia bermaksud keluar dari akun Arya dan mengirim pesan Whatssapp pada Aby.

“Hei, masuk akunku, kok, enggak permisi dulu?”

“Follow dulu, nanti aku folback.”

Tiba-tiba muncul pesan masuk di layar ponselnya, dari Arya. Seketika pundaknya melemas. Kemudian ia menguburkan wajahnya ke tangan. Rasa malu yang luar biasa menghantamnya, lelaki yang sedang ia kagumi memergokinya menguntit akun instagram tanpa meminta pertemanan terlebih dahulu.

“Ya, Tuhan,” ujarnya.

“Kenapa kamu?” tanya Ahmad saat melewati meja kerja Fatia.

“Huh?” jawabnya dengan wajah melongo.

“Merah sekali mukamu? Kenapa?” tanyanya lagi dengan ketus setelah Fatia melepaskan kedua tangan dari wajahnya.

“Hah?”

Fatia memegang-megang wajahnya yang hangat dengan tangan kanan.

Tiba-tiba dia berteriak dan berlari ke toilet. Ahmad kebingungan melihat ulahnya. Dilihatnya ponsel yang digeletakkan begitu saja di atas meja dan mengusap layarnya untuk mencari tahu penyebab keanehan Fatia. Namun ia tidak bisa menemukan jawaban karena ponsel itu langsung terkunci.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel