Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 11 Cemburu

Jam 06.45 di parkiran kantor.

Seorang lelaki berjaket hoodie hitam dengan kaos bercorak garis hitam putih di dalamnya sedang berdiri bersandar di samping sedan Honda Civic berwarna putih, mengobrol dengan Fatia. Mereka asyik tertawa bersama entah sedang membicarakan apa.

Tak lama, lelaki pemilik nama Demian Aryandaru itu berdiri di hadapan gadis yang gemar mengikat satu rambutnya ke atas. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana jaket, menatap santai dengan tersenyum ke arah gadisnya. Sepertinya sedang berpamitan.

Kemudian di keluarkannya tangan dari dalam saku dan memegang pipi Fatia. Gadis itu terlihat kaget saat dua tangan bergerak mendekat dan mendarat di pipinya.

Sekejap saja adegan menyayat hati dipertontonkan pagi itu. Lelaki itu menciumnya. Fatia refleks memejamkan mata merasakan kelembutan bibir Arya di kening.

Ahmad menjadi syok melihatnya! Di sela-sela jantung yang berdegup tak beraturan, tangannya mengepal. Dia melangkah cepat hendak menghampiri mereka, tapi, tiba-tiba dia sadar akan posisinya. Dia hanya atasan Fatia, bukan orang yang memiliki hubungan spesial dengannya.

Diurungkannya langkah kemudian kembali pada posisi tadi.

Arya mencium Fatia mulai dari kening lalu turun ke hidung, selesai. Tak lama, muncul lekukkan bibir di wajah menyiratkan kebahagiaan, menatap lekat gadis di depannya yang sedang salah tingkah.

Lelaki itu menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Kini mereka bisa merasakan degup kencang jantung yang menghentak bersama. Fatia hanya mengangguk saat Arya mengatakan sayang padanya. Tangannya yang tadi menjuntai ke bawah kini balas memeluknya.

Mulutnya mengucapkan sebaris kata perpisahan kemudian melambaikan tangan dan bergerak ke dalam mobil. Setelah kekasih barunya membunyikan klakson dan beranjak pergi, Fatia langsung berlari menaiki tangga masuk ke ruangannya dengan degupan jantung yang belum kembali normal. Pipinya menjadi hangat bersemu merah.

Akan tetapi seketika langkahnya melambat ketika melihat ada sosok tegap berdiri di depan pintu ruangan sekretaris sedang menatapnya tajam, Ahmad.

"Selamat pagi, Pak," sapanya ramah.

Fatia terkesan memaksakan senyumnya dengan jantung yang semakin berdebar kencang ketika berjalan melewatinya. Dia menjadi kikuk karena merasa tertangkap basah setelah melakukan dosa. Namun, yang disapanya tak jua memberi jawaban.

Bergegas ia membenahi tas dan jinjingannya, kemudian berusaha menyibukkan diri dengan merapikan tumpukan dokumen yang sudah tertumpuk rapi.

Dinyalakannya komputer dan ia membenamkan wajahnya di balik layar monitor demi menghindari sorot mata tajam yang masih saja berdiri disitu.

"Masuk ke ruangan saya sekarang. Saya mau bicara!" perintahnya dengan kasar.

Waktu masih menunjukkan pukul 07.15, ruangan masih sepi karena semua staf belum ada satupun yang datang.

"Apa yang tadi kamu lakukan di bawah?" tanyanya sangat ketus masih dengan netra menyalang. Lelaki itu melipatkan kedua tangan di dadanya seperti seorang ayah yang sedang menginterogasi anaknya.

"Mmm, maksudnya yang mana, Pak?" jawab Fatia berpura-pura tidak tahu.

"Jangan pura-pura tidak tahu apa yang saya maksud."

Lelaki itu menjawab dengan lantang, membuat Sekretarisnya syok hingga memancing emosinya.

"Kenapa Bapak jadi mencampuri urusan pribadi saya?"

Fatia balik bertanya. Walaupun merasa malu karena sudah kepergok tapi, memang bukan kapasitasnya mengorek-ngorek masalah pribadi.

"Yaaa, ini kan kantor, tidak sepantasnya kamu berbuat demikian.” Dia berdalih setelah melihat reaksi Fatia.

Ahmad membalikkan tubuhnya menghindari tatapan Fatia yang berusaha menekannya. Ia berpikir keras alasan apa lagi yang akan diberikan untuk menutupi motif sebenarnya, cemburu. Dia cemburu melihat Fatia dicium lelaki lain.

Ahmad beringsak duduk di balik mejanya dan menarik napas dalam-dalam berusaha mengontrol emosinya. Fatia dengan mudah bisa membaca bahasa tubuhnya. Gadis itu kini mendekat ke arahnya.

"Maafkan saya jika menurut Bapak itu tidak berkenan. Tapi menurut saya apa yang terjadi tadi, masih dalam batas kewajaran, dan itu adalah privacy saya!"

Di awal kalimat Fatia menjelaskan dengan lembut, tapi pada kalimat terakhir dia lebih menegaskannya dengan menekan keras jari telunjuk pada meja kerja Ahmad. Belum keluar kata yang hendak Ahmad ucapkan, Fatia memberondonginya lagi.

"Di samping itu, lebih baik besok-besok Bapak jangan mengintip saya lagi."

Fatia menantang dengan menyilangkan tangan di dada menatapnya nanar.

"Enak saja kamu menuduh saya mengintip. Saya hanya mengamati lingkungan sekitar saja kok. Dari jamannya Andini juga saya suka melakukannya.”

Ahmad terlihat grogi dengan mencari-cari alasan

"Laaaahh, Bapak ‘kan Direktur bukan security!"

Uppsss! Ahmad tak bisa berdalih lagi. Perempuan yang dulu dikenalnya masih sama tegasnya. Apa yang dipermasalahkannya hanya membuktikan bahwa dia sedang cemburu. Ya, memang sebuah rasa menyesakkan dada yang membuatnya ingin mencabik-cabik lelaki itu.

Selama menjadi kekasihnya dulu, mengecup kening dan hidung adalah kebiasaan yang menurutnya sebagai salah satu wujud sayangnya, tidak pernah lebih dari itu.

Bagi Ahmad, ketika dia melihat lelaki lain melakukan hal yang sama artinya lelaki itu memiliki cinta yang sangat besar pada Fatia, sama seperti dirinya.

Tidak bisa!

Dia tidak akan membiarkan lelaki manapun menyainginya. Hanya dia yang memiliki cinta yang besar untuk gadis itu. Walaupun dulu Fatia sudah mendepak hingga membuatnya terjebak dalam pernikahan yang tidak diinginkan, tapi perasaan cinta itu tidak pernah hilang di hatinya.

Fatia berlalu dari ruangannya dengan membanting pintu yang membuat Ahmad terkejut. Lelaki itu mengusap kasar wajahnya. Dengan tangan terkepal di depan mulutnya, dia menatap geram ke arah pintu.

Pasca kejadian itu, hari-hari yang dilalui terasa hambar. Hampir setiap hari Ahmad melihat lelaki yang sama mengantar dan menjemput Fatia.

Masih sering pula dia memergoki adegan romantis di parkiran seperti yang lalu, walaupun mereka kadang terlihat seperti sembunyi-sembunyi melakukannya.

Aura bahagia pun selalu terpancar dari wajah Fatia. Senyum simpul tak terduga selalu terlihat di wajah. Kini Fatia sudah berhasil meredam sakit hati atas semua bentuk perlakuan tidak menyenangkan Ahmad kepadanya selama di kantor. Sudah ada Arya lelaki humoris yang selalu menghiburnya.

Meski yang dilakukan membuat hatinya semakin terluka. Tetap tak membuatnya kapok, masih saja dia berdiri di depan jendela memandang ke arah bawah area parkir. Saat adegan itu selesai dan kedua sejoli itu berpisah, dia akan segera berlari masuk ke ruangannya supaya Fatia tidak tahu ulahnya.

*****

"Fatia, sebelum janur melengkung aku takkan menyerah untuk mengejarmu."

Gombal Aidan di sela-sela jam makan siang.

"Tergantung ngejarnya pakai apa? Kalo pakai kaki doang mah capek atuh Aidan. Pakailah mobil biar cepet acc," ucap Pak Masri staf senior dengan logat kental khas Sunda.

"Emang kredit mobil mesti di-acc segala," timpal Aidan.

Beberapa staf marketing sahut-sahutan mengejek Aidan yang dengan konyol merayu Fatia. Mereka saling tertawa mendengar candaanya. Aidan makin senang gurauannya pada Fatia mendapat perhatian dari seluruh teman-temannya. Begitupun gadis itu hanya menganggapnya sebagai hiburan saja.

Selama tidak ada perlakuan yang di luar batas dia akan mentolerirnya.

"Maaf, ya, Mas Aidan, kamu terlambat. Hatiku sudah berlabuh pada abang yang jago masak," ucap Fatia mengimbangi candaan semua teman-teman kantornya.

Tiba-tiba Ahmad berlalu di hadapannya dengan tatapan tidak ramah. Ia meninggalkan ruangan staf dan pergi entah kemana. Mendengar Fatia berbicara seperti itu membuat kupingnya panas dan emosinya memuncak.

"Si boss akhir-akhir ini makin jutek saja, ya," ucap Aidan meminta persetujuan pada yang lain dan diiyakan sebagian orang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel