Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Balas Dendam

Jam dinding di ruangan menunjukkan jarum panjang yang bertengger di angka sembilan, perlahan mulai bergerak maju.

Kantor pun sudah semakin ramai dengan aktivitas masing-masing, namun gadis itu masih belum muncul juga.

Aaarrggghh, damn!

Umpat Ahmad memukul meja.

Rasa kesal dan sedih berbaur dalam benaknya. Dia membungkuk dengan satu tangan menyangga tubuh di atas meja. Satu tangan lagi memijat-mijat matanya yang terpejam. Seketika tangan terasa basah karena air yang diam-diam keluar dari mata.

"Hei, cantik! tumben kesiangan, dicariin bapak, tuh."

Aidan menyapa sambil melihat jam dengan tali kulit berwarna hitam di pergelangan tangan kanannya.

"Macet, Say. Halo semua ... selamat pagi. Semoga hari ini kita semua terhindar dari aura-aura negatif, ya. Semangat!"

Fatia menyapa semua staf yang ia lewati dengan kalimat menyindir. Semua orang menjawab dengan mengaminkan serentak layaknya murid di kelas yang menyapa guru.

Ucapan Aidan yang agak keras menyadarkan Ahmad dari perang batinnya. Dia menegakkan tubuh dan berbalik mendekat ke arah pintu.

Dia bergerak mengintip dari balik pintu setelah mendengar keriuhan di departemen yang dipimpinnya.

Matanya terbelalak melihat penampilan Fatia yang lebih seksi dari hari kemarin.

Mengenakan mini dress warna hitam yang hanya menutupi separuh dari panjang pahanya. Balutan blazer coklat dengan panjang yang sama menutupi dress yang tak berlengan. Sabuk mini berwarna hitam mengikat longgar pinggangnya yang ramping.

Emosinya semakin tak menentu melihat beberapa staf lelaki menggoda Fatia. Namun, di balik itu hatinya merasa lega karena gadis berambut panjang yang tak pernah bisa keluar dari relung hati, urung mengundurkan diri. Artinya, skenarionya berjalan lumayan baik. Senyum manis pun tak mampu dia sembunyikan.

"Seksi banget kamu hari ini, Fat? mau jadi teman kencanku, enggak?"

Setelah menutup pintunya, Ahmad menguping dari balik pintu.

Lagi-lagi Aidan, satu-satunya playboy yang masih lajang di departemennya masih saja gencar merayu. Hanya dia yang leluasa melakukan itu pada Fatia. Dengan prestasinya di kantor dia cukup percaya diri untuk mendekatinya.

"No, thank you!" jawab Fatia tegas, sambil mengangkat telapak tangan kanan dan tak sedikitpun menoleh ke arahnya.

Semua yang menyoraki tampak puas dengan penolakan Fatia terhadap Aidan yang berujung ditekuknya wajah lelaki metropolis itu.

Fatia masuk ke ruangannya, menyimpan tas dan jinjingan berisi bekal makan siang di kolong meja kerja, kemudian ia langsung menuju ruangan Ahmad.

"Selamat pagi, Pak. Maaf saya terlambat, jalanan tadi macet sekali," ujarnya basa-basi dengan tergesa-gesa membuka tirai di belakang sofa.

Macet? Semua staf bilang kalau jalanan hari ini lengang. Bohong saja!

Ahmad berucap dalam hati.

Tadi pagi Fatia memang tidak bersemangat untuk pergi ke kantor karena kejadian kemarin. Sejak subuh, ia sempat berleha-leha di tempat tidur kemudian malah iseng memasak di dapur.

Kegalauannya untuk pergi ke kantor sirna setelah ia meyakinkan diri bahwa jika membolos, hanya akan menambah peluang untuk Ahmad merundungnya. Dengan berat hati akhirnya ia berkompromi pada tubuh untuk beranjakmandi dan menyemangati diri sendiri untuk tegar menghadapi si monster dingin menyebalkan.

Tanpa memedulikan tatapan tajam atasannya, Fatia merapikan tempat tidur di ruangan Ahmad dengan posisi membungkuk hingga membuat roknya terangkat.

Ahmad pun menjadi uring-uringan melihat kaki jenjang mulus di depan mata, dengan sengaja dipamerkan oleh sekretarisnya. Pemandangan yang mengundang syahwat yang selama ini tertahankan.

"Oya, untuk makan siang nanti mau pesan apa, Pak? atau saya buatkan reservasi di restoran?" tanya Fatia usai membereskan tempat tidur.

Ahmad terkesiap saat Fatia menanyakan itu. Pikirannya masih kosong setelah melihat pemandangan menggoda tadi.

"Enggak usah, pesankan saja makanan sampah!" jawabnya ketus dengan penekanan pada kata makanan sampah, menunjukkan emosi yang mulai tidak stabil.

"Junk food maunya, Pak? Oke, seperti kemarin, ya?"

Fatia cuek, tidak memedulikan ucapan lelaki yang dadanya masih bergemuruh tak menentu akibat perbuatannya. Dia berpura-pura mencatat supaya matanya tidak harus memandang Ahmad, lain hal dengan lelaki itu yang masih saja menatap penuh kesal.

Tidak lama, Fatia keluar ruangan dengan berjalan melenggak-lenggok bak peragawati. Ahmad mengusap wajah kemudian menelungkupkannya di atas meja dengan kedua tangan melingkari kepala.

“Maaf, Pak ... “

“Apa lagi?” ucapnya setengah membentak saat Fatia muncul lagi secara tiba-tiba di balik pintu.

Gadis itu pun mengurut dadanya karena kaget.

“Bisa enggak, sih ketuk pintu dulu,” ucapnya lagi dengan ketus.

“Saya sudah ketuk pintunya, memang Bapak enggak dengar?” jawab Fatia membela diri.

“Enggak!” sungutnya dengan keras.

“Aidan sama Mbak Yanti mau ketemu Bapak. Bisa sekarang tidak?” ujar Fatia seraya menutup perlahan pintu ruangan.

“Ya, sudah suruh ke sini.” Ahmad masih dengan ketusnya berkata pada Fatia.

Dalam batinnya masih berkecamuk segala bentuk perasaan tidak menentu.

“Baik, Pak. Saya pergi dulu.”

“Ya, sana pergi!” jawabnya dengan cepat.

“Eh, sebentar. Mau pergi kemana lagi kamu?” tanya Ahmad menghentikan langkah Fatia saat hendak membuka pintu.

“Ke ruangan sayalah, Pak,” ucapnya dengan tatapan heran ke arah Ahmad.

“O, ya sudah sana pergi,” jawab Ahmad kikuk menahan malu.

Pikiran dan hati yang tidak singkron membuatnya salah persepsi atas semua tindakan Fatia.

Gadis itu melangkah keluar menuju ruangannya dan memberitahukan Aidan dan Yanti untuk segera menemui atasan mereka.

Jam 17.00 setelah semua staf pulang, Ahmad memanggil Fatia yang tengah bersiap-siap pulang.

"Kenapa kamu masih berpakaian tidak sopan seperti itu? Kamu tidak mengindahkan aturan saya?" tanyanya setelah merasa risi dengan pakaian yang setiap hari dikenakan Fatia.

"Maaf, tapi di kontrak kerja tidak ada larangan untuk saya berpakaian seperti ini. Jadi saya berhak memakainya, Pak."

"Saya melarangnya!"

"Tapi HRD mengijinkannya!"

Fatia membalas dengan nada keras yang membuat Ahmad hampir kehilangan akal untuk berkata-kata lagi.

Waktu itu Fatia sudah bertanya pada HRD mengenai aturan berpakaian di kantor itu, jadi dia sudah mempunyai alasan kuat untuk membantah pandangan Ahmad mengenai caranya berpakaian.

“Saya atasan kamu dan berhak membuat aturan sendiri!” ucap Ahmad tidak mau kalah.

“Demi kebaikan team work saya!” tambahnya lagi dengan intonasi yang melunak.

“Kebaikan apa?”

“Yaa ... beberapa staf merasa risi dengan pakaian kamu,” ucapnya mengada-ada.

“O begitu? Kalau dulu mbak Andini berpakaian seperti ini, apakah mereka juga merasa risi, Pak?” tanyanya dengan memasang wajah lugu.

“Tidak, mungkin mereka sudah mengenal Andini lebih lama dibanding kamu.” Ahmad kembali mencari-cari alasan.

Gadis di hadapannya terlalu pintar untuk diberikan alasan seperti itu. Namun, dia tidak punya cara lain untuk menghentikannya berpenampilan seksi setiap hari yang sejujurnya sangat mengganggu dirinya saja.

“Baiklah, nanti saya cari cara untuk lebih mendekatkan diri ke semua staf supaya otaknya tidak berpikiran kotor saat saya berpakaian seperti ini!” ucap Fatia tegas seolah menunjuk pada dirinya.

Memang, perusahaan tidak mengatur cara berpakaian secara spesifik, namun Ahmadlah yang merasa tidak nyaman melihat tubuh indah Fatia dinikmati banyak mata nakal, khususnya Aidan yang semakin intens menggodanya.

Jantungnya mendadak selalu berdegup keras setiap melihat tatapan nakalnya pada Fatia. Jika saja Aidan bukan stafnya, mungkin sudah ditantang berkelahi. Ahmad memang seorang lelaki dengan ego tinggi yang takkan membiarkan gadis miliknya dilirik lelaki lain.

Fatia menutup ruangan Ahmad dan tersenyum puas. Rencananya telah berhasil. Lelaki itu bisa dengan mudah menambah deretan luka yang membuat sakit di hatinya, kini dia pun punya cara untuk membuat skornya imbang.

It's payback time.

Serunya dalam hati, mencontek dialog film Hollywood.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel